Oleh : Muhammad Faishal Fadhli
Syari’at Islam tidak sekedar menurunkan perintah dan larangan saja. Karena sesungguhnya, syari’at Islam diformulasikan untuk mewujudkan kebahagiaan umat manusia.[1] Islam tidak pernah bersikap kaku dalam menyikapi suatu persoalan. Ia selalu memandang setiap persoalan dari berbagai persepektif dan sudut pandang, sehingga hukum-hukum yang dicetuskannya selalu obyektif, kooperatif dan kompherensif.[2]
Maka bisa dipastikan bahwa batasan-batasan yang telah digariskan dalam syari’at Islam, tidak ditujukan untuk mempersulit kegiatan-kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, syari’at Islam ditetapkan dengan tujuan mendatangkan suatu faedah, manfaat, kebaikan dan kepentingan bagi seluruh manusia serta menghindarkan mereka dari segala kerusakan dan kerugian dalam bentuk apapun.
Seperti dalam urusan bermuamalah, syari’at membolehkan jual beli karena ada maslahat dan kepentingan yang bisa diperoleh dengannya. Sedangkan riba diharamkan oleh syari’at karena terdapat unsur kedzhalimandalam transaksi seperti ini. Jual beli yang mengandung gharar juga dilarang karena akan mendatangkan mafsadat atau mudarat yang merugikan bagi salah satu pihak.[3]
Demikianlah sedikit permisalan paling sederhana tentang meraih maslahat dan menghindari mafsadat yang diinginkan oleh syari’at. Masih banyak contoh-contoh lain yang tidak mungkin semuanya disebutkan di sini, karena semua syari’at Islam diproyeksikan untuk menghindari mafsadat dan meraih maslahat.[4] Jika suatu maslahat dalam syari’at tidak diketahui, sebenarnya ada maslahat yang belum terungkap karena kemampuan kita yang terbatas dalam menelaahnya. Pada intinya, di mana ada syari’at, maka di situ ada maslahat.[5]
Akan tetapi, meskipun setiap hukum dalam Islam tidak bisa terlepas dari adanya maslahat, bukan berarti sebuah hukum dapat ditentukan dan diubah semudah membalik tangan dengan berdalih kemaslahatan. Seperti kelompok liberal, mereka berani menghalalkan LGBT[6] atas nama humanisme; memperjuangkan kepentingan dan kemaslahatan manusia. Padahal dalam Islam, ada beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku untuk menetapkan suatu hukum dengan maslahat. Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas dhawabith atau kriteria maslahat yang bisa dipertimbangkan dan menjadi hujjah dalam syari’at Islam. Wallahul musta’an.
YUK IKUT AMAL JARIYAH: PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY AN-NUUR
Hakikat Maslahat[7]
Secara bahasa, kata “al-mashlahah” bermakna kebaikan yang merupakan bentuk tunggal dari kata “al-mashalih.”[8] Kata tersebut berasal dari bentukan tiga huruf sha, la dan ha. Dari tiga huruf itulah terbentuk kata “shalaha”, “shaluha”, “ashlaha”, “shaalaha”, “isthalaha”, “ishtashlaha”, “shalahiyah” dan “ash-Shulhu”.[9] Kata “istashlaha” (mencari maslahat) adalah lawan dari kata “istafsada” (mencari kerusakan).[10]
Fairuz Abadi mengatakan bahwa “mashlahat” (kebaikan) adalah lawan kata dari “mafsadat” (kerusakan).[11] Sedangkan menurut Ibnu Mandzur, kata “al-mashlahah” adalah bentuk tunggal dari kata “al-mashalih”, yang bermakna “shalah” yaitu manfaat atau lawan dari kerusakan.[12] Dalam al-Qawaid as-Sughraa, ‘Izzuddin bin Abdis Salam mendefinisikan arti “al-mashlahah” sebagai kebahagian, kegembiraan, kesenangan dan sebab-sebab yang menyertainya.[13]
Adapun menurut al-Buthi, kata “al-mashlahah” adalah persamaan kata ‘manfaat’ dari sisi makna. Maka segala sesuatu yang mengandung manfaat, baik hal itu berupa mendatangkan faedah dan kenikmatan atau berupa perlindungan seperti menjauhkan dari bahaya atau rasa sakit, semua itu pantas disebut dengan “al-mashlahah.”[14]
Demikianlah arti maslahat ditinjau dari segi kebahasaan. Sedangkan untuk makna maslahat secara definitive, para ulama Ushul Fiqh mempunyai ungkapan yang berbeda-beda. Ar-Raysuni mengakui sangat sulit memberikan definisi yang mendetail mengenai maslahat. Karena definisi ini juga otomatis akan memberikan gambaran pola pikir orang yang mengartikannya.[15] Dalam makalah ini, hanya dicantumkan dua definisi maslahat yang terbaik, karena di antara beberapa definisi yang ada, pendapat Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan Imam asy-Syathibi dalam al-Muwafaqat paling mewakili dan mencakup definisi ulama-ulama yang lain.
Al-Ghazali berkata; “Menurut asalnya, maslahat berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan mudarat. Namun hakikat dari maslahat adalah memelihara tujuan syari’at dalam menetapkan hukum. Sedangkan tujuan syari’at dalam menetapkan hukum ada lima, yaitu; memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Semua yang mengandung pemeliharaan tujuan syari’at yang lima ini, merupakan maslahat, dan semua yang mengabaikan tujuan ini merupakan mafsadat. Sedangkan menolak (yang mengabaikannya) merupakan maslahat.”[16]
Dari perkataan al-Ghazali ini, dapat disimpulkan bahwa syarat utama agar sebuah maslahat bisa dipertimbangkan adalah mengembalikan maslahat kepada tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at.[17] Adapun Asy-Syathibi, beliau mendefinisikan maslahat dari dua sudut pandang, yaitu dari segi terwujudnya maslahat dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntunan syari’at kepada maslahat. Dari segi terwujudnya dalam kenyataan, maslahat berarti; ”Sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia serta kesempurnaan hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara mutlak, sehingga dia merasakan kenikmatan”.[18]
Sedangkan dari segi tergantungnya tuntunan syari’at kepada maslahat, yaitu; “Kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syari’at. Untuk meraihnya, Allah Ta’ala menuntut manusia untuk berbuat, sehingga mencapai kesempurnaan dan lebih mendekati kehendak syari’at. Kalaupun dalam pelaksanaannya mengandung kerusakan, sebenarnya bukan itu yang diinginkan oleh syari’at.”[19]
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat “al-mashlahah” secara umum adalah: ia merupakan nilai kebahagiaan yang ukurannya telah ditentukan oleh syari’at yang itdak menepikan konstruksi kehidupan manusia dan segala aspek yang mengitarinya.
