Oleh: Muhammad Rasyid Ridho
Tahun 2012, gerakan Syiah – red. Rafidhah –[1] sudah menggurita dan menyebar ke seluruh sendi kehidupan umat Islam Indonesia[2] dengan segenap talbis – tipuan – yang banyak menyerupai penampilan Islam, tak jarang distorsi dan syubhat mereka ekspos di berbagai media, sehingga mampu membius dan menggiring sebagian umat Islam ke lorong-lorong kesesatan yg tak terperikan.
Di antara syubhat-syubhat itu adalah syair Imam Asy-Syafi’i yang mereka distorsikan dan riwayat dusta atas namanya. Syair beliau memang acap kali menjadi kontroversi dan dalih untuk membenarkan ajaran Syiah, seperti ungkapan yang tertera pada syairnya bahwa beliau mengakui dirinya seorang Rafidhah.
Hal ini jelas sekali kesimpulan yang absurd, karena jasanya sangat besar terhadap penjagaan hadits Nabi. Imam Ahmad bin Hambal berkomentar tentangnya, “Tidaklah setiap orang yang menyentuh tinta atau pun pena (untuk menulis ilmu) melainkan Asy-Syafi’i mendapatkan kebaikan darinya. Kalaulah bukan karena Imam Asy-Syafi’i niscaya kami tidak akan paham hadits, dan fikih yang pada saat itu terkunci sampai Allah membukanya dengan perantara Asy-Syafi’i.”[3]
Makalah ini akan memaparkan syubhat-syubhat Syiah tentang Imam Asy-Syafi’i, sekaligus bantahan-bantah terhadap syubhat-syubhat tersebut dengan argumen yang Penulis anggap kuat untuk meruntuhkan argumen mereka.
YUK IKUT AMAL JARIYAH: PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS MA’HAD
Biografi Imam Asy-Syafi’i
Nama lengkap Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saaib bin Ubaid bin Abd Yaziid bin Haasyim bin Al-Muthallib bin Abdi Manaaf, sehingga nasabnya bermuara kepada Abdu Manaaf kakek buyut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Muthallib adalah saudaranya Hasyim ayahnya Abdul Muthallib kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kepada Syafi’ bin As-Saaib penisbatan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah.[4]
Ibunya bernama Fatimah binti Abdullah Al-Uzdiyah, ia seorang wanita ahli ibadah dan berakhlak mulia. Ia berasal dari suku Uzdi, salah satu suku Yaman.
Ia lahir di Ghaza (Palestina) pada tahun 150 Hijriah, tahun dimana wafatnya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsaabit Al-Kuufi rahimahullah.[5]
Ia dipelihara oleh ibunya dalam kondisi yatim. Pada saat ia berumur dua tahun, sang ibu membawanya ke Hijaz untuk tinggal dengan suku Uzdi hingga ia berumur sepuluh tahun, dan dibawa kembali ke Makkah agar anaknya tidak lupa dengan suku aslinya yaitu Quraisy, sehingga dia tumbuh berkembang di Mekah dalam kondisi yatim.[6]
Imam Asy-Syafi’i menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hamidah binti Nafi` bin Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan. Dia dikarunia dua anak laki dan satu anak perempuan yang merupakan hasil pernikahannya dengan Hamidah, mereka Muhammad Abu Utsman, Muhammad Abu Al-Hasan dan Zainab.[7] Ia wafat pada tahun 204 Hijriyah di Mesir.[8]
Definisi Syiah Rafidhah
Secara etimolgi, Rafidhah berasal dari kata (رفض), maknanya (الترك) meninggalkan. Jika dikatakan (رفضت الشيء) maka maknanya adalah meninggalkannya.[9]
Muhammad Al-Azdy dan Ali bin Sidah menyebutkan bahwa Rafidhah masdarnya adalah (الرفض) memiliki makna (فارق) memisahkan atau meninggalkan. Dinamakan Rafidhah karena mereka meninggalkan Zaid bin Ali dan memisahkan diri darinya.[10]
Di dalam Al-Mishbah Al-Munir disebutkan bahwa Rafidhah adalah firqah dari Syiah Kufah.[11] Ibnu Ya’kub Al-Fairuz Abadi mengatakan bahwa Rawafidh adalah setiap pasukan yang meninggalkan pemimpinnya, dan Rafidhah adalah kelompok yang memisahkan diri dari mereka.[12]
Dari definisi ini, terlihat jelas adanya korelasi antara makna etimologis dengan makna terminologis yang akan dipaparkan setelah ini.
Adapun secara terminologi, Rafidhah adalah sebuah firqah yang menisbatkan dukungan mereka kepada ahlul bait, seraya berlepas diri dari Abu Bakar, Umar dan seluruh sahabat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, mencaci dan mengkafirkan mereka kecuali beberapa orang saja.[13]
Imam Asy-Syafi’i berkata,[14]“Siapa yang mengatakan Abu Bakar dan Umar bukanlah Imam – Khalifah setelah Nabi – maka ia adalah seorang Rafidhah.”
