Oleh: Nur Arifin
Sesungguhnya agama Islam yang mulia sangat menjaga lima perkara penting. Dari kelima perkara tersebut diantaranya agama, nyawa, nasab, harta, dan akal. Imam asy-Syatibi rahimahullah berkata, “Seluruh umat, bahkan semua agama bersepakat bahwa syari’at itu diletakkan guna menjaga lima kebutuhan pokok, yaitu agama, nyawa, kehormatan, harta, dan akal.”[1]
Menjaga jiwa termasuk dalam tujuan pokok syari’at yang mulia. Begitu banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam yang memerintahkan untuk menjaga nyawa dan melarang keras dari segala hal yang dapat melukai atau mencederainya, apalagi sampai menumpahkan darahnya. Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam bersabda:
(لَزَوَالِ الدُّنْيَا وَ مَا فِيْهَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ المسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ ( رواه الترمذي
“Hilangnya dunia beserta isinya sungguh lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim dengan tidak benar.” (HR. Tirmidz)[2]
Oleh sebab itu, tidak boleh bagi seorang manusia untuk melakukan bunuh diri atau melukai badannya. Tidak hanya sampai di situ saja, syari’at Islam juga menjaga badan seorang muslim sekalipun dia telah meninggal dunia. Oleh karenanya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Salam melarang menginjakkan kaki di atas kuburan atau duduk bersandar di atasnya karena perbuatan tersebut termasuk merendahkan dan menghinakan penghuni kubur.
Disebutkan pula dalam hadits bahwa merusak tulang mayit ketika mati sama halnya merusaknya ketika hidup. Ini menunjukan bahwa Islam sangat perhatian terhadap jasad seorang walaupun ia telah mati sekalipun.
Dewasa ini, banyak sekali fenomena yang terlihat bertentangan dengan syar`i bahwa Islam menjaga jiwa manusia dari kehinaan. Padahal, Islam sendiri telah memuliakan jiwa seorang manusia. Namun, banyak manusia yang tidak tahu atau bahkan tidak sadar bahwa yang telah ia lakukan itu melangar kehormatan jasad seorang muslim. Misalnya adalah perdagangan organ tubuh manusia, pencurian organ tubuh, dan bahkan menggunakan jasad seorang muslim untuk praktik kedokteran dengan tidak melihat batasan kebolehan atau syarat yang menjadikan sebuah jasad itu boleh digunakan. Jikalau kita fahami bersama bahwa sebenarnya jasad seorang muslim tetaplah harus dijaga, tidak boleh orang lain merusaknya atau menumpahkan darahnya kecuali dengan alasan yang jelas. Bahkan, dalam had bunuh karena murtad, ia harus benar-benar dimintai tobat agar ia tidak jadi dikenai had. Inilah kemulian syariat Islam yang lurus, tidak asal menegakan hukum sampai jelas duduk perkaranya.
Pada makalah yang singkat ini kami ingin menjelaskan bagaimana islam menjaga jasad seorang muslim dan apakah bentuk-bentuk penjagaan islam terhadap jiwa manusia? Dan kami juga sedikit memaparkan pandangan ulama tentang otopsi. Semoga Allah subahanahu wata`ala memberikan kemudahan.
