Kisah ini merupakan pengalaman saya sewaktu belajar di Yaman, tepatnya di Markaz Darul Hadits, Ma’rib. Meski terbilang sebentar, ada banyak pengalaman, hikmah, inspirasi dan tentunya ilmu yang saya dapatkan.
Harapan saya, coretan sederhana ini bisa bermanfaat bagi yang membaca tulisan ini.
Kurang lebih sebulan, saya tinggal, menetap di salah satu markaz terkenal seantero Yaman. Sebuah markaz Muazam yang terinpirasi dari seorang muhadits zaman ini, Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah.
Dari tangan beliau disiplin ilmu klasikal generasi awal berhasil diregenerasikan. Ilmu ushul hadits. Gerakan yang bermula pada tahun 80-an itu mendapat respon tinggi di kancah nasional bahkan mancanegara. Sudah puluhan ribu thullab yang lulus di madrasah tersebut, dan sudah ratusan markaz lahir dari rahim para thullab-nya.
Disinilah saya berada, di markaz Darul Hadits, Ma’rib, salah satu markaz yang lahir dari rahim yang Serasam. Namanya sepadan dengan sebutannya. “Basis para pecinta Hadits”.
Saya pernah menyaksikan bagaimana keseruan para masyayikh berdiskusi perihal sanad untuk satu hadits saja. Hampir tiga kali majlis baru mendapat titik temu.
Jangan ditanya bagaimana mereka hafal rinci para rijal hadits beserta statusnya. Sumber primer kitab takhrij yang asing bagi kita, acap kali diucap. Untuk saat ini saya hanya bisa takjub dan berharap, suatu saat nanti saya pasti bisa seperti mereka.
Syaikhuna al-Habib Muhammad bin Sa’idan pernah berkisah. Dahulu, ketika syaikh Muqbil masih hidup. Para thalibul ilmi silih berganti, datang dan pergi. Seluruh waktu mereka untuk ilmu dan belajar. Setiap ujung tempat tidak didapati kecuali orang belajar dan membawa kitab. Berjalan ke masjid sambil mendengarkan shoutiyyah.
Waktu siang dan malam untuk mudzakarah, bahkan dikala makan mereka saja saling ber-muroja’ah. Memenda kebolehan hafalan masing-masing, kata beliau, tak jarang kita tidak tahu detail nama seluruh thullab, karena memang sangat jarang kita bersosialita bercengkrama, mengobrol kesana kemari. Seluruh waktu untuk belajar, tidak lebih. Datang untuk menimba ilmu dan pergi. Sungguh dikara.
Sepeninggal beliau, murid-muridnya mulai menyebar. Terpolarisasi menjadi beberapa kelompok. Ada yang terjun ke kancah politik dan juga yayasan sosial. Ada juga yang bertranformasi menjadi kekuatan militer.
Sebagian lain lebih memilih fokus dalam bidang “tadris”. merekalah barisan “salafi taqlidi”, salafi orisinil. Dibanding dengan tayyar yang lain, mereka terbilang sedikit. Namun dari sedikit itulah sanad keilmuan kami tersambung.
Syaikhuna al-mukaram Umar al-Ghorib bergurau. (الجود بالموجود) “Yah, istifadahlah dengan (masyayikh) yang masih tersisa, Insya Allah baik”.
Selain dari dalam negri, gaung gerakan salafiyyah Yaman terlampau Aksa ke ranah internasional. Betapa tidak, madrasah yang mulanya fokus pada pembelajaran ala salaf ini, kini mewarnai hapir seluruh aspek kehidupan dan sosial. Tak heran bila para murid-muridnya berdatangan dari manca negara.
Ibarat madrasah “De Ongekroonde van Java” yang melahirkan Pancaragam ideolog Indonesia. Salafi Yaman juga berperan penting dalam perubahan iklim demografi sosial di Yaman.
Menurut Loren Bhonvo, salafiyyah kini masuk kedalam 4 lini utama. Fraksi institusional, dengan Hani bin Buraik sebagai ikonnya. Fraksi Jihadi dibawah pimpinan Abul Abbas. Fraksi anti-organisasi, miliki syaikh Yahya Hajuri. Dan fraksi marjinal yang tidak memihak, pimpinan Abdul Wahhab al-Humaiqoni.