Imam Ahmad mendefinisikan Rafidhah adalah orang-orang yang bara’ (berlepas diri) dari para sahabat Nabi, mencela dan mencaci mereka.[15]
Syaikh Ismai bin Muhammad Al-Ashbahani mengatakan bahwa Rafidhah adalah orang-orang yang meninggalkan Zaid bin Ali karena tidak mau bara’ dari Abu bakar dan Umar. Mereka juga mencaci Abu Bakar, Umar dan orang-orang yang mencintai keduanya, serta membolehkan untuk memerangi umat.[16]
Definisi yang dijelaskan oleh para ulama di atas, secara eksplisit memiliki substansi yang sama, namun Penulis lebih memilih definisi pertama, karena definisinya komplet mencakup keseluruhan dari definisi yang ada.
BACA JUGA; NEO GENOSIDA MUSLIM UIGHUR
Sekilas tentang Rafidhah
- Awal kemunculan Rafidhah
Ideologi Rafidhah sudah ada sejak masa Khilafah Rasyidah yang ketiga, khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu, hingga mengkristal di masa khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu‘anhu. Orang pertama yang mencetuskan paham Rafidhah adalah Abdullah bin Saba’ si Yahudi dari kalangan Yahudi Yaman, atau bahasa yang sering dipakai oleh ahli sejarah untuk Abdullah bin Saba’ adalah Ibnu Sauda’. Dia menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya, kemudian datang ke Madinah pada masa Utsman bin ‘Affan radhiyallahu‘anhu dan hidup berpindah-pindah di negeri kaum muslimin – bermula dari Hijaz, Bashrah, Kufah dan Syam – untuk melakukan konspirasi.
Namun Ibnu Saba’ gagal melakukan usaha konspirasi di negeri Syam, kemudian ia pergi menuju Mesir untuk mencari pendukung demi melanjutkan usaha konspirasinya, hingga berhasil menciptakan fitnah besar di kalangan para sahabat, bahkan bersama pengikutnya membunuh khalifah Utsman bin Affan.[17]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Asal usul Rafidhah dari kalangan munafik dan zindiq. Rafidhah itu dibuat oleh Ibnu Saba’ yang zindiq. Dia menampakkan sikap ekstrim mendukung Ali dengan propaganda bahwa Ali yang berhak untuk kepemimpinan karena ada wasiat Nabi untuk Ali.”[18]
Perihal Abdullah bin Saba’ menjadi foundingfather paham Rafidhah juga dikuat oleh riwayat shahih dari Syu’bah bahwa Ali bin Abi Thalib berkata,[19] “Saya tidak ada hubungan dengan Al-Hamiit Al-Aswad – yaitu Abdullah bin Saba’ – karena ia menghina Abu Bakar dan Umar.”
Adapun penamaan Rafidhah, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pertama kali muncul pada tahun 121 H ketika Zaid bin Ali bin Al-Husain keluar untuk memerangi Hisyam bin Abdul Malik, dan orang-orang Syiah berkumpul di sisi Zaid bin Ali. Kemudian mereka meninggalkan Zaid bin Ali disaat mereka meminta dia untuk menyatakan putus hubungan dengan Abu Bakar dan Umar, tetapi dia justru mendoakan rahmat untuk mereka berdua. Oleh karena itu, mereka yang meninggalkan Zaid bin Ali dinamakan Rafidhah, sedangkan yang tetap di sisinya dinamakan Zaidiyah.[20]Ibnu Katsir menambahkan bahwa mereka yang berkumpul di sisi Zaid bin Ali adalah penduduk Kufah sebelum pada akhirnya meninggalkannya.[21]
Syaikh Ibrahim Al-Ruhaili menyimpulkan ada empat tahapan Rafidhah dalam perkembangannya hingga menjadi firqah yang independen,[22]
Pertama, dakwah Abdullah bin Saba’ secara diam-diam kepada inti ajaran Rafidhah, dimana akidah Rafidhah berlandaskan atas hal tersebut. Tahapan ini berlangsung di pertengahan masa kekhilafahan Utsman bin Affan.
Kedua, dakwah secara terang-terangan dalam menyebarkan akidah Rafidhah. Tahapan ini dimulai setelah kematian Utsman bin Affan.
Ketiga, bertambah besarnya kekuatan dan pengikutnya di bawah satu komando. Tahapan ini dimulai setelah kematian Al-Husain bin Ali.
Keempat, Rafidhah memisahkan diri dari Zaidiyah dan menjadi sebuah firqah independen. Ini adalah tahap terakhir dari perjalanan Rafidhah. Ini terjadi pada tahun 121 H. tatkala Zaid bin Ali keluar untuk memerangi Hisyam bin Abdul Malik.
- Di antara Penyimpangan Ajaran Rafidhah
Pertama, bolehnya memakan dan meminum air kencing dan tahinya para Imam, bahkan siapa yang mengerjakan itu dijamin tidak akan masuk neraka dan wajib baginya surga. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Mula Zainal Abidin Al-Kulyayakani – seorang ulama Rafidhah – dalam kitabnya ‘Anwar Al-Wilayayah,[23]“Kencing para Imam yang maksum, darah, dan tahi mereka tidak termasuk najis dan kotoran yang harus dijauhi ketika shalat dan ibadah lainnya… bahkan siapa yang meminumnya Allah akan haramkan neraka baginya dan pasti masuk surga.”
