Hari ini hampir diseluruh dunia menerapkan karantina untuk menghindari penyebaran virus Corona, hal ini berimbas juga pada pelarangan shalat berjamaah yang sedianya dilakukan di masjid-masjid.
Maka terkhusus di bulan Ramadhan kali ini kita menyaksikan banyak masjid-masjid yang kosong dari kegiatan shalat jamaāah, tarawih, tak terkecuali iātikaf pada sepuluh akhir di bulan Ramadhan.
Bersamaan dengan shalatnya banyak orang dirumah masing-masing dan dengan munculnya apa yang disebut dengan āmasjid rumahā artinya mengkhususkan sebuah ruangan di dalam rumah untuk melaksanakan shalat untuk shalat jamaāah.
Sebagian kaum muslimin yang semangat untuk meraih keutamaan iātikaf banyak yang bertanya tentang pandangan syarāi terkait iātikaf dirumah, terkait dengan dengan firman Allah:
ŁŁŁŁŲ§ ŲŖŁŲØŁŲ§Ų“ŁŲ±ŁŁŁŁŁŁŁ ŁŁŲ£ŁŁŁŲŖŁŁ Ł Ų¹ŁŲ§ŁŁŁŁŁŁŁ ŁŁŁ Ų§ŁŁŁ ŁŲ³ŁŲ§Ų¬ŁŲÆŁ
ā ā¦ (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid (al-Baqarah: 187)
Pengertian Iātikaf
Iātikaf secara bahasa adalah berdiam diri dan menahan, maknanya menahan dari melakukan sesuatu yang biasa dilakukan.
Adapun menurut fuqahaā; berdiamnya seorang muslim di masjid dengan niat melakukan ibadah. Menurut al-Bujairmi dalam Hasyiyah āala Syarh al-Minhaj (2/91); berdiamnya seseorang di masjid dengan niat. Landasannya adalah ayat:
ŁŁŁŲ§ ŲŖŁŲØŁŲ§Ų“ŁŲ±ŁŁŁŁŁŁŁ ŁŁŲ£ŁŁŁŲŖŁŁ Ł Ų¹ŁŲ§ŁŁŁŁŁŁŁ ŁŁŁ Ų§ŁŁŁ ŁŲ³ŁŲ§Ų¬ŁŲÆŁ
ā ā¦ janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid ā¦ā (al- Baqarah: 187), dan ayat:
ŁŁŲ¹ŁŁŁŲÆŁŁŁŲ§ Ų„ŁŁŁ Ų„ŲØŁŲ±ŁŲ§ŁŁŁŁ Ł ŁŁŲ„ŁŲ³ŁŁ ŁŲ§Ų¹ŁŁŁŁ Ų£ŁŁŁ Ų·ŁŁŁŁŲ±ŁŲ§ ŲØŁŁŁŲŖŁŁ ŁŁŁŲ·ŁŁŲ§Ų¦ŁŁŁŁŁŁ ŁŁŲ§ŁŁŲ¹ŁŲ§ŁŁŁŁŁŁŁ
ā ā¦ dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: āBersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang iātikaf, yang rukuā dan yang sujudā. (al-Baqarah: 125)
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (3/186) mendefinisikan iātikaf; secara bahasa: menetapi sesuatu dan konsisten padanya (baik atau buruk), landasannya adalah ayat;
Ł ŁŲ§ ŁŁŲ°ŁŁŁ Ų§ŁŲŖŁŁŁ ŁŲ§Ų«ŁŁŁŁ Ų§ŁŁŁŲŖŁŁ Ų£ŁŁŁŲŖŁŁ Ł ŁŁŁŁŲ§ Ų¹ŁŲ§ŁŁŁŁŁŁŁ
ā ā¦ patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? ” (al-Anbiyaā: 52)
ŁŁŲ¹ŁŁŁŁŁŁŁŁ Ų¹ŁŁŁŁ Ų£ŁŲµŁŁŁŲ§Ł Ł ŁŁŁŁŁ Ł
ā ā¦ maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka ā¦ā (al-Aāraf: 138)
Sedangkan definisi syarāi-nya; berdiam di masjid dalam rangka taqarrub dan melaksanakan ketaāatan (al-baqarah: 187 & 125)
Sebab dinamakan iātikaf menurut Ibnu Qudamah, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abbas dari Nabi shalallahu āalaihi wa sallam; mengingat dosa-dosa dan mengalir baginya kebaikan sebagaimana pelaku kebaikan seluruhnya (hadits ini dhaāif)
Menurut as-Shawi dalam Hasyiyah āala al-Syarh as-Shaghir (1/725); āakifa ā yaā kafu āakfan wa āukufan; menyambut sesuatu dan bersungguh sungguh. Iātakafa dan ināakafa maknanya satu; dikatakan; iātakafa berkonotasi baik, sedangkan āināakafa buruk (Iātakafa āala al- khair wa ināakafa āala asy-Sarri).