Metode Maslahat[20] Menurut Empat Madzhab
Menurut Abdul Wahab Khalaf, mayoritas ulama sepakat bahwa maslahat bisa dijadikan hujjah.[21]Selain Abdul Wahab, beberapa ahli ushul lainnya juga menegaskan bahwa seluruh madzhab bersepakat menggunakan maslahat. Di antara mereka adalah al-Qarafi (w. 684)[22] , Ibnu Daqiq al-‘Ied (w. 685 H)[23] dan para pakar Ushul Fiqh kontemporer.[24]
Akan tetapi, sebenarnya para fuqaha’ berbeda pendapat apakah suatu maslahat dapat dijadikan hujjah atau tidak. Secara umum, mereka yang berpendapat bolehnya menjadikan al-maslahah al-mursalah sebagai hujjah adalah ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah. Sedangkan ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah tidak berpendapat demikian.[25] Adapun perincian pendapat ulama empat madzhab tentang metode maslahat adalah sebagai berikut:
Pertama: Hanafiyah. Banyak di antara orang-orang yang membahas dan menelaah Ushul Fiqh berkesimpulan bahwa madzhab Hanafiyah juga sebenarnya menggunakan metode al-mashlalah al-mursalah, karena Hanafiyah menggunakan metode Istihsan yang berkaitan erat dengan al-Istishlah atau al-mashlalah al-mursalah.[26]Bahkan Wahbah Zuhaili dengan tegas mengatakan bahwa Hanafiyah termasuk yang membolehkan al-mashlalah al-mursalah, dan menurut beliau yang menolaknya hanyalah Syafi’iyah, Dzhahiriyah dan Syi’ah.[27]
Kedua: Malikiyah. Sebagaimana telah diketahui bahwa ulama’ Malikiyah merupakan pelopor yang ‘mengangkat bendera’ al-mashlalah al-mursalah dan mereka ber-hujjah dengannya.[28]
Ketiga: Syafi’iyah. Terdapat kesimpang siuran bahwa Imam asy-Syafi’i ber-hujjah dengan maslahat. Hal itu dikarenakan beliau tidak berbicara tentang al-mashlalah al-mursalah secara khusus. Sebagian ada yang mengatakan bahwa penolakan beliau terhadap Istihsan menunjukkkan bahwa beliau juga menolak al-Istishlah. Maka dari itu, beberapa ulama madzhab Syafi’i ada yang menerima al-mashlalah al-mursalah namun ada juga yang menolaknya. Di antara yang menolak adalah: al-Amidi sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Ihkam. Adapun yang menerimanya adalah ar-Razi dalam al-Mahsul fi Ilmi Ushul, Imam al-Haramain al-Juwaini dalam al-Burhan fi Ushul Fiqh, serta Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan Minhaj al-Ushul.[29]
Keempat: Hanabilah. Tidak ada kepastian apakah Imam Ahmad menerima al-mashlalah al-mursalah atau menolaknya. Maka dari itu, para pengikut beliau pun berbeda pendapat, ada yang menolaknya seperti Ibnu Qudamah dalam kitab Raudhatu an-Nadzhir wa Jannatu al-Munadzhir dan Muhammad bin Ahmad al-Futuhi dalam kitab Syarh Kaukab al-Munir. Namun di antara mereka juga ada yang menerimanya, salah satunya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dengan tegas beliau berkata bahwa: “Berpendapat dengan al-mashalalih al-mursalah disyari’atkan dalam agama.”[30]
Kedudukan[31] Maslahat dalam Syari’at
Demikianlah pendapat para ulama empat madzhab tentang maslahat. Untuk menengahi perbedaan pendapat di atas, pada pembahasan kali akan dijelaskan tentang kedudukan maslahat dalam syari’at. Sebagai pengantar, perlu diingat bahwa secara umum, para fuqaha sering menegaskan bahwa kedatangan syari’at Islam adalah bertujuan untuk menggapai cita kemaslahatan semesta dan berupaya menghindari segala jenis mafsadat dari setiap jengkal sudut bumi.[32]
Mayoritas ulama mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pembahasan seputar maslahat. Salah satunya adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H), beliau beranggapan bahwa maslahat merupakan suatu hal yang harus ada di setiap penerapan hukum. Beliau berkata: “Penerapan hukum Islam yang tidak berorientasi pada prinsip keadilan, maslahat, rahmat, dan hikmah sebenarnya adalah bentuk pemaksaan interpretasi. Bukannya penerapan substansi syari’at, tapi malah pemaksaan syari’at yang diakibatkan oleh kedangkalan ilmu. Inilah yang menyebabkan para praktisi hukum Islam terjerembab dalam lembah kesempitan.”[33]
Selain itu, dalam kitab Syifa’ al-‘Aliil beliau berkata: “Hal ini merupakan seburuk-buruk prasangka kepada Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin Allah menetapkan syari’at tanpa suatu maslahat yang diinginkan-Nya.”[34] Demikianlah sikap beliau dalam menanggapi orang-orang yang mengingkari adanya hikmah dan maslahat dalam hukum-hukum Islam. Para ulama selain Ibnu Qayyim, baik sebelum ataupun sesudahnya, juga telah banyak memberikan perhatian khusus terkait dengan maslahat yang berkelindan dalam syari’at. Di antara mereka adalah Ibnu Taimiyah (w. 728 H) yang merupakan guru beliau.
Dalam kitab Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah berkata: “Sebagian manusia mengkhususkan al-maslahahal-mursalah (hanya) dengan memelihara jiwa, harta, kehormatan, akal, dan agama, padahal bukan seperti itu. Akan tetapi yang dimaksud dengan al-maslahah al-mursalah adalah (mencakup seluruh hal untuk) meraih manfaat dan mencegah mudarat.”[35] Selain Ibnu Taimiyah, generasi ulama sebelum beliau seperti Izzudin bin Abdis Salam (w. 660 H), yang menulis dua buku yang fenomenal dan monumental tentang maslahat,[36] al-Amidi (w. 631 H), Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H), al-Ghazali (w. 505 H) dan Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478), mereka semua termasuk ulama terdahulu yang bersepakat bahwa maslahat senantiasa menyertai syari’at.[37]
Muhammad Musthafa Syalabi, salah seorang ahli ushul kontemporer menegaskan bahwa perubahan hukum terjadi karena adanya perubahan maslahat (tabaddul al-ahkam bi tabaddulal-mashlahah) dalam masyarakat. Adanya an-nasakh (penghapusan suatu hukum terdahulu dengan hukum yang baru), at-tadarruj fi at-tasyri’ (pentahapan dalam penetapan hukum) dan nuzul al-ahkam (turunnya hukum) yang selalu mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa pewahyuan, semuanya merupakan bukti yang jelas dan menunjukkan bahwa perubahan hukum mengikuti perubahan maslahat yang ada.[38]
Di sisi lain, ketika para ulama memberikan perhatian yang tinggi tentang eksistensi maslahat, banyak orang yang kemudian memanfaatkan maslahat untuk berpaling dari syari’at. Mereka adalah musuh-musuh Islam (kaum orientalis-liberal) yang telah menggunakan senjata baru dalam menghancurkan Islam yaitu dengan menganjurkan dibukanya pintu ijtihad seluas mungkin dan menekankan bahwa metode maslahat adalah metode yang sangat fundamental untuk menjadi rujukan.[39]
Bahkan kaum liberal menolak penerapan syari’at Islam berdasarkan pertimbangan maqashid asy-syari’ah.[40] Atas nama humanisme[41], mereka membidik maslahat yang dianggap terlalu tunduk di bawah hegemoni teks tanpa mempertimbangkan realitas hidup manusia.[42]Mereka menolak paradigma sentralitas teks dan memperluas gerak nalar untuk memilah kemaslahatan meskipun tidak sesuai dengan teks-teks ilahiyah.[43] Padahal dalam Islam, gerak nalar dibatasi. Karena ia tidak bisa mengetahui maslahat tanpa bimbingan wahyu.[44]
Menurut Ibnu Qoyyim, mereka yang terlalu longgar dalam menggunakan maslahat, akan menimbulkan kerusakan. Beliau berkata, ”Di antara kaum muslimin ada orang yang berlebih-lebihan dalam menjaga kemaslahatan umum. Ia menjadikan syari’at itu sesuatu yang terbatas, tidak dapat memenuhi kemaslahatan hamba yang dibutuhkan untuk lainnya. Mereka menutup diri untuk menempuh jalan yang benar dengan cara yang adil. Dan di antara mereka juga ada yang berlebih-lebihan lalu menganggap mudah hukum Allah, mereka menimbulkan kejelekan yang berkepanjangan dan kerusakan yang nyata.[45]
Akan tetapi jika maslahat diabaikan begitu saja, justru akan bertentangan dengan karakter syari’at Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Abdul Wahab Khalaf berkata; ”Saya mengunggulkan penetapan hukum syari’at berdasarkan maslahah mursalah. Karena jika kesempatan ini tidak dibuka, syari’at Islam akan beku dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman dan lingkungan.”[46]
Oleh sebab itu, dalam rangka menjawab perkembangan zaman dan perubahan sosial yang terjadi, karena tidak semua hukum diatur secara eksplisit oleh al-Qur’an dan Hadits, para pakar hukum Islam dituntut untuk memaksimalkan kemampuan intelektualnya dalam mencari solusi hukum terhadap kasus-kasus baru dan mengambil jalan tengah; tidak terlalu mempersulit dan tidak mempermudah penggunaan metode maslahat secara berlebihan.
