Tahun 491 H bertepatan dengan 1097 M, pasukan Salib berhasil menguasai wilayah Antiokhia dan terus melakukan serbuan sehingga berhasil merebut Baitul Maqdis (Palestina) pada tahun 492 H bertepatan dengan 1098 M.
Di setiap kota dan desa yang dilalui, pasukan Salib melakukan pembantaian dengan cara yang sangat keji. Kaki-kaki kuda mereka berlumuran darah korban-korban pembantaian terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Ketika menguasai Ramallah, Quds dan Asqalan pasukan Salib membunuh penduduk kota-kota tersebut dan membantai sekitar 70.000 kaum muslimin di kawasan al-Aqsha yang meliputi masyarakat biasa, ulama, pelajar, ahli ibadah, dan ahli zuhud.
Peristiwa jatuhnya Palestina ke tangan pasukan Salib bukan tanpa sebab. Jauh pada tahun-tahun sebelumnya dunia Islam berada pada titik nadir kelemahan.
Nyaris seluruh tatanan sosial kemasyarakatan hancur, tak menyisakan apapun selain kepiluan. Semua peristiwa itu terjadi saat mayoritas masyarakat Muslim terlena dengan pertikaian dan perselisihan antara sesama mereka sendiri. Bentrok antar madzhab sering terjadi, terutama antara dua madzhab besar; Hambali dan Syafi’i.
Para da’i mengalami disorientasi yang cukup parah. Sejatinya kehadiran mereka untuk menjadi obor ditengah kegelapan zaman itu, tapi tidak, mereka justru berlomba-lomba menjilat penguasa, menukarkan ayat-ayat suci dengan secuil materi duniawi. Ditambah lagi fanatisme madzhab begitu kental terjadi saat itu.
Para khalifah yang seharusnya menyelesaikan problematika itu abai sama sekali, sibuk dengan urusan-urusan materi duniawi. Mereka tidak mampu melakukan apapun untuk menghentikan invasi yang terus meluas.
Gambaran terburuk dari keengganan para khalifah dan sultan terhadap perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan oleh aggressor Salib di Quds (Palestina) dan kawasan pantai Syiria dan Lebanon.
Salah seorang delegasi membawa karung besar yang berisi tumpukan tulang belulang manusia, rambut wanita, dan anak-anak, lalu menggelarnya di depan penguasa.
Ironisnya, khalifah justru berkata kepada mentrinya, “Biarkan aku sibuk dengan urusan yang lebih penting! Merpatiku, si Balqa’ sudah tiga hari menghilang dan aku belum melihatnya.”
Maksudnya, khalifah memiliki seekor burung merpati yang memiliki bintik-bintik indah pada bulunya. Burung tersebut sangat terlatih untuk aduan dan menyerang merpatin lainnya. Permainan ini sangat popular di kalangan masyarakat dan khalifapun sangat menyukainya, demikian pula dengan orang kaya dan para petinggi pemerintahan.
Sementara di lapisan masyarakat kondisinya tidak jauh berbeda, sibuk dengan urusan-urusan pribadi dan masalah-masalah sepele, waktu mereka habis untuk bersaing dan bertikai dalam urusan itu.
Para da’i, orator dan penyair yang masih memiliki ghirah perjuangan berusaha membangkitkan semangat jihad untuk membela kehormatan Islam dan kaum muslimin. Namun tidak berhasil. Masyarakat tidak peduli, pemerintah enggan. Kondisi yang benar-benar tragis saat itu.
Di Mana Imam Al-Ghazali?
Sezaman dengan itu sebenarnya ada ulama besar yang popularitasnya bergaung memenuhi seantero negeri dibanding dengan ulama-ulama sejawatnya. Beliau Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali yang lahir pada tahun 450 H.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di kota Thus, al-Ghazali pergi ke Naisabur untuk berguru kepada Imam Haramain, al-Juwaini. Di tempat yang baru inilah kecerdasan dan kecemerlangan al-Ghazali berkembang dengan pesat.
Al-Ghazali sangat menonjol di kalangan Asy’ari, sehingga mentri Nizham al-Mulk memanggil dan mengangkatnya sebagai guru di Madrasah Nizhamiyah pada tahun 484 H serta menganugerahkan gelar Zainuddin Syaraf al-A’immah kepadanya. Al-Ghazali memiliki banyak sekali karya lintas disiplin ilmu, namun magnum opus-nya adalah Ihya’ ‘Ulumiddin.
Kita tentu bertanya, di mana Imam al-Ghazali saat itu? Bukankah seharusnya beliau berdiri di garda terdepan dalam menyuarakan perlawanan kepada pasukan Salib? Tetapi saat itu jangankan gaungnya, posisi beliau di mana saja, tak banyak yang tahu.