YUK IKUT AMAL JARIYAH; PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR DAN KELAS MA’HAD ‘ALY ANNUR
Pengertian
- Kehormatan
Kehormatan berasal dari kata حرمة yang berarti sesuatu yang tidak boleh dihancurkan atau disia-siakan.[3] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kehormatan bisa berrmakna kemuliaan.[4]
- Jasad
Jasad berarti jismu yang berarti tubuh. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata`ala,
{فَأَخْرَجَ لَهُمْ عِجْلًا جَسَدًا لَهُ خُوَار}
Artinya: Kemudian (dari lubang api itu) dia (Samiri)mengeluarkan (patung) anak sapi yang bertubuh dan bersuara. (Q.S.Thaha: 88.)[5]
Dalil Tentang Kehormatan Jasad Seorang Muslim
Firman Allah subhanahu wa ta`ala:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
Artinya: Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (Q.S. al-Isra’: 70)
وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِين
Artinya: “… Dan janganlah jatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sugguh Allah menyukai orang-orang berbuat baik”.( Q.S. al-Baqarah: 195)
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh, Allah maha penyayang kepadamu, dan barangsiapa berbuat demikian dengan cara melanggar hukum dan zalim, akan Kami masukkan dia ke dalam neraka.Yang demikian itu mudah bagi Allah.(Q.S. an-Nisa`: 29,30)
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dean suatu alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zhalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.(Q.S. al-Isra`: 33)
حَدَّثَنِي مُحَمَّدٌ قَالَ حَدَّثَنِي حَجَّاجٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْحَسَنِ حَدَّثَنَا جُنْدَبُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ وَمَا نَسِينَا مُنْذُ حَدَّثَنَا وَمَا نَخْشَى أَنْ يَكُونَ جُنْدُبٌ كَذَبَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ بِهِ جُرْحٌ فَجَزِعَ فَأَخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بِهَا يَدَهُ فَمَا رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى بَادَرَنِي عَبْدِي بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Artinya: Telah bercerita kepadaku Muhammad berkata, telah bercerita kepadaku Hajjaj telah bercerita kepadaku Jarir dari Al Hasan telah bercerita kepada kami Jundab bin ‘Abdullah di masjid ini dan kami belum lupa sejak dia bercerita dan kami tidak khawatir bahwa Jundab berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ada seseorang di antara umat sebelum kalian menderita luka-luka tapi dia tidak sabar lalu dia mengambill sebilah pisau kemudian memotong tangannya yang mengakibatkan darah mengalir dan tidak berhenti hingga akhirnya dia meninggal dunia. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Hamba-Ku mendahului Aku dengan membunuh dirinya maka AKU haramkan baginya surga”. (H.R.Bukhari)[6]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
Artinya: Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung, hingga membunuh jiwanya (bunuh diri), maka ia akan jatuh ke neraka jahannam, ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Barangsiapa menegak racun, hingga meninggal dunia, maka racun tersebut akan berada di tangannya, dan ia akan menegaknya di neraka jahannam, ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya. Dan barang siapa bunuh diri dengan (menusuk dirinya dengan) besi, maka besi itu akan ada di tangannya, dengannya ia akan menghujamkan ke perutnya di neraka jahannam, ia kekal dan abadi di dalamnya selama-lamanya.” (H.R. Bukhari)[7]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرهِ حَيّاً
Artinya: Dari Aisyah radhiaullahu anha bahwa Nabi Salallahu alaihi wasalam bersabda, “Merusak tulang seorang yang mati seperti halnya merusaknya ketika hidup. (H.R. Abu Dawud)[8]
Penghormatan Islam Terhadap Jiwa Seorang Muslim
Sebagaimana yang kami tulis di dalam mukadimah bahwa Islam menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia. Oleh karena itu, perlindungan dan perhormatan terhadap jiwa manusia merupakan tuntutan ajaran Islam yang wajib dikerjakan. Dan Islam mendudukkan nyawa manusia pada derajat yang paling tinggi. Karenanya, di antara salah satu dari lima maqashid syariat yang diungkapkan oleh As-syathibi dalam karyanya Al-Muwafaqat adalah hifzhu an-nafs yang diartikan sebagai penjagaan jiwa.
Allah subahnahu wata`ala berfirman,
(لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمِ)
“Maka telah kami ciptakan manusia dengan sebaik-bentuk”.Q.S. at-Tiin: 4
Dengan ayat ini, kita mengetahui bahwa memang benar Allah subhanahu wata`ala menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk dari pada ciptaan Allah yang lain selainnya manusia seperti hewan misalkan. Manusia bisa berdiri tegak. Allah subhanahu wata`ala juga mengaruniakan akal agar supaya manusia berfikir dan berkembang.
Di dalam syariat islam terdapat hukum hudud dan mencakup didalamnya hukum rajam dan qishos bukan berarti menunjukan bahwa Islam tidak menghargai nyawa manusia, justru dengan pelaksanaan tersebut menunjukan bahwa Islam adalah agama yang sangat memperhatikan dan menghargai jiwa. Karena, dengan melaksanakannya akan terjaga jiwa dari praktik bunuh-membunuh dan balas dendam yang tidak ada ujungnya. Untuk lebih jelasnya disini kami paparkan tentang beberapa bentuk penjagaan dan penghormatan Islam terhadap jiwa manusia.