Kedua, kemaluan Nabi masuk neraka. Sayyid Ali Al-Gharawi – salah satu ulama Syiah Imamiyah di Hauzah- berkata,[24]“Sungguh kemaluan Nabi shallallahu‘alaihiwasallam akan masuk neraka. Sebab dia menggauli beberapa wanita musyrik – yang dimaksud adalah pernikahannya dengan Aisyah dan Hafshah –.”
Perkataan dusta dan pelecehan terdahsyat ini mendeskripsikan bentuk ajaran Syiah yang sesungguhnya.Riwayat ini sekaligus membongkar cinta monyet mereka atas ahlu bait Nabi.
- Syubhat yang dilontarkan Rafidhah tentang Imam Asy-Syafi’i dan Bantahannya
Setelah melihat sekilas sejarah Rafidhah, awal kemunculan dan beberapa ajaran sesat mereka yang penuh dengan kekufuran, menurut Penulis hal itu cukup menjadi protector – pelindung – pertama bagi umat Islam dalam menyikapi syubhat, riwayat dan berita miring tentang para sahabat Nabi, Tabi’in dan para ulama yang senantiasa mengikuti jalan salafush saleh.
Akan tetapi, dengan hanya memiliki protector saja untuk mengcounter syubhat-syubhat yang dilontarkan Rafidhah tidaklah cukup, tentu harus memiliki senjata yang mampu mematahkan syubhat-syubhat mereka, apalagi jika dalil pembenaran ajaran mereka itu dicomot dari kitab Ahlus Sunnah.
Berikut ini syubhat-syubhat Rafidhah tentang Imam Asy-Syafi’i sekaligus bantahannya.
- Syair Imam Asy-Syafi’i yang mengindikasikan dirinya seorang Rafidhah.
Menurut perspektif Rafidhah, syair Imam Asy-Syafi’i mendeskripsikan bahwa ia adalah orang pro Rafidhah, bahkan Rafidhi – pengikut Rafidhah –. Terlebih mereka yang di Indonesia sering menggunakan syairnya guna menciptakan syubhat di tengah umat Islam.
Para ulama Rafidhah menjadikan bait syairnya sebagai hujah untuk pembenaran ajaran Syiah. Mereka juga mencantumkan perkataan Imam Asy-Syafi’i secara eksplisit yang menyatakan bahwa dia bermadzhab Syiah dan seorang Rafidhi, bahkan banyak dari kalangan ulama mereka yang menasyidkan syairnya. Sebagaimana yang dikatakan Muhammad At-Thabari Asy-Syi’i[25] dalam kitabnya Al-Mustarsyid bahwa Imam Asy-Syafi’i bersyair,[26]
أ علمتم؟ أن التشيع مذهبي … إني أقول به و لست بناقض
إن كان رفضاً حبُّ آلِ محمدٍ … فليشهدِ الثقلانِ أَني رافضي
“Tahukah kalian bahwa Tasyayyu’ adalah madzhabku… Betul apa yang saya katakan, dan saya tidak mengingkarinyanya,
Jika mencintai Ahlu Bait adalah Rafidhah … maka hendaklah jin dan manusia bersaksi bahwa aku adalah orang Syi’ah Rafidhoh.”
Senada dengan itu Muhammad bin ‘Uqail menukil syair Imam Asy-Syafi’i di dalam kitabnya ‘An-Nashaaih Al-Kaafiyah’ tanpa mencantumkan bait pertama,[27]begitu juga dengan Muhammad Buyumi di dalam kitabnya ‘As-Sayyidah Fathimah Az-Zahra’,[28]Abbas Al-Qummi di dalam kitabnya ‘Al-Kina wa Al-Alqaab’,[29]Ali bin Yunus Al-‘Amili di dalam kitabnya ‘As-Shiraat Al-Mustaqiim ilaa Mustahiqqit Taqdim’[30] dan masih banyak ulama Rafidhah yang menukilnya sebagai bentuk legitimasi atas ajaran Rafidhah.
Hujah yang dipaparkan oleh mereka sudah tentu batil, karena ditinjau dari lima hal,
Pertama, untuk bait syair pertama dari syubhat yang dilontarkan Rafidhah tidak benar adanya. Ini adalah sebuah distorsi, tetapi hal ini bukanlah barang baru dalam Rafidhah, bahkan berasal dari tulang sulbi aqidah mereka.
Hal ini terbukti bahwa bait syair pertama hanya ada di dalam kitab Al-Mustarsyid saja, bahkan bait pertama terbantahkan sendiri di dalam kitab-kitab syiah lainnya, seperti Muhammad bin ‘Uqail menukil syair Imam Asy-Syafi’i di dalam kitabnya ‘An-Nashaaih Al-Kaafiyah’, Muhammad Buyumi di dalam kitabnya ‘Al-Sayyidah Fathimah Al-Zahra’, Abbas Al-Qummi di dalam kitabnya ‘Al-Kina wa Al-Alqaab’, Ali bin Yunus Al-‘Amili di dalam kitabnya ‘Al-Shiraat Al-Mustaqiim ilaa Mustahiqqit Taqdim’ dan kitab-kitab Rafidhah lainnya, karena tidak ada satu pun dari mereka yang mencantumkan bait pertama sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kedua, tidak ada satu pun ulama Ahlussunnah yang menukil bait syair pertama, namun untuk bait kedua, hal itu benar adanya. Mereka membenarkan bahwa bait kedua tersebut betul keluar dari lisannya Imam Asy-Syafi’i, dan mereka menukil syair tersebut di dalam kitab-kitab mereka,[31]namun mereka tidak memahami syair tersebut sebagaimana orang-orang Rafidhah memahaminya.
