Satu hal yang mesti direnungkan di akhir Ramadhan, mengenai amalan yang telah kita titipkan di dalamnya. Benarkah amalan tersebut diterima di sisi Allah? Atau sebaliknya, tertolak tiada nilai? Kebiasaan para ulama salaf, mereka serius dalam beramal, namun setelah beramal mereka khawatir amalan tersebut tidak diterima.
Ibnu Rajab berkata, “Para ulama salaf biasa bersungguh-sungguh dalam menyempurnakan amal dan bersungguh-sungguh ketika mengerjakannya. Setelah itu, mereka sangat berharap amalan tersebut diterima dan khawatir bila tertolak. Merekalah yang disebutkan dalam ayat,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan sedekah dengan hati yang penuh khawatir, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (QS. al-Mu’minun: 60). (Lathaif al-Ma’arif, hlm. 368)
Ali bin Abi Thalib r.a juga mengatakan, “Mereka para salaf begitu berharap agar amalan-amalan mereka diterima daripada banyak beramal. Bukankah engkau mendengar firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Maidah: 27).
Dari Fadhalah bin ‘Ubaid, beliau mengatakan, “Seandainya aku mengetahui bahwa Allah menerima dariku satu amalan kebaikanku sekecil biji saja, maka itu lebih kusukai daripada dunia dan seisinya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa.”
Begitupula ‘Umar bin ‘Abdul Aziz, beliau pernah berkhutbah pada hari raya Idul Fitri, “Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama 30 hari. Kalian pun telah melaksanakan shalat tarawih setiap malamnya. Kalian juga keluar dan memohon kepada Allah agar amalan kalian diterima. Namun sebagian salaf malah bersedih ketika hari raya Idul Fitri.
Dikatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya hari ini adalah hari penuh kebahagiaan.’ Mereka malah mengatakan, ‘Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak.” (Lathaif al-Ma’arif, hlm. 370)
Pertanyaannya adalah adakah diantara kita yang yakin amalannya di bulan ini diterima? Shalat tarawih yang dilakukan setiap malam, yakinkah diterima? Tilawah Al-Qur’an setiap malamnya, yakinkah diterima? Sedekah kita, yakinkah diterima? Kita hanya bisa berharap dan memperbanyak doa, semoga Allah menerima setiap amalan kita di bulan Ramadhan dan memperjumpakan kita kembali dengan bulan penuh barakah ini.
Rangkaian kata-kata perpisahan dengan Ramadhan dari Ibnu Rajab berikut ini semoga bisa menjadi bahan muhasabah diri.
Wahai hamba Allah, bulan Ramadhan telah bersiap-siap untuk berangkat
Tidak ada lagi yang tersisa kecuali saat-saat yang singkat
Barangsiapa yang telah melakukan kebaikan selama ini, hendaklah ia menyempurnakannya
Barangsiapa yang malah sebaliknya, hendaklah ia memperbaikinya dalam waktu yang masih tersisa. Karena ingatlah amalan itu dinilai dari akhirnya
Manfaatkanlah malam-malam dan hari-hari Ramadhan yang masih tersisa
Serta titipkanlah amalan shalih yang dapat memberi kesaksian kepadamu nantinya di hadapan Sang Penguasa
Lepaskanlah kepergian Ramadhan dengan sebaik-baik ucapan
Salam dari Ar-Rahman pada setiap zaman
Atas sebaik-baik bulan yang hendak meninggalkan
Salam atas bulan di mana puasa dilakukan
Sungguh ia adalah bulan yang penuh rasa aman dari Ar-Rahman
Jika hari-hari berlalu tak terasakan
Sungguh kesedihan hati tak pernah hilang. (Lathaif al-Ma’arif, hlm. 380)
Berharap Amalan Diterima, Berharap Berjumpa Ramadhan Berikutnya
Masih lekat di benak kita, masih demikian indah nuansanya di pelupuk mata dan masih terhias indah di hati kita, semaraknya Ramadhan yang meninggalkan kita. Kini hari-hari yang kita jalani setelahnya, semoga lebih baik dari sebelum Ramadhan tiba. Jangan sampai keadaan kita usai Ramadhan justru lebih buruk dari sebelum Ramadhan datang menjumpai kita.
Al-Mu’alla bin Fadhl mengatakan bahwa, “Para salaf (sahabat) biasa memohon kepada Allah selama enam bulan agar dapat berjumpa dengan bulan Ramadhan. Kemudian enam bulan sisanya, mereka memohon kepada Allah agar amalan mereka diterima.”
Demikianlah keadaan para salaf dengan kedalaman ilmu dan baiknya amal mereka. Adapun kita seharusnya lebih bersungguh-sungguh dalam berdo’a agar amal kita diterima di Ramadhan yang telah lalu dan agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya. Akan tetapi, sudahkah yang seharusnya kita lakukan ini sejalan dengan realita yang ada? Sungguh, setiap jiwa menjadi saksi atas dirinya masing-masing, meskipun ia mengungkapkan berbagai alasan dalam menjawabnya.
