Faqid artinya tidak punya atau kehilangan, sedangkan thahurain maksudnya dua alat bersuci (air dan debu).
Jadi Faqid al-Thahurain artinya orang yang kehilangan atau tidak menemukan dua alat untuk bersuci (air dan debu).
Dalam kitab al-Jami’ al-Shahih yang lebih dikenal dengan Shahih al-Bukhari (7/106), ada hadits yang menceritakan tentang beberapa sahabat yang ditugasi oleh Nabi ﷺ untuk mencari kalung sayyidah ‘Aisyah yang hilang. Sejatinya itu kalung sayyidah Asma tapi dipinjam oleh sayyidah ‘Aisyah dan hilang.
Setelah lama mencari akhirnya mereka menemukannya, akan tetapi ketika itu waktu shalat hampir habis dan tidak ada air untuk mereka melaksanakan wudhu (ayat tayammum belum turun ketika itu). Akhirnya mereka shalat tanpa thaharah, artinya dalam keadaan tidak suci. Lalu kembali kepada Nabi dan melaporkan apa yang mereka lakukan, dan Nabi tidak menyalahkannya.
Nabi tidak menyuruhnya mengulang shalat, dan Nabi juga tidak menyalahkan shalatnya.
Setelah peritiwa ini terjadi, turunlah ayat tayammum sebagai pengganti air dalam keadaan tertentu.
Nah, dari hadits ini kemudian ulama fiqih membuat semacam iftirahdii (kemungkinan) dan gambaran-gambaran yang sama dengan perkara hadits tersebut (qiyas), muncul kemudian beberapa contoh orang yang termasuk dalam kategori Faqid Thahurain. Diantaranya:
Seperti orang yang terkurung di suatu tempat yang tidak ditemukan kedua alat suci tersebut, orang yang terikat dan ia tidak bisa bersuci, di gunung es yang tidak bisa menggunakan air untuk bersuci dan tidak mendapatkan debu, orang yang berada di atas kapal dan ia tidak bisa mengambil air.
Seperti ketika di dalam kendaraan umum yang di dalamnya tidak didapati air dan debu, atau ia hanya mendapati debu untuk bersuci akan tetapi debunya terkena najis, atau seperti petugas medis yang menggunakan APD (alat pelindung diri) saat menangani Virus Corona dia tidak diperkenankan untuk membuka APD-nya untuk bersuci karena dikhawatirkan tertular virus.
Lalu bagaimana, apakah orang seperti ini masih tetap wajib shalat atau tidak? kalau ia shalat apakah wajib diulang, apa itu sudah menggugurkan kewajibannya?.
Dalam hal ini para ulama madzhab berbeda pendapat:
Madzhab Hanafiyah: tidak wajib shalat tapi di-qadha’
Sejatinya tidak semua ulama Hanafi sepakat, namun pendapat yang masyhur bahwa orang dalam keadaan Faqid al-Thahurain tidak wajib shalat tapi wajib di-qadha’ nanti ketika keadaan sudah normal. Sebagian lain mengatakan tetap melakukan shalat sebisanya, dan wajib juga di-qadha’.
Dalil mereka bahwa diantara syarat sah shalat itu adalah suci (thaharah), jadi kalau tidak bersuci maka tidak sah shalatnya dan belum gugur kewajibannya.Sejatinya apa yang dikerjakan olehnya ketika itu bukan shalat, karena syarat sahnya shalat tidak terpenuhi. Dikarenakan bukan shalat maka dia tetap wajib qadha’ ketika keadaan normal (menemukan alat untuk bersuci), karena memang kewajibannya belum gugur. (Hasyiyah Ibnu Abdin, 1/168)
Madzhab Malikiyah: tidak wajib shalat dan tidak wajib qadha’.
Berbeda dengan madzhab sebelumnya, justru Imam Malik tidak mewajibkannya shalat dan juga tidak mewajibkannya ‘’’.