Maka perlu dipahami bahwa kedudukan maslahat dalam syari’at adalah sebagai muara dari hikmah-hikmah[47] yang bisa dijadikan hujjah. Dengan demikian, pintu ijtihad pun tidak pernah tertutup karena Allah sangat menghargai kemaslahatan. Akan tetapi kemaslahatan tetap ada batasan dan kualifikasinya. Penggunaan metode maslahat tidak boleh bebas tanpa batas. Sebab, penggunaan metode ini dipagari oleh berbagai “aturan main” yang kemudian disebut sebagai dhawabith al-mashlahat.[48]
Kriteria Maslahat Menurut Syari’at
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembahasan ini merupakan pembahasan terpenting yang harus diperhatikan oleh seorang mujtahid atau siapa saja yang mempelajari syari’at Islam. Karena seseorang yang mendalami dan mengkaji syari’at Islam tidak akan mendapat kebenaran dari apa yang dibahasnya, kecuali jika ia menjadikan dhawabith maslahat menurut syari’at sebagai petunjuk. Apabila dhawabith (kriteria) ini disepelekan, maka ia akan terperosok ke lembah kebatilan.[49]
Hal tersebut dikarenakan jika maslahat dan mafasadat hanya dinilai melalui penalaran akal saja, kemungkinan akan menjerumuskan seseorang pada jurang syahwat yang besar. Maka tidak boleh menetapkan hukum dengan bersandar kepada akal.[50] Sebab tidak jarang akal manusia diracuni oleh syahwat dan hawa nafsu.[51] Apa yang sebenarnya bernilai maslahat dianggap mafsadat, dan apa yang bernilai mafsadat dianggap maslahat hanya karena tidak sesuai dengan hawa nafsu. Maka dari itu, nalar tidak terlalu mendominasi dalam maslahat. Karena landasan maslahat dalam Islam adalah petunjuk syari’at, bukan semata-mata berdasarkan akal manusia.[52]
Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang dhawabith maslahat dalam syari’at, perlu kiranya mengetahui sebab kenapa sebuah maslahat harus terikat dengan beberapa kriteria dan ketentuan agar bisa dipertimbangkan oleh syari’at dan bisa dijadikan hujjah. Hal tersebut tidak lain dikarenakan bahwa sesungguhnya maslahat bukanlah sebuah dalil mustaqil (independen/berdiri sendiri) seperti al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang bisa dijadikan sumber pengambilan hukum.[53]
Namun ia adalah makna kulliy (universal) hasil konklusi dari berbagai hukum parsial yang disarikan dari dalil-dalil syar’i. Dan hukum-hukum parsial itu adalah bagian dari makna universal. Maka dapat dikatakan bahwa maslahat atau makna universal itu dibangun berdasarkan hukum-hukum parsial yang disarikan dari dalil-dalil syar’i. Jadi, adanya syarat-syarat ini ditujukan untuk membatasi universalitas maslahat serta mengkaitkannya dengan dalil-dalil syar’i yang menjadi dasar hukum-hukum parsial tadi. Sehingga kesesuaian antara makna universal dengan bagian-bagiannya tetap terjaga. Jika keduanya tidak bersesuaian, maka suatu maslahat tidak bisa dijadikan hujjah.[54] Oleh sebab itu, para ulama menetapkan tiga syarat dalam menjadikan maslahat sebagai hujjah;
Pertama: berupa kemaslahatan yang hakiki, bukan kemaslahatan yang semu. Artinya, penetapan hukum syari’at itu benar-benar menarik suatu manfaat atau mencegah timbulnya bahaya. Jika hanya didasarkan pada kemungkinan dan dugaan semata, berarti itu kemaslahatan yang semu dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Kedua: berupa kemaslahatan umum, bukan kemaslahatan pribadi. Artinya, penetapan hukum syari’at itu dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka. Jadi, sebuah hukum tidak ditetapkan demi kemaslahatan khusus pemimpin atau para pembesar saja, tanpa melihat mayoritas manusia dan kemaslahatan mereka.
Contoh dari penetapan hukum dengan metode maslahat yang kembali pada kepentingan bersama adalah seperti sikap Imam asy-Syathibi tentang penarikan pajak tambahan. Pada masa pemerintahan Abu Al-Hajjaj Yusuf (734-755 H), Kerajaan Islam Granada berada di ambang kehancuran, akibat perang yang menguras habis kas negara dan meyebabkan lumpuhnya perekonomian karena banyaknya pengeluaran.[55]
Oleh sebab itu, pihak kerajaan meminta kepada para ulama agar memfatwakan bolehnya menarik pajak tambahan dari masyarakat guna memperkuat perekonomian. Para ulama ketika itu menolak permintaan kerajaan, akan tetapi dengan melihat realita perekonomian dan mashlahat umat Islam waktu itu, Imam asy-Syathibi melegalkan tindakan tersebut.
Beliau mengatakan; “Apabila kita telah menetapkan seorang pemimpin, kemudian pemimpin tersebut membutuhkan dana untuk memperbanyak pasukan yang menjaga perbatasan kerajaan dan menlindungi wilayah kerajaan yang sangat luas, namun keuangan Baitul Mal sedang kosong, maka jika pemimpin tersebut adil, boleh membebankan pendanan semua itu kepada orang-orang kaya secukupnya sampai keuangan Baitul Mal pulih kembali. Selanjutnya, supaya tidak terkesan pilih kasih yang akhirnya menyebabkan masyarakat tidak enak hati, pemimpin tersebut juga harus menariknya dari hasil pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya.[56]
Ketiga: penetapan hukum untuk kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan dengan nash atau ijma’. Maka tidak sah menganggap suatu kemaslahatan yang menuntut persamaan hak waris antara anak laki laki dan anak perempuan. Kemaslahatan semacam ini sia-sia karena bertentangan dengan nash al-Qur’an.[57]
Contoh lain dari maslahat yang sia-sia karena bertentangan dengan nash al-Qur’an adalah; fatwa Yahya bin Yahya al-Laitsi al-Maliki, ulama Andalusia dan murid Imam Malik bin Anas. Pada masa beliau, ada seorang raja dari negara Spanyol yang berbuka dengan sengaja di siang hari bulan Ramadhan dengan melakukan jima’. Yahya berfatwa bahwa sang raja tidak perlu membebaskan budak, tapi dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut.
