Oleh: Afin Muhyiddin
Salah satu kejahatan yang banyak terjadi dan merajalela dalam kehidupan sosial masyarakat bangsa Indonesia saat ini adalah suap-menyuap. Suap bagaikan penyakit menular yang sangat ganas, yang sudah menjalar dan menular ke berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Fakta memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat cenderung mempraktekkan suap untuk mempermudah segala urusan. Bagi kelompok ini, seolah-olah tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan lewat suap[1]. Suap masih dianggap sebagai hal yang wajar, lumrah dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Praktek suap-menyuap salah satu penyakit sosial yang semakin hari semakin kronis menggejala di Indonesia. Jika kita lihat sejarah, merebaknya perilaku suap dalam kehidupan masyarakat saat ini sebenarnya bukan merupaka hal yang baru , akan tetapi sudah mewarnai kehidupan sosial generasi tempo dulu dan bahkan sudah dikenal pada masa Nabi Sulaiman dan pra kerasulan Muhammad[2].
Meskipun sudah ada sejak lama, undang-undang tindak pidana suap di Indonesia baru muncul pada tahun 1980. Bermula dari adanya peristiwa penyuapan di kalangan olahraga (sepak bola) yang ramai dibicarakan masyarakat pada waktu itu yang kemudian melahirkan UU No.11 tahun 1980 tentang tindak pidana suap(LN tahun 1980 No.58) yang disahkan dan mulai berlaku pada 27 Oktober 1980[3]. Namun dalam undang-undang ini terdapat batasan terhadap tindak pidana suap, yaitu menyangkut kepentingan umum[4], jadi praktik suap yang bersifat individual tidak dapat dipidana.
Praktek suap yang sudah terjadi sejak lama dan dibiarkan terjadi secara terus-menerus membuat suap menjadi tindakan yang seolah-olah dibenarkan. Bahkan masyarakat menganggap suap sebagai hal yang dibenarkan. Sudah menjadi rahasia umum bila masyarakat pada masa kini masih beranggapan, untuk menjadi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/Polri selalu harus disertai dengan suap yang bernilai hingga puluhan juta rupiah. Dengan semakin sempitnya kesediaan lapangan kerja , anggapan ini juga merambah ke sektor swasta dan menyentuh kelas masyarakat ekonomi paling bawah. Maka dari itu, bagaimana Islam memandang masalah suap ini?
YUK IKUT AMAL JARIYAH; PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY ANNUR
Definisi
Secara Bahasa suap adalah “upah” yaitu apa-apa yang yang diberikan untuk menyelesaikan masalah dan jama’nya adalah رُشًا و رِشًا.[5]
Secara istilah adalah pemberian sesuatu dengan tujuan membatalkan suatu yang haq atau untuk membenarkan suatu yang batil.[6]
Al-Fayyumi mengatakan bahwa suap secara terminologi berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya untuk memenangkan perkaranya memenuhi apa yang ia inginkan.[7]
Ibnu al-Atsir mengatakan bahwa suap ialah sesuatu yang bisa mengantarkan seseorang pada keinginannya dengan cara yang dibuat-buat (tidak semestinya).[8]
Dari beberapa pengertian diatas, bisa kita simpulkan bahwa suap adalah harta yang diperoleh karena terselesaikannya suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun menghindari kerugian atau bahaya) yang semestinya harus diselesaikan tanpa imbalan.
Atau bisa juga kita katakan, suap ialah pemberian apa saja berupa uang atau yang lain kepada penguasa, hakim, atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang batil.
Dalil terkait Suap dalam Al-Qur’an
Dalam hukum Islam, berdasarkan beberapa nash al-Qur’an dan sabda Rasulullah mengisyaratkan dan menegaskan bahwa suap adalah suatu yang diharamkan di dalam syariat, bahkan termasuk dosa besar. Ada beberapa dalil yang mendasarinya yaitu:
- Dari al-Qur’an
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَال النَّاسِ بِالإْثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”[9]
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Mereka adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.”[10]
Imam al-Hasan dan Said bin Zunair mengomentari ayat ini dengan mengatakan bahwa makna “akkaluuna lissuht” yaitu suap, karena suap identik dengan memakan harta yang diharamkan.
Dalam kitab tafsir al-Qurtubi, makna surah al-Maidah ayat 42 menyebutkan , setiap daging dari barang yang haram (as-shuht) nerakalah yang paling layak untuknya.Sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apa barang haram yang dimaksud itu? Rasulullah menjawab,”Suap dalam perkara hukum.”