Ada beberapa hal yang hendaknya senantiasa kita renungkan selepas Ramadhan, diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Dari ayat di atas, kita ketahui bersama bahwa puasa diwajibkan agar kita menjadi pribadi yang bertakwa. Sedangkan jika disimpulkan dari berbagai pendapat ulama, makna takwa berporos pada aktivitas menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Takwa itu adalah kesadaran batin yang kuat bahwasanya Allah sepenuhnya hadir dalam hidup kita, mengetahui fikiran-fikiran kita, motif-motif dari semua tindakan kita. Perasaan bahwa Allah itu hadir itulah yang memberikan kita kontrol yang sangat kuat dan itu akan membuat kita banyak terbebas dari banyak kesalahan. Pada waktu yang sama merupakan energi yang membuat kita selalu kuat untuk melakukan ketaatan kepada Allah itulah yang menjadi tujuan dari shiyam kita.
Takwa ini merupakan buah yang seharusnya dipetik oleh seorang mukmin setelah mereka menjalankan puasa Ramadhan. Sebulan penuh kita diharuskan menjalankan puasa, ditambah amalan-amalan mulia lainnya dengan janji pelipatgandaan pahala yang sangat menggiurkan jiwa-jiwa yang merindukan syurga-Nya.
Pada bulan tersebut kita sekedar mengekang hawa nafsu kita di atas ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Meskipun demikian, tak jarang kita saksikan sebagian kaum muslimin di bulan Ramadhan tetap saja berbuat maksiat, bahkan puasa pun tidak. Hal tersebut tentunya merupakan musibah besar bagi pribadi muslim, karena kesulitan menjalankan ketaatan di bulan Ramadhan harusnya dilawan. Jika tidak, maka akan semakin sulit menjalankan ketaatan di luar bulan Ramadhan.
Selama Ramadhan kita telah dilatih untuk bertakwa melalui ikhlas dengan tetap menahan lapar dan haus meskipun tak ada seorang pun disekitar kita. Demikian pula, kita dilatih untuk menahan hawa nafsu dengan berusaha menahan amarah ketika dihinakan. Kita juga dilatih untuk sabar dalam ketaatan dengan berusaha melaksanakan ibadah puasa dengan dibarengi tarawih di malam harinya, sahur di akhir waktu malamnya serta menyuburkan Ramadhan dengan banyak berdzikir dan berbuat baik.
Kita juga dilatih untuk dermawan dengan merasakan kondisi si miskin yang terkadang tidak makan sama sekali dalam sehari sehingga jiwa merasakan penderitaan orang lain dan terpacu untuk lebih dermawan kepada si papa. Kita dilatih untuk berusaha agar setiap guliran waktu bernilai ibadah di sisi-Nya. Hendaknya kita senantiasa menjadikan ibadah-ibadah tersebut terus berlangsung selepas Ramadhan.
Istiqamah Setelah Ramadhan
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni.” (HR. Bukhari dalam al-Adabu al-Mufrad, no. 644).
Salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan, maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya.” (Lathaif al-Ma’aarif, hlm. 297)
Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa serta permohonan ampun kita kepada-Nya. Sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan, kita berdoa kepada-Nya agar mempertemukan dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita dipenuhi keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya.
Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulu para salaf berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala selama enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya selama enam bulan berikutnya agar Dia menerima amal-amal shalih yang mereka kerjakan.” (Lathaif al-Ma’arif, hlm. 174)
Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya, ‘Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu?
Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan puasa?
Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu?
Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?’
Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang hanya rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, karena mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, hamba Allah yang shalih adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh.”
Imam asy-Syibli pernah ditanya, “Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau bulan Sya’ban?” Maka beliau menjawab, “Jadilah kamu seorang Rabbani; hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat, dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya).” (Lathaif al-Ma’aarif, hlm. 313)
Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shalih seorang hamba.
Imam Ibnu Rajab berkata, “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal kebaikan seorang hamba, maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shalih setelahnya. Sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka, ‘Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama. Sedangkan barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan perbuatan buruk setelahnya, maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut.” (Latha’if al-Ma’aarif, hlm. 311)
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan puasa enam hari di bulan Syawal, yang keutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Rasululah, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal, maka dia akan mendapatkan pahala seperti puasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Amal ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit.” (HR. Bukhari: 6099 dan Muslim: 783).
Ummul Mukminin ‘Aisyah r.a berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabilah mengerjakan suatu amal kebaikan, maka beliau akan menetapinya. (HR. Muslim: 746)
Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya.
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
“Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. al-Hasyr: 2).
Wallahu a’lam bissawab.
Baca Juga: Hukum Shalat Ied di Rumah Pada Masa Pandemi