Yahya mendasarkan fatwanya bahwa kemaslahatan menuntut hal ini, karena tujuan kewajiban memenuhi kafarat adalah membuat jera dan tidak ada yang membuat raja itu jera kecuali dengan berpuasa. Karena jikalau ia diwajibkan memerdekakan budak, hal itu sangat ringan baginya.
Fatwa ini memang didasarkan pada kemaslahatan, tetapi maslahat tersebut bertentangan dengan nash. Karena nash yang jelas bagi orang yang membatalkan puasanya dengan sengaja di bulan Ramadhan adalah memerdekakan budak, bila tidak menemukan maka harus berpuasa dua bulan berturut turut, dan bila tidak mampu juga maka harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin,[58] tanpa membedakan apakah yang berbuka itu seorang raja atau seorang fakir. Kemaslahatan yang dianggap seorang mufti tersebut tidak termasuk al-maslahah al-mursalah, bahkan itu adalah pendapat yang bathil.[59]
Demikianlah syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi agar sebuah maslahat bisa dianggap sebagai hujjah. Selain ketiga hal di atas, ada juga yang menambahkan satu syarat lagi yaitu; hendaknya berupa kemaslahatan yang bukan termasuk dalam urusan-urusan yang bersifat ta’abudiyyah (ibadah).[60] Tentang syarat atau kriteria maslahat yang bisa dipertimbangkan, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam desertasinya yang berjudul ‘Dhawabith al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah’, memerinci dan menjelaskan panjang lebar bahwa sebuah maslahat bisa diakomodir sebagai dalil hukum, jika memenuhi lima kriteria. Berikut ini adalah ringkasannya:
- Dalam Ruang Lingkup Tujuan Asy-Syaari’.[61]
Al-Buthi menjelaskan bahwa tujuan Allah menetapkan hukum teringkas dalam pemeliharaan terhadap lima hal; melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[62] Sebagaimana jumhur ulama, al-Buthi sepakat bahwa segala prioritas dalam melaksanakan hukum-hukum yang disyariatkan dalam Islam adalah sejalan dengan urutan pemeliharaan kelima unsur pokok di atas.
Dengan kata lain, pemeliharaan terhadap agama lebih didahulukan daripada pemeliharaan terhadap jiwa, dan pemeliharaan terhadap jiwa lebih didahulukan daripada pemeliharaan terhadap akal, dan seterusnya. Kemudian segala hal yang mengandung pemeliharaan terhadap lima hal tersebut dinamakan sebagai maslahat, dan sebaliknya, segala hal yang bertujuan menghilangkan pemeliharaan terhadap kelima hal tersebut disebut sebagai mafsadat.[63]
Demikinlah syarat atau kriteria pertama yang dijelaskan oleh al-Buthi. Ketika memberi pengertian maslahat secara terminologi, al-Buthi mendefinisikannya sebagaimana berikut; “Manfaat yang menjadi tujuan Asy-Syaari‘ untuk hamba-hamba-Nya, demi melindungi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka serta pelaksanaannya sesuai dengan urutan di atas.[64] Inilah hakikat maslahat yang bisa dipertimbangkan syari’at, adapun maslahat yang keluar dari ranah maslahat yang hakiki ada dua macam:
- Maslahat yang secara lahir berlawanan dengan lima perkara tersebut. Seperti perbuatan zina dan minum khamr, walaupun dua hal tersebut menyerupai maslahat karena mengandung kenikmatan dan bisa memberi kebahagiaan, akan tetapi pada hakikatnya justru membawa pada kerusakan, bahkan berlawanan dengan maqashidu asy-syari’ah yang lima.
- Maslahat yang secara lahir tidak berlawanan dengan lima perkara tersebut, akan tetapi berubah karena niat atau tujuan yang buruk. Hal ini dikarenakan bahwa niat seseorang turut menentukan ada atau tidak adanya maslahat dalam timbangan syari’at.
Imam Syathibi berkata; “Orang yang menjalankan syari’at namun mempunyai tujuan yang tidak diinginkan oleh syari’at, pada hakikatnya dia tidak menjalankan syari’at. Hal tersebut dikarenakan Asy-Syaari’ telah menetapkan syari’at untuk suatu tujuan tertentu yang sudah diketahui, maka jika seseorang melakukannya dengan maksud yang berbeda dengan tujuan yang sudah diketahui itu, sebenarnya dia tidak menjalankan syari’at. Jika seperti itu adanya, dia telah melawan Asy-Syaari’ karena dia seperti orang yang mengerjakan sesuatu yang dilarang-Nya dan meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya.[65] Demikianlah pendapat Imam asy-Syathibi yang menjelaskan bahwa niat seseorang dapat mempengaruhi penentuan ada atau tidak adanya maslahat menurut syari’at.
Untuk lebih memperjelas, contoh dari jenis yang kedua ini adalah; jihad karena ingin dipuji. Sebagaimana telah diketahui bahwa jihad adalah syari’at yang mengandung maslahat melindungi agama. Akan tetapi, jika aktivitas jihad tidak berlandaskan tujuan yang benar, maka bisa dikatakan jihad seseorang menimbulkan mafsadat lantaran salah niat. Hal ini juga berlaku di setiap ibadah atau amalan ketaatan lainnya yang bisa gugur karena riya’.[66]
- Maslahat tidak bertentangan dengan al-Qu’ran.[67]
Al-Buthi menyebutkan dua dalil yang menunjukkan benarnya syarat atau kirteria ini:
Pertama; dalil ‘aqli. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa maslahat harus sesuai dengan maqashidus syaari’ fii tasyri’ (tujuan Allah dalam menetapkan syari’at) yang teringkas dalam lima hal; melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[68] Sedangkan maqashidus syari’ah yang lima itu tidak bisa diketahui kecuali dengan kembali pada dalil-dalil syari’at. Dan seluruh dalil-dalil itu kembali kepada al-Qur’an. Maka apabila suatu maslahat bertentangan dengan al-Qur’an, sama saja al-madlul bertentangan dengan ad-dalil dan itu sesuatu yang batil.
Kedua; dalil naqli. Kewajiban berpegang teguh dengan al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi: “Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalillah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[69] Allah juga berfirman: “Dan siapa yang menetang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.”[70] “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”[71] “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kalian mengikuti keinginan mereka.”[72]
Setelah memaparkan beberapa dalil tentang keharusan berpegang teguh dengan al-Qur’an, untuk menjelaskan maksud dari mu’aradhatu al-mashlahah lil kitab (pertentangan maslahat dengan al-Qur’an), al-Buthi menjelaskan bahwa ada beberapa maslahat yang terkadang bertentangan dengan al-Qur’an. Beliau membagi dalam dua bagian:
Pertama; mashlahat mawhumah (maslahat yang imajiner atau masih diragukan) yang tidak memiliki sandaran hukum sama sekali.[73] Maksud dari jenis ini adalah; suatu maslahat yang imajiner bertentangan dengan dalil yang bersifat qath’i. Untuk maslahat yang seperti ini, al-Buthi menjelaskan bahwa sesuatu yang masih tidak jelas menjadi gugur dengan adanya sesuatu yang sudah jelas. Mengutip perkataan al-Ghazali bahwa; “praduga dan pengetahuan tidak bisa bersatu”[74], al-Buthi menegaskan bahwa dalil dzhanniy tidak bisa menandingi dalil qath’iy, dalam arti kata; sesuatu yang masih diragukan dan dikira-kira, tidak bisa menyelisihi sesuatu yang pasti.