- Dari as-Sunnah
Selain itu ada banyak sekali dalil dari sunnah yang mengharamkan suap dengan ungkapan yang sharih dan dhahir. Misalnya hadits berikut ini:
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ – وَفِي رِوَايَةٍ زِيَادَةُ – وَالرَّائِشَ
“Rasulullah melaknat penyuap, yang menerima suap, dan perantaranya [11](H.R Ahmad
Bentuk-Bentuk Suap
Para ulama’ membagi bentuk-bentuk suap (risywah) sebagai berikut:
- Suap dalam penegakan hukum: adalah yang paling berbahaya dalam tatanan masyarakat. Karena dengan risywah ini orang-orang bejat begitu leluasa merampas hak orang lain melalui sidang di pengadilan. Dan melalui risywah jenis ini tindak kejahatan perampasan hak orang lain mendapat pengesahan dari badan hukum dan dilindungi oleh negara.
Risywah jenis ini telah menghancurkan kehidupan umat yahudi sehingga Allah mencela mereka di dalam al-qur’an:
وَتَرَى كَثِيْرُامِنْهُمْ يُسَارِعُوْنَ فِيْ الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاَكْلِهِمُ السُّحْتُ
“Dan kamu akan melihat banyak diantara mereka (orang Yahudi) berlomba dalam berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram.”[12]
Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan ayat diatas, ia berkata,”Allah telah menjelaskan sifat-sifat orang-orang yahudi dalam ayat ini, mereka begitu semangat untuk beruat dosa dan menentang Allah. Mereka bersegera melanggar ketentuan Allah, mereka memakan harta haram melalui sogok yang mereka terima dalam penegakan hukum, sehingga mereka memutuskan suatu perkara berbeda dengan hukum Allah.[13]
- Suap penerimaan dan pengangkatan calon pegawai
Kepala negara dan kepala daerah telah diberi amanah oleh rakyat untuk mengemban tugas membawa masyarakat kepada kemajuan dunia dan akhirat. Para pemimpin ini, tentu tidak mampu melakukan tugas yang begitu besar sendirian. Dia membutuhkan para pembantu yaitu para menteri dan setiap menteri dibantu oleh ribuan para staf di departemen atau di kementeriannya.
Maka menjadi sebuah kewajiban bagi para pemimpin tersebut untuk mengangkat orang-orang yang terampil bekerja dan bersifat jujur sebagai pembantu mereka dalam menjalankan tugas yang telah diamanahkan diatas pundak mereka disetiap jajaran, mulai dari menteri hingga pegawai golongan terendah.
Bila hal ini mereka abaikan, mereka mengangkat para pembantunya berdasarkan kekerabatan, tawaran politik, dan sogok yang diberikan oleh setiap calon pegawai, ini jelas sebuah pengkhianatan.
Padahal Allah telah mewajibkan setiap muslim menjalankan amanah yang baik dan menyampaikan kepada yang berhak. Allah berfirman surat an-nisa’ ayat 58:
“Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.Sungguh Allah sebaik-baik yang memberikan pengajaran kepadamu. Sungguh Allah maha mendengar maha melihat.”
Dan tindakan tersebut merupakan penipuan terhadap rakyat yang dipimpinnya. Dan Nabi mengancam pemimpin yang menipu rakyatnya tidak akan masuk surga. Nabi bersabda:
ما من وال يلى رعيّة من المسلمين,فيموت وهو غاش لهم,إلاّ حرّم الله عليه الجنّة
“Setiap pemimpin yang memimpin rakyatnya yang beragama Islam, lalu ia wafat dan dia menipu rakyatnya niscaya Allah mengharamkan ia masuk jannah.(HR.al-Bukhari)[14].
Dan yang pasti, proses pengangkatan pegawai yang diwarnai proses sogok-menyogok akan berakibat munculnya para pekerja yang tidak terampil dalam bekerja. Hal ini termasuk menyerahkan pekerjaan kepada yang bukan ahlinya. Yang berakhir dengan sebuah kehancuran, sebagaimana sabda Nabi:
إذا وسّد الأمر إلى غير أهله فانتظر السّاعة
“Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat.”(HR.al-Bukhari)[15]
- Hadiah dari calon anggota legislatif saat kampanye.[16]
Seseorang yang mencalonkan diri dalam pemilihan anggota dewan perwakilan rakyat ataupun dalam pemilihan kepala Negara dan kepala daerah sering membagi-bagikan hadiah kepada rakyat yang akan memilihnya. Hadiah ini termasuk juga suap dalam bentuk apapun hadiah yang diberikan baik berupa: uang, bahan makanan pokok, baju kaos, atau cendera mata yang lainnya.