Ketiga, orang-orang Rafidhah salah dalam memahami syair Imam Asy-Syafi’i, justru bait syair Imam Al-Syafi merupakan hujah yang meruntuhkan argumen mereka, bukan mendukung mereka. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Ali bin Nayif Al-Syahud di dalam kitabnya ‘Syubahtur Rafidhah Haulas Shahabah radhiyallahu ‘anhum Waradduha’[32] bahwa ini adalah pengklaiman yang batil, bahkan bait syair Imam Syafi’I itu adalah hujah yang meruntuhkan argumen mereka, bukan mendukung mereka.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحْمَنِ وَلَدٌ فَأَنَا أَوَّلُ الْعَابِدِينَ
“Katakanlah, jika benar Rabb Yang Maha Pemurah mempunyai anak, maka akulah (Muhammad) orang yang mula-mula memuliakan – anak itu –.” (QS. Al-Zukhruf: 81)
Sangat keliru jika ayat di atas diartikan Allah memiliki anak, karena ahli tafsir menjelaskan bahwa Lafal itu hanyalah sebagai istib’ad[33] – penolakan jauh-jauh – dan inkaaf[34] – penyucian – terhadap ucapan orang-orang musyrik dan persangkaan mereka bahwa Allah memiliki anak. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan,
“Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Israa’: 43)
Allah ta’ala telah mengabarkan dalam ayat itu dengan إِنْ (jika benar), dan demikian pula Imam Asy-Syafi’i berkata :
( إن كان رفضاً حب آل محمد… فليشهدِ الثقلانِ أَني رافضي )
“Jika benar Syi’ah Rafidhah itu adalah cinta keluarga Muhammad…” itu merupakan lafal istib’ad dan inkaaf darinya untuk menjadikan cinta keluarga Muhammad shallallahu‘alaihi wasallam itu sebagai Rafidhah, sekaligus menyatakan bahwa hakikat Rafidhah tidak mencintai ahlu bait Nabi.
Argumen mereka dengan syair Imam Asy-Syafi’i itu justru menelanjangi diri mereka sendiri, karena kekeliruan mereka dalam memahami lafal menunjukkan mereka tidak paham bahasa Arab dan terdiri dari orang-orang bodoh.
Imam Al-Dzahabi juga menegaskan di dalam Siyar A’lam Al-Nubala’ bahwa jika seandainya Asy-Syafi’i itu Syi’i – mustahil itu terjadi – tentu ia tidak akan mengatakan Al-Khulafa’ Al-Rasyidin itu ada lima, yang pertama adalah Abu Bakar dan yang terakhir adalah Umar bin Abdul Aziz.[35]
Keempat, Syubhat itu terbantahkan dengan perkataan eksplisit Imam Asy-Syafi’i bahwa ia bukanlah Rafidhah. Dia berkata,[36]
قالوا : ترفضت، قلت : كلا … ما الرفض ديني ولا اعتقادي
“Orang-orang bertanya, ‘Apakah kamu telah menjadi Rafidhah?’ Jawabku, ‘sekali-kali tidak… Rafidhah bukanlah agamaku dan tidak pula akidahku.’”
Bahkan salah seorang muridnya, Al-Buwaithi pernah bertanya kepadanya tentang hukum shalat di belakang Rafidhah, lalu ia menjawab, “Jangan engkau shalat dibelakang Rafidhi!”[37]
Tidak hanya itu, Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i bahwa tidak ada pengikut hawa nafsu yang paling dusta kesaksiannya dari pada Rafidhah, dan jika disebutkan Rafidhah di hadapannya, ia akan mencelanya dengan seburuk-buruk celaan.[38]
Kelima, menghina para khalifah sebelum Ali, bahkan mengkafirkannya merupakan akidah Rafidhah. Berbeda dengan Imam Asy-Syafi’i, ia justru mengutamakan para khalifah sebelum Ali dan mengakui kekhilafan mereka. Hal ini diungkapkan sendiri oleh Imam Asy-Syafi’i,[39]
“Manusia paling utama setelah Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam adalah Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman dan Ali.”
Nampak sudah penyimpangan Rafidhah dalam hal ini. Bagaimana mungkin seseorang yang secara ekplisit mengatakan bahwa agama dan akidahnya bukanlah Rafidhah, diklaim pro Rafidhah lantaran ada bait syairnya memuat kata-kata Rafidhah yang disalah artikan oleh mereka. Nas’alullah al-‘afiyah.
- Imam Asy-Syafi’i menyakini ahlu bait adalah jalan keselamatan ketika umat berpecah-belah
Menurut mereka, Imam Asy-Syafi’i berkeyakinan mengikuti ahlu bait adalah perintah Allah, dan satu-satunya jalan selamat ketika umat Islam berpecah belah sebagaimana yang dia ungkapkan dalam bait syairnya, padahal yang memiliki akidah demikian hanya Rafidhah.
