Para ulama sepakat akan disyari’atkannya shalat ‘ied, tetapi mereka berbeda pendapat pada pelaksanaannya. Menurut madzhab Hanafi wajib bagi setiap muslim sebagaimana wajibnya shalat Jum’at.
Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat; sunnah mu’akkadah.
Hanabilah: Fardhu kifayah, ketika sudah ada yang melaksanakan maka gugur kewajiban bagi yang lain, sebagaimana shalat jenazah. (Lihat: Fiqh al-Islam wa Adillatuhu; 2/1387)
Tempat Pelaksanaan Shalat Ied
Pada asalnya setiap tempat suci bisa digunakan untuk shalat ‘ied, baik tanah lapang atau di masjid. Namun dalam hal ini para fuqaha’ terbagi ke dalam dua pendapat;
Pertama; pendapat jumhur (selain Syafi’iyah), apabila di luar Mekkah, maka shalat ‘ied dilaksanakan di mushalla ( tanah lapang), bukan di masjid. Kecuali jika ada uzur, maka tidak mengapa shalat di masjid.
Dalilnya hadits dari Abu Hurairah: “ pernah turun hujan pada hari raya pada zaman kami, Rasulullah shalat bersama kami di masjid”. Hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad jayyid, Hakim mengatakan; shahih (al-Majmu’: 5/6).
Juga riwayat Umar dan Utsman, mereka berdua shalat ied di masjid ketika turun hujan.
Namun bagi seseorang yang berada di Mekkah, maka lebih utama baginya adalah shalat di masjidil haram, karena keutamaan tempat (dekat ka’bah) dan merupakan bagian dari syi’ar agama yang paling agung.
Kedua: menurut Syafi’iyah, mengerjakan shalat ‘ied di masjid itu lebih utama; karena itu tempat yang paling bersih dan mulia dari tempat-tempat lainnya, namun pengecualian apabila masjid tersebut sempit dan tidak mampu menampung jama’ah, maka sunnah baginya shalat di mushalla sebagaimana yang dilakukan Rasulullah (Hadits Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).
Apabila ada kekhawatiran para jama’ah akan berdesak-desakan, maka sebaiknya shalat dilapangan. Makruh hukumnya tetap memaksakan shalat di masjid. Jikalau masjidnya luas, tapi tetapi memilih untuk shalat di tanah lapang, maka tidak mengapa.
Jika ditengah-tengah para jama’ah ada orang-orang lemah (tidak bisa shalat di lapangan) imam berhak memindahkan tempat shalat ke masjid dan shalat bersama mereka (Lihat; Fiqh Islam wa adillatuhu; 2/1395)
Bolehkah Shalat Ied di Rumah?
Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Ubaidillah bin Abu Bakar bin Anas bin Malik (pembantu Rasulullah) beliau berkata; “ adalah Anas ketika tertinggal shalat ied bersama imam, beliau mengumpulkan keluarganya kemudian melaksanakan shalat sebagaimana shalat bersama imam di lapangan.
al-Baihaqi kemudian berkata; disebutkan bahwa rumah beliau (Anas bin Malik) berada di daerah pelosok di daerah Bashrah dan tidak bisa ikut melaksanakan shalat ‘ied bersama kaum muslimin. Karena itu beliau mengumpulkan budak dan anak-anaknya, lalu memerintahkan Abdullah bin Abu Utbah untuk mengimami, kemudian Anas bin Malik shalat bersama mereka sebagaimana shalatnya penduduk Mesir, dua rakaat dan bertakbir sebagaimana takbir mereka.
al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Ikrimah, beliau berkata: “ bahwa penduduk pedesaan/pelosok berkumpul untuk melaksanakan shalat dua rakaat sebagaimana yang dilakukan imam” .
Dari Muhammad bin Sirin berkata; “mereka (penduduk pelosok) menyukai ketika seorang tertinggal untuk melaksanakan shalat ‘ied mereka pergi ke tanah lapang kemudian mereka shalat sebagaimana shalat yang dilakukan imam”.
Dari Atha’: apabila terlewat shalat ied, beliau shalat dua rakaat tanpa takbir (takbir ied) (Sunan al-Baihaqi; 3/305).
Abdurrazak meriwayatkan dengan sanadnya dari Qatadah, beliau berkata; ’’barangsiapa yang tertinggal shalat bersama imam, hendaklah dia shalat sebagaimana shalat bersama imam”. Berkata Ma’mar; “ Ketika seseorang tertinggal atau terlambat mendapatkan khutbah/shalat pada hari iedul fithri atau iedul adha, maka hendaknya dia shalat dua rakaat”. (Mushannaf Abdurrazak; 3/300-301)
Ibnu Abu Syaibah meriwayatkan dengan sanadnya dari Hasan al-Bashri, beliau berkata; “siapa yang tertinggal shalat ‘ied hendaknya dia melaksanakan shalat sebagaimana shalatnya imam”. Beliau juga meriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha’I; “ Jika kamu tertinggal shalat bersama imam maka shalatlah sebagaimana shalatnya”. Ibrahim berkata: “ saat seseorang mendatangi shalat ied akan tetapi orang-orang sudah pulang, maka masuklah ke masjid terdekat kemudian shalat sebagaimana shalatnya imam, begitu juga barangsiapa yang tidak keluar untuk shalat ied maka hendaknya dia shalat juga sebagaimana shalatnya imam.