Hakikat suap bentuk ini adalah kebalikan dari suap yang diberikan calon pegawai kepada panitia ang akan menerimanya. Yaitu: rakyat yang akan memilihnya adalah sebagai penerima suap dan calon DPR adalah sebagai pemberi suap dan partai serta tim sukses pengusung calon tersebut adalah sebagai perantaranya, kesemuanya terkena laknat dan dosa praktek suap.
BACA JUGA; KRITERIA MASLAHAT MENURUT SYARI’AT
Dampak Perbuatan Suap
Suap merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat, menghambat pertumbuhan ekonomi serta kemajuan sebuah negara. Hak-hak orang lemah, fakir, dan miskin akan tertindas dan tergilas pada masyarakat yang dipenuhi suap. Tanah warisan yang dimiliki masyarakat kecil secara turun temurun sering dirampas oleh orang-orang yang mengerti celah-celah hukum dan menyuap para penegak hukum.Ini jelas kedhaliman yang besar.
Masyarakat dari kalangan bawah yang tidak memiliki uang pelicin bila datang ke pusat-pusat pelayanan masyarakat yang disediakan oleh pemerintah (yang notabene para pelayan masyarakat tersebut ((aparatur negara)) digaji dari uang rakyat) tidak akan mendapatkan layanan sebagaimana mestinya.[17]
Sumber daya manusia yang merupakan aset utama untuk kemajuan suatu negara akan diacuhkan, karena orang-orang yang memiliki kecakapan tertentu tidak mau atau tidak memiliki biaya untuk menyuap para panitia penerima calon pegawai negeri maupun swasta. Maka tidak jarang putra-putra terbaik dari sebuah bangsa pemakan suap yang dipinggirkan oleh negaranya akibat tidak mampu menyuap, ditarik oleh negara-negara yang menghargai nilai seorang manusia. Pada saat itu semakin hancur dan dekatlah kiamat datang di negara pemakan suap karena pekerjaan diserahkan kepada orang-prang yang bukan ahlinya.[18]
Barang-barang seluruh kebutuhan di negara pemakan suap sangatlah mahal, karena proses sebuah barang dari produsen hingga sampai ke tangan penggunanya melewati meja-meja yang harus diletakkan amplop berisi uang untuk pemakan suap. Jangan dipikir bahwa suap yang diberikan oleh para pengusaha untuk para pejabat tersebut mereka bayar dari hasil keringatnya dan merugikan mereka, tidak. Akan tetapi, uang suap itu mereka masukkan dalam biaya produksi. Dengan demikian, maka yang akan membayar suap yang diberikan pengusaha tersebut kepada para aparat hakikatnya adalah rakyat banyak sebagai pengguna akhir sebagai barang yang membayarnya. Kalau tidak demikian, dapat dipastikan semua pengusaha akan rugi dan itu berbeda dengan kenyataan.
Hal tersebut tentu turut memberikan andil menaikkan tingkat inflasi dan menambah jumlah rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan. Hasil produksi tanaman, perkebunan, dan pertanian di negara pemakan suap kalah bersaing dari negara yang bersih dari para pemakan suap, karena para eksportir di negara para pemakan suap harus membayar uang pelicin yang mereka masukkan ke dalam nilai jual hasil pertanian tersebut sehingga harga barang ekspor menjadi naik dan kalah bersaing dengan negara yang bersih.[19]
Dan terhambatnya proses ekspor hasil pertanian dari dalam negara pemakan suap tentu akan berdampak kepada kehancuran harga hasil pertanian pada saat musim panen raya karena hasil panen melebihi kebutuhan domestik. Dan itu tentu akan merugikan para petani kecil.
Banyak beredar makanan dan obat-obatan yang tidak memenuhi standart kesehatan, kadaluwarsa dan tidak layak dikonsumsi di negara para pemakan suap. Ini dikarenakan para pedagang atau importir tahu celah untuk mengakali pihak pengawas dan penyidik, cukup dengan salam tempel barang dagangan mereka dapat diperjual belikan dinegara secara bebas.