Kedua; jenis maslahat yang terkadang bertentangan dengan nash adalah; maslahat yang memiliki sandaran hukum dan disimpulkan dengan proses analogi atau qiyas. Untuk maslahat yang seperti ini, al-Buthi menjelaskan bahwapertentangan-pertentangan yang terjadi karena proses qiyas yang shahih, dan pertentangan itu bersifat parsial seperti khas dan ‘am, mutlaq dan muqayyad, maka hal itu bukanlah pertentangan antara nash dan maslahat, akan tetapi sebenarnya pertentangan antara dua dalil syari’at, yaitu: dzahir al-Qur’an dan qiyas shahih. Penentuan ta’wil dan tarjih dalam kondisi ini dikembalikan kepada pemahaman dan keilmuan ahli Ushul al-Fiqh. Menurut al-Buthi, dua dalil syari’at itu bisa diaktivasikan secara bersamaan.[75]
- Maslahat tidak bertentangan as-Sunnah atau Hadits Nabi.[76]
Seluruh perbuatan Nabi yang di dalamnya terdapat tanda-tanda taqarrub, maka ia merupakan dalil musytarak (multi makna) antara ibahah, nadb dan wujub. Dan suatu maslahat dikatakan bertentangan dengan Sunnah apabila menolak kadar musytarak yang ditunjukkan Sunnah. Adapun maslahat yang dinilai bertentangan dengan Sunnah, tidak terlepas dari dua macammaslahat berikut ini;
Pertama, maslahat yang hanya ditetapkan oleh penalaran akal semata. Dalam hal ini, harus dipahami bahwa barometer benarnya penalaran akal adalah apabila ia tidak menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah. Maka jika maslahat ini jelas-jelas bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, ia bukanlah mashlahat haqiqiyyah. Dengan demikian, maslahat tersebut tidak boleh digunakan atau difungsikan sebagai taqyid atau takhshish. Jadi, al-Qur’an dan Sunnah harus dikedepankan dari pada maslahat tersebut.
Hal ini dikuatkan dengan ijma‘ sahabat bahwa; meskipun mereka berijtihad dengan cara menganalogikan furu‘ kepada ushul dan mendayagunakan kekuatan berfikir terhadap masalah yang tidak terdapat dalam nash, mereka semua menghimbau untuk menjauhi penggunaan nalar dan menolak penyelewengan maslahat yang menyalahi atau menentang Sunnah.[77] Salah satu contohnya adalah Umar yang mengatakan bahwa Ashaabu ar-Ra’yi adalah musuh-musuh Sunnah.[78]
Kedua, maslahat yang didukung oleh dalil al-Qur’an atau Sunnah dan berpatokan pada qiyas (analogi). Dalam hal ini, al-Buthi berpendapat bahwa; maslahat seperti ini jika menyalahi tuntunan as-Sunnah maka tidak disebut dengan qiyas shahih. Kemudian dilihat dari perbedaan di antara keduanya (nash dan qiyas), jika perbedaan itu sifatnya ta’arudh (kontradiktif) antara qiyas dan nash yang bersifat qath’i at-tsubut wa ad-dalalah, maka yang dimenangkan adalah nash, seperti qiyas riba terhadap jual beli.
Akan tetapi jika nash itu tidak qath’i, seperti hadits ahad, maka diperlukan upaya ijtihad dalam mensinergikan nash syari’at antara satu dengan yang lainnya melalui pemahaman secara komprehensif, dan bukan berarti mentarjihkan maslahat tersebut di atas nash.[79]
- Maslahat tidak bertentangan dengan qiyas (analogi).[80]
Suatu maslahat harus bersandarkan dalil meskipun dalil tersebut tidak berhubungan langsung secara khusus, seperti dalam kasus pengumpulan al-Qur’an oleh Abu Bakar radhiyyalu ’anhu, tidak ada ashl yang langsung dianalogikan, tetapi ia termasuk di dalam kerangka hifdzu ad-diin (menjaga agama). Menurut al-Buthi, qiyas merupakan upaya untuk memelihara maslahat yang didasarkan pada persamaan‘illat. Setiap qiyas pasti mempertimbangkan atau memelihara maslahat, tapi tidak setiap pemeliharaan maslahat itu berarti qiyas. Dan suatu maslahat tidak dianggap jika bertentangan dengan al-qiyas ash-shahih.[81]
- Tidak Menyalahi Maslahat yang Setingkat atau Maslahat yang Lebih
Maslahat yang lebih tinggi atau lebih penting harus didahulukan daripada maslahat di bawahnya. Jika terjadi pertentangan diantara maslahat–maslahat, maka sesuatu yang dharuri (primer) lebih didahulukan daripada yang haji (sekunder). Dan sesuatu yang haji lebih didahulukan daripada yang tahsini (tersier).[82]
Salah satu contohnya adalah apabila seorang wanita ikut bekerja di berbagai pabrik dan industri. Dalam kasus ini, terdapat maslahat yang bersifat tahsini (tersier) berkaitan dengan hifdzu al-maal karena dapat menambah pemasukan dan produksi. Akan tetapi, ikut bekerja seperti itu menyebabkan terbengkalainya peran utama seorang wanita yang menjadi ratu dalam sebuah rumah tangga untuk mewujudkan keluarga yang baik. Dan hal ini termasuk perkara haji (sekunder) yang berkaitan dengan hifdzu an-nasl.[83] Maka kepentingan hifdzun nasl yang haji (sekunder) lebih diutamakan atas kepentingan hifdzu al-maal yang tahsini (tersier).[84]
Korelasi Dhawabith Maslahat dengan al-Qawa’id al-Fiqhiyyah
Demikianlah beberapa dhawabith (kriteria), syarat dan ketentuan atau “aturan main” yang berlaku dalam menggunakan metode maslahat untuk menetapkan suatu hukum. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu maslahat tidak bisa diutamakan dari nash. Akan tetapi, ada sebuah pertanyaan yang masih berkaitan dengan dhawabith al-mashlahah di atas.
”Apabila maslahat harus memenuhi semua dhawabith yang telah disebutkan itu, lalu apa faedah dari kaidah “al-Masyaqqatu Tajlibu at-Taysir”[85] dan kaidah “al- ‘Adah Muhakkamah?”[86]. Pertanyaan tersebut mengindikasikan adanya dugaan bahwa dua Qaidah Fiqhiyyah tersebut bertentangan dengan dhawabith maslahat dalam syari’at. Maka pembahasan kali ini akan menegaskan tidak ada kontradiksi di antara dhawabith maslahat dan al-Qawa’id al-Fiqhiyyah serta menjelaskan bahwa keduanya saling berkaitan.