Syair itu dinukil oleh Lathafullah Al-Shafi – salah seorang ulama Rafidhah di Iran – dalam kitabnya ‘Amaanul Ummah minal Ikhtilaf’,[40]
وهي قوله تعالى ” واعتصموا بحبل الله جميعا”…وقد فسر الشافعي حبل الله بولاء اهل البيت في الابيات التى ذكرها له … وهى هذه: ولما رأيت الناس قد ذهبت بهم * مذاهبهم في أبحر الغي والجهل ركبت على اسم الله في سفن النجا * وهم أهل بيت المصطفى خاتم الرسل وأمسكت حبل الله وهو ولاؤهم * كما قد أمرنا بالتمسك بالحبل…
“Allah Ta’ala berfirman, ‘ Berpegang teguhlah kalian seluruhnya dengan tali Allah.’ (QS. Ali Imran: 103)… Asy-Syafi’i telah menafsirkan tali Allah dengan berwali kepada ahlu bait. Hal itu tertera dalam bait-bait syairnya… berikut bait-baitnya: ‘ tatkala saya melihat manusia sudah mulai bermadzhab di tengah lautan kesesatan dan kebodohan, maka saya mengendarai sebuah kapal keselamatan dengan nama Allah, kapal itu adalah ahlu bait Nabi, saya berpegang teguh dengan tali Allah dengan mengikuti mereka, sebagaimana perintah Allah atas kita untuk berpegang teguh padanya..”
Orang-orang Rafidhah kembali berdalih dengan syair Imam Asy-Syafi’i untuk melegitimasi akidah Rafidhah. Menurut Penulis Ini adalah hujah yang batil, dan terbantahkan dengan tiga hal berikut ini,
Pertama, syair tersebut cacat dari segi baitnya. Sebab, bait syair tersebut hanya ditemukan di dalam kitab-kitab Rafidhah saja, seperti Amaanul Ummah minal Ikhtilaf[41] dan adab Al-Thif.[42]Para ulama Ahlussunnah, termasuk Syafi’iyah tidak ada satu pun yang menukilnya di dalam kitab mereka, bahkan dalam kitab Diiwan Al-Imam Asy-Syafi’i – kumpulan syair Imam Asy-Syafi’i – yang ditulis sendiri oleh Imam Asy-Syafi’i tidak mencantumkan bait syair tersebut.
Berkenaan mencintai ahlu bait, Imam Asy-Syafi’i di dalam kitabnya hanya bersyair,[43]
يا آل بيت الرسول حبّكم … فرض من الله في القرآن أنزل … كفيكم من عظيم الفخر أنكم … من لم يصل عليكم لا صلاة له
“Wahai ahlu bait nabi, mencintai kalian adalah perintah Allah yang diturunkan di dalam al-Quran. Cukuplah bagi kalian kemulian, karena siapa yang tidak bershalawat untuk kalian, tidak ada shalawat baginya.”
Tidak ada sedikit pun kalimat yang mengindikasikan ia menafsirkan tali Allah dalam QS. Ali Imran: 103 sebagai ahlu bait, bahkan kata-kata hablun (tali) tidak terdapat di dalam syairnya.
Kedua, tidak ada satu pun dari kalangan ulama, baik dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang menafsirkan hablun sebagai ahlu bait. Mereka hanya menafsirkan hablun dengan beberapa lafaz yang berbeda, yaitu: Al-Quran; Islam; Ketaatan; janji; keikhlasan dan jama’ah.[44]Semua lafaz itu benar,[45]karena subtansinya sama.
Jadi, mustahil jika Imam Asy-Syafi’i menyelisihi para sahabat karena dia adalah orang yang sangat keras terhadap orang-orang yang menyelisihi para sahabat Nabi.
Ketiga, jika dikatakan Imam Asy-Syafi’i mencintai ahlu bait maka itu benar, namun jika Rafidhah mengatakan sebagaimana Rafidhah maka itu salah besar. Sebab, ahlu bait perspektif Rafidhah berbeda dengan ahlu bait perspektif Imam Asy-Syafi’i, bahkan Rafidhah tidak sedikit pun mencintai ahlu bait Nabi.
Rafidhah hanya membatasi ahlu bait dari keturunan Ali dan Fatimah saja.[46] Berbeda dengan Imam Asy-Syafi’i, menurutnya ahlu bait adalah keturunan Nabi dan kebawah seterusnya, kemudian para istri Beliau.[47]
Terlebih Rafidhah telah menghina ayahanda Fathimah dengan penghinaan yang keji. Tentu itu merupakan perbuatan menyakiti ahlu bait. Sebagaimana yang tertera di dalam kitab mereka, “Sungguh kemaluan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk neraka. Sebab dia menggauli beberapa wanita musyrik – yang dimaksud adalah pernikahannya dengan Aisyah dan Hafshah –.”[48]
Tidak hanya itu, di dalam kitab Biharul Anwar mereka menghina Ali dengan mengatakan Ali melihat kedua paha wanita seraya menuduhnya telah berzina.[49] Ini adalah bukti akan kedustaan cinta Rafidhah kepada ahlu bait Nabi.