Disinilah saya pernah berada, di markaz salah seorang syaikh kibar Yaman, Abu Hasan Musthofa bin Ismail Sulaimani al-Ma’ribi. Tokoh yang kini berusia 63 tahun ini berbeda dengan tokoh salafi lain. Ayalnya, beliau mengusung manifesto perfusian ahlu sunnah secara umum. Berbagai perselisihan yang ada, dikesampingkan.
Dari gagasan generik ini acap kali beliau menjadi pelopor dan penengah persengketaan. Mulai dari mediasi antar fraksi salafi seperti usaha mempersatukan Hizb Rasyad dan Jum’iyyah Hikmah Yamaniah, ataupun lingkup eksternal seperti penyelesaian persengketaan antar kabilah di sekitar Ma’rib.
Bertolak dari pemikirannya yang terbuka, beliau pernah ditunjuk sebagai jurubicara resmi wajah salafi Yaman dalam menyikapi revolusi musim semi arab.
Syaikh Abu Hasan sendiri memiliki syi’ar yang selalu digaungkannya, yakni berpegang teguh dengan manhaj wasathiyyah wal i’tidal, dalam artian tidak ekstream kiri apalagi ekstream kanan. Beliau berharap agar para salafiyyun memiliki Anta infitah dan murunan kepada kelompok Islam yang lain.
Tanpa melepas prinsip-prinsip pokok manhaj salaf. Terbukti beliau mampu bekerjasama dengan pemerintah, juga berbagai fraksi salafi lain Laksana Jum’iyyah Hikmah Yamaniah ataupun kalangan Ikwan Muslimin Yaman, selain itu kedudukan beliau di hati para kabilah tetangga membuat status kenegarawanan asingnya menjadi lenyap.
Atas hal itu pula, beberapa kali beliau bersitegang dengan beberapa tokoh salafi taqlidi dan dituduh tamyi’, radikal, pengikut banyak aliran, memecah belah barisan salafi, penyelewengan dana sosial dan lain-lain. Banyak sekali dergama yang tak satupun terbukti secara jelas. Terakhir, beliau dituduh menggalang kerjasama militer dengan tokoh-tokoh yang dianggap radikal oleh sebagian orang, untuk mempersiapkan 6000 milisi radikal.
Padahal beliau hanya ingin menyatukan kekuatan kabilah-kabilah sekitar ditambah dengan pasukan pemerintah untuk mempertahankan benteng ahlu sunnah terakhir di wilayah Utara.
Beliau hanya tidak ingin adikara Syi’ah Houtsi melampau Ma’rib. Tidak ingin darul hadits-Ma’rib senasib dengan yang pernah terjadi pada 30 oktober 2013. Sebuah pengepungan dan pembantaian dengan senjata berat atas markaz darul hadits-Damaj yang menelan 200 korban jiwa dan 600 luka-luka.
Itulah beliau Syaikhuna Abu Hasan, salah satu ulama’ yang keilmuannya terjamin, telah lahir dari tangannya 30-an lebih karya tulis, seorang syaikh yang dihormati oleh seluruh thullab karena Keteladanan yang diberikan. Seorang tokoh yang dicintai para kabilah-kabilah Yaman sehingga berebut ziarah dan mencium keningnya.
Seorang pemimpin markaz yang rela mensedekahkan sebagian hasil panennya, mewakafkan sejumlah tanahnya dan menafkahkan sekian hartanya untuk thullabul ilmi. Beliaulah orangnya.
Seorang ayah bagi Anak-anaknya yang kini telah banyak berkiprah. Ada yang menjadi pimpinan markaz dan sibuk mengajar. Ada yang berdagang di negri seberang. Ada pula yang mengejar jenjang hingga dokotoral.
Disinilah saya berada, di markaz Darul Hadits, sesuai namanya, yang membedakan dengan tempat lain adalah kompetensi dasar masyayikh perihal dunia per-hadits-an. Tempat para cendekia yang hafal ribuan rijal hadits bertinggal. Terenyuh rasanya, dikala kita biasa berkutat pada “tankih adilah” tanpa memahami benar “takhrij adilah” kini mendengar hadits-hadits dipaparkan dengan cara pandang yang mendalam. Disinilah diskusi-diskusi itu hidup.