Hikmah Iātikaf
Menurut as-Shawi salah satu hikmahnya adalah menjaga kebersihan akal untuk bisa meniru sifat malaikat, mengabiskan waktu untuk fokus melaksanakan ibadah, memenjarakan diri dari godaan syahwat, menahan lisan dari mengatakan sesuatu yang tidak pantas.
Maka, iātikaf berarti menyerahkan jiwa totalitas untuk beribadah, taqarrub, menjauhkan dari nafsu dan kesibukan dunia yang menjadi penghalang kedekatan kepada Allah. Diantaranya adalah dengan menghabiskan untuk shalat dari arti bahasa (dzikir) ataupun shalat yang sebenarnya.
Karena sebenaranya tujuan asal dari iātikaf adalah menunggu shalat berjamaāah, dalam rangka mencontoh sifat malaikat. Maksudnya, tidak bermaksiat dan senantiasa melaksanakan perintah Allah, bertasbih siang dan malam serta tidak pernah bosan.
Hukum Iātikaf
Iātikaf pada bulan Ramadhan atau selainnya adalah sunnah yang berpahala, kecuali karena nadzar, maka itu menjadi wajib baginya.
Ibnu Qudamah dalam al-Mugni (3/186); ā Berkata Ibnu Mundzir; para ulama sepakat bahwa hukum Iātikaf adalah sunnah, tidak wajib, kecuali karena nadzar, maka wajib baginya. Berdasarkan perbuatan yang dilakukan Nabi secara terus menerus (diikuti oleh istri-istri beliau setelahnya) dalam rangka taqarrub, mengharap pahala. Dikatakan tidak wajib karena banyak para sahabat yang tidak iātikaf tapi Nabi mendiamkan, dan membiarkan mereka yang mau sajaā.
Rasulullah bersabda; āBarangsiapa yang ingin melakukan iātikaf, maka lakukannlah di sepuluh hari terakhir Ramadhanā. Kalau seandainya wajib, tentu beliau tidak mengatakan, siapa yang ingin ā¦ā.
Akan tetapi beda halnya ketika nadzar; ā Barangsiapa yang bernadzar untuk melakukan ketaāatan kepada Allah, maka lakukanlahā (HR. Bukhari).
Sebagaimana kisah Umar bin Khattab, beliau berkata; ā Wahai Rasulullah, aku pernah bernadzar untuk melakukan iātikaf di masjidil haramā, Nabi berkata; ā Penuhilah nadzarmuā. (HR. Bukhari dan Muslim)
Syarat dan Rukun Iātikaf
Rukun iātikaf menurut jumhur (4 madzhab); muātakif (orang yang Iātikaf), niat, tempat iātikaf, dan berdiam di masjid. Abu Hanifah hanya mensyaratkan rukun, berdiam di masjid saja, sedangkan sisanya bukan rukun, tapi syarat dan pelengkap. Malikiyah menambahkan; puasa.
Ulama sepakat sahnya iātikaf bagi; laki-laki, perempuan dan anak-anak yang sudah mumayyiz. Mereka mensyaratkan wajib dan sunnah iātikaf; Islam, berakal, tamyiz, suci dari haidh dan nifas serta suci dari junub.