- Klaim Rafidhah bahwa Imam Asy-Syafi’i menolak keadilan Sahabat
Mereka mengklaim bahwa Imam Asy-Syafi’i telah menolak kesaksian empat orang sahabat Nabi. Konsekuensi dari itu, tentu dia menolak ijma’ salaf akan keadilan para sahabat. Di antara mereka adalah Mu’awiyah dan Amru bin Al-Ash. Tentu sikap Imam Asy-Syafi’i terhadap bani Umayyah sama dengan mereka. Sebagaimana riwayat yang dinukil Sayyid Hamid Al-Naqwi dalam bukunya ‘Khulaashah ‘Abaqaat Al-Anwaar’ bahwa Imam Asy-Syafi’i membisikkan kepada Al-Rabi’ tentang tidak diterimanya persaksian empat orang sahabat, mereka adalah Mu’awiyah, Amru bin Al-Ash, Al-Mughirah dan Ziyad.[50]
Riwayat di atas adalah distorsi dan kedustaan atas Imam Asy-Syafi’i. Menurut Penulis riwayat tersebut batil karena tiga hal,
Pertama, dari segi sanad riwayat yang dijadikan hujah oleh Rafidhah adalah batil. Sebab di dalam sanadnya terdapat Abu Mukhannif, nama aslinya Luth bin Yahya Al-Azdi Al-Kufi. Para ulama jarhu wa ta’dil – Al-Dzahabi, Ibnu Hajar, Abu Hatim, Al-Daruquthni, Ibnu Ma’in, Ibnu ‘Adi dan At-Thabari – telah menvonisnya sebagai orang Syiah yang mempunyai lidah berbisa, seorang pembawa kabar yang tidak dapat dipercayai, sehingga sanadnya dihukumi terputus dan tidak bisa dijadikan hujah. Terlebih riwayat ini hanya ada dalam kitab sejarah, dimana riwayat dalam kitab sejarah banyak mengandung riwayat-riwayat lemah, bahkan palsu.[51]
Kedua, riwayat ini cacat dari segi matan. Sebab para ulama Ahlussunnah menyakini bahwa Mu’awiyah adalah خال المؤمنين – pamannya orang-orang mukmin – karena adiknya, Ummu Habibah telah dinikahi Nabi, bahkan telah sahih riwayat dari Nabi bahwa seluruh nasab dan shahr – nasab karena pernikahan – terputus kecuali nasab dan shahr Nabi.[52]Ibnu Katsir menguatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i sendiri mengatakan Mu’awiyah adalah خال المؤمنين.[53]
Ketiga, Ibnu Hajar mengatakan bahwa para ulama Ahlussunnah berijma’ akan keadilan seluruh sahabat, dan tidak perlu dipertanyakan lagi.[54]Ibnu Shalah dan Ibnu Katsir juga mengatakan demikian.[55] Jadi, sangat mustahil Imam Asy-Syafi’i sebagai ulama Ahlussunnah keluar dari ijma’ yang mana itu adalah sumber utama dari syariat.
Kesimpulan
Di akhir tulisan ini, Penulis tegaskan bahwa Imam Asy-Syafi’i adalah Imam Ahlussunnah bukan Rafidhah, karena bait Syair Imam Asy-Syafi’i yang diklaim oleh Rafidhah sebagai bentuk dukungannya terhadap mereka adalah batil, karena ia secara tegas telah mengatakan bahwa akidah dan agamanya bukanlah Rafidhah, bahkan ia mencelanya dengan celaan yang buruk. Mafhum mukhalafahnya, dia menganggap Rafidhah agama dan akidah tesendiri, bukan dari Islam. Begitu juga dengan riwayat yang mengatas namakannya bahwa ia menolak kesaksian empat sahabat adalah bathil, karena cacat dari segi sanad dan matannya, bahkan menyelisihi ijma’ ulama Ahlussunnah. Wallahu a’alam.
BACA JUGA; KELUARGA BERENCANA (KB), BAGAIMANA HUKUMNYA?
[1] Rafidhah adalah salah satu sekte Syiah, dan memiliki banyak nama diantaranya al-Itsna ‘Asyariyah, Ja’fariyyah, Imamiyyah dan nama yang lainnya, akan tetapi hakikatnya sama. Apabila pada zaman ini disebutkan kata Syiah secara mutlak, maka tidak lain yang dimaksudkan adalah Rafidhah. Baca di Https://abangdani.wordpress.com/2013/06/14/pokok-pokok-kesesatan-aqidah-syiah-rafidhah/
[2] Farid Ahmad Okbah, Ahlussunnah Waljama’ah dan dilemma Syiah di Indonesia (Cet. II; Jakarta: Perisai Quran, 2013 M), h. 3.
[3] Abdul Ghani Al-Daqr, op. cit., h. 5, An-Nawawi, op. cit., v. 1, h. 10.
