Awal tahun 2020 ini, dunia dikejutkan dengan wabah Virus Corona (Covid19) yang menginfeksi hampir seluruh negara di dunia. WHO semenjak Januari 2020 telah menyatakan dunia masuk ke dalam darurat global terkait virus ini.
Hari ini, ketika kita berbicara tentang Virus Corona, seharusnya kita bukan lagi berdebat tentang eksistensi “Sang Virus”, tapi titik tekannya lebih kepada bagaimana Pandemi ini telah berhasil menciptakan krisis multidimensi dan apa usaha kita untuk menemukan solusinya.
Salah satu krisis yang kita hadapi hari ini adalah krisis Literasi Digital. Krisis ini telah berhasil mengubah tatanan kehidupan masyarakat akibat menyebarnya berita simpang-siur yang tak bisa dipertanggungjawabkan; mulai isu Konspirasi Bill Gates, Perang Dagang Amerika vs China, Senjata Biologi hingga dikaitkannya dengan isu Akhir Zaman yang kerapkali memenuhi beranda media sosial kita, adalah indikasi dari krisis ini.
Kecepatan penyebaran informasi yang berseliweran di media sosial sering tidak dibarengi dengan kemampuan “melek” literasi digital. Kita mendapat informasi setiap hari, dan hanya mengandalkan intuisi untuk menentukan apakah sesuatu benar atau tidak.
Akibatnya, muncul kepanikan dan kecemasan berlebihan, disisi lain ada yang justru bosan dan muak sehingga bersikap masa bodoh. Situasi bertambah gaduh lagi saat semua orang merasa tahu dan ahli, bebas cas cus bicara ini itu, padahal dia sendiri bisa jadi tak tahu hakikat apa yang dibicarakannya.
Literasi Digital di Era Post Truth
Dalam sebuah penelitian tahun 2017 diungkap bahwa 92,40% hoax di Indonesia tersebar melalui media sosial (facebook, twitter, Instagram dan Path), berturut-turut 62,80% hoax tersebar melalui aplikasi chatting (whatsapp, line, telegram) dan menempati nomer tiga, berturut-turut 34,90% hoax tersebar melalui situs website. Sedangkan bila didasarkan format-nya hoax, 62,10% yang tersebar berbentuk tulisan, sedangkan 37,50% berbentuk gambar dua dimensi (Dudi Hartono, Era Post Truth: Melawan Hoax dengan Fact Checking, dalam; Prosiding Seminar Nasional Ilmu Pemerintahan; 2018, Universitas Mercu Buana, hlm. 71-71)
Media sosial daring dengan jenis yang macam-macam adalah media paling efektif penyebar hoax. Melalui media tersebut, berbagai informasi termasuk hoax bisa diakses dengan cepat oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun, nyaris tanpa ada hambatan.
Hal ini diperparah lagi dengan budaya publik yang bernalar Post-Truth yang cenderung menghendaki segala kemudahan dalam berinteraksi lewat media sosial daring, mereka seringkali menerima informasi apa adanya, no-filter dan no-koreksi. Informasi dari media sosial dijadikan dasar kebenaran, sekaligus dijadikan dasar untuk mengambil sikap dan menentukan perilaku.
Post-Truth bukan bermakna hilangnya fakta sebagai bagian dari kebenaran atau ketidakpedulian terhadap kebenaran, melainkan to the blurring of distinction betwen the two (mengaburkan perbedaan di antara keduanya, yaitu kebenaran dan kebohongan). Demikian seperti yang ditulis Ignas Kalpokas dalam A Political Theory of Post Truth (2019:2).
Istilah post truth sendiri jika dicermati dari sisi etimologi berasal dari kosa kata berbahasa Inggris. Dalam Oxford Dictionary disebutkan post artinya after (setelah) sebagaimana dijelaskan dalam kosa kata post-mortem yang diartikan dengan review of an event after it has happenend (simpulan atas sebuah peristiwa setelah peristiwa itu terjadi), dan truth artinya quality or state of being true (kualitas atau dalam keadaan benar atau kebenaran).
Jadi, post-truth diartikan setelah atau pasca-kebenaran. Kemudian disebut era post-truth atau era pasca-kebenaran karena dalam rentang masa ini penggunaan akal yang melandasi kebenaran sebuah fakta sebagai basis pengamatan fakta sebagai basis pengukuran objektifitas seakan-akan tak penting dalam mempengaruhi opini, pemikiran, maupun perilaku publik.
Publik lebih tertarik dengan kehebohan dan sensasi sebuah berita daripada menelisik faktanya. Fenomena ini sangat terlihat di masa penyebaran Virus Corona. Respon masyarakat terhadap maraknya pemberitaan Virus Corona, dapat dikatakan reaktif bahkan cenderung “kalap”. Sehingga basis dasar pengambilan setiap keputusan bukan lagi ilmu, tapi lebih dominan ke perasaan.
Solusi Islam
Islam sangat menekankan pada pentingnya ilmu dan upaya meningkatkan kualitas literasi yang mencerahkan. Literasi yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan potensi dan keterampilan dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan aktivitas membaca dan menulis.
Kehatian-hatian dalam mengambil dan menyebarkan informasi ditegaskan dalam firman Allah al-Qur’an
“ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat:6)
Dalam hadits, Rasulullah bersabda: “Cukuplah seorang dikatakan pembohong, apabila dia menceritakan semua yang dia dengar” (HR. Muslim)
Hadits ini sebagai bentuk ancaman agar siapapun tidak menyebarkan (share) informasi sebelum dia mengetahui fakta sebenarnya, wajib baginya untuk memverifikasi dahulu setiap berita yang dia dengar sampai dia bisa membuktikan kebenarannya. Kalau tidak, dia tak boleh bicara. (al-Mafâtîh fî Syarh al-Mashâbîh, 1/260).
Menurut Ibnul Jauzi, orang yang asal share semua informasi tanpa membedakan mana yang masuk akal dan tidak, yang seharusnya menjadi konsumsi publik atau spam dia bisa dikategorikan sebagai seorang pembohong (Kasyfu al-Musykîl, 3/550).
Maka, sikap kita terhadap luberan informasi-informasi yang hari ini tersebar di berbagai platform media sosial, layaknya kita bersikap terhadap Khabar Isra’iliyyât, kaidahnya; lâ nushaddiquhu wa lâ nukadzzibuhu, tidak langsung percaya, juga tidak apatis. Jika bisa diverifikasi dan benar adanya, kita ambil. Jika tidak, abaikan. Wallahu a’lam.
Baca Juga: Kesyirikan yang Lahir dari Ketakutan