- Korelasi Dhawabith Maslahat dengan kaidah “al-Masyaqqatu Tajlibu at-Taysir”
Kaidah ini menegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang muslim, baik dalam kontstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Jika seorang muslim menghadapi kesulitan dalam menjalankan sebuah kewajiban, maka dalam kondisi seperti inilah Islam memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.[87]
Akan tetapi, perlu dipahami bahwa keringanan yang dimaksud adalah keringanan yang masih berada dalam bingkai syari’at (al-Qur’an, Sunnah, Qiyas yang shahih dan maslahat yang rajih). Dan masyaqqah (kesulitan) yang mendatangkan keringanan bukanlah masyaqqah yang tidak terlepas dari ibadah, seperti masyaqqah berupa rasa lelah dalam ibadah haji atau rasa takut dalam jihad. Masyaqqah tidak menggugurkan kewajiban ibadah karena sudah menjadi konsekuensi logis. dari jenis pekrejaan yang dilakukan. [88]
Perlu diketahui juga bahwa setiap kali Allah mewajibkan sesuatu, maka di sana ada keringanan yang juga disyari’atkan untuk mempermudah pelaksanaannya jika terkendala kesulitan.[89]Seperti keringanan untuk duduk dan jama’ yang menyertai kewajiban shalat dan kebolehan berbuka puasa bagi musafir menyertai kewajiban shaum dan sebagainya.[90]
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kontradiksi di antara dhawabith maslahat dan kaidah ini. Karena keringanan yang dimaksud adalah keringanan yang tidak menyelisihi al-Qur’an, as-Sunnah dan Qiyas.[91] Justru keduanya saling menguatkan karena sama-sama mengutamakan nash-nash syar’i.
- Korelasi Dhawabith Maslahat dengan kaidah “al-‘Aadah Muhakkamah”
Arti dari kaidah di atas adalah; “Adat istiadat dapat dijadikan pijakan hukum.”[92]Anggapan bahwa dhawabith maslahat bertentangan dengan kaidah ini dikarenakan pemahaman yang keliru terhadap makna kaidah.[93] Maka perlu ditegaskan bahwa makna kaidah ini bukan berarti sebagian hukum-hukum syari’at dengan serta merta bisa berubah sesuai tradisi dan adat istiadat di suatu tempat.Karena sebuah tradisi bukanlah landasan yuridis atau perangkat metodologis otonom yang berfungsi mencetuskan hukum-hukum baru.[94]
Fenomena kebudayaan hanyalah “sekedar ornamen” untuk melegitimasi hukum-hukum syari’at dan bukanlah sebuah dalil mustaqil (independen/berdiri sendiri) yang akan melahirkan produk hukum. Karena adat yang bisa dijadikan piranti hukum hanyalah adat istiadat yang dinilai baik menurut perspektif syari’at dan tentunya tidak bertentangan dengan nash-nash syar’i.[95]
Adapun jika suatu ‘urf (tradisi) dijadikan “hakim” yang bisa memutuskan status hukum padahal ada nash yang umum, bukan berarti nash tersebut dinegasikan dan tradisi diutamakan. Justru nash tersebut difungsikan dengan universalitasnya. Maka takhsish an-nash dengan ‘urf bukanlah bentuk peremehan terhadap nash.[96] Dari penjelasan ini, bisa disimpulkan bahwa dhawabith maslahat tidak bertentangan dengan kaidah “al-‘Adah Muhakkamah”, justru keduanya saling mendukung karena sama-sama mengedepankan nash-nash syar’i.
BACA JUGA: IMAM SYAFI’I ADALAH RAFIDHAH, BENARKAH?
Korelasi antara Maslahat dan Maqashidu asy-Syari’ah
Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, dalam desertasinya yang berjudul “Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah,” menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara al-mashlahat al-mursalah dan maqashidu asy-syari’ah. Hal tersebut dikarenakan syarat-syarat suatu maslahat tidak bisa terlepas dari pemeliharaan terhadap Maqashidu asy-Syari’ah.[97]
Beliau juga mengatakan bahwa beramal dengan maslahat merupakan amalan dalam bingkai maqashidu asy-syari’ah dan tidak boleh beramal dengan maslahat jika tidak berada dalam ruang lingkup maqashidu asy-syari’ah.[98] Dalam menggunakan metode maslahat, Imam Malik memang dikenal sebagai seorang ulama yang paling longgar.[99] Akan tetapi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam asy-Syathibi, walaupun Imam Malik terkesan longgar dalam hal ini, beliau masih menjaga maqashidu asy-syari’ah, tidak keluar darinya dan tidak menyelisihi pokok-pokok di dalamnya.[100] Al-Qarafi ikut menghilangkan kesan negatif tentang Imam Malik dalam hal ini dengan menambahkan bahwa beliau mensyaratkan ahliyatu al-ijtihad (kelayakan untuk berijtihad) dalam ber-hujjah dengan maslahat agar seseorang mengetahui caraberakhlaq dengan syari’at.[101]
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa maslahat dan maqashidu asy-syari’ah merupakan dua hal yang saling berkaitan. Karena maqashidus syari’ah menjaga nila-nilai kemaslahatan bagi manusia.[102]
Kesimpulan
Suatu maslahat dapat dijadikan hujjah apabila memenuhi syarat dan kriteria yang disebut “dhawabith al-mashlahah”. Maka dari itu, dalam menentukan suatu hukum, menerapkan dhawabith maslahat adalah sebuah keniscayaan agar intervensi hawa nafsu di dalamnya dapat dihilangkan. Tidak berlebihan kiranya jika dhawabith maslahat disebut sebagai salah satu perangkat ijtihad yang aksiomatik.
Selain itu, adanya dhawabith maslahat dapat memperlihatkan perbedaan antara konsep maslahat dalam Islam dan konsep maslahat versi humanism yang mengatakan bahwa standar untuk menentukan maslahat adalah dengan pertimbangan akal dan realitas yang berbeda dan berubah. Adapun dalam Islam, maslahat adalah nilai kebahagiaan yang bisa diwujudkan dengan ketentuan syari’at, bukan dengan penalaran akal semata. Wallahul muawafiq ilaa aqwamith thoriiq.
[1]Muhammad Said Ramadhan al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus: Daar al-Fikr, 2005). Hal. 123.
[2] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya; Khalista cet 2, 2005) hal. 191.
[3] Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Fiqhi al-Islamiy, (Damaskus: Daar al-Fikr, cet. 1 t. 2005) Jil. 2 Hal. 38
[4] Al-‘Izz bin Abdus Salam, Qawa’id al-Ahkam fii Ishlaahi al-Anaam, (Beirut: Daar al-Ma’arif, tanpa tahun). Jil. 1. Hal. 9
[5]Al-Qarafi, an-Nafais Syarh al-Mahshul, (cet. 1, 1994).Jil. 1. Hal. 324.
[6]LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). Di antara tohok-tokoh liberal adalah: Irshad Manji dan Musdah Mulia. Contoh kasus tentang hal ini adalah terbitnya sebuah artikel berjudul “Indahnya Kawin Sejenis” dalam jurnal “JUSTISIA” yang mendapat ijin terbit dari: Dekan Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang.