[4] Al-Dzahabi, Siyar A’lam An-Nubala’ (Cet. IX; Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1993 M/1413 H), v. 10, h. 5-6, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Taqrib At-Tahdzib (Cet. I; Suriah: Dar Ar-Rasyid, 1986 M/1406 H), v. 1, h. 467, Muhammad At-Tamimi, Ats-Tsiqqat (Cet. I;Hindi: Majlis Dairah Al-Ma’arif Al-Utsmaniyah, 1973 M/1393 H), v. 12, h. 30, Al-Subki, Thabaqaat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra (Cet. II; Hijr lith Thiba’ah wan Nasyr wat Tauzii’, 1413 H), v. 2, h. 55.
[5] An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (Beirut: Dar Al-Fikri), v. 1, h. 8.
[6] Abdul Ghani Al-Daqr, op. cit., h. 42-43, 50.
[7] Abdul Ghani Al-Daqr, Imam Asy-Asy-Syafi’i Faqih As-Sunnah Al-Akbar (Cet. VI; Damaskus: Dar Al-Qalam, 1417 H/1996 M), h. 68-69.
[8] Abdullah bin Ali Al-Mazam, op. cit., h. 25
[9] Ibnu Faris, Mu’jam Maqaayis Al-Lughah (Beirut: Dar Al-Fikr, 1399 H/ 1979 M), v. 2, h. 422, Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab (Cet. I; Beirut: Dar Shadir), v. 7, h. 156, Ibnu Al-Sikit, Ishlah Al-Manthiq (Versi Syamilah), v. 1, h. 23.
[10] Muhammad Al-Azdy, Jamharah Al-Lughah (Versi Syamilah), v. 1, h. 410, Ali bin Sidah, Mukhashshish fi Al-Lughah (Versi Syamilah), v. 2, h. 87.
[11] Ahmad Al-Fuyumi, Al-Mishbah Al-Munir (Beirut: Al-Maktabah Al-Ilmiyyah), v. 1, h. 232.
[12] Ibnu Ya’kub Al-Fairuz Abadi, Al-Qaamuus Al-Muhiith (Versi Syamilah), v. 2, h. 189.
[13] Ibrahim Al-Ruhaili, Al-Intishar lish Shahbi wa Aali Min Ifitira’at As-Samawi Adh-Dhal (Cet. III; Madinah: Maktabah Al-Ulum wa Al-Hikam, 1423 H/ 2003 M), h. 21.
[14] Al-Dzahabi, op. cit., v. 10, h. 31.
[15] Abu Ya’la Al-Hambali, Thabaqaat Al-Hanabilah Kaamilan (Versi Syamilah), v. 1, h. 28.
[16] Ismail bin Muhammad Al-Ashbahani, Al-Hujjah fi Bayani Al-Mahajjah (Riyadh: Dar Ar-Raayah, 1419 H/ 1999 M), v. 2, h. 514.
[17] Ibnu Jarir At-Thabari, Tharikh At-Thabari (Cet. I; Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1407 H), v. 2, h. 647, Ibrahim Al-Ruhaili, op. cit., v. 1, h. 27, Abdullah bin Jibriin, Syarh Al-Aqidah At-Thahaawiyah (Versi Syamilah), v. 3, h. 82.
[18] Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Al-Fatawa (Cet. III; Dar Al-Wafaa’, 1426 H/ 2005 M), v. 4, h. 435.
[19] Ibrahim Al-Ruhaili, loc. Cit.
[20]Ibnu Taimiyyah, op. cit., v. 28, h. 490.
[21] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah (Cet. I; Al-Jizah: Hijr li At-Thiba’ah wa An-Nasyru, 1417 H/1997 M), v. 13, h. 106.
[22] Ibrahim Al-Ruhaili, op. cit., v. 1, h. 32-37.
[23] Mula Zainal Abidin Al-Kulyayakani, Anwar Al-Wilayah, h. 220.
[24] Husain Al-Musawi, Lillahi Tsumma lit Tarikh ‘Kasyful Asrar wa Tabriatul Aimmah Al-Athhaar’ (Cet. IV: Dar Al-Amal), h. 21.
[25] Dia salah seorang ulama Syiah yang namanya sama dengan salah seorang ulama mufasir
[26] Muhammad bin Jarir At-Thabari, Al-Mustarsyid, v. 1, h. 107.
[27] Muhammad bin ‘Uqail, An-Nashaaih Al-Kafiyah (Cet. I; Iran: Dar Ats-Tsaqafah, 1412 H), h. 258.
[28] Muhammad Buyumi, Al-Sayyidah Fathimah Al-Zahra’ (Versi Syamilah), h. 109.
[29] Abbas Al-Qummi, Al-Kina wa Al-Alqaab’ (Versi Syamilah), v. 2, h. 394.
[30] Ali bin Yunus Al-‘Amili, Al-Shiraat Al-Mustaqiim ilaa Mustahiqqit Taqdim (Cet. I: Maktabah Al-Murtadhawiyyah li Ihyaai Al-Aatsaar Al-Ja’fariyyah, 1384 H), v. 1, h. 253.