Bagi saya yang masih awwam, nyaman kiranya disalah satu waktu tatkala syaikh Abu Hasan berucap, “Hari Rabu antara dhuhur dan asar adalah waktu mustajab do’a”. Serasa asing, dan sering demikian. Sering mendengar hadits-hadits maqbul yang belum pernah didengar dan sering mendengar hadits-hadits mardud yang lazim didengar. Duh, sungguh jahilnya saya, Ya Allah.
Disinilah saya, di desa Fulaifilah, tepatnya di punggung lembah Ma’rib. lembah yang disebut oleh syaikhuna al-faqih Ahmad a-Ahdal sebagai lembah yang berubah menjadi gurun pasir. Karena Perubahan cuaca yang sangat ekstrem. Bila panas membuat batu melebur jadi pasir, pawana berhembus tak beraturan menerbangkan debu.
Bila dingin tak kepalang dinginnya, membekukan badan, kaki menjadi pecah pecah bahkan berdarah. Bila musim panen, lalat-lalat meraja lela, hinggap dan pergi seenaknya. Untuk masalah air, jangan ditanya, air minum, air mandi, air mencuci kadang ada, kadang tidak. Inilah Fulaifilah desa terpencil di tengah gurun.
Disinilah saya, di pemukiman Kulawangsa Rasyid Munif. Pemukiman yang dari pihak markaz sendiri menghimbau untuk tidak mengambil photo warganya. Dengan kondisi pedesaan yang masih asri dan terpencil inilah muncul kondusifitas belajar.
Suasana Sepi, jarang ada lalu lalang, Kiaupau yang masih polos, warung yang hanya ada satu. untuk ke perkumpulan manusia saja, perlu menyeberang luasnya padang pasir. Dan yang terpenting adalah kelangkaan sinyal. Rapat sudah akses ke dunia luar. Inilah kelebihan belajar di pedesaan. Kau mau cari apa, tidak ada apa-apa, yang ada hanyalah warisan Nabi yang tepermanai. Ilmu.
Disinilah saya, disebuah markaz yang bila ditanya dimana tempat terbaik belajar di Yaman, yang paling kompatible dengan kultur indonesia, markaz Ma’rib tempatnya. Karena entah kenapa, mayoritas para thullab indo seakan phobia mendengar kata “peraturan dan tekanan” mereka hanya ingin kebebasan atas dasar kesadaran.
Kesadaran yang sejak dulu ditunggu tunggu tapi tak kunjung bertemu apalagi bertamu. Akankah kesadaran itu harus dijemput dengan “tekanan” – wallahu a’lam-.
Darul Hadits menerapkan sistem klasikal salaf dalam belajar. Mulazamah, murid yang mendatangi syaikh untuk meminta dibacakan kitab. Masyayikh yang selalu tersedia di masjid.
Murid yang memilih apa, berapa, kapan, dan kepada siapa ia belajar. Tergantung kapasitas, 1-2 pelajaran perhari kiranya proporsional. Jangan khawatir tentang peraturan, saya kira Ma’rib tidak memiliki banyak peraturan yang mengekang.
Jangan pula berfikir kekurangan dana, bagi para bujang semuanya free, bagi para lelaki beristri tersedia jamiman bulanan gaji. Sandang, Papan, Pangan tersedia melimpah, cukup fokus belajar saja anda, tidak lebih.
“Hasba Raghbah”, suka-suka. Itulah kunci dari markaz ini. Kunci yang langsung saya tanyakan kebenarannya kepada juru kunci markaz, syaikh Abdullah bin Musthofa Sulaimani. “Kisanak, kita menggunakan metode klasikal yang bergantung kesadaran” ujar beliau ketika saya tanya “Kenapa”.
Beliau sadar keklasikan sistem ini kompatible dengan thullab generasi 80-an. Beliau sadar juga kemungkinan “kesadaran” ini mulai menipis. Tapi, “Ya sudahlah” sekali lagi kata beliau sambil menghela napas.
Fluktuatif. Ya, benar, Diakui atau tidak, hal ini juga dirasakan dan diamati oleh beberapa masyayikh. “fi ba’dhihim kasal”, banyak yang malas, ujar syaikh pakar bahasa kami Ali al-Husyaibri ketika saya tanya “Ahammu mulahadhat li thullab al-indunisi”.
Beliau menasehati, seharusnya harus ada musyrif haqiqi yang bisa memacu dan mengontrol jiwa kesemangatan agar tetap stabil. Yang bisa memberi tekanan bukan hanya himbauan. Ujar beliau sekali lagi.
Disinilah saya berada, di markaz yang mengajarkan kepedulian dan keterbukaan. Distrik “Manshuroh” sebuah pemukiman yang diwakafkan khusus bagi para pelajar yang berkeluarga, pula bagi puluhan pengungsi Yaman yang telah lama terusir dari kampung halaman karena ekspansi houtsi.
Tidak hanya tempat tinggal, melainkan seluruh kebutuhan pokok dan sejumlah uang juga disedikan tiap bulannya. Termasuk didalamnya para masyayikh yang turut terungsi. Hampir-hampir, tenaga pengajar disini didominasi oleh masyayikh yang berhijrah dari Yaman utara, daerah yang telah lama dikuasai Houtsi.
Selain itu, Darul Hadits-Ma’rib juga menampung para saudara seiman mereka dari negri sebrang. Kaum Rumiyyin, begitulah kita menyebutnya. Kaum seberang laut yang mencari harapan ke negri yang bahkan tidak lebih baik dari negri mereka perihal ekonomi. Kaum yang tersiar sekian bulan lalu dibakar hidup-hidup didalam kamp pengungsian. Kaum yang mendominasi jaringan pengemis seantro Yaman.
Tapi disini mereka aman, terjamin dan nyaman. Aman dari serangan rasisme sebagian warga lokal, terjamin makanan, minuman, pakaian dan pendidikan. Nyaman karena, sekali lagi, selain tempat tinggal pihak markaz juga mempekerjakan mereka untuk kebutuhan operasional. Seperti memasak, melayani tamu, menjaga maktabah, merawat kebun dan bahkan membersihkan toliet. Pundi-pundi finansial mulai mengalir ke kantong mereka.
Belum lagi dengan thullab Indonesia yang menjadi mayoritas penghuni markaz. sempurna sudah ukhuwah multi kebangsaan terjalin. Sungguh dikara para pemilik pemikiran terbuka. Memandang lawan laksana kawan dan menganggap sobat bak kerabat. Apatah arti perbedaan bila memang manisnya persatuan selalunya serasi.
Syaikhuna Said Uraidh, salah seorang tokoh perintis sunnah di Tarim berkata; “Demi Allah keberkahan laki-laki ini (Abu Hasan) telah kami rasakan, kalaulah bukan karena Allah Kalakian laki-laki ini, niscaya kami tidak mengenal apa itu bermuamalah dengan para rival.” Ujar beliau kepada saya sambil mengucurkan air mata. “Sudah 10 tahun lamanya saya berlajar disini, kalaulah bukan karena tugas dakwah di tarim, demi Allah hati ini berat berpisah dengan beliau” lanjutnya dengan tetap melelehkan air mata.
Begitulah sosok Abu Hasan dan markaznya menyentuh hati-hati masyarakat Yaman, dicintai oleh para tetua kabilah, dihormati oleh penguasa, disegani oleh lawan-lawannya. Enggan terjun ke politik praktis, namun tidak pula meninggalkan kegiatan tadris. Jatidiri seorang salafinya tidak menghalangi untuk bisa bekerjasama dengan ikhwani.
Beliau menghasung persatuan umat dengan tetap memelihara warnanya. Menimbang semua masalah melalui cakrawala yang luas dengan tanpa melupakan sumber autentik utama umat islam. Itulah beliau Abu Hasan Musthofa Sulaimani al-Ma’ribi.
Semoga Allah memberikan kesehatan selalu, memberkati setiap langkahnya, membimbing tiap-tiap tutur katanya, dan menerima segala amal dan jasa besarnya.
(Izzuddin Hadidullah, alumni Markaz Wadi Hadhramaut lita’hil, Seiyun)