Iātikaf Perempuan
Para ulama telah sepakat sahnya iātikaf bagi perempuan, akan tetapi yang menjadi perbedaan pedapat adalah tempatnya. Jumhur berpendapat harus dimasjid. Sebagaimana pernyataan Ibnu Abbas saat ditanya oleh seorang perempuan yang bernadzar iātikaf untuk melaksanakan iātikaf dirumahnya, beliau menjawab; bidāah, dan perbuatan yang yang dibenci Allah adalah bidāah.
Tidak ada iātikaf kecuali di masjid yang didirikan shalat didalamnya. Karena rumah pada hakikatnya bukan masjid, bisa dialihfungsikan untuk tidur atau kegiatan lainnya. Pun demikian, kalau seandainya boleh, pasti ummahatul mukminin sudah melakukannya.
Sedangkan menurut madzhab Hanafi dan Syafiāi (qaul qadim), boleh-boleh saja seorang wanita iātikaf di rumahnya, karena merupakan tempat untuk shalat, bahkan makruh hukumnya iātikaf di masjid yang didirikan didalamnya shalat jamaāah. Mereka berpendapat rumah lebih baik daripada masjid di sekitarnya dan masjid sekitar lebih baik dari masjid yang lebih besar. Karena pada dasarnya tidak ada tempat i’tikaf untuk wanita selain di rumahnya.
Tempat Iātikaf Bagi Laki-Laki
Jumhur ulama mengatakan; tidak sah iātikaf seorang lelaki kecuali di masjid, dan masjid jamiā lebih utama. Dalilnya;
ŁŁŁŲ§ ŲŖŁŲØŁŲ§Ų“ŁŲ±ŁŁŁŁŁŁŁ ŁŁŲ£ŁŁŁŲŖŁŁ Ł Ų¹ŁŲ§ŁŁŁŁŁŁŁ ŁŁŁ Ų§ŁŁŁ ŁŲ³ŁŲ§Ų¬ŁŲÆŁ
ā ā¦ janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid ā¦ā (al- Baqarah: 187), ayat ini menunjukkan tidak ada iātikaf kecuali di masjid.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (3/189) berkata; ā tidak sah iātikaf dilakukan selain di masjid kalau dia laki-laki, kami tidak tahu dalam urusan ini, ada khilaf di kalangan ulama, dalilnya surat al-Baqarah; 187. Ini menunjukkan kekhususan, kalau seandainya Ā iātikaf boleh di selain masjid, maka tidak ada kekhususan larangan āmencampuriā wanita dalam hal ini, karena mencampuri wanita dalam kondisi iātikaf adalah haram mutlakā.
Memang tidak ada ijmaā dalam perkara ini, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama terdahulu maupun kontemporer. Ada juga pendapat ulama yang menyelisihi pendapat harus di masjid. Meskipun jumhur ulama tetap mensyaratkan harus di masjid.
Pendapat-pendapat ini dijelaskan oleh; Ibnu Hajar dalam Fath Baari (4/272), as-Syaukani dalam Nailul Authar (4/317), Husain bin Muhammad al-Laāi dalam al-Badru at-Tamam Syarh Bulugh al-Maram (5/148).
Dari sini dapat kita lihat bahwa para ulama sepakat mensyaratkan i’tikaf harus di masjid kecuali Muhammad bin Umar bin Lubabah al-Maliki. Beliau membolehkan di tempat manapun.
Hanafiyah membolehkan seorang perempuan untuk beriātikaf di masjid rumahnya karena itu tempat shalatnya.
Begitu juga pendapat Imam Syafiāi (qaul qadim).
Menurut pendapat Malikiyah yang lain; boleh baik laki-laki maupun perempuan iātikaf dirumah, karena ibadah dirumah itu lebih utama.
Imam Abu Hanifah dan Ahmad mengkhususkan di masjid yang dilaksanakan di dalamnya shalat jamaāah. Abu Yusuf bahkan mewajibkan di masjid yang ada shalat jama’ahnya, untuk setiap masjid (meskipun tidak ada shalat jama’ah) sunnah hukumnya. Adapun jumhur; boleh di setiap masjid.