Harga nyawa seorang anak manusia terlalu murah dinegara pemakan suap. Orang tua yang membesarkan anaknya denga penuh cinta, kasih, dan biaya yang tidak sedikit., lalu karena hal yang sepele nyawa anaknya melayang dibunuh orang. Setelah pembunuhnya tertangkap (yang seharusnya nyawa dibalas dengan nyawa) pembunuh tersebut dipenjarakan beberapa puluh tahun.
Akan tetapi baru berselang beberapa bulan pembunuh tersebut telah menghirup udara bebas, karena keluarganya tahu bahwa ia hidup di negara pemakan suap hanya dengan uang ( yang jauh tidak sebanding dengan biaya makan korban yang dibunuh dari masa bayi sampai pada waktu ia terbunuh) pembunuh tersebut bebas. Dan sangat banyak lagi dampak-dampak negatif suap terhadap pribadi, masyarakat, dan Negara.
Oleh karena itu, Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta telah mengharamkan suap dan memasukkan perbuatan ini kedalam dosa besar serta mengutuk setiap individu yang terlibat dengan suap, pemberi, perantara, dan penerima. Allah telah melarang tegas perbuatan menyogok dan memakan suap serta perantaranya Allah berfirman al-Baqarah ayat 188
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَال النَّاسِ بِالإْثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dalam ayat tersebut Allah melarang tegas memberikan suap kepada penegak hukum agar pemberi souap dimenangkan dalam perkara dan mendapatkan harta orang lain. Dengan demikian dia memakan harta orang lain dengan cara yang batil dan cara berdosa[20]. Dan Rasulullah mengutuk, mendoakan agar orang-orang yang yang terlibat dalam proses suap dijauhkan dari rahmat Allah.Nabi bersabda dalam riwayat ahmad
لعن النبي صلّى الله عليه وسلّم الرّاشي والمرتشي والرائش
“Nabi mengutuk orang yang memberikan suap, orang yang menerima suap, dan orang yang menjadi perantara dalam proses suap-menyuap.”[21]
Karena suap-menyuap jelas merupakan perbuatan dzalim(baghy) dan melanggar hak orang lain yang tidak membayar suap, maka pelaku suap-menyuap diancam dengan azab Allah didunia dan di akhirat mendapat siksa yang lebih berat.
Diriwayatkan dari Abi bakrah bahwa Nabi bersabda
ما من ذنب أجدر أن يعجّل الله تعالى لصاحبه العقوبة في الدنيا مع ما يدّخر له في الأخرة مثل البغي وقطيعة الرحم
“Tidak ada dosa yang lebih pantas disegerakan Allah menurunkan azabNya terhadap pelaku dosa di dunia di samping azab yang disediakan Allah di akhirat, selain dosa baghy (menzalimi serta melanggar hak orang lain) dan memutus hubungan kekerbatan.” (HR.Abu Daud)
Maka tak menampik kemungkinan, bahwa bencana yang silih berganti menimpa negara pamakan suap diakibatkan oleh tindakan para penduduk negeri itu yang telah menganggap kejahatan suap-menyuap sebagai perbuatan halal dan suap-menyuap merupakan bagian administrasi yang harus dijalankan.