Penjagaan pertama, Dilarang membunuh tanpa alasan yang benar
Imam adz-Zhahabi dalam kitabnya al-Kabair mencantumkan bahwa membunuh adalah dosa besar. Di dalam kitab beliau juga diterangkan sebuah hadist tentang bahwa jikalau ada dua orang muslim yang saling membunuh maka keduanya masuk neraka. Imam Abu Sulaiman Rahimahullah mengomentari hadist ini bahwa jikalau keduanya saling membunuh itu karena permusuhan, ashabiyah, atau perkara duniawi.
Adapun ayat-ayat yang menjelaskan tentang keharaman membunuh adalah seperti,
{وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ}
Artinya, “Dan barang siapa yang membunuh seseorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (Q.S. an-Nisa`:93)
Kaitannya dengan ayat tersebut, Ibnul Qudamah di dalam Al–Mughni juga menerangkan hadits Rasulullah tentang keharaman menumpahkan darah seorang muslim kecuali dengan tiga hal, yang pertama adalah orang yang telah menikah kemudian bezina, jiwa yang membunuh jiwa lain, orang yang keluar dari Islam atau murtad. Beliau menjelaskan bahwa tidak ada perselisihan ulama mengenahi pengharaman ini. Jikalau seseorang telah sengaja melakukannya maka dihukumi fasik, dan mengenai hukum itu tergantung kepada Allah. Jikalau Allah menghendaki niscaya akan diazab, jikalau tidak maka akan diampuni, dan taubatnya diterima menurut kebanyakan ulama.
Beliau Ibnu Qudamah lalu menambahkan kisah taubatnya seorang yang telah membunuh seratus orang secara dhalim. Ia menuturkan bahwa seorang ingin bertaubat dan menemui seorang alim maka sang alim pun memberikan saran untuk keluar dari kampungnya menuju tempat orang yang shaleh agar beribadah kepada Allah. Di tengah perjalanan ia menemui ajalnya, kemudian malaikat rahmat dan malaikat adzab berselisih tentang jasad seorang tadi. Maka kemudian Allah mengirim satu malaikat dan berkata, hitunglah jarak antara dua kampung ini dan yang mana lebih dekat, maka ia akan menjadi penghuninya. Maka seorang tadi lebih dekat dengan kampung yang shaleh. Maka ia tergolong pada penghuninya.[9]
Penjagaan yang kedua, adanya syariat qishas
Qishash dalam literatur arab berarti mencari jejak seperti al-Qashâsh. Sedangkan dalam istilah hukum Islam berarti, pelaku kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh maka dibalas dengan dibunuh dan bila memotong anggota tubuh maka dipotong juga anggota tubuhnya.[10]
Dengan syariat qishash inilah upaya agar nyawa manusia terutama muslim agar tidak mudah tertumpahkan. karena jikalau kita melihat pada nash-nash yang ada diantara hikmah disyariatkan qisas adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia. Allah subhanahu wa ta`ala berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah :179)
Imam asy-Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan tentang ayat tersebut dengan mengatakan, “Maknanya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum Allah Azza wa jalla syariatkan, karena bila seseorang tahu akan dibunuh secara qishash apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan serta terjerumus padanya. Sehingga, hal itu sama seperti jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra (balaghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah menjadikan qishas yang sebenarnya adalah kematian, sebagai jaminan keberlangsungan hidup, ditinjau dari efek yang timbul yaitu bisa mencegah saling membunuh diantara manusia. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaaan jiwa manusia dan kelangsungan kehidupan kehidupan mereka.”[11]
Penjagaan yang ketiga, keharusan adanya pengakuan dan persaksian sebelum ditegakkan sebuah hukum atau hudud.[12]
Ibnul Qudamah berkata, “Kaum muslimin berijma’ bahwa tidak diterima persaksian dalam kasus zina yang kurang dari empat orang saksi. Dan hal itu disebutkan dalam firman Allah swt, “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi…”(QS. An-Nur:13)
Penjagaan keempat, Menunda pelaksanaan hukum rajam untuk menjaga nyawa orang lain.