[7]Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disebutkan bahwa arti dari maslahat adalah; sesuatu yang mendatangkan kebaikan, keselamatan dan sebagainya seperti; faedah atau guna.Sedangkan arti dari kemaslahatan adalah; kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan. Adapun kata ‘maslahat’ dalam kosa kata bahasa Indonesia adalah serapan dari kata “al-mashlahah” dalam bahasa Arab. Besar kemungkinan adanya penyerapan bahasa ini dikarenakan sulitnya mencari padanan kata yang mampu mewakili arti yang dikandung oleh kata “al-mashlahah” dalam bahasa Indonesia.
[8]Al-Fayumi, al-Mishbah al-Munir, (Beirut, Maktabah al-Ilmiyah) Jil.1 hal. 345.
[9]Ibrohim Musthofa, dkk, al Mu’jam al Wasith, (Kairo: Maktabah asy- Syuruq ad-dauliyah, cet. ke – 4, 2004 M/1425 H). Hal. 520
[10] Muhammad bin Muhammad al-Husaini, Tajul ‘Arus Syarh al-Qamus, Jil.3 hal. 183
[11] Al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, Jil. 1. Hal. 391 (Versi Maktabah Syamilah)
[12] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Kairo: Darul Ma’arif) Hal. 2479-2480. Pengertian ini juga termaktub dalam kitab Mukhtaataru ash-Shahaah, Hal. 75
[13]Izzudin bin Abdis Salam, al-Fawaid fi Ikhtishaari al-Maqashid aw al-Qawaid as-Sughraa (Damaskus: Daar al-Fikr 1996). Hal. 32.
[14]Lihat Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Dhowabitul Maslahah.(Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), Hal. 23
[15] Ahmad dan Muhammad Jamal Barut ar-Raysuni, Al-Ijtihad: an-Nash, al-Waqi’, al-Maslahah, (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’âshir, 2000), hal 33-37.
[16] Imam Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustashfa bi tahqiqi Abdullah Mahmud Muhammad Umar, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, cet 1, 2008) Hal. 275.
[17] Husen Hamid Hasan, Nadzhariyat al-Mashlahah fi Fiqhi al-Islamiy, hal. 8
[18]Asy-Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul Asy Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, Cet 1, 1997 M/1417 H) Jil. 2. Hal. 44
[19]Ibid. Jil. 2. Hal. 45.
[20]Maksud maslahat dalam makalah ini adalah “al-Mashlahah al-Mursalah.”Yaitu maslahat yang termasuk dalam tujuan syari’at, namun tidak ada dalil khusus yang menetapkan atau menolaknya. Lihat al-Mustashfa karya Imam al-Ghazali (Beirut: Daar Kutub al-‘Ilmiyah). Hal. 173. Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul Fiqh. Hal.74 dan 84 dan Muhammad Kamaluddin Imam, Ushulul Fiqh al-Islamiy, Hal. 200.
[21]Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Maktabah ad-Dakwah, tanpa tahun). Hal. 85
[22]Beliau adalah ulama madzhab Malikiyah Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Idris al-Qarafi (w. 684). Adapun pernyataan beliau dalam hal ini bisa dilihat dalam kitab; “Syarh Tanqqih al-Fushuul”, hal. 394.
[23]Beliau adalah Musa bin Ali bin Wahb bin Muthi’ al-Qusyairi (641-685 H/1244-1286 M).Seorang ulama ternama di masanya. Lihat: al-A’lam, karya az-Zarkali. Adapun beliau dalam hal ini adalah sebagaimana dinukil oleh Badruddin Muhammad bin Bahadir bin Abdullah az-Zarkasyi dalam al-Bahru al-Muhith (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1421 H/2000 M) ,Jil. 4. Hal. 378 .
[24] Mereka adalah: Mushtafa Zaid dalam al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islami hal.38-60, al-Buthi dalam Dawabith al-Mashlahah hal.367, Musthafa Ahmad az-Zarqa dalam al-Istishlah hal.60, al-Bugha dalam al-Adillah al-Mukhtalafah Fiiha, hal. 41. Lihat juga: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal. 504.
[25] Lihat: Ibnu Amir al-Haj, at-Taqrir wa Tahbir (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. ke-2 th.1316 H) Jil. 3. Hal. 286, Muhammad Amir, Taysir at-Tahrir, (Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t. th). Jil. 4. Hal. 171, Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Ihkamul fii Ushuli al-Ahkam, Jil. 4. Hal. 160. (Beirut: Daar al-Afaaq al-Jadiidah, cet. ke-2 t. 1402 H).
[26]Mereka yang berpendapat demikian adalah: Abdul Wahab Khalaf dalam Mashadir at-Tasyri’, hal. 90, al-Buthi dalam Dawabith al-Mashlahah hal. 380, Musthafa Ahmad az-Zarqa dalam al-Istishlah hal.60 dan Mushtafa Zaid dalam al-Mashlahah fi Tasyri’ al-Islami hal. 45. Lihat juga: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal. 503.
[27] Wahbah Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul Fiqh al-Islamiy, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1995). Hal. 93.
[28]Al-Qarafi, Syarh Tanqiih al-Fushul, (Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, 1941).Hal. 394. Asy-Syathibi, al-I’tisham (Daar al-Aqiidah, 2006). Hal.337.Muhammad Amin asy-Syanqithi, al-Mashalih al-Mursalah, (Madinah: al-Jami’ah al-Islamiyah, 1978). Hal. 10
[29] Lihat: Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 2008), hal. 503.
[30] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, (Makkah: Daar al-Wafa’, 2005). Jil. 11. Hal. 344
[31] Maksud kedudukan di sini adalah status dan fungsi maslahat dalam syari’at, apakah dia termasuk dalil yang bisa dijadikan sumber hukum ataukah ia tidak lebih dari sekedar tujuan hukum saja.
[32] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya; Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal. 191.
[33] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin, (Beirut; Daar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, tanpa tahun) Jil. 3. Hal.11.
[34] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Syifa’u al-‘Alil, hal. 431
[35] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, (Daar al-Wafa’, 2005M/1426 H) Jil. 11. Hal. 343. Yusuf al-Qardhawi menguatkan pendapat ini dalam Madkhal li ad-Dirasah al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), hal. 58
[36]Buku yang dimaksud adalah al-Qawaid al-Kubraa (Qowaidul Ahkam fi Ishlaahi al-Anam) dan al-Qawaid as-Sughraa (al-Fawaid fi Ikhtishaari al-Maqashid).
[37] Lihat Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari’ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Riyad: Daar al-Hijrah, 1998), hal. 49-67.
[38] Muhammad Mustafa asy-Syalabi, Ta’lil al-Ahkam, (Beirut: Daar Ibn al-Jauzi, 1423 H), hal.307.
[39]Al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2005). Hal. 11
[40]Lihat Nirwan Syafrin, Kritik terhadap Paham Liberalisai Syariat Islam, (Jurnal Tsaqofah, R. Tsani 1429 H) Jil.4. No. 2.Hal. 290.
[41]Humanisme memiliki arti dan definisi yang beragam, tergantung pada proyek-proyek dan rancana yang diajukan.Namun maksud dari humanisme di sini adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Menurut mereka, standar untuk menentukan maslahat adalah dengan pertimbangan akal dan realitas yang berbeda dan berubah. Lihat: http://www.scribd.com/doc/57521631/Tantangan-Humanisme-Dan-Konsep-Maslahat-Dalam-Islam
[42] Pernyataan Irwan Masduqi dalam bukunya “Mengetuk Pintu Syari’ah; Sebuah Telaah Diskursus Maqashid Syari’ah, Metode Utilitarianistik, (KSW, 2006) cet-1.Hal 28. (dikutip dari Irwan Masduqi, Rekonstruksi Paradigma Hukum Islam, (http://www.scribd.com/doc/27965052-E-Book-Rekonstruksi-Paradigma-Fikih-Islam). Diakses pada hari Sabtu, 15 November 2014 pada pukul 05:46.