Suap Yang Diperbolehkan
Seorang muslim yang hidup ditengah masyarakat pemakan suap, sangat susah baginya mendapatkan hak-haknya bila tidak memberikan suap. Para ulama berbeda dalam hal ini: Pendapat pertama tetap berdosa sebagaimana hadits-hadits yang mengharamkan suap yang dengan demikian dalam kondisi apapun haram hukumnya memberikan suap.[22] Pendapat kedua ulama memperbolehkan penyuapan yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya, karena dia dalam kondisi yang benar dan mencegah kedzaliman terhadap orang lain. Dalam hal seperti itu, dosanya tetap ditanggung oleh orang yang menerima suap.[23]
Ibnu Abidin(ulama bermadzhab hanafi) berkata,”Suap ada empat bentuk … [24 bentuk yang keempat: suap yang diberikan untuk menolak kedzaliman pada diri dan hartanya dari orang penerima suap, suap jenis ini halal bagi pemberi dan tetap haram bagi penerima.”[25]
Ar-Ramli(ulama bermadzhab syafii)berkata,”Adapun orang yang mengetahui bahwa hartanya akan diambil dengan cara yang batil kecuali ia memberikan suap, maka ia tidak berdosa memberikan suap.”[26]
Ibnu Qudamah(ulama bermadzhab Hambali) berkata,”Jika seseorang memberikan suap untuk menolak kedzaliman terhadap dirinya, diriwayatkan dari beberapa tabi’in, seperti Atha’ dan Hasan al-Bashri bahwa maka hal tersebut diperbolehkan.”[27]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,”Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.”[28]
Perbedaan Suap Dengan Hadiah
Apabila dilihat dari segi isensi risywah atau suap yaitu pemberian dalam Bahasa arab disebut athiyyah. Dalam Islam ada beberapa istilah yang memiliki keserupaan “risywah dengan athiyyah” diantara hal-hal tersebut adalah:
- Hadiah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang sebagai penghargaan atau”ala sabilil ikram.” Perbedaannya dengan suap ialah jika suap diberikan dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sedangkan hadiah diberikan dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa kasih sayang. Dalil tentang hadiah sabda Rasulullah yang berarti,”Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.(H.R Bukhari)[29]
Perbedaan suap dan hadiah lainnya:
- Suap adalah pemberian yang diharamkan syariat, sedangkan hadiah merupakan yang dianjurkan syariat.
- Suap diberikan dengan satu syarat yang disampaikan secara langsung atau tidak langsung, sedang hadiah diberikan secara ikhlas tanpa syarat.
- Suap diberikan untuk mencari muka dan mempermudah hal yang bathil, sedang hadiah untuk silaturrahim dan kasih sayang.
- Suap dilakukan secara sembunyi-sembunyi berdasarkan tuntut-menuntut, biasanya diberikan dengan dengan berat hati, sedang hadiah diberikan atas sifat kedermawanan.
- Biasanya suap diberikan sebelum suatu pekerjaan, sedang hadiah setelahnya.
- Hibah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Dan jika menghibahkan suatu barang kepada saudaranya muslim dengan cara umra’[30] atau ruqba[31], maka barang itu menjadi milik orang yang diberi, kemudian untuk ahli warisnya setelah kematiannya. Adapun perbedaannya dengan suap ialah bahwa pemberi suap memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu, sedangkan pemberi hibah memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu.
- Shadaqah ialah pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah, seperti halnya dengna zakat dan infak. Perbedaannya dengan suap ialah bahwa seseorang yang bershadaqah, ia memberikan sesuatu hanya karena mengharapkan pahala dan keridhaan Allah semata, sedangkan suap ada unsur kepentingan dan tujuan dibalik pemberian itu.
Solusi Pencegahan Praktik Suap Menyuap
Terapi Islam dalam mengatasi kejahatan suap bertumpu pada himpunan langkah persuasive sebagai berikut:
- Penanaman dan penumbuhan nilai-nilai keimanan, diantaranya peraaan selalu diawasi oleh Allah.
- Penempatan nilai-nilai moral yang bertumpu pada perasaan bahwa kerja adalah ibadah,kepercayaan, tanggung jawab, kemuliaan,kehormatan, dan keluhuran.[32]
- Penguatan komitmen untuk berperilaku lurus dan benar.Dan manifestasi hal tersebut adalah tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, empati terhadap sesama manusia, serta komitmen bahwa sesame muslim adalah bersaudara sehingga ia tidak boleh mendzaliminya.[33]
- Pembangunan sistem pengawasan aktif untuk memantau kerja pelayanan publik dan untuk memastikan bahwa setiap orang telah menjalankan pekerjaannya sesuai syariat Allah dan undang-undang sipil yang parallel dengan syariat Allah, dan sistem hisbah dalam Islam merupakan salah satu model pengawasan birokrasi pemerintahan yang patut dicontoh.
- Penerapan sistem reward dan punishment yang mengacu pada rasa keadilan dan persamaan perlakuan, tanpa membeda-bedakan antara seorang menteri dengan menteri lainnya, juga antara orang kaya dan miskin.Semua orang harus didudukkan sama dihadapan hukum(terlebih syariat Allah).
- Prosedur pengurusan jangan sampai terlalu birokratis dan rumit, melainkan harus simpel dan mudah, sebab urusan yang terlalu lama dan rumit akan menciptakan dan menyuburkan iklim suap-menyuap.
- Panutan yang baik.