Hal ini berdasar kisah wanita Ghamidiah yang datang kepada Rasulullah untuk agar dihukum rajam karena telah berzina. Rasulullah menunda sampai bayinya lahir dan disapih.[13]
Penjagaan kelima, Sesuatu yang dilarang menjadi boleh dalam keadaan terpaksa.
Hal ini berdasar firman Allah ta`ala, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Baqarah:173)
Imam as-Suyuthi menerangkan kaidah “Sesuatu yang darurat itu membolehkan yang dilarang” , seperti seseorang boleh mengeluarakan sesuatu yang menyendak pada tenggorokan dengan khamr, dan boleh mengucap kalimat kufur karena terpaksa.[14]
Hukum Berkenaan Tentang Jasad Ketika Mati (otopsi)
Pengertian Otopsi atau bedah mayat
Istilah bedah dalam KBBI berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong bagian tubuh yang sakit; oprasi. Bedah mayat dalam bahasa Inggris berarti autopsy.[15]
Pembagian otopsi
Ditinjau dari aspek tujuannya, bedah mayat terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
- Autopsi Anatomis adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan yang lainnya sebagai bahan praktikum tentang teori ilmu urai tubuh manusia (anatomi).
- Autopsi Klinis adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter. Pembedahan ini dilakukan dengan tujuan mengetahui secara mendalam sifat perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahulu, serta untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit yang belum diketahui secara sempurna selama ia sakit.
- Autopsi Forensik adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi misalnya pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan.[16]
BACA JUGA; FENOMENA SUAP DALAM PANDANGAN ISLAM
Hukum otopsi Menurut Ulama
- Hukum Otopsi Anatomis
Para dokter ditengah pembelajaran untuk aktifitas pembedahan terkadang membutuhkan latihan-latihan yang memadai untuk penerapan teori yang mereka dapatkan dan hal ini akan sempurna dengan percobaan pada mayat atau otopsi yang dalam istilah arab disebut jirahah at-tasrihiyah. Dan itu pasti memotong organ badan, kemudian setelah itu baru dapat dipelajari dan diteliti. Ilmu ini disebut dengan ilmu tentang jaringan tubuh (histologi).
Kaitannya dengan ini syariat Islam melarang berbuat main-main atau pencobaan dengan tubuh mayat, maka munculah pertanyaan tentang hukum kasus bedah ini.
Maka para ulama kontemporer memiliki memiliki dua pandangan:
Pendapat pertama, boleh bedah mayat untuk tujuan penelitian secara ilmiyah kedokteran. Terdapat beberapa fatwa majelis ulama yaitu: Haiah Kibarul Ulama kerajaan Saudi Arabia, Majmuul Fiqh al-Islamiy Makah al-Mukaramah, Lajnah Ifta` kerajaan Urdun al-Hasyimiyah, Lajnah Ifta` al-Azhar Mesir, Dan beberapa ulama lainya, seperti: Syaikh Yusuf ad-Dajawi, Syaikh Husnain Makhluf, Syaikh Ibrohim al-Ya`qubi –rahimahullah-, dan Dr. Muhammad Said Ramdhan al-Buthi, Dr. Mahmud Nadham Nasimi, Dr. Mahmud Ali as-Sarthawi.[17]
Pendapat kedua, tidak boleh bedah mayat untuk tujuan pembelajaran. Ini adalah pendapat beberapa ulama dan peneliti, seperti: Syaikh Muhammad Bukhait al-Muthi`i, Syaikh al-Arabi Buwaidi at-Thabkhi.
