Wabah Covid-19 telah menemani masyarakat Indonesia beberapa bulan belakangan selalu ramai menjadi topik hangat untuk diperbincangkan, mulai dari asal-usulnya, motif tersembunyi dibalik kemunculannya, pengaruh kuat akibatnya, keefektifan obatnya, nuansa politik di dalamnya, sampai hukum untuk takut padanya. Seperti ungkapan, “Mbok yo takut sama gusti Allah bukan Corona”. atau “takut kepada selain Allah itu syirik, gak boleh”.
Menjawab interpretasi ini terdapat sebuah kisah tentang sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu saat beliau hendak melakukan kunjungan ke negri Syam dalam suatu agenda dibatalkan oleh beliau selepas mendapat kabar bahwa Syam sedang dilanda wabah epidemi Tha’un.
Saat itu Abu Ubaidah radhiyallahu ’anhu selaku gubernur, menyayangkan keputusan beliau membatalkan kunjungan. Beliau berkata kepada Umar ra,
يَا أَميرَ المؤمنين، أفراراً من قدرِ اللهِ؟
“Wahai Amirul Mukminin. Mengapa anda lari dari takdir Allah?“
Kemudian Umar radhiyallahu ’anhu menjawab dengan menyayangkan pertanyaan yang keluar dari sahabat Abu Ubaidah radhiyallahu ’anhu,
لو غيرًك قالَها يا أبا عبيدة! نعم، نفرّ من قدرِ اللهِ إلى قدر اللهِ، أرأيت لو كانت لك إبلٌ فهبطت واديا له عدوتَان، إحداهما خصبةٌ، والأخرى جدبةٌ، أليس إن رعيتَ الخصبةَ رعيتَها بقدرِ الله، وإن رعيت الجدبةَ رعيتَها بقدر الله؟
“Aku berharap bukan Anda yang mengucapkan itu wahai Abu Ubaidah. Memang benar, kami sedang lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Andaikata kamu memiliki seekor unta, kemudian ada dua lahan yang subur dan yang kering. Bukankah bila Anda gembalakan ke lembah yang kering itu adalah takdir Allah, dan jika Anda pindah ke lembah subur itu juga takdir Allah.”
Abu Ubaidah radhiyallahu ’anhu mengiyakan jawaban dari beliau. Kisah ini menggambarkan bahwa Umar bin Khattab ra takut pada wabah Tha’un. Bentuk ikhtiyar beliau dengan menghindari domisili yang terinfeksi pandemi.
Jenis takut Umar bin Khattab ra ini merupakan Khauf thabi’i (takut manusiawi), jenis takut seperti ini lumrah terjadi pada manusia karena merupakan sifat asli yang hukum asalnya mubah. Misalnya takut terhadap Orang jahat, hewan buas, panasnya api, dan tsunami. (Rasail syaikh Muhammad bin Ibrahim fi al-Aqidah, 8/9).
Adapun takut berdasarkan tabiat manusia merespon bahaya maka jenis ini tidak masuk dalam ketegori syirik khauf. Namun takut jenis ini harus berdasarkan sebab yang logis. (al-Quthuf at-Tayyibat min Ajwibah Syarh Kasyfish Syubhat, 1/7)
Takut manusiawi ini pun pernah dialami oleh Nabi Musa ‘alaihis salaam, Allah Ta’ala berfirman,
… فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِينَةِ خَائِفًا يَتَرَقَّبُ
“Karena itu, jadilah Nabi Musa di kota itu merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya)” (QS. Al-Qashash: 18).
Definisi Syirik Khauf
Muhammad bin Jamil Zainu dalam Minhajul Firqah an-Najiyah, 1/34. Mendefinisikan syirik khauf dengan sebuah keyakinan bahwa beberapa wali yang telah meninggal dunia, atau hal-hal takhayul dapat memberikan kemudharatan.
Keyakinan ini persis dengan kaum musyrik yang senantiasa takut kepada berhala dan menakut-nakuti para Nabi dari berhala mereka. Untuk itu Allah swt berfirman,
… وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ
“Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut”. (QS. Al-Baqarah: 40).
Allah swt juga telah memberikan kabar gembira bagi siapa saja yang takut kepada-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Muluk: 12).
Hal ini selaras dengan hadits Qudsi Allah SWT berfirman, “Demi kemulian-Ku, Aku tidak akan menghimpun dua rasa takut dan dua rasa aman pada diri seorang hamba. Jika ia takut kepada-Ku di dunia, maka Aku akan memberikannya rasa aman di hari kiamat. Jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan memberikan rasa takut kepadanya di hari kiamat.” (HR. Ibnu Hibban).
Macam-macam Kriteria Khauf
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengklasifikasikan jenis-jenis takut menjadi empat:
Pertama: Takut yang diwajibkan, yaitu takut terhadap ancaman Allah SWT bagi para pelaku maksiat. Ketakutan ini merupakan derajat yang tinggi dalam rangkaian iman.
Kedua: Takut yang diharamkan (khauf muharram), yaitu meninggalkan perkara yang diwajibkan syariat atasnya seperti meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar tanpa adanya udzur kecuali karena disebabkan takut terhadap manusia. Jenis takut ini haram namun tidak mencapai derajat syirik khauf.
Ketiga: Takut yang diperbolehkan (khauf thabi’i), yaitu takut yang bersifat tabiat asli manusia.
Keempat: Takut yang tercela (khauf wahmi), yaitu ketakutan berlebih tanpa adanya dasar dan sebab yang tidak jelas. Ini adalah bentuk takut yang membuat pelaku dapat dikatakan sebagai seorang pengecut. Berkenaan dengan itu Nabi saw dalam sebuah atsar berdoa untuk berlindung dari sifat pengecut. (Rasail syaikh Muhammad bin Ibrahim fi al-Aqidah, 8/9).
Maka, sebagaimana Umar bin Khattab membatalkan kunjungannnya ke Negri Syam, rasa takut kita akan tertular Virus Corona adalah wajar dan sudah menjadi tabi’at dasar manusia, sehingga tidak termasuk Syirik kepada Allah. Wallahu a’lam. [Utz]
Baca Juga: Mendulang Hikmah di Balik Musibah