Kenapa? Karena thaharah dalam madzhab ini adalah syarat wajib bukan syarat sah. Karena syarat wajib, ketika ini tidak terpenuhi maka kewajibanpun tidak ada. Karena tidak wajib shalat di waktu itu, maka tidak wajib juga mengqadha’-nya. karena qadha’ itu adalah melaksanakan kewajiban yang tertinggal, toh yang ditinggalkan itu tidak wajib, jadi tidak wajib juga di-qadha’. (Hasyiyah al-Dusuqi 1/162)
Ini salah satu pendapat Imam Malik yang dikritik oleh salah seorang ulamanya, yaitu Imam al-Qarafi, bahwa dia tidak sepakat dengan Imam Malik dalam hal bahwa thaharah ini syarat wajib. Beliau berpendapat bahwa thaharah itu syarat sah bukan syarat wajib. (al-Dzakhirah, 1/351)
Madzhab al-Syafi’iyyah: wajib shalat dan wajib qadha’.
Menurut madzhab al-Syafi’iiyah, hukum orang yang tidak menemukan dua alat untuk bersuci adalah ia tetap mengerjakan shalat pada waktu tersebut, yang biasa disebut dengan shalat li hurmatil waqti (shalat untuk menghormati datangnya waktu shalat). Akan tetapi ketika ia mendapatkan air, maka ia harus mengulangi shalat tersebut. (Mughni al-Muhtaj, 1/105)
Kenapa wajib shalat dalam keadaan seperti itu?,
Seperti yang tersebut dalam hadits, sebagian sahabat melakukan shalat padahal dalam keadaan tidak suci dengan ‘keyakinan’ bahwa shalat itu tetap wajib, lalu melapor ke Nabi ﷺ dan Nabi tidak mengingkarinya.
Kalau seandainya terlarang, pastilah Nabi melarang, dan tidak mungkin para sahabat itu melakukannya, kalau tidak berkeyakinan bahwa itu wajib. Artinya Nabi ﷺ tidak mengingkari keyakinan mereka akan wajibnya shalat. Jadi shalat tetap wajib sebisanya.
Kenapa tetap wajib qadha?
Pertama; karena dia shalat tanpa bersuci dan dalam keadaan yang tidak sempurna, jadi kewajibannya tidak gugur. Kedua; karena alasan ini adalah udzur yang jarang sekali terjadi dan tidak terus-menerus.
Sepertinya ulama al-Syafi’iiyah memisahkan keadaan seorang muslim ketika dalam keadaan faqid-thahurain, dan juga keadaannya yang normal. Dalam keadaan faqid al-thahurain, dia tetap wajib karena memang sahabat melakukannya. Dalam keadaan normal, dia tetap wajib shalat (mengulanginya). Karena shalat yang sebelumnya itu tidak terhitung, sebab syarat sah-nya shalat tidak terpenuhi.
Madzhab al-Hanabilah: wajib shalat dan tidak qadha’.
Madzhab ini kebalikan dari madzhab Syafi’iiyah; mewajibkan shalat dalam keadaan apapun, dengan dalil firman Allah subhanahu wata’ala :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (at-Taghabun : 16)
Jadi ketika masuk waktu shalat, dalam keadaan apapun, maka ia wajib shalat dalam keadaan tersebut. Setelah itu tidak perlu qadha’ lagi, karena kewajibannya telah gugur. (Kasysyaf al-Qina’, 1/171)
Kesimpulannya, dalam keadaan bagaimanapun, seorang muslim harus senantiasa mengerjakan shalat lima waktu. Termasuk dalam keadaan ketika ia tidak menemukan alat untuk bersuci, ia tetap diperintahkan untuk mengerjakan shalat.
Hanya saja, ulama berbeda pendapat apakah shalatnya harus diulangi atau tidak.
Adapun orang yang meninggalkan shalat karena tidak menemukan alat untuk bersuci adalah sebuah kesalahan dan ia berdosa jika melakukannya. Wallahu a’lam. [Malik Ibrahim]
Baca Juga: Era Post Truth dan Kualitas Literasi Kita