Dalil Pendapat Pertama, Yang Membolehkan:
Mereka berdalil dengan dalil qiyas dan penelitian bersandar pada kaidah-kaidah syar`i. Adapun dalil qiyas terdapat beberapa sebab:
Pertama, bolehnya bedah mayat untuk pembelajaran itu seperti bolehnya membelah perut ibu hamil yang telah meninggal untuk mengeluarkan janin yang diharapkan masih hidup.[18]
Kedua, bolehnya bedah mayat untuk pembelajaran sebagaimana bolehnya menggugurkan janin untuk menyelamatkan ibunya jikalau kemungkinan besar janin tersebut menyebabkan kematian sang ibu.[19]
Ketiga, bolehnya bedah mayat untuk pembelajaran sebagimana bolehnya membedah perut untuk dikeluarkan harta rampasan yang telah ditelannya.[20]
Dengan ketiga sebab dari qiyas di atas mencakup pembolehan bedah mayat dengan membelah, memotong, untuk maslahat kehidupan. Seperti penyelamatan dari kematian pada sebab pertama. Kemudian maslahat dharuriyah pada sebab kedua, dan maslahat hajiyah pada sebab ketiga, yaitu mengembalikan harta yang dirampas kepada pemiliknya.
Mereka kemudian menerangkan, bahwa kedua maslahat (dharuriyat dan hajiyat) yang tersebut ada pada praktik bedah mayat untuk pembelajaran. Entah itu maslahat dharuri, seperti menyelamatkan nyawa seorang pasien, atau meneliti penyakit yang tersembunyi dan ini maslahat hajiyat. Adapun dengan masalah penghinan terhadap mayit mereka juga bersandar pada apa yang telah ditetapkan para fuqoha zaman al–Mutaqaddimin–rahimahumullah-, tentang pembolehan mengali kuburan, dan mengambil kain kafan hasil curian, membongkar kuburan serta menyingkap auratnya dan ini semua untuk kemaslahatan kehidupan.[21]
Dalil dengan kaidah-kaidah syar`i: Jikalau ada dua maslahat yang bertentangan maka dipilih yang paling kuat, dan jika terdapat dua mafsadat (kerusakan) maka yang dipilih adalah yang paling ringan kerusakannya.[22]
Penerapan kaidah: Sebenarnya maslahat yang berkenaan tentang bedah mayat untuk pembelajaran masuk ke dalam maslahat umum yang kembali kepada jamaah, dan itu semua memungkinkan untuk pembelajaran yang memungkinkan untuk mencegah penyakit yang akan menyerang suatu masyarakat dengan izin Allah.
Adapun maslahat yang menjadikan dilarangnya bedah mayat itu termasuk maslahat khusus yang berkaitan dengan si mayit saja. Maka menurut mereka hal ini terjadi pertentangan atas dua maslahat, dan tidak diragukan lagi bahwa maslahat umum lebih didahulukan dari pada maslahat khusus atau individual.
Dalil pendapat kedua: Yang Melarang
Mereka berdalil dengan Al-Qur`an, Hadist, Qiyas dan penelitian bersandar pada kaidah-kaidah syar`i.
- Firman Allah subhanahu wata`ala,
Artinya: Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (Q.S. al-Isra’: 70)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memuliakan bani Adam dan pemuliaan ini mencakup ketika ia hidup dan mati.
Dan bedah mayat itu terdapat penghinaan terhadapnya, maka seluruh bentuk pemotongan anggota badan dan pembelahan perut dan bentuk-bentuk lainnya itu menunjukan pertentangan dengan maksud Allah yaitu memuliakan anak Adam. Maka hal ini tidak boleh dilakukan.
- Hadits Rasulullah,
Hadits berkenaan tentang larangan mencincang mayat. Hal ini diriwayatkan dari jalur yang shahih, hadist Buraidah Radhiaullahu Anhu bahwa ia berkata, Bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi Wasallam ketika itu mengutus utusan sariyah (exspedisi militer) dan sebelum berangkat beliau menasehati agar bertakwa, dan kemudian beliau bersabsa, “Berperanglah dengan menyebut nama Allah subhanahu wata`ala dan perangilah orang yang mengikari Allah dan berperanglah, jangan berkhiyanat, dan jangan mencincang.”[23]
Sudah diketahui bahwa bedah mayat terdapat tamtsil (pencincangan) maka oleh termasuk dalam pelarangan pada hadist ini.
Ada juga hadist shahih riwayat Ahmad,
“إِنَّ كَسْرَ عَظْمَ المُؤْمِنِ مَيْتاً مِثْلُ كَسْرِ عَظْمِهِ حَيًا”[24]
Hadist ini menunjukkan pada keharaman untuk merusak tulang mayit muslim dan termasuk pembedahan di dalamnya.