Baca Juga: Berkata Baik atau DiamĀ
Pendapat Rajih
Tidak diragukan lagi bahwa masjid disyaratkan sebagai tempat iātikaf sesuai dengan zahir nash al-Qurāan dan perbuatan Nabi beserta para sahabat. Kecuali ada keadaan tertentu yang menuntut perubahan, jika tidak maka berjalan sesuai kaidah asli (‘azimah) . Karena hanya dimasjidlah tercapai tujuan dari iātikaf, tujuan ini tidak akan tercapai ketika i’tikaf dikerjakan dirumah.
Syarat Bagi Yang Membolehkan Iātikaf di Rumah
Dalam masa karantina sebab Pandemi Covid-19 seperti hari ini, kita bisa mengambil pendapat sebagian ulama Malikiyah yang membolehkan iātikaf di rumah, namun dengan syarat:
- Dilaksanakan di masjid rumah, dalam arti harus ada satu tempat khusus dirumah untuk shalat yang tidak dipergunakan untuk selain shalat.
- Tidak keluar dari masjid rumah selama masa iātikaf tersebut kecuali karena keadaan atau memenuhi kebutuhan darurat. Hanya berdiam beberapa jam saja, tidak bisa dikatakan iātikaf.
- Hendaknya seorang muslim menyibukkan dengan ibadah iātikaf, seperti; shalat, dzikir, membaca al-Qurāan, dengannya tercapai tujuan dari iātikaf.
- Pilihan ini dibangun dengan tujuan memaksimalkan waktu yang ada, maka ketika udzur hilang (covid-19), maka kembali pada hukum asal (harus di masjid) untuk laki-laki, perempuan tetap di masjid rumah sebagaimana pendapat Hanafiyah dan Imam Syafiāi (qaul qadim).
- Mengambil pendapat yang membolehkan iātikaf dirumah mempunyai peluang besar untuk dilaksanakan dalam situasi hari ini. Karena mengamalkan sesuatu karena tidak terpenuhinya syarat (iātikaf di masjid rumah) lebih baik, daripada tidak sama sekali.
Pendapat ini juga diambil atas pertimbangan hukum iātikaf adalah sunnah, bukan wajib. Mereka yang beribadah di masjid rumah (tanpa niat iātikaf) tidak bisa disebut iātikaf, akan tetapi mereka mendapat pahala sesuai dengan jenis ibadah yang dilakukan.
Dalam kondisi normal, tidak semua kaum muslimin melakukan iātikaf di masjid. Maksud dari pendapat yang membolehkan melakukan iātikaf di masjid rumah harus dengan syarat sebagaimana yang disebutkan, untuk siapa yang ingin saja. Mereka yang tetap berpegang pada pendapat jumhur, harus dimasjid; tidak mengapa juga.
Kita berpatokan pada salah satu kaidah yang disebutkan para fuqahaā;
ŁŲ§ ŁŁŁŲ± Ų§ŁŁ Ų®ŲŖŁŁ ŁŁŁŲ ŁŲ„ŁŁ Ų§ ŁŁŁŲ± Ų§ŁŁ ŲŖŁŁ Ų¹ŁŁŁ
Tidak ada pengingkaran pada sesuatu yang diperselisihkan; dikatakan ingkar pada hal yang telah disepakati.
Jika kita melihat tujuan pendapat yang membolehkan iātikaf di masjid rumah, menurut pendapat kami itu lebih baik daripada tidak iātikaf sama sekali. Terkhusus dalam kondisi hari ini, tidak kemasjid bukan dalam rangka enggan tapi karena situasilah yang menghendaki demikian.
Maka ijtihad harus memperhatikan kondisi; terpaksa atau karena pilihan. Jika kondisi terpaksa, maka ada keringanan. Jika itu pilihan, maka kembali ke hukum asal.
Pendapat ini juga diambil dalam rangka menghasung untuk lebih dekat kepada Allah, sekaligus untuk meminimalisir acara-acara Ramadhan yang menyia-nyiakan waktu bahkan bernilai maksiat.
Karenanya pendapat yang membolehkan lebih tepat untuk diambil melihat latar belakang yang telah disebutkan. Namun perlu diingat, hukum tertentu berlaku hanya untuk masa tertentu juga, dan ini masuk dalam bab rukhsah (keringanan), bukan āazimah (hukum asal). Wallahu aālam bisshawab.
Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari: https://islamonline.net/34795