Gerakan Ishlah Al-Ghazali
Al-Ghazali bukan tak peduli, melihat kondisi kaum muslimin yang sudah demikian parah al-Ghazali justru menarik diri dari hiruk pikuk masyarakat, politik, dan pemerintahan selama 10 tahun ke Syam, selebihnya terus berpindah antara Damaskus, Baitul Maqdis, dan Hijaz.
Semua itu dilakukan bukan untuk meninggalkan umat dan mementingkan diri sendiri, tapi dalam rangka mengevalusi dan mencari solusi atas degadrasi moral yang tengah menimpa kaum muslimin (insihab wa al-awdah).
Al-Ghazali memahami betul sekedar ‘berkoar’ di podium mengajak kaum muslimin untuk berjihad tak mungkin bisa, moralitas kaum muslimin saat itu berada pada titik terendah, solusi yang ditawarkan harus menyentuh subtansi persoalan.
Maka, setelah meyelesaikan petualangan fisik dan intelektual yang cukup lama itu, al-Ghazali kembali ke Baghdad sebentar lalu kembali ke tempat kelahirannya di Thus (Khurasan). Di sana al-Ghazali memulai gerakan Ishlahnya. Konsep Ishlah al-Ghazali dilandaskan pada tiga kaidah utama:
Pertama, sesungguhnya tujuan dasar keberadaan umat Islam adalah untuk membawa risalah Islam kepada seluruh alam semesta. Jika umat ini berpangku tangan dan tidak menyampaikan risalah Islam, maka dunia akan dipenuhi oleh berbagai macam kekacauan dan kerusakan yang besar. Umat Islam dan umat lain akan menjadi korbannya.
Kedua, umat Islam tidak boleh berpangku tangan mengabaikan misi kaidah pertama. Kalau ternyata belum terlaksana, maka tugas umat Islam adalah mencari sebab kenapa mereka berpangku tangan.
Ketiga, adalah kebutuhan yang mendesak untuk menemukan penyebab berpangku tangannya umat Islam. Caranya adalah dengan mendiagnosa penyakit umat, bukan sekedar menunjukkan reaksi emosional yang bersifat negatif dan sibuk mencari kambing hitam serta menuduh.
Beliau mulai mempraktekkan konsepnya dengan mengajarkan kitab Ihya’ Ulumiddin dan membangun sekolah serta pondokan (ribath) sendiri. Fokus dari model pendidikan yang dibangun al-Ghazali ada dua:
Pertama, melahirkan generasi baru ulama dan elit pemimpin yang mau berbuat dengan pemikiran yang bersatu dan tidak terpecah-pecah, saling melengkapi bukan saling jegal, dan memilik tujuan yang tulus untuk Allah.
Kedua, memfokuskan perhatian untuk mengatasi penyakit-penyakit krusial yang menggerogoti umat dari dalam, bukan sibuk dengan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit-penyakit tersebut. Diantaranya adalah ancaman para aggressor yang datang dari luar (baca: pasukan Salib).
Sekedar mengeluh dan menjelek-jelekkan lawan, itu tidak menjawab persoalan, kalau ingin perubahan, mulailah dengan memahami detail dan mendefinisikan apa persoalannya, kurang lebih seperti itu logika berpikir al-Ghazali.
Pendidikan, Titik Tolak Perubahan
Dua hal yang telah disebut di atas merupakan visi besar al-Ghazali, visi besar itu tidak ada cara untuk mencapainya kecuali dengan memperkuat bidang pendidikan. Dari sini nanti akan terlihat titik tolak perubahan kolektif umat Islam bermula.
Landasan dasar dari model pendidikan yang dibangun oleh Imam al-Ghazali adalah mewujudkan kebahagian manusia di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan itu tidak akan dapat dicapai manakala tanpa ilmu dan amal. Sebab keberadaan ilmu akan membuat perubahan pada perilaku. Selama perilaku tidak berubah, kebahagiaan tidak pernah tercapai.
Visi dan landasan yang telah disebutkan tadi lalu dimplementasikan dalam bentuk kurikulum. Kurikulum yang dicanangkan al-Ghazali memiliki keistimewaan, berbeda dengan kurikulum-kurikulum pada zamannya yang berkembang dalam tradisi madzhabisme.
Kurikulum al-Ghazali memang masih tetap menaruh perhatian besar pada fikih. Hanyasaja tidak berhenti pada ilmu-ilmu fikih yang ditentukan oleh madzhab, melainkan membentuk kesatuan utuh untuk menggabungkan semuanya.
Kurikulum yang digarap al-Ghazali ada empat bidang, sebagai berikut:
Pertama, membangun aqidah Islam. Tujuannya adalah membentuk aqidah yang jelas, dinamis, dan berperan sebagai ideologi yang menjelaskan dan mengarahkan berbagai macam kebijakan.
Sebagaimana yang kita ketahui juga, aqidah adalah cara berpikir (woldview) seseorang, dan cara berpikir menentukan tindakan seseorang. Karenanya aqidah merