Oleh: Syarifuddin Amrullah
Berkilah atau merekayasa hukum (hilah) dari asal bahasanya, tidak dilarang dan dibolehkan secara mutlak. Sebab, sebuah tujuan syar’i yang diperantarai dengan berbagai macam cara tidak boleh asal dikatakan boleh, tetapi dilihat dari cara yang dipakai, maka tujuan dari berbagai macam cara itu tidak harus secara mutlak dibenarkan atau disalahkan. Ada rambu-rambu di dalam memahami cara-cara tersebut, sehingga tidak terlalu mudah membolehkan secara mutlak.
Syari’at Islam telah menunjukkan kaedah umum antara hilah yang dibolehkan dengan hilah yang diharamkan. Pandangan ulama’ tentang fenomena hilah dibagi menjadi dua bentuk: bentuk pertama adalah hilah ghairu masyru’ah[1]; dan bentuk kedua adalah hilah syar’iyyah[2]. Inti perbedaan pendapat di dalam hîlah terletak pada dua sasaran utama. Sasaran pertama adalah pengikut Imam Hanafi dan sebagian pengikut Imam Syafi’i bahwa apabila seseorang yang memanfaatkan hîlah berkehendak untuk menggugurkan hukum secara terang-terangan, maka hal yang demikian itu adalah dilarang. Oleh karena itu, para pengikut Imam Syafi’i mempermudah penerimaan bentuk kedua ini. Oleh karena itu pula, mereka sepakat dengan para pengikut Imam Hanafi di dalam mengambil sasaran tersebut.
Sasaran kedua yang dicontohkan oleh mazhab lainnya ialah pendapatnya Imam Syafi’i. Beliau tidak memperbolehkan hîlah. Perubahan hukum yang mereka lakukan itu sebetulnya berasal dari pengikut Imam Hanafi yang kemudian dinisbahkan dan dimasukkan kepada mazhab Syafi’i.[3]
Sementara itu, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal serta para pengikut keduanya telah mengharamkan semua bentuk hîlah Hukum Islam – yakni hîlah bentuk kedua. Ibnu Taimiyyah menyatakan ada sebagian dari para sahabat juga berkata demikian seperti Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, dan sebagainya[4].
Dengan demikian kita dapat mempertimbangkan kedua pendapat tersebut, kita mengatakan bahwa kalangan yang mengharamkan hîlah hukum itu bersandar pada kenyataan bahwa penetapan Hukum Islam dibangun atas berbagai aspek kemaslahatan yang dikehendaki. Hukum Islam wajib melakukan tindakan preventif terhadap berbagai sarana yang dapat merusak aspek kemaslahatan tersebut.
Terlepas dari perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama’, Allah telah mengatur manusia melalui lisan RasulNya dengan syari’at sebagaimana tertuang dalam agama Islam ini. Ironisnya, banyak juga dijumpai di antara kaum Muslimin yang mengabaikan hal tersebut. Bahkan lebih tragis lagi, ada di antaranya yang sengaja mencari celah-celah untuk merekayasa, membuat-buat trik atau tipu daya hal-hal yang telah jelas haram dengan upaya menyamarkan keadaan, sehingga akan nampak menjadi halal atau boleh. Itulah krisis faktual kaum Muslimin.
Maka, pentingnya untuk menghadapi problem tersebut penulis ingin menyajikan tema tentang hilah (berkilah, mencari celah); bagaimana para ulama’ menyikapinya, apakah boleh atau tidak, jika boleh bagaimana para ulama’ memberikan rambu-rambu dalam implementasinya.
YUK IKUT BERAMAL JARIYAH; SUKSESKAN PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY ANNUR
Hilah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Hilah jika ditinjau secara hukum syar’i akan terbagi menjadi lima hukum taklifi, dan kemudian dikhususkan, dengan ditinjau dari maksudnya, terbagi menjadi dua: Hilah yang dilarang syar’i (membolehkan yang dilarang syar’i atau menggugurkan kewajiban atau membatalkan hak) dan hilah dibolehkan syar’i (bertujuan sebaliknya). Di dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah ﷺ pun para ulama’memberikan dalil kehujjahan pendapat mereka masing-masing.
Dalil ulama’ yang membolehkan dalam Al-Qur’an.
Allah ﷻ berfirman,
إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الِّرجَالِ وَ النِّسَآءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَ لَا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلاً
“Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” [5]
Mujahid, As-Sa’diy dan Ikrimah mengatakan yang dimaksudkan hilah di dalam ayat ini adalah cara, jalan keluar[6], atau celah. Dan secara umum para mufassir dalam ayat ini memaknai kata hilah dengan mencari celah.
مَنْ كَفَرَ بِاللهِ مِنْ بَعْدِ إِيْمَانِهِ إِلّاَ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيْمَانِ
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).”[7]
Berkilah dengan mengucapkan kalimat kekufuran dalam keadaan dipaksa dibolehkan, karena bertujuan untuk melindungi dirinya.[8]
Dalil dari As-Sunnah,
Hadits yang dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudzri,
أنّ رسول الله استعمل رجلاً على خيبر, فجاء بتمرٍ جَنِيبْ, فقال رسول الله: أكلّ تمر خيبر هكذا؟. قال: لا يارسول الله, إنّا لنأخذ الصاع من هذا بالصاعين و الصاعين باالثلاثة. فقال الرسول: لا تفعل, ولكن بع الجمع بالدراهم, ثم ابتع بالدراهم جنيباً.
“Bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengutus salah seorang sahabatnya ke Khaibar, dia datang kepada Rasul dengan membawa janib (kurma yang dipetik dari tangkai paling atas), Rasulullah menanyainya, “Kamu jual kurma itu dengan kurma ini?”, dia berkata, “Tidak, wahai Rasulullah. Namun sesungguhnya kami menukarnya satu sha’ Janib dengan dua sha’ yang itu.” Maka, Rasulullah bersabda, “Jangan seperti itu, tetapi jadikan keduanya menjadi dirham, lalu tukarkanlah.”[9]
An-Nawawi berkata, “Hadits ini dijadikan dalil kesepakatan ulama’ kami bahwa perkara ‘Ainah (penjualan secara kredit dengan tambahan harga) tidaklah haram, padahal itu kebiasaan sebagian manusia yang bertujuan kepada riba.”[10]
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَخْطُبُ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ “يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى: فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ هَاجَرَ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Ibnu Al-Munir berkata, “Imam Bukhari memasukkan hadis ini sebagai landasan dibolehkannya hilah, dengan mengecualikan pada bab bai’atus sughra”[11], karena hadits ini memberikan penjelasan bahwa semua perbuatan syar’i tidak bisa dikatakan berhak mendapat hukuman atau balasan kecuali dengan niat, karena perbuatan seseorang adalah niatnya, tujuannya.[12]
Dalil ulama’ yang tidak membolehkan dalam Al-Qur’an.
Allah ﷻ berfirman,
وَسْئَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيِةِ الَّتِيْ كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُوْنَ فِيْ السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيْهِمْ حِيْتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لَا يَسْبِتُوْنَ لَا تَأْتِيْهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوْهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُونَ
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”[13]
Para mufassir menyebutkan bahwa ayat diatas adalah laknat dan kemurkaan Allah ﷻ tatkala orang-orang Yahudi dilarang berburu pada hari Sabtu. Pada hari itu banyak didapatkan ikan, yang tidak didapatkan di hari lainnya. Kemudian, untuk melakukan rekayasa, mereka pun menempatkan perangkap (jaring)[14] pada hari Jum’at dan mengambil hasilnya pada hari Ahad. Perbuatan ini merupakan tipudaya mereka, yaitu dengan mengabaikan perintahNya. Maka Allah melaknat mereka menjadi kera dan babi.[15]
Dari As-Sunnah.
Hadis Umar bin Khothob radhiyallahu ‘anhu,
إنما الأعمال بالنيات و إنما لكلّ امرئٍ ما نوى, فمن كانت هجرته إلى الله و رسوله فهجرته إلى الله و رسوله, ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأةٍ أن ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه[16
Ibnu Hajar berkata, “Barang siapa niatnya bertujuan untuk mengharamkan yang Allah halalkan atau sebaliknya maka itu adalah dosa.”[17]
Amalan itu tergantung niatnya, dan seseorang tidak dilihat dari dhahir perbuatannya, dan bukan dari yang ia perlihatkan tetapi dari apa yang disembunyikan dan diniatkan. Maka, berkilah yang bathil adalah suatu kerusakan tujuan dan niat seseorang.[18]
Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda,
لا ترتكبوا ما ارتكب اليهود, فتستحلّوا محارم الله بأدنى الحيل
“Janganlah kalian meniru dosa orang Yahudi, mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dengan seburuk-buruk tipu daya.”[19]
Hadis ini menjelaskan keharaman hilah yang bertujuan untuk menghalalkan yang Allah haramkan, seperti perilaku ahlus sabt dari kaum Yahudi. Maka berkilah dengan tujuan yang haram adalah keharaman.[20]
Tarjih dan sebab ikhtilaf.
Kedua madzhab telah dipaparkan argumentasi dan pendapat mereka. Namun, didapati kerancuan diantaranya[21]:
- Ulama’ yang tidak membolehkan hilah (secara syar’i) malah mengatakan sepakat bahwa hilah itu boleh saat mengomentari hadits Abu Hurairah tentang Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memberi keputusan antara dua wanita. “Ada dua orang wanita masing-masing dengan anaknya. Datanglah seekor serigala dan mencuri anak salah seorang dari keduanya, berkata kepada yang lain, ‘Serigala itu mencari anakmu.’ Yang lain menjawab, ‘Anakmulah yang dicuri’ keduanya mengadukan hal itu kepada Dawud, maka Dawud memutuskan anak itu milik wanita yang lebih tua. Keduanya pergi kepada Sulaiman dan menyampaikan hal itu. Sulaiman berkata, ‘Ambillah pisau. Aku akan membelahnya untuk mereka berdua.’Wanita muda berkata, ‘Jangan, semoga Allah merahmatimu. Anak ini adalah anaknya.’ Maka Sulaiman memutuskan anak ini adalah anak si wanita muda.[22]”
An-Nawawi berkata, “Sulaiman menggunakan cara berpura-pura dan sedikit tipu daya untuk mengetahui perkara yang sebenarnya. Dia menunjukkan kepada keduanya seolah-olah dia ingin membelah anak itu untuk mengetahui siapa yang bersedih jika anak itu dibelah, maka dialah ibu yang sebenarnya. Sulaiman tidak ingin benar-benar ingin membelah, dia ingin menguji kasih sayang mereka berdua untuk membedakan mana yang ibu sebenarnya.[23]”
- Ulama’ yang membolehkan hilah malah sepakat bahwa hilah itu tidak boleh saat mereka mengomentari tentang hilah yang dilakukan oleh ahlu sabt dari kaum Yahudi.
Ringkasnya, dalil para ulama’ tidak bertemu dalam satu tempat, padahal para ulama’ telah bersepakat bahwa hukum hilah ada yang dibolehkan syar’i dan ada yang dilarang syar’i. Dr ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin At-Turki berkata, “Mayoritas dalil antara ulama’ yang membolehkan dan melarang tidak bertemu dalam satu tempat (tidak nyambung).”[24]
Imam Asy-Syatibi berkata, “Hanafiyah pun berpendapat bahwa setiap tujuan yang berakibat sampai kepada menggugurkan hukum jelas dilarang, maka ber-hilah atas suatu hukum syar’i adalah batal secara pasti karena dilihat dari akibatnya.”[25] Dan para ulama’ telah bersepakat dalam menghukumi hilah, yang bertujuan kepada yang haram itulah yang diharamkan dan kepada yang dibolehkan itulah yang dibolehkan.
Jika demikian, maka yang menjadi titik perselisihan bukan terletak di hukum asal hilah, namun di antara pihak yang membolehkan dan melarang. Imam Asy-Syatibi berkata, “Hilah atas suatu hukum syar’i adalah batal secara pasti karena dilihat dari akibatnya.[26]”
Maka Imam Syatibi membagi hilah atas perselisihan para ulama’ menjadi 3;
- Mutlak larangannya, seperti hilah yang dilakukan orang-orang munafik; hal ini tidak diragukan lagi bahwa amalnya dianggap batal dan ilegal.
- Yang memang boleh, seperti mengatakan kalimat kufur karena terpaksa; Namun demikian, disini Asy-Syatibi mengecualikan dari ketentuan ini kasus orang-orang yang menyatakan Islam demi menyelamatkan hidupnya karena bertujuan mencapai al-maslahah ad-dunyawiyah.
- Hal-hal yang diperselisihkan dan tidak jelas (validitas dan invaliditas hukum tidak bisa ditentukan sejalan dengan kedua tipe diatas): karena tidak diperjelas dengan dalil qath’iy dan jelas seperti nomor satu dan dua, tidak jelas maksud syar’inya, atau karena perbedaan tinjauan maslahatnya”
Contoh : Nikah Al-Muhallil[27]. Yaitu nikah yang dilakukan seorang suami terhadap mantan istrinya yang telah ia talak tiga setelah istrinya terlebih dahulu dinikahi orang lain. Hal ini dibolehkan secara syar’i selama tidak ada unsur akal-akalan di dalamnya. Namun hukum menjadi terlarang apabila suami tersebut melakukan hilah hukum yakni dengan membayar seorang laki-laki lain untuk menikahi mantan istrinya agar ia dapat kembali lagi memiliki mantan istrinya tersebut.[28]
Terkait dengan hal ini, Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Iqamatu ad-Dalil ‘ala Buthlan at-Tahlil” beliau menjelaskan panjang lebar mengenai batalnya pernikahan tersebut. Sebab, dengan model perkawinan tersebut terbesit kelicikan suami yang menghilangkan tujuan syari’at. Hal yang serupa masalah ini juga dibahas tuntas oleh muridnya, Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin.
Pengertian Hilah menurut Ulama’ Ushuliyun
Etimologi
Secara bahasa hilah (حِيْلَةٌ) merupakan pecahan dari kata haulun (حَوْلٌ), wawu mati menjadi huruf ya’ karena huruf sebelumnya berharokat kasrah, yang bermakna bergerak dan berputar[29]. Dari makna bahasa inilah hilah mempunyai beberapa makna yang berbeda:
- Ad-dauraan (الدَّوْرَان), yang bermakna telah berjalan satu haul[30].
- At-Tanaqqul wa Al-Harakah (التَّنَقُّلُ وَ الْحَرَكَةُ), yang bermakna berpindah dan bergerak
- At-Tahawul min haalatin ila haaltin (التَّحَوُّلُ مِنْ حاَلَةٍ إِلَى حَالَةٍ) berarti ; pindah dari satu kondisi ke kondisi yang lain[31].
- Ad-Dahaa’ (الدَّهَاء) berarti tipu muslihat[32].
- Al- Fashlu wa at-Tafriq (الْفَصْلُ وَ التَّفْرِيْق) seperti yang tercantum di dalam surat Saba’ ayat 54 yang berarti dipisahkan diri mereka dan dihalang-halangi[33].
Makna secara bahasa ini menurut kebanyakan orang akan dipahami secara sempit bahwa al-hiilah bersifat penipuan. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Kebanyakan manusia wajar dalam memahami lafadz ini (al-hiilah) sebagai tujuan yang tidak dibolehkan secara syar’i, akal, maupun kebiasaan.[34]”
Allah ﷻ Berfirman,
لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَلَا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلاً
“Yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui[35].”
Bermakna suatu sebab yang membuat mereka tidak mampu melepaskan diri dari kaum Musyrikin.[36]
Terminologi
Para ulama’ ushul mengistilahkan hilah menurut syar’i dengan dua makna; makna yang berarti umum dan khusus, adapula sebagian ulama’ menggabungkan dua makna tersebut;
Makna umum.
Imam Al-Qhurtubi pemilik kitab tafsir al-Jami’ li ahkamil Qur’an, berkata,
الحِيْلَةُ لفظ عامٌّ لأنواع التّخلص
”Hilah adalah lafadz umum dari segala jenis bentuk berlepas diri (merekayasa)[37]”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Lafadz ini adalah istilah umum bila diarahkan menurut pemahaman ulama’ fiqih yang mengandung arti tipu daya atau segala cara yang mengantarkan kepada tujuan dengan cara yang tersembunyi (lembut), dan jika itu bermaksud baik (sesuai syar’i) maka baik dan jika tidak baik (tidak sesuai syar’i) maka itu adalah kejelekan.[38]”
Ibnu Hajar berkata,
الحيلةُ ما يُتَوَصَّل به إلى مقصودٍ بطريقٍ خفيٍّ
“Al-Hilah adalah segala cara yang mengantarkan kepada tujuan dengan cara yang samar (tersembunyi atau lembut).”[39]
Makna khusus.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hilah ditujukan untuk menggugurkan yang wajib atau menghalalkan yang haram dengan cara yang bukan syar’i, yaitu ia ingin merekayasa hukum Allah yang dibolehkan secara jelas menjadi hukum yang diharamkan Allah, yang seolah-olah tidak berpaling dari hukumNya.[40]”
Syaikh Ibnu ‘Asyur berkata berkenaan dengan makna khusus hilah,
إبراز عمل ممنوع شرعاً في صورةٍ عملٍ جائزٌ شرعاً , أو إبراز عمل غير معتدٍ به شرعاً في صورة عمل معتد به لقصد التَّفَصِّي من مؤاخذته
“..adalah menampakkan perbuatan yang haram sesuai syar’i seakan-akan menjadi perbuatan yang dibolehkan sesuai syar’i, atau menampakkan perkara yang yakin secara syar’i tidak boleh (ibadah dan mu’amalah) menjadi sah-sah saja oleh syar’i dengan tujuan berkilah (berekayasa) dari hukum asalnya.[41]”
Keterkaitan antara makna bahasa dan istilah.
Hal yang tidak tampak (samar-samar)
Maksud yang tersembunyi adalah bagian dari hilah. Ar-Raghib Al-Ashfahani berkata,
الحيلة ما يتوصل به إلى حالة ما فيه خفية
“Hilah adalah memperantarakan kepada suatu kondisi yang tersembunyi (samar-samar).[42]”
Keumuman makna bahasa dan kekhususan dua makna isthilah
Asal dari makna bahasa adalah kecakapan seseorang dalam melihat meneliti dan bertingkah laku. Kemudian dikhususkan dengan makna secara istilah yaitu teliti di dalam mencari celah untuk merekayasa hukum aslinya.[43]
Pandangan Ulama’ Hanafiyah Tentang Hilah[44]
Para ulama’ banyak yang menisbatkan bahwa hilah syar’iyyah adalah fikihnya Imam Abu Hanifah. Hilah juga merupakan pembahasan fikih yang sangat luas dalam mazhab beliau. Maka para ulama’ menganggap bahwa ushul mazhab Hanafiyah adalah dalam bab al-hiyal, dan memberi nama dengan istilah “المخارج من المضايق”.
Berkaitan dengan hal ini Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah berkata, “Segala cara yang memperantarai tujuan adalah hilah.” Maka makan, minum, bepergian, mengenakan baju merupakan hilah (celah, perantara) dari tujuan perbuatan tersebut, begitu juga dengan segala bentuk akad syar’i merupakan hilah dari tujuan akad tersebut.
Secara umum hilah adalah celah yang bersifat samar-samar, maka tidak bisa dikatakan secara pasti mana yang benar dan mana yang salah, namun mengikuti kepada celah atau cara, perbuatan yang dipakai; maka jika cara atau perbuatan yang dipakai sampai menghalalkan segala yang telah Allah ﷻ haramkan, menggugurkan kewajiban dengan jelas, atau segala hilah yang mengandung sesuatu untuk menjatuhkan hak Allah ﷻ atau hak hambaNya maka semua itu adalah hilah yang tercela menurut syar’i (ghoiru masyru’ah). Dan ini sepakat para ulama’ menghukumi tidak boleh.
Kaidah Al-Makharij mina Al-Madhoyiq
Hilah menurut fuqaha’ Hanafiyah adalah “المخارج من المضايق بوجه شرعي”, yaitu segala upaya untuk keluar dari kesempitan (mencari celah) dengan cara yang syar’i. Hanafiyah menambahkan jika cara (wasilah) dan tujuan dari perbuatan itu adalah syar’i maka itu tetap dibolehkan. Berbeda dengan jumhur fuqaha’ lainnya seperti Malikiyah dan Hanabilah, mereka tidak selonggar Hanafiyah dalam hilah karena mereka menggunakan saddu ad-dzaraa i’ (سد الذرائع); akar untuk menolak segala macam hilah. Dalam hal ini Hanafiyah berlandaskan ayat, [45]وَخُذْ بِيَدِكَ ضِغْثًا فَاضْرِبْ بِهِ وَلا تَحْنَثْ
Diceritakan bahwa Nabi Ayub ‘alaihissalam bersumpah memukul istrinya dengan seratus pukulan, hilah-nya adalah Nabi Ayub mengumpulkan lidi sebanyak seratus batang kemudian dipukul dengan sekali pukulan.
Hadits yang dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri,
أنّ رسول الله استعمل رجلاً على خيبر, فجاء بتمرٍ جَنِيبْ, فقال رسول الله: أكلّ تمر خيبر هكذا؟. قال: لا يارسول الله, إنّا لنأخذ الصاع من هذا بالصاعين و الصاعين باالثلاثة فقال الرسول: لا تفعل, ولكن بع الجمع بالدراهم, ثم ابتع بالدراهم جنيباً.
“Bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengutus salah seorang sahabatnya ke Khaibar, dia datang kepada Rasul dengan membawa janib (kurma yang dipetik dari tangkai paling atas), Rasulullah menanyainya, “Kamu jual kurma itu dengan kurma ini?”, dia berkata, “Tidak, wahai Rasulullah. Namun sesungguhnya kami menukarnya satu sha’ Janib dengan dua sha’ yang itu.” Maka, Rasulullah bersabda, “Jangan seperti itu, tetapi jadikan keduanya menjadi dirham, lalu tukarkanlah.”[46]
Perkara hilah yang paling sering dinisbatkan kepada Abu Hanifah adalah perkara-perkara sumpah secara umum dan secara khusus dalam talak. Aslinya, perkara itu tidak sampai kepada menggugurkan hak, namun itu adalah buah dari diskusi masalah fikih untuk keluar dari situasi sempit dan sulit.
Seperti suami yang telah bersumpah untuk berhubungan dengan istri di siang hari bulan Ramadhan, maka agar tidak terkena kewajiban kafarah terlebih dahulu ia membatalkan puasanya di hari itu dengan melakukan safar yang panjang. Atau suami yang bersumpah kepada istrinya yang sedang menaiki tangga kemudian berkata kepada istrinya, “Jika turun aku talak kamu ketiga, sama jika kamu naik juga aku talak tiga.” Maka Abu Hanifah berpendapat dengan hilah istri tidak naik dan juga tidak turun, namun tangga itu ditaruh di tanah dengan bantuan beberapa orang lalu baru istri turun melalui tengah tangga tersebut.
Hal yang serupa juga dikatakan oleh Ahmad Amin bahwa hilah dalam mazhab Hanafi bukan termasuk macam hilah ghairu masyru’ah, namun sama dengan pernyataan diatas[47]. Kesimpulannya, mazhab Hanafiyah pun membolehkan hilah di saat situasi dan kondisi itu benar-benar sempit dan sulit (darurat).
Hilah Menurut Ushuliyyin (boleh dan tidaknya)
Pembagian hilah ditinjau dari hukum taklifi
Hilah dibagi berdasarkan hukum taklifi lebih dekat kepada makna bahasa, makna yang lebih umum, dibagi menjadi lima dasar hukum syar’i[48]. Dari lima itu akan kembali kepada dua; yang dibolehkan dan dilarang syar’i.
Hilah yang dibolehkan syar’i.
Adalah rekayasa yang dibolehkan syar’i yang bertujuan untuk menggapai suatu kewajiban atau meninggalkan suatu keharaman, atau mewujudkan yang haq dan menolak kedhaliman. Itu juga tidak berlawanan dengan maqashidus syari’ah. Maka hilah yang boleh menurut syar’i yaitu berbuat dengan perantara syar’i untuk tujuan yang syar’i; hukumnya bisa menjadi wajib, sunnah atau mubah.[49]
Imam As-Syatibi memberikan rambu-rambu bahwa hilah ini tidak bertentangan dengan maslahat secara syar’i.[50]
Contoh dari macam hilah ini adalah firman Allah ﷻ,
من كَفَرَ بِاللهِ مِنْ بَعْدَ إِيْما نُه إِلَّا مَن أُكْرِهَ وَ قَلْبهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمْانِ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)”[51]
Maka, ber-hilah dengan mengucapkan kalimat kekufuran dalam keadaan dipaksa, maka itu adalah tindakan untuk melindungi dirinya.[52]
Hilah yang dilarang syar’i
Seseorang merekayasa dengan tujuan menghalalkan yang dilarang syar’i atau menggugurkan kewajiban atau membatalkan hak syar’i dengan cara apapun. Ringkasnya adalah berkilah dengan perantara perbuatan syar’i dengan tujuan yang tidak dibolehkan, dimakruhkan atau diharamkan menurut syar’i.[53]
Imam Syatibi memberikan keterangan bahwa hilah ini adalah yang bertentangan dengan maslahat dan maqashid secara syar’i.[54]
Contoh hilah seorang penjual yang ingin berlepas diri dari aib barang dagangan yang ia jual, lalu ia tidak peduli kalau pembeli tidak mendapatkan hak khiyar aibnya, yaitu dengan cara si penjual mewakilkan kepada orang asing, dijuallah barang tersebut, setelah si pembeli menerima barang dan uang diserah terimakan kepada penjual, saat itulah si pembeli tidak dapat mengembalikan barang dagangan tersebut, jika terdapati cacat.
Pembagian hilah ditinjau dari perantara dan maksudnya.
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah membagi hilah menjadi empat[55]. Beliau berkata, “Hilah yang diharamkan ada tiga macam:
- Hilah dengan perbuatan haram dan dengan tujuan yang haram. Seperti hilah-nya seorang yang mencuri (lebih dari nishab) dengan tujuan terbebas tuntutan pergi berjihad atau mencari nafkah.
- Hilah dengan perbuatan yang aslinya mubah dengan tujuan yang haram, maka menjadi haram. Seperti safar untuk tujuan merampok atau membunuh orang yang dilindungi darahnya.
- Hilah yang aslinya bentuk dan tujuan perbuatannya dibolehkan syar’i, namun cara yang ditempuh dengan cara yang tidak dibolehkan.
Seperti Nikah Al-Muhallil. Yaitu nikah yang dilakukan seorang suami terhadap mantan istrinya yang telah ia talak tiga setelah istrinya terlebih dahulu dinikahi orang lain. Hal ini dibolehkan secara syar’i selama tidak ada unsur akal-akalan di dalamnya. Namun hukum menjadi terlarang apabila suami tersebut melakukan hilah hukum yakni dengan membayar seorang laki-laki lain untuk menikahi mantan istrinya agar ia dapat kembali lagi memiliki mantan istrinya tersebut.[56]Kemudian Ibnul Qoyyim menambahkan yang keempat yang dibolehkan;
- Hilah yang bertujuan untuk mewujudkan yang haq dan menolak kedhaliman atau kebatilan; terbagi menjadi tiga bagian:
- Cara yang dipakai tidak dibolehkan syar’i tetapi bertujuan kepada yang haq. Seperti: seorang suami yang menyembunyikan talaknya kepada dua saksi yang dihadirkan oleh istri, jadi istri tidak bisa menghadirkan bukti talak kepadanya karena dua saksi tersebut tidak mendengar talak karena disembunyikan suami.
- Caranya syar’i dan bertujuan untuk mendatangkan sesuatu yang syar’i. Seperti dalam persewaan, perwakilan, mudharabah atau muzara’ah (bagi untung).
- Berkilah dengan tujuan yang dibenarkan syar’i, menolak kezaliman dengan cara yang samar dan tersembunyi. Berbeda dengan sebelumnya yang caranya tampak jelas. Contoh: seorang istri takut akan suaminya menikah lagi, maka si istri berkilah pada saat akad pertama sebelum menikah dengan syarat jika suami ingin menikah lagi harus dengan meminta izin istri.[57]
Hilah ditinjau dari maqashid (tujuan syar’i).
Pembagian Syaikh Muhammad Thahir bin ‘Asyur, terbagi menjadi lima macam:
- Berkilah yang sama sekali tidak ada tujuan syar’i. Macam ini jelas dilarang karena justru menghalangi (mani’) dari tercapainya tujuan syar’i. Hilah seseorang bertujuan untuk menggugurkan kewajiban zakat hartanya yang akan mencapai satu tahun (masa haul), dengan menukarkannya, atau dengan menjualnya, kemudian uangnya dibelikan barang lain jenis atau yang lain
- Berkilah menghindari satu tujuan syar’i kepada tujuan yang lainnya. Boleh dilakukan karena seseorang memilih tujuan syar’i yang lebih ringan bagi dirinya. Contoh: seseorang yang lebih memilih berhaji dengan hartanya pada tahun ini, padahal harta yang ia miliki sudah mencapai nishab dan haul pada bulan Dzulhijjah di tahun ini juga.
- Menghilangkan tujuan syar’i dengan cara syar’i pula. Seperti menyengaja memakai sepatu agar tidak membasuh kedua kaki saat wudhu, atau menyengaja safar untuk membatalkan puasa di Bulan Ramadhan. Ini adalah bentuk rukhsah yang hampir menghilangkan hukum asli.
- Berbuat hilah untuk tetap mendapatkan tujuan syar’i yang telah ia tetapkan sebelumnya. Contoh: seseorang sudah berjanji tidak akan masuk ke tempat ini. Janjinya adalah merupakan kebenaran dan dianjurkan syar’i jika ia mampu menetapinya. Namun, ia keberatan akan sumpahnya, maka ia berkilah untuk tetap mendapatkan maksud tersebut tanpa harus melanggar janjinya yaitu dengan mengerjakan perbuatan yang mirip seperti janjinya.
- Ia tetap bertujuan syar’i namun karena hilah-nya dapat menjatuhkan hak orang lain atau menimbulkan kerusakan yang lain, maka menjadi dilarang. Contoh: seorang penggembala yang berada di tempat gembalaannya meminumi hewannya dengan air dari sumur yang bukan miliknya.[58]
Hubungan Hilah dengan Maqashid As-Syar’iyyah
Para ulama’ bersepakat hilah dibolehkan dan tidak dibolehkannya syar’i adalah dengan kembali kepada lafal itu sendiri, “syar’i”. Lafal tersebut mengikat dengan tujuan bahwa semua perbuatan hamba tidak melampaui batas yang telah ditetapkan oleh syar’i. Maka, secara mutlak hilah dibolehkan jika tujuan dan celah perbuatan tersebut adalah sesuai syar’i.
Hilah berkaitan sangat kuat dengan maqashid as-syar’iyyah karena pendapat para ulama’ yang meninjau hilah berdasarkan perantara (wasilah) pun dalam membolehkan dan tidaknya hilah harus ditinjau dari tujuannya. Jika, tujuan itu dilarang syar’i pasti tidak dibolehkan dan jika tujuan itu syar’i maka dibolehkan, maka yang menjadi perbincangan mereka adalah hanya di dalam cara tersebut syar’i atau tidak.
Semua hukum yang Allah ﷻ syari’atkan mengandung kemaslahatan bagi para hambaNya. Maka, jika suatu tujuan dan cara yang digunakan seorang hamba dalam mengerjakan hukum-hukumNya sesuai dengan syari’at itu tidak masalah. Jika demikian, hilah yang jelas batal dan dilarang syar’i adalah jika bertentangan dengan tujuan dan maslahat secara syar’i. Imam As-Syatibi berkata dalam kitabnya,
فإن فرضنا أن الحيلة لا تهدم أصلا شرعيا, ولا تناقض مصلحة شهد الشرع باعتبارها, فغير داخلة في النهي ولا هي باطلة.
“Hilah ditetapkan tidak bertentangan dengan dalil syar’i dan maslahat syar’i, maka tidak bisa masuk dalam hal-hal yang dilarang syar’i dan membatalkan hukum syar’i.”[59]
Dhwabit Hilah (Rambu-rambu dalam berkilah)
Di awal telah penulis paparkan bahwa hilah menurut para ‘ulama terbagi antara hilah syar’iyyah dan ghairu syar’iyyah. Para ulama’ meletakkan beberapa rambu-rambu dalam hilah syar’iyyah untuk membedakan dan menjauhkannya dari hilah yang diharamkan.
Tidak bertentangan dengan dalil syar’i.[60]
Maksudnya adalah hilah tidak berseberangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, ataupun Ijma’. Atau dengan kata lain hilah tidak menggugurkan yang wajib atau membolehkan yang haram, hal ini selaras dengan perkataan Imam Asy-Syatibi;
فإن فرضنا أن الحيلة لا تهدم أصلا شرعيا و لا تناقض مصلحة شرعية, فغير داخلة في النهي ولا هي باطلة
“Hilah ditetapkan tidak bertentangan dengan dalil syar’i dan maslahat syar’i, maka tidak bisa masuk dalam hal-hal yang dilarang syar’i dan membatalkan hukum syar’i.”[61]
Allah ﷻ berfirman;
وأن احكم بينهم بما أنزل الله و لا تتبع أهواءهم واحذرهم أن يفتنوك عن بعض ما أنزل الله إليك[62]
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله ورسوله إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر[63]
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Tidak bertentangan dengan tujuan syar’i.[64]
Allah ﷻ mensyari’atkan suatu hukum pasti di dalamnya ada tujuan dan maksud yang jelas[65] dalam prakteknya. Maka, seorang hamba dituntut untuk menyesuaikan tujuan perbuatannya dengan tujuan syar’i, bukan berbuat tanpa adanya tujuan syar’i yang jelas.
Imam Syatibi berkata, “Tujuan seorang hamba dalam perbuatannya harus sesuai dengan tujuan syar’i…”, karena jika tujuan itu berlawanan dengan syar’i bahkan berakibat kepada menggugurkan hukum tersebut maka perbuatan itu tidak sah, batal.[66]
Contoh : mengambil bunga dari hutang piutang, hilah-nya adalah dengan cara si debitor menjual barangnya kepada kreditor (berpiutang) dengan harga yang kurang dari semestinya, atau debitor membeli barang dari kreditor dengan harga yang lebih dari biasanya ataupun dengan cara memberi hadiah kepada kreditor yang senilai dengan jumlah balas jasa tersebut.[67]
Tidak menggugurkan hak orang lain.
Perbuatan hilah tidak menggugurkan hak orang lain. Seperti nafkah bagi istri, warisan bagi ahlu waris, atau segala transaksi barang yang telah sah milik pembeli..”[68]
Rambu yang ketiga ini berkaitan dengan rambu yang pertama; karena hak-hak itu tercantum dalam nash secara langsung. Contoh nafkah bagi istri, maka jika ber-hilah disertai menggugurkan hak tersebut itu berselisih dengan nash syar’i.
Contoh: Hadis Rasul ﷺ,
((ولا يحل له أن يفارقه خشية أن يستقيله))
“Tidak boleh seorang berpisah karena takut dia (pemilik akad) membatalkannya”
Larangan Nabi ﷺ berpisah antara pemilik akad dengan objek akad karena dapat menjatuhkan hak pemilik akad jika ia ingin membatalkan akad tersebut.
Atau seorang penjual menjual dengan berlepas diri dari aib barang dagangan yang ia jual, lalu ia tidak peduli kalau pembeli tidak mendapatkan hak khiyar aibnya, yaitu dengan cara si penjual mewakilkan kepada orang asing, dijual lah barang tersebut, setelah si pemebeli menerima barang dan uang diserahterimakan kepada penjual, saat itulah si pembeli tidak dapat mengembalikan barang dagangan tersebut, jika terdapati cacat.[69]
Tidak memberi dampak bahaya kepada orang lain.
Berdasarkan keumuman dalil yang mengharamkan kedholiman apapun dan membahayakan orang lain. (لا ضرار و لا ضرار), salah satu contoh hilah yang membahayakan: Jual beli Najasy : menawar dengan maksud agar orang lain menawar dengan harga yang lebih tinggi, dan diharamkan karena ada pembohongan suatu harga barang kepada pembeli.[70]
Perbuatan hilah mempunyai dampak maslahat yang jelas.
Wajib setiap perbuatan hilah bertujuan kepada maslahat yang jelas[71], baik berupa upaya untuk menghasilkan, menciptakan maslahat atau menjaga maslahat yang sudah ada dengan mencegah kerusakan (mafsadah) yang menghalanginya.
Contoh satu: seorang yang sakit parah berniat baik untuk mewasiatkan seluruh hartanya dan ia tidak mempunyai ahlu waris satupun, ia takut ada sebagian pihak yang mengincar hartanya. Kemudian dia berkilah dengan mengaku (kepada seseorang yang baik agamanya dan amanahnya) bahwa ia berhutang kepadanya agar hartanya terjaga di pihak yang tepat, kemudian ia berwasiat kepada orang tadi untuk mengambil piutangnya untuk didermakan ke arah yang benar[72]. Ini adalah contoh khilah yang dibolehkan karena untuk suatu maslahat syar’i yang jelas.
Contoh dua: Khilahnya Khidr ‘alaihissalam saat melubangi perahu milik seorang miskin yang ia tumpangi, untuk menjaga agar tidak dirampas, maka khilah ini adalah upaya untuk menjaga dari bahaya dan kerusakan, menuju kepada maslahat yang jelas.
Cara Yang Dipakai Berkilah Aslinya Adalah Cara Yang Syar’i
Rambu ini untuk menekankan kembali, karena di awal sudah disinggung dalam pengertian hilah jika yang memperantarainya adalah perbuatan haram maka itu diharamkan, maka berkilah tidak dibolehkan karena perantara yang diharamkan syar’i walaupun tujuan dan maksudnya dibolehkan. Karena hilah yang dibolehkan adalah tujuan dan cara pengerjaannya adalah dibolehkan secara syar’i.
Contoh: berkilahnya orang Yahudi di hari sabtu, hal tersebut dilarang karena menuju kepada yang haram yaitu melanggar perintah Allah ﷻ, padahal secara asli perantaranya tidaklah haram (menangkap ikan).
Bukan dalam perkara ibadah.
Ibadah dijauhi dalam urusan ini karena ibadah adalah perbuatan yang langsung antara hamba dengan Rabbnya, berbeda dengan muamalah yang kesehariannya selalu berinteraksi dengan manusia umumnya.[73]
Namun, poin ke tujuh ini belum disepakati karena ada beberapa hal berikut:
- Beberapa hilah yang dibolehkan ada yang berkaitan dengan ibadah.
حديث عائشة : قال النبي ﷺ : ((إذا أحدث أحدكم في صلاته, فليأخذ بأنفه ثم لينصرف))[74]
Imam Al-Khathabi berkata, “Bahwa perintah Nabi ﷺ untuk memegang hidungnya agar orang yang di sekitarnya tahu seolah-olah dia mimisan.[75]”
- Dalil-dalil yang menunjukkan itu sebenarnya bukan bermaksud hilah jauh dari ibadah, namun dalil itu menunjukkan bahwa hilah itu tidak dibolehkan jika ibadah yang dilakukan tidak menghindarkan dirinya dari tujuan yang tercela; seperti riya’, munafiq atau sampai menggugurkan ibadah itu sendiri. Maka ini adalah tujuan yang batil dalam beribadah.
- Beberapa contoh:
- Sudah masuk waktu sholat, dia mencari celah (berkilah) dengan meminum obat yang mengakibatkan akalnya hilang sesaat (stres) atau dengan bersafar pada saat itu, agar ia terhindar dari kewajiban mendirikan sholat.
- Bertemu dengan bulan Ramadhan, dia mencari celah agar ia tidak terkena kewajiban berpuasa, maka saat itu dia langsung berangkat niat untuk bersafar. Atau ia ingin menghindari kafarah berhubungan suami-istri di siang hari Ramadhan dengan celah ia membatalkan puasanya dengan makan terlebih dahulu lalu ia menyetubuhi istrinya.[76]
Dari dua contoh diatas atau yang serupa, memberikan kesimpulan di poin ke tujuh bahwa hilah tidak dilarang dalam perkara ibadah, namun hilah dilarang lantaran menghalangi dari terlaksananya suatu ibadah, karena itu adalah menggugurkan hukum syar’i.[77]
BACA JUGA; HUKUM SUAP MENURUT SYARI’AT
Kesimpulan
Makna hilah adalah berkelit, mencari celah, rekayasa, tipudaya dan siasat. Hilah dalam perkara syar’i menurut sebagian ulama ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan sama sekali. Sebagian besar ulama’ menentang keberadaan hilah jika maksud dan tujuan dari hilah tersebut adalah untuk menghalalkan sesuatu yang jelas-jelas dilarang oleh syar’i dan sebagian besar ulama’ juga membela dibolehkan hilah jika perantara yang dipakai adalah perbuatan syar’i.
Penulis dalam menanggapi sikap para ulama’ tentang fenomena hilah, memberikan tiga poin:
- Ulama’ yang mengatakan hilah syar’iyyah boleh secara mutlak dan masih memperselisihkan dalam hilah ghairu syar’iyyah karena meninjau hilah berdasarkan perantaranya.
- Ulama’ yang mengatakan hilah ghairu syar’iyyah tidak boleh secara mutlak dan masih memperselisihkan dalam hilah syar’iyyah karena meninjau hilah berdasarkan tujuan dan maksudnya.
- Dan ulama’ dalam bersepakat membolehkan dan tidak membolehkannya hilah berdasarkan rambu-rambu di atas.
Kenyataan ber-hilah ini banyak sekali dijumpai kasusnya dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat. Seorang muslim dituntut untuk tunduk dan patuh terhadap ajaran Islam baik itu berupa larangan atau perintah dari Allah ﷻ tanpa harus bermain “petak-umpat” atau akal-akalan dengan Allah ﷻ. Semoga kita menjadi hambaNya yang senantiasa bertaqwa kepadaNya.
[1] Lebih khusus lagi Ibnu Hajar al-‘Asqolani menjelaskan bahwa hilah ghoiru masyr’uyyah adalah memperantarakan kebolehan syari’at untuk suatu yang dilarang oleh syari’at, atau berperantara yang boleh untuk menetapkan yang bathil atau menggugurkan yang haq. Lihat Fathul Bari, 12/376.
[2] Fathul Bari, 12/376.
[3] Untuk itulah, kita akan membaca karya Imam Abu Zahraah yang dijadikan pegangan di dalam sasaran ini. Yang dimaksud oleh Abu Zahrah sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Halim Uways bahwa sesungguhnya Imam Syafi’i senantiasa menyandarkan diri pada syari’at, istinbâth (penggalian) hukum, dan pengambilan dalil dengan mengutamakan dalil-dalil yang prinsipil daripada yang pinggiran yang secara lahiriyah ditunjukkan oleh berbagai nash. Oleh karena itulah, Imam Syafi’i menolak praktek istihsân, sebab praktik tersebut menyandarkan diri pada upaya mencela jiwa ahli fiqh, atau ruh syari’at, atau perasaan ahli fiqh.
[4] Al-Fatawa al-Kubra,6/19/20. I’lamul Muwaqqi’in 3/123.
[5] Surah An-Nisa’: 98.
[6] Ikrimah di dalam Tafsir At-Thabari Al-Bayan ‘an Ta’wilil Qur’an, Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Darul ‘Alam Kutub; Riyadh, 1424 H/ 2003 M. Vol 7 hal 390.
[7] QS. An-Nahl: 106.
[8] Maqashidus Syari’ah Al-Islamiyah,… hal 317-318.
[9] Muttafaq ‘alaihi; Shohih Bukhari, Kitab Al-Buyu’, bab إذا أراد أن يبيع تمراً بتمر خير منه , No 2201. Shohih Muslim, Kitab Al-Musaqah, bab بيع الطعام مثلاً بمثل, No 1593.
[10] Shohih Muslim bi Syarh An-Nawawi, Imam Yahya bin Syarf An-Nawawi. Darul Fikr: Beirut, Lebanon, 1421 H/ 2000 M. Vol 11 hal 18-19.
[11] Fathul Bari….,Bab في ترك الحيل ,Vol 12, hal 327.
[12] Al-Badru Al-Munir fi Takhrij Al-Ahadits wa Al-Atsar Al-Waqi’ah fi Syarh Al-Kabir, Ibnu Al-Mulqin Sirajuddin Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Ali bin Ahmad As-Syafi’i Al-Mishri (W 804 H), pentahqiq Mushthafa Abu Al-Ghaith dan Abdullah bin Sulaiman, Darul Hijrah, Riyadh, Su’udiyah, Cet 1, Th 1425 H/ 2004 M, Jilid 1 hal 664.
[13] Surah Al-A’raf: 163.
[14] Cara yang mereka pakai bermacam-macam ada enam riwayat diantaranya; riwayat as-Saddi dari Ibnu Jarir mereka dengan membuat lubang, riwayat Qadhi Abu Ya’la Al-Hanbali mereka dengan menebar jaring. Lihat Al-Hiyal fi As-Syari’atil Islamiyah, Al-Ustad Syaikh Muhammad Abdul Wahab Bukhaira, Cet 1, Th 1394 H/ 1947 M, Mathba’atus Sa’adah, hal 43-44.
[15] Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,… Vol 7 hal 246. Fathul Bayan fie Maqashid Al-Qur’an…. Vol 2 hal 604. Dan sebagian mufassir menambahkan setelah tiga hari Allah merubah rupa mereka mereka binasa semuanya.
[16] Muttafaq ‘alaihi, Shohihul Bukhari; kitab بدأ الوحي , bab كيف كان بدأ الوحي إلى الرسول No. 1. Shohih Muslim; Kitab الإمارة, No. 1907.
[17] Fathul Bari….. Vol 12 hal 378.
[18] I’lamul Muwaqqi’in…. Vol 3 hal 125.
[19] Ibnu Katsir berkata, “Sanadnya jayyid”, dan dishohihkan oleh Tirmidzi dengan banyak riwayat. Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim, ‘Imaduddin Abu Fida’ Isma’il bin Katsir Ad-Dimasyqi, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi: Beirut. Vol 2 hal 260. Irwa’ul Ghalil… No. 1535.
[20] Fatawa al-Kubro,… Vol 6 hal 33.
[21] Dhawabith al-khiyal wa tathbiqatuha ‘ala siyaghi at-tamwil….hal 86.
[22] HR Bukhari dalam kitab Ahadisil Anbiya’, bab Biografi Sulaiman, Vol 6/458. No 3427. Kitabul Faraidh, bab jika seorang wanita mengakui anak, 12/55, No 6769.
[23] Syarah Shahih Muslim An-Nawawi, Vol 12 Hal 381.
[24] Ushul Madzhab Al-Imam Ahmad, Dr Abdullah Muhsin At-Turki; Muassasatu Ar-Risalah: Cet. 3, 1410 H/ 1990 M, hal 53
[25] Al-Muwafaqat…, Vol 4 hal 165-166.
[26] Ibid.
[27] Contoh lainnya adalah buyu’ al-‘ajal, seperti yang disebutkan oleh Imam As-Syatibi.