[31] Al-Dzahabi, Tarikh Al-Islam (Cet. I; Beirut: Dar Al-Kitaab Al-Arabiy, 1407 H/1987 M), v. 14, h. 338, Al-Dzahabi, op. cit., v. 10, h. 58, Ahmad Al-Muqri, Nafkhut Thib min Ghusnil Andalus Ar-Rathib (Beirut: Dar Shaadir, 1388 H), v. 5, h. 308, Al-Subki, op. cit., v. 1, h. 299, Qodhi ‘Iyadh, Tartiib Al-Madaarik wa Taqriib Al-Masaalik (Versi Syamilah), v. 1, h. 140, Al-Qurthubi, Al-Intiqaa’ fi Fadhaail Ats-Tsalatah Al-Aimmah Al-Fuqahaa’ Malik wa Asy-Syafi’i wa Abi Hanifah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah), h. 91.
[32] Ali bin Nayif Al-Syahud, Syubahtur Rafidhah Haulas Shahabah radhiyallahu ‘anhum Waradduha (Versi Syamilah), v. 2, h. 55.
[33] Al-Qurthubi, Al-Jaami’ li Ahkamil Qur’aan (Cet. II; Kairo: Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah, 1384 H/ 1964 M), v. 16, h. 119.
[34] Ibnu Jarir At-Thabari, Tafsir At-Thabari (Cet. I: Muassasah Al-Risalah, 1420 H/ 2000 M), v. 21, h. 649.
[35] Al-Dzahabi, op. cit., v. 10, h. 59.
[36] Asy-Syafi’i, Diiwaan Al-Imam Asy-Syafi’i (Versi Syamilah), h. 7.
[37] Al-Dzahabi, op. cit., v. 10, h. 31.
[38] Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Shawaa’iq Al-Muharriqah ‘Ala Ahlir Rafdhi wadh Dhalaal waz Zanadiqah (Cet. I; Lebanon: Muassasah Al-Risaalah, 1417 H/ 1997 M) v. 1, h. 114.
[39]Al-Baihaqi, Ma’rifatus Sunan wal Aatsar (Cet. I; Damaskus: Dar Qutaibah, 1412 H/ 1991 M), v. 1, h. 193.
[40] Lathafullah Al-Shafi, Amaanul Ummah minal Ikhtilaf (Cet. I; Qum: Al-Mathba’ah Al-Ilmiyyah, 1397 H), h. 270, 272.
[41] Ibid.
[42] Sayyid Jawwad, Adab Al-Thif au Syu’araa’ Al-Husain (Cet. I; Beirut: Dar Al-Murtadha, 1988 M), v. 1, h.218.
[43] Asy-Syafi’i, op. cit., h. 21, Shalih Ahmad Al-Syami, Mawaa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i (Versi Syamilah), h. 24.
[44]Ibnu Jarir, op. cit., v. 5, h. 644-646, Al-Qurthubi, op. cit., v. 4, h. 159, Ibnu Abi Hatim, Tafsir Al-Quran Al-Azhim (Cet. I; Saudi: Maktabah Nizaar Mushthafa Al-Baaz, 1419 H), v. 3, h. 723-724, Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim (Cet. II: Dar Thayyibah, 1420 H), v. 2, h. 89, Muhammad Ali Al-Shabuni, Shafwah Al-Tafaasiir (Cet. I; Dar Al-Shabuni: Kairo, 1417 H), v. 1, h. 200, Al-Syaukani, Fathul Qadiir (Cet. I; Damsyiq: Dar ibnu Katsir, 1414 H), v. 1, h. 421, Abu Hayyan, Al-bahr Al-Muhith fit Tafsir (Beirut: Dar Al-Fikr, 1420 H), v. 3, h. 286, Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi (Cet. I; Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats Al-Araby, 1418 H), v. 2, h. 31, Al-Suyuthi, Al-Durru Al-Mantsuur (Beirut: Dar Al-Fikr), v. 2, h. 285
[45] Ibnu Taimiyyah, op. cit., v. 7, h. 40.
[46] Al-Kulaini, Al-Kaafi (Cet. III; Taheran: Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah Murtadha Akhwand, 1388 H), v. 7, h. 439-440.
[47] Asy-Syafi’i, Tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i (Cet. I; Saudi: Dar Al-Tadammuriyyah, 1427 H/ 2006 M), v. 3, h. 1193.
[48] Sayyid Ali Al-Gharawi, loc. Cit.
[49] Lajnah Ilmiah, Syiah (Cet. I;Bogor: Pustaka Sunni, 2011 M), h. 98.
[50] Sayyid Hamid Al-Naqwi, Khulaashah ‘Abaqaat Al-Anwaar (Versi Syamilah), v. 3, h. 318, Mahmud Abu Rayyah, Syaikh Al-Mudhiirah Abu Hurairah (Mesir: Dar Al-Ma’arif), v. 1, h. 320.
[51] Abu Abdullah Al-Dzahabi, Syubuhaat wa Abaathiil haula Mu’awiyah (Versi Syamilah), h. 43.
[52] Muhammad Ziyad Al-Tuklah, Min Fadhaail wa Akhbaar Mu’awiyah (Versi Syamilah), h. 6.
[53] Ibnu Katsir, op. cit., v. 6, h. 381.
[54] Ibnu Hajar, Al-Ishaabah fi Tamyiizi Al-Shahaabah (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah), v. 1, h. 21.
[55] Maazin bin Muhammad, Al-Ishaabah fi Al-Dzibbi ‘an Al-Shahaabah (Versi Syamilah), h. 131.