Semua umat Nabi Muhammad ﷺ pasti akan masuk surga kecuali yang tidak mau saja, sebagaimana sabdanya:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى ، قَالُوا : وَمَنْ يَأْبَى ؟ يَا رَسُولَ اللهِ ، قَالَ : مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku pasti akan masuk surga kecuali yang enggan. Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah yang enggan?’ Beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang menataatiku akan masuk surga sedang yang mendurhakaiku adalah yang engggan.” (HR. Ahmad no. 8728).
Langkah yang paling utama dilakukan untuk taat kepada Nabi Muhammad ﷺ adalah bersyahadat dengan kalimat tauhid la ilaha illallah, Muhammad rasulullah, serta teguh menjalankan konsekuensinya.
Tidak sekedar itu, ia juga harus istiqamah dengan amalan-amalan yang akan membawanya ke surga dan menghindari amalan-amalan yang dapat menceburkannya ke dalam neraka. Disebutkan dalam hadits riwayat Tirmidzi no. 2541, salah seorang sahabat Nabi yang mulia bernama Mu’adz bin Jabal ra pernah berkata kepada Nabi ﷺ untuk memberitahukan kepadanya amalan yang bisa memasukkan ke surga dan menjauhkannya dari siksa neraka.
Maka Rasulullah menyebutkan amalan-amalan yang dapat menghantarkannya ke surga, berupa beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukannya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, haji, sedekah, shalat malam dan puncaknya jihad di jalan Allah untuk meninggikan kalimat la ilaha illallah Muhammad rasulullah.
Hati-Hati Dengan Lisan
Amalan-amalan yang disebutkan di atas adalah amalan-amalan yang besar dan fundamental dalam Islam; beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan dengan selain-Nya, shalat, zakat, puasa, haji, sedekah, shalat malam, dan puncaknya adalah jihad fisabilillah. Inilah amalan-amalan yang paling utama sebagai calon penghuni surga.
Akan tetapi, di akhir hadits Rasulullah ﷺ memberitahu satu hal penting yang menjadi kunci agar semua amal tersebut bisa mengantarkan ke surga sebagaimana keinginannya sahabat Mu’adz bin Jabal ra, yang jika seandainya kunci ini tidak kita miliki maka sia-sialah amalan-amalan sebelumnya, kunci itu adalah kuffa ‘alaika hadza, jagalah olehmu “ini” kata Nabi, sambil menunjuk lisannya.
Dari Abu Hurairah ra berkata, pernah ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya si Fulanah suka shalat malam, shaum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanya saja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?” Bersabda Rasulullah ﷺ, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka.”
Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) shalat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorang pun?” Bersabda Rasulullah ﷺ, “Dia termasuk penghuni surga.” (HR. Bukhari: 119).
Semua umat Nabi Muhammad bahkan bisa dikatakan semua orang ingin masuk surga dan tidak seorang pun ada yang ingin masuk ke dalam neraka kecuali mereka yang tidak percaya adanya surga dan neraka. Sedangkan seorang muslim, adanya surga dan neraka adalah bagian dari keyakinan yang harus diimani dan tidak boleh diingkari. Meski demikian banyak yang tak sadarkan diri, kalau ternyata lisannya telah berubah menjadi duri yang telah banyak menusuk dan menyakiti.
Ingin masuk surga, tapi setiap ucapannya menyakiti sesama. Dari omongannya selalu terselip ngegosipin tetangga. Dalam bicaranya senantiasa menimbulkan kekacuan dan pertengkaran antar saudara karena adu domba. Ingin masuk surga tapi lisannya adalah lisan calon penghuni neraka. Dari hal-hal yang beginilah lisan harus terjaga.