Beliau juga meriwayatkan dari Hammad; “ Barangsiapa yang tidak mendapatkan shalat pada hari ied, hendaknya dia shalat dan bertakbir sebagaimana shalat ied. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah; 2/183-184)
Pendapat Imam 4 Madzhab
Tidak boleh shalat ‘ied sendirian, karena yang dicontohkan Nabi adalah berjamaah. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi. (as-Sarakhsiy al-Hanafi , al-Mabsuth, 2/39)
Boleh memilih, jika ingin mengerjakan sendiri silahkan, jika tidak mengerjakan tidak mengapa. Tetapi, disunnahkan untuk dikerjakan. Tatacaranya sebagaimana shalat bersama imam, dengan takbir ziyadah. Ini adalah pendapat madzhab Maliki. (Malik bin Anas, al-Mudawwanah, 1/236)
Boleh melakukan shalat ‘ied sendiri jika tidak mendapati shalat bersama imam. Tatacaranya sebagaimana sholat Ied bersama imam, dengan takbir ziadah. (Muhammad bin Idris As Syafi’i, al-Umm, 1/ 274-275)
Boleh melakukan sholat Ied sendiri jika tidak mendapati shalat ‘ied bersama imam. Adapun tatacaranya, ada dua cara: dua rakaat seperti shalatnya imam dan 4 rakaat seperti shalat Sunnah biasa. Ini adalah pendapat madzhab Hambali. (Ibnu Qudamah, al- Mughni, 2/289-290)
Baca Juga: Selamat Jalan Ramadhan
Shalat ‘Ied di Era Covid-19
Para ulama membolehkan melaksanakan shalat ied dirumah bagi mereka yang tertinggal atau tidak memungkinkan shalat berjama’ah bersama imam dan kaum muslimin. Akan tetapi keadaan yang disebutkan dalam pendapat-pendapat itu adalah keadaan dimana shalat ‘ied berjama’ah diadakan.
Lalu bagaimana dengan kondisi hari ini bilamana ada daerah dimana seseorang tidak mendapati adanya pelaksanaan shalat ‘ied untuk menghindari meluasnya penyebaran wabah?
Telah kita ketahui bersama bahwa udzur-udzur yang membolehkan seseorang untuk meninggalkan shalat jama’ah antara lain; sakit, safar dan dalam kondisi takut. Wabah covid-19 dalam hal masuk pada kategori terakhir, kondisi takut karena berpotensi menyebarnya virus secara masif.
Rasulullah bersabda; “Barangsiapa yang mendengar seruan (shalat berjama’ah) dan tidak ada udzur untuk tidak mengikuti seruan itu, maka tidak ada shalat baginya. Para sahabat bertanya; seperti apa udzur yang dimaksud, Rasul menjawab; rasa takut atau sakit” (HR. Hakim dan at-Timidzi dishahihkan oleh Syaikh al-Bani)
Dalil lainnya diriwayatkan oleh Abu Malih dari ayahnya, bahwa beliau melihat Rasulullah di hari Jum’at pada perang Hudaibiyah, pada hari itu turun hujan, tapi hujan itu tidak sampai membasahi telapak sandal mereka, tapi Rasulullah memerintahkan untuk shalat di rumah-rumah mereka (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh al-Bani)
Apabila qadha’ dianjurkan bagi yang tertinggal tidak shalat ied bersama imam dan kaum muslimin. Tentu lebih disyari’atkan lagi bagi mereka yang tidak mendirikan shalat ied tersebab adanya wabah. Seperti hari ini. Karena itu merupakan salah satu bagian dari menghidupkan syi’ar-syi’ar agama sesuai kemampuan.
Firman Allah:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“ Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu …” (at-Taghabun: 16)
Sabda Rasul;
وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“ … ketika kalian diperintahkan untuk melakukan sesuatu, maka lakukan semaksimal mungkin …(HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasar paparan singkat yang telah disebutkan, bagi keluarga muslim yang pada tahun ini tidak memungkinkan untuk shalat ‘ied sebagaimana biasa, hendaklah menghias rumah dan mempersiapkannya untuk shalat ‘ied didalamnya, bertakbir di waktu-waktu yang disyari’atkan, lalu shalat sebagaimana shalat bersama imam (tanpa khutbah) bersama keluarga.
Namun bagi mereka yang berada di daerah tak terdampak pandemi Covid-19, berlaku atasnya hukum asal, artinya mereka harus melakukan shalat ‘ied sebagaimana biasa.
Ini semua dilakukan dengan tujuan menunjukkan syi’ar Islam sesuai dengan kadar kemampuan, membuat suasana gembira dan bahagia di hati setiap keluarga kaum muslimin, meskipun di tengah Pandemi Covid-19 yang kita belum tahu kapan berakhirnya. Wallahu a’lam bisshawab.
Baca Juga: Hukum I’tikaf di Rumah di Masa Corona