- Sikap terhadap dunia dan harta, dalam kitab al-Qur’an dijelaskan bahwa kehidupan dunia hanya bersifat sementara, yang kekal abadi adalah akhirat.Kehidupan dunia hanyalah perantara bagi kehidupan akhirat. Meskipun demikian, Allah tidak menganjurkan manusia untuk sama sekali meninggalkan kehidupan dunia.[34]
- Larangan bersikap serakah dan berlebih-lebihan.[35]
Kesimpulan
Sebagai seorang muslim yang mengaku tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan Rasulullah maka sepatutnyalah kita membenci praktek suap-menyuap (risywah) yang telah meracuni pikiran kaum muslimin sehingga mereka tidak lagi percaya kepada qadha’ dan qadar dari Allah, dengan akhirnya mereka menempuh jalan pintas untuk kemudian memutar-balikkan kebenaran, merubah yang batil menjadi haq. Tidak hanya itu, laknat dari Rasulullah seharusnya menjadi bahan pertimbangan bagi orang-orang yang akan membudayakan praktek suap-menyuap tersebut.
وأتبعناهم في هذه الدنيا لعنة ويوم القيامة هم من المقبوحين
“Dan kami ikutkanlah laknat kepada mereka di dunia ini, dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahamat Allah)”[36]
Demikianlah jika Allah dan Rasul-Nya telah melaknat seseorang maka laknat itu akan melekat pada dirinya di dunia hingga di akhirat. Na’udzubillahi min dzalik. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada jalan yang benar. Wallahu a’lam bishawab.
BACA JUGA; HUKUM KELUARGA BERENCANA (KB) DALAM ISLAM
[1] Suyitno, Menyingkap Makna Hadits Tentang Risywah,(Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm.87
[2] Abu Abdul Halim Ahmad S, Suap, Dampak, & Bahayanya Bagi Masyarakat:Tinjauan Syar’I Dan Sosial (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996), hlm.93
[3] K. Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi & Suap (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm.79
[4] Ibid, hlm.80
[5] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah bab.suap juz 22 hlm.222
[6] Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah II/7819
[7] Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayumi , Al-Misbah Al-Munir I/228
[8] An-Nihayah Fi Gharibil Hadits II/546
[9] Q.S al-Baqarah: 188
[10] Q.S al-Maidah: 42
[11] Muhammad bin Isa at-tirmidzi, Jami’u at-Tirmidzi, kitab hukum-hukum,bab hukum orang yang menyuap dan menerima suapan, no 1337 (ar-Riyad: Daru as-Salam, 1999) hlm. 323. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, kitab hukum-hukum, bab kejamnya kedzaliman dalam suap-menyuap, no 2313 (ar-Riyadh: Daru as-Salam, 1999) hlm. 331. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, kitab perkara-perkara pengadilan,bab karahiyah-nya suap-menyuap, no 3580 (Bairut: Daru Ibnu Hazm, 1998) hlm. 551. Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, kitab Musnad al-Mukatsirun, bab Musnad Abdullah in Amru bin al- ‘Ash, no 6532, 6778, 6830 dan 6984 (Riyadh: Daru al-Afkar, 1998). Hlm 494.
[12] Q.S al-Maidah: 62
[13] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabary, jilid 08, hlm.549
[14] Dr.Musthafa D al-Bagha, Mukhtashar Shahih Bukhari, kitab hukum hlm.725
[15] Abdurrahman bin Ahmad Rajab al-Hanbali, Jami’ al-‘ulum wal hikam hlm.41
[16] Dr.Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm.202
[17] Dr.Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, , hlm.197
[18] ibid
[19]Dr.Erwandi Tarmizi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm.198
[20] Abu Abdulah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimy ar-Razi, Tafsir ar-Razy, jilid 05, hlm.280
[21] Muhammad bin Isa at-tirmidzi, Jami’u at-Tirmidzi, kitab hukum-hukum,bab hukum orang yang menyuap dan menerima suapan, no 1337 (ar-Riyad: Daru as-Salam, 1999) hlm. 323. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, kitab hukum-hukum, bab kejamnya kedzaliman dalam suap-menyuap, no 2313 (ar-Riyadh: Daru as-Salam, 1999) hlm. 331. Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, kitab perkara-perkara pengadilan,bab karahiyah-nya suap-menyuap, no 3580 (Bairut: Daru Ibnu Hazm, 1998) hlm. 551. Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, kitab Musnad al-Mukatsirun, bab Musnad Abdullah in Amru bin al- ‘Ash, no 6532, 6778, 6830 dan 6984 (Riyadh: Daru al-Afkar, 1998). Hlm 494.