[43] Ibid. Hal. 19
[44]Asy-Syathibi, al -I’thisam, (Kairo: Daar al-Aqidah, 2006). Hal. 32.
[45]Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al -Fiqh, hal. 88. Mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Iktilaafu al-Ulamaa’ fi al-‘Amal bi as-Siyasah, Jil. 4 Hal.372 ,ath-Thuruq al-Hukmiyyah, Jil. 1. Hal. 18, dan kitab Bada’iu al-Fawaid, Jil. 3. Hal. 674
[46] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Hal. 88.
[47]Penelitian yang mendalam atas sedemikian banyak nash al-Qur’an dan hadits menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa hukum Islam senantiasa dilekati hikmah dan illah yang bermuara kepada maslahat, baik bagi masyarakat maupun perorangan. Lihat; Thahir bin ‘Asyur, asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Kairo: Daar as-Salam, 2006), hal. 12
[48] Al-Buthy, Dhawabith al-Maslaẖah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus: Daar al-Fikr, 2005). Hal. 24-26.
[49] Ibid.Hal. 115.
[50] Husen Hamid Hasan, Nadzhariyatu al-Mashlahah fi Fiqhi al-Islamiy, hal. 51, sebagai kesimpulan dari perkataan Imam Asy-Syathibi dalam kitab al-Muawafaqat, (Daar Ibnu ‘Affan, 1997). Jil. 1. Hal. 27
[51] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya; Khalista, 2005).Hal. 191.
[52] Amir syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, Cet 5, 2009 M) Jil. 2.. Hal. 326.
[53] Lihat Al-Buthy, Dhawabith al-Maslahah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah. (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005). Hal. 115
[54] Ibid. Hal. 116.
[55] Pada waktu itu, kristen Qusytalah melakukan penyerangan dan berhasil menguasai Jiyan, Sativa, dan Sevilla. Lihat: Nihayatul Andalus, Hal. 122
[56]Asy-Syathibi, al-I’tisham. (Kairo: Daar al-Aqidah). Hal. 343.
[57]Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, hal. 86-87.
[58]H.R. Bukhari no. 1088, Muslim no. 1870 dan Abu Daud no. 2042.
[59]Lihat al-Mustashfa fi Ilmi al-Ushul Hal. 173, karya Imam al-Ghzali al-I’tisham karya Abu Ishaq asy-Syatibi dalam pembahasan perbedaan antara bid’ah dan al-maslahat al-mursalah. Jil. 1. Hal. 87. Lihat juga Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, Abdul Wahab Khalaf hal. 87.
[60]Asy-Syatibi, al-I’tisham, Jil. 2. Hal. 124 dan Abdul Wahab Khalaf, Mashadiru at-Tasyri’, Hal. 99.
[61] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 119-128.
[62] Ibid. Hal. 120.
[63]Hal ini selaras dengan berbagai definisi yang diutarakan oleh al-Ghazali dalam al-Mustashfa sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan “Hakikat Maslahat.”Kemudian al-Buthi memperkuat dan menegaskan kembali dalam desertasinya, Dhawabith al-Maslahah fî as-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risaalah, 1973).Hal. 129.
[64] Ibid. Hal. 23.
[65]Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, Jil. 3. Hal. 30
[66] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 125.
[67] Ibid. Hal. 129-151
[68] Ibid. Hal. 120.
[69] Q. S. an-Nisa’: 59.
[70] Q. S. an-Nisa’: 115.
[71] Q.S. al-Maidah: 44
[72] Q.S. al-Maidah: 49
[73] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 131-132.
[74]Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa, Jil. 2. Hal. 126.
[75] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî as-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal 139.
[76] Ibid. Hal. 161-215.
[77] Ibid. Hal. 174-175.
[78]IbnuQayyim, A’lamu al-Muwaqqi’in, (Beirut: Daar al-Jail, 1973). Jil. 1. Hal. 55
[79] Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan, Dhawabith al-Maslahah fî asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 194
[80] Ibid. Hal. 216-247.
[81] Ibid. Hal. 246.
[82] Ibid. Hal. 250-251.
[83] Abdul Karim bin Ali bin Muhammad an-Namlah, al-Muhadzzab fi ‘Ilmi Ushul Fiqh al-Muqaran, (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd). Jil. 3. Hal. 1005
[84] Ibid. Hal. 260-261.
[85] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 76. Ibnu Najim, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 74. Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, Huruf mim. Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Hal. 218.Musthafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Hal. 598.
[86] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 89. Ibnu Najim, Al-Asybah wa an-Nadzhair, Hal. 92. Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, Jil. 2. Hal. 356. Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Hal. 270. Musthafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Hal. 604.
[87] Lihat: Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-Fiqhiyyah Lihat juga: Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya; Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal. 173
[88] As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadzhair, hal. 168. Al-Izz, Qawa’idu al-Ahkam, Jil. 2. Hal. 7
[89] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973). Hal. 277.
[90] Al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Beirut: Muassasah ar-Risalah). Hal. 227.
[91] Al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973)Hal. 279.
[92]Kaidah ini merupakan ungkapan teringkas sekaligus terbaik di antara formulasi yang pernah dibuat ulama-ulama terdahulu. Sebelumnya, perumusan teks kaidah ini tertuang dalam beragam ungkapan yang cenderung rumit dan kurang sederhana, seperti: “al-I’tibar bi al-A’daat wa ar-Ruju’ ilayha.”(Memperhitungkan tradisi dan merujuk kepadanya) dan “Mura’at al-A’raaf wa al-A’daat.”(Memelihara tradisi dan adat istiadat). Lihat juga: Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya; Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal. 267.
[93]Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Maslahah fî asy-Syari’ah al-Islamiyah, (Bairut: Mu’assasah ar-Risâlah, 1973).Hal. 281.
[94] Lihat Muhammad Sidqi bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhaahi al-Qawaid al-Fiqhiyyah dan Abdurrhaman bin Abdullah asy-Sya’lani, Dirasah wa Tahqiq Kitab al-Qawaid.
[95] Abdul Haq, dkk. Formulasi Nalar Fiqih, Telaah Kaedah Fikih Konseptual, (Surabaya; Khalista cet . ke – 2, 2005) Hal. 268.
[96]Mushtafa az-Zarqa’, al-Madkhal al-Fiqhiy, Jil. 2. Hal. 880.
[97] Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari;ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 1430). Hal. 505.
[98]Ibid. hal. 507.
[99]Muhammad Musthofa Syalabi, Al Madkhal fi al-Fiqh al-Islamiy, Hal. 256.
[100] Asy-Syathibi, al-I’tisham,
[101] Dikutip dari an-Nafais Syarh al-Mahshul oleh Muhammad Sa’d bin Ahmad bin Mas’ud al-Yubi, Maqashid as-Syari;ah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillah as-Syar’iyyah, (Saudi: Daar Ibnul Jauzi, 1430). Hal. 508.
[102] Lihat Manna’ al-Qathan, Raf’u al-Haraj fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, (Riyadh: ad-Dar as-Su’udiyyah, 1982), hal. 61