Oleh karena itu, sadarkan diri jaga lisan ini. Karena dari kebanyakan yang ada selalunya tidak pernah sadar apa yang diucapkan, apakah ini ucapan penghantar ke surga atau sebaliknya penghantar ke neraka. Makanya, jauh-jauh hari Nabi ﷺ telah mengingatkan untuk menyadari setiap kalimat yang terucap:
إِنَّ اْلعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِاْلكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ تعالى لاَ يُلْقىِ َلهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فىِ جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seorang hamba mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah Ta’ala yang ia tidak menaruh perhatian padanya namun mengakibatkannya dijerumuskan ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Bukhari: 6478).
Realita yang Ada
Namun, semakin hari manusia semakin menjadi-jadi, ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata tidak bisa membuat lebih rendah hati tapi malah melambung tinggi. Makna lisan bukan lagi sekedar lisan hakiki tapi termasuk juga akun-akun media sosial kita. Jari-jemari kini menjadi perpanjangan lisan tanpa suara.
Sedikit belar ilmu, diumbar di sosial media, lalu sibuk berdebat, saling ada argumen tanpa pijakan ilmu kokoh. Melihat pendapat yang tak sesuai kata hatinya, dibantah habis-habisan hingga nyaris habis waktu untuk itu.
Ini realita lumrah bisa kita saksikan setiap hari membanjiri timeline media sosial kita, hatta di bulan Ramadhan sekalipun. Dampaknya luar bisa, waktu yang seharusnya digunakan untuk banyak beramal dan ber-muhasabah terlewat sia-sia.
Benarlah kata sahabat Ibnu Mas’ud ra, “Tidak ada yang lebih pantas dipenjara dalam waktu yang lama melainkan lisanku ini.” Kalaupun harus berkata, baiknya difikirkan telebih dahulu; referensinya, manfaat madharat, dampak individu maupun sosialnya.
Sebaik-Baik Ucapan
Lalu bagaimana kemudian lisan penghantar ke surga? Allah telah menerangkan dalam Al-Qur’an tentang sebaik-baik perkatan yang terucap oleh lisan.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.” (QS. al-Fushilat: 33).
Berkenaan dengan ayat ini Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa perkataan yang terbaik adalah yang menyeru hamba-hamba Allah menuju kepada-Nya, dia yang menyeru tersebut mendapat petunjuk hidayah dari perkataannya itu, sehingga bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
Orang itu bukan yang menyuruh kepada yang ma’ruf lalu ia meninggalkannya, bukan pula yang mencegah kemungkaran lalu mendatanginya, tapi ia adalah orang yang mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan, serta berdakwah menyeru setiap makhluk-Nya menuju Penciptanya Tabaraka wa Ta’ala, sedangkan Rasulullah adalah penghulu dalam hal ini. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/179).
Oleh karena itu, ada pepatah diam itu adalah emas, kalau nggak bisa ngomong yang baik dan benar, lebih baik diam. Dan ini merupakan sifat yang melekat pada diri seorang mukmin, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkata yang baik atau (kalau tidak) diam saja.” (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47).
Kemudian senantiasalah menyibukkan lisan dengan dzikir kepada Allah. Muadz bin Jabal pernah bertanya, “Wahai Rasulullah amalan apakah yang paling dicintai dan mendekatkan kepada Allah. Beliau menjawab, “Engkau mati sedang lisan bibirmu basah dengan dzikrullah.” (Shahih Ibnu Hibban no. 818).
Datang pula seorang lelaki, berkata kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at-syari’at Islam telah banyak yang menjadi kewajibanku, maka beritahukan kepadaku sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai pegangan! Beliau bersabda, “Hendaknya senantiasa lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3297).
Kita memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala agar senantiasa menjadikan lisan hakiki ataupun lisan dalam arti media sosial yang kita punya untuk selalu berkata baik dan benar, mengingatkan kepada dzikrullah agar bisa bersua dalam rahmat surga-Nya dan menjauhkannya dari berucap kata-kata buruk, kotor lagi menyakiti walau sepatah kata, sehingga terhindar dari laknat neraka-Nya.
Pilihannya hanya dua; berkata yang baik, atau diam. Wallahu a’lam.
Baca Juga: Rasa Iri Yang Diridhai