[28] Ibid, Vol 2 hal 329.
[29] Mu’jam maqayiis al-Lughah, Ibnu Faris. Tahqiq dan disempurnakan oleh Abdussalam Muhammad Harun. Darul Jail; Beirut. 1991 M/1411 H, bab Haul, 2/121.
[30] Lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzur Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Al-Ifriqiy Al-Mishry, Daar Shadir Beirut, 1992 M/ 1412 H, bab Haul, 11/185-186.
[31] Lisanul ‘Arab…. mu’jam mutun al-lughah, Ahmad Ridho, Daar Maktabah Al-Hayah Beirut, 1958 M/ 1377 H. Bab Haul, 2/203.
[32] Ibid, 11/185.
[33] Lihat ‘umdatu at-tafasir,Al-Hafidz Ibnu Katsir, ringkasan Ahmad Muhammad Syakir, Daarul Wafa’: Al-Manshurah, Mesir, 2003 M/1424 H, 3/98.
[34] I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin, Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, ditahqiq Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, Al-maktabah Al-‘ashriyah, Beirut, 3/180.
[35] Q.S. An-Nisa’: 98.
[36] Fathul Qadir Al-Jami’ baina Fanni ar-Riwayah wa ad-Dirayah min ‘ilmi at-Tafsir, al-Imam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Darul Ma’rifah, Beirut, Cet.2, 1996 M/ 1416 H, 1/644.
[37] Al-Jami’ li ahkamil Qur’an, Al-Imam al-Qurthubi, Al-Maktabah at-Taufiqiyah: Al-Qahirah, 5/305.
[38] Iqomatu ad-dalil ‘ala ibthalu at-tahlil, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Daar Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, 6/106.
[39] Fathul Bari…., 12/376.
[40] Fatawa al-Kubro; 6/17.
[41] Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, Asy-Syaikh Muhammad Thohir bin ‘Asyur, pentahqiq: Muhammad Al-Habib Ibnul Khoujah; Wizaratul Auqaf wa Syu’unil Islamiyah, Qatar, 3/317.
[42] Mu’jamul Mufradat Alfadz Al-Qur’an Al-Karim, Ar-Raghib Al-Ashfahani, hal.136.
[43] Dhawabith al-khiyal wa tathbiqatuha ‘ala siyaghi at-tamwil….hal.19.
[44] Tarikh Tasyri’ Islami, Manna’ bin Khalil Qathan, Maktabah Wahbah; Kairo, Cet.1, Hal 333.
[45] Q.S Shad : 44.
[46] Muttafaq ‘alaihi; Shohih Bukhari, Kitab Al-Buyu’, bab إذا أراد أن يبيع تمراً بتمر خير منه , No 2201. Shohih Muslim, Kitab Al-Musaqah, bab بيع الطعام مثلاً بمثل, No 1593.
[47] Dhuha Al-Islam… Vol 2 hal 192.
[48] “Jika hilah dibagi dengan tinjauan bahasa maka terbagi menjadi lima macam.” Ibnul Qoyyim berkata di dalam I’lamul Muwaqqi’in, 3/180.
[49] Lihat Qawa’idul Wasa’il fi Syari’atil Islamiyah, Musthofa bin Karomatullah Makhdum, Dar Ashbiliya;Riyadh. Hal. 465.
[50] Al-Muwafaqat fi Ushul syari’ah, Al-Imam As-Syatibi, Darul Maktabah Tauqifiyah; Kairo,2/329.
[51] QS.An-Nahl: 106.
[52] Maqashidus Syari’ah Al-Islamiyah, hal 317-318.
[53] Qawa’idul Wasa’il, hal 468.
[54] Al-Muwafaqat,2/328.
[55] Penulis memilih pendapat Ibnu Qoyyim karena: 1) pendapat beliau lebih mencakup dari pendapatnya Ibnu Taimiyyah, 2) berpendapat kepada makna yang lebih umum, 3) Ibnu Qoyyim sepakat dengan Ibnu Taimiyyah dalam perkara hilah yang diharamkan. Lihat Dhawabith al-khiyal wa tathbiqatuha ‘ala siyaghi at-tamwil,..hal 36.
[56] Ibid, Vol 2 hal 329.
[57] I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin…. Vol 3/ 337.
[58] Maqashidus Syari’ah Al-Islamiyah… diringkas dari hal 323 – 331.
[59] Al-Muwafaqat fie Ushul as-Syari’ah,Imam Abu Ishaq As-Syatibi (W 790 H), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Lebanon, Vol 2 hal 293.
[60] Dhawabith al-khiyal wa tathbiqatuha… Hal 90.
[61] Al-Muwafaqat…, Vol 2 hal 328.
[62] QS. Al-Maidah: 49.
[63] QS. An-Nisa’: 59,
[64] Dhawabith al-khiyal wa tathbiqatuha…. Hal 91.
[65] Muwafaqat.. Vol 2 hal 6.
[66] Ibid… hal 284.
[67] Al Mughni ma’a Asy-Syarh Al-Kabir, Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Darul Kutub Al-‘Arabiy, Beirut. Vol 4 hal 179..
[68] Ibid…Vol 5 Hal 460.
[69] I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin, Muhammad bin Abi Bakar bin Ayub bin Sa’ad Syamsuddin Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (W 751 H), Vol 4 Hal 112 (Versi Maktabah Syamilah)
[70] Dhawabith al-khiyal wa tathbiqatuha…. Hal 94-95.
[71] Maslahat, bahasa: manfaat, istilah syar’i: setiap manfaat yang Allah ﷻ kehendaki untuk para hambaNya demi menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Ushul Fiqh Al-Islami, DR Wahbah Az-Zuhaili, Vol 2 hal 756.
[72] I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin…, Maktabah Al-Kulliyat Al-Azhariyah, Mesir, Kairo. Cet 1388 H/ 1968 M, Vol 4 Hal 40.
[73] Al-Hiyal wa Atsaruha fil Ahwali Asy-Syakhshiyah, Dr Ihab Ahmad Sulaiman Abu Al-Haija’, Daru An-Nafa’is, Hal 52-53.
[74]Sunan Al-Kubro lil Baihaqi, Bab استأذان المحدث الإمام قال, No 6061. Vol 3 hal 223. Kanzul ‘Amal fi Sunanil Aqwal wal Af’al, Bab 3 في مفسدات الصلاة, No 19916. Vol 7 hal 490.
[75] ‘Aunul Ma’bud bi Syarhi Sunan Abi Dawud,.. Vol 3 hal 332. (Versi Syamilah)
[76] Al-Khiyal Al-Fiqhiyah Dhawabithuha wa Tathbiqathuha ‘alal Ahwali As-Syakhshiyah, dr Sholih bin Isma’il Biwabsyisy, Maktabah Ar-Rusyd: Riyadh, Cet 1, 1426 H/ 2005 M. Hal 137
[77] Dhawabith al-khiyal wa tathbiqatuha…. Hal 97.