- Dalil dengan Qiyas
Mengenai hadits pelarangan duduk di atas kuburan hal ini sebenarnya tidak menyakiti jasad si mayit, dan ini dilarang. Maka melakukan pemotongan dan pembelahan tentunya ini lebih tidak boleh dan lebih menghinakan mayit.[25]
Dalil dari mereka dari kaidah-kaidah syar`i: Pertama, الضَرَرُ لَايُزَالُ بِالضَّرَر dan yang kedua, لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Kaidah yang pertama bermakna bahwa akibat dari kerusakan hendaknya tidak dihilangkan dengan cara yang semisal (dengan kerusakan itu), walaupun bedah mayat itu sebagai pembelajaran untuk mengetahui penyakit untuk mengobatinya namun itu tetap terdapat hal yang merusak yaitu memotong-motong sebagian organ, inilah yang dimaksud dari kaidah pertama.
Adapun kaidah kedua itu menunjukan atas keharaman mencelakai orang lain. Dan bedah mayat itu merupakan pencideraan terhadap si mayit, jadi tidak diperbolehkan.
Mengenai kedua pendapat di atas Muhammad al-Amin as-Syinqithi kemudian men-tarjih–nya serta memberikan beberapa keterangan, beliau berpendapat bahwa bedah mayat untuk pembelajaran itu hanya boleh dengan jasad orang kafir saja, bukan muslim. Beliau memberikan beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, Sesungguhnya hukum asal melukai jasad seorang muslim baik ketika hidup atau mati itu tidak boleh kecuali pada hukum hudud yang berlaku baginya. Namun kaidah ini menerima pengecualian diperbolehkan melukai jasad untuk kebutuhan.
Kedua, Kebutuhan untuk bedah mayat itu memungkinkan diusahakan dengan jasad seorang kafir, tidak boleh memalingkannya dengan jasad muslim. Karena kemulian jasad mereka disisi Allah ta`ala ketika hidup dan mati.
Ketiga, Dalil-dalil yang melarang merusak jasad manusia, kemungkinan bisa di-takhsis dengan muslim bukan kafir, jadi tidak mengapa menghinakan orang kafir karena kekafirannya, sebagaimana firman Allah ta`ala,
(وَمَن يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِن مُّكْرِمٍ) Q.S.al-Hajj:18
Al-Khazin –rahimahullah– di dalam tafsirnya berkata, Barangsiapa yang dihinakan oleh Allah maka tidak ada yang bisa memuliakannya.
Dan tidak diragukan lagi bahwa orang kafir itu mereka yang dihinakan oleh Allah.
Adapun hadits tentang pelarangan mencincang: Telah ditetapkan takhsisnya seperti pada kisah uraniyyin[26], dan ayat perang [27]. Jikalau boleh mencincang untuk kemaslahatan umum sebagai pencegahan kezaliman pada manusia, maka bedah mayat kafir tentunya juga boleh untuk maslahat umum. Adapun mengenai hadist larangan merusak jasad mayit itu untuk jasad muslim saja, seperti hadist riwayat Ahmad di atas.
Keempat, Sesungguhnya bedah mayat dengan jasad muslim itu menunda dari hak wajib baginya setelah meninggal yaitu memandikan, menkafani, menshalatinya dan menguburkannya.
- Hukum Otopsi Forensik dan Klinik
Menurut fatwa dari Haiah Kibarul ulama Kerajaan Saudi Arabia tahun 1396 H/1967 M, untuk otopsi yang berkenaan tentang kasus kriminal untuk kehakiman (otopsi Forensik) dan Otopsi untuk mengetahui sebab kematian seseorang (otopsi Klinik) adalah diperbolehkan.[28] Wallahu a’lam bis shawwab
BACA JUGA: HUKUM SEPUTAR MASALAH HILAH
1 Abu Ishaq asy-Syatibi,Al-Muwafaqat,cet. ke-1, (Beirut: Darul kitab ilmiyah, 1425 H/2004 M), hal. 23
[2] Muhammad bin Isa Abu isa at-Tirmidzi as-Silmi, Jami’ Shahih Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arobi), vol. VI, hal. 16.
[3] Ibrahim Musthafa, al-Mu`jam al-Wasith, (Istanbul: Maktabah al-Islamiyah), vol 1-2, hlm. 169
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), hlm.408
[5] Ibrahim Musthafa, al-Mu`jam al-Wasith, (Istanbul: Maktabah al-Islamiyah), vol 1-2
[6] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Hadist-hadist Nabi, Bab. Bani Israil, no. 3455 (Dar Turuqunnajah, 1422 H), hlm.169, versi Maktabah Symilah
[7]Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab at-Thib, Bab. Minum Racun dan Berobat Dengannya, no. 5788(Dar Turuqunnajah,1422 H), hlm.139, versi Maktabah Symilah
[8] Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, kitab. Janaiz, Bab. Saat Menggali Kubur Ada Tulang, no.3207, (Beirut: Dar Ibn Hiban, 1419 H), hlm. 500.
[9] Ibnu Qudamah al-Maqdisi , al-Mughni(Maktabah Qahirah,1968 M) vol.8, hlm. 260
[10] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syrhul Mumti` `ala Zadu Mustaqni` (Darul Ibnu Jauzi,1428 H)
[11] Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, al-Mulakhash al-Fiqhi (Riyadh : Darul Ashimah, 1432 H) vol.2 hal 471
[12] Hudud adalah hukuman yang telah ditentukan kadarnya dan itu hak Allah subhanahu wata`ala, berbeda dengan ta`zir karena kadanya tidak ditentukan, terserah pada imam. Dan qishash juga bukan had karena qishash adalah hak seorang hamba. Hal ini menurut pendapat Hanafiyah adapun Jumhur berpendapat bahwa bahwa qishash dan had itu sama, entah itu hak Allah atau hak Hamba.
[13] Imam Muslim, Shahih Muslim, kitab Hudud, Bab. Pengakuan diri sendiri dengan zina, no. 4432 (Riyadh:Darussalam,1419 H), hlm750
[14] Imam as-Syuyuthi, al-Ashbah wa Nadhair, (Darul Kitab al-Ilmiyah,1441 H), hlm.84
[15] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,2003), hlm.120
[16] Aam Amirudin, Bedah Masalah Kontemporer II, Tanya Jawab Ibadah dan Muamalat, cet. II, Jakarta: Firdaus, 1996, h. 57-58
[17] As-Syinqithi, al-Ahkam al-Jirahah at-Tibbiyah,(Jeddah:Maktabah ash-Shahabah), vol.1, hlm.170 versi Maktabah as-Syamillah
[18] Pembedahan jasad muslim dari Majalah Buhuts lajnah Daimah al-Amaliyah, vol.1, Edisi keempat, hlm.19-23
[19] ibid
[20] Fatwa ad-Dajwi, Majalah al-Azhar, vol.6, edisi I Muharam 1354 H, hlm.473
[21] Imam an-Nawawi, Raudhatut Thalibin (Beirut: Maktabah al-Islamiyah, 1991 M) vol.2, hlm.140 versi Maktabah Syamilah
[22] Pembedahan tubuh muslim. Dari Majalah Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah. Vol.1 edisi ke-4 hlm.44
[23] Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Jihad dan Tawanan, Bab. Pemimpin Memilih Amir-amir Kecil untuk Ekpedisi, no.4522, (Riyadh: Darussalam,1419 H)
[24] Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam AhmadBin Hambal, Musnad Nisa`, Bab.Sayidah Aisyah, no. 24811, (Riyadh: Baitul Afkar Daulah, 1419 H),hlm. 1821
[25] As-Saqaf, Imta’ wal Istiqsha` … hlm.28
[26] Imam an-nasai, Sunan an-Nasai as-Shughra, Kitab Maharib, Bab. Perbedaan pengutip Humaid, No.4036, (Riyadh: Darussalam,1420 H), hlm.563
[27] Q.S. al-Maidah:33
[28] As-syinqithi, al-Ahkam al-Jirahah at-Thibbiyah, ,(Jeddah:Maktabah ash-Shahabah), vol.1, hlm.181, versi Maktabah as-Syamillah