[22] Dr.Abdullah ath-Thuraiqi, jarimatur risywah fisy syariah Islamiyah, hlm.71
[23] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Anshary al-Khazraji Syamsuddin al-Qurtuby, Tafsir Al- Qurthuby 6/183, Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj 8/243,Ibnu Hazm, Al-Muhalla 8/118, dalam bab-bab yang membahas tentang suap dan memakan harta haram.
[24] Ibn Abidin, dengan menguti kitab al-Fath, mengemukakan empat macam bentuk suap, yaitu:
- Suap yang haram atas orang yang mengambil dan yang memberikannya, yaitu risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan.
2.Suap terhadap hakim agar dia memutuskan perkara, sekalipun keputusannya benar, karena dia mesti melakukan hal itu.
3.Suap untuk meluruskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemudaratan dan mengambil mamfaat. Suap ini haram bagi yang mengambilnya saja. Sebagai helah risywah ini dapat dianggap upah bagi orang yang berurusan dengan pemerintah. Pemberian tersebut digunakan untuk urusan seseorang, lalu dibagi-bagikan. Hal ini halal dari dua sisi seperti hadiah untuk menyenangkan orang. Akan tetapi dari satu sisi haram, karena substansinya adalah kazaliman. Oleh karena itu haram bagi yang mengambil saja, yaitu sebagai hadiah untuk menahan kezaliman dan sebagai upah dalam menyelesaikan perkara apabila disyaratkan. Namun bila tidak disyaratkan, sedangkan seseorang yakin bahwa pemberian itu adalah hadiah yang diberikan kepada penguasa, maka menurut ulama Hanafiyah tidak apa-apa (la ba`sa). Kalau seseorang melaksanakan tugasnya tanpa disyaratkan, dan tidak pula karena ketama’annya, maka memberikan hadiah kepadanya adalah halal, namun makruh sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud.
4.Suap untuk menolak ancaman atas diri atau harta, boleh bagi yang memberikan dan haram bagi orang yang mengambil. Hal ini boleh dilakukan karena menolak kemudaratan dari orang muslim adalah wajib, namun tidak boleh mengambil harta untuk melakukan yang wajib.
[25] Hasyisah Ibnu Abidin, jilid 4, hlm.303
[26] Syamsuddin Muhammad bin Abil Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Ramli, Nihayatul muhtaj, jilid 08, hlm.243
[27] Abu Muhammad Abdulllah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi , Al-Mughni, jilid 09, hlm.78
[28] Imam an-Nawawi, Raudhatu Ath-Thalibin wa Umdatu Al-Muftin IV/131
[29] Adabul Mufrad 594
[30]Umra’ yaitu pemberian harta kepada seseorang dengan ketentuan apabila yang diberi(itu)meninggal dunia lebih dahulu daripada yang memberi, maka barang tersebut harus harus dikembalikan kepada pihak yang memberi.Sebaliknya apabila pihak yang memberi itu meninggal dunia lebih dahulu daripada yang diberi , maka barang tersebut tetap menjadi milik pihak yang diberi, hingga pada saat meninggalnya, dan untuk kemudian diserahkan kembali kepada ahli waris siPemberi.Tetapi, bila akadnya diucapkan atau dimaksudkan untuk diberikan kepada siPenerima dan ahi warisnya, maka ahli waris sipenerima harta itu pun berhak melanjutkan kepemilikan atas harta itu.
[31]Ruqba yaitu pemberian harta kepada seseorang hanya untuk selama hidup yang memberi dan yang diberi.Sehingga, dengan meninggalnya salah seorang dari keduanya maka akad itupun dianggap selesai.Dan harta itu pun kembali kepada siPemberi dan ahli waris si pemberi.Tetapi, bila akadnya diucapkan atau dimaksudkan untuk diberikan kepada si Penerima dan ahli warisnya, maka ahli waris si penerima harta itu pun berhak melanjutkan kepemilikan atas harta itu.
[32] Dr.Husain Syahatah, Suap dan korupsi dalam perspektif syar’i, Amzah:Jakarta 2008
[33] Ibid
[34] Jurnalis salam, Suap dan pencegahannya didalam al-Qur’an(Yogjakarta, Fakultas ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2014)hlm.125
[35] Ibid
[36] Q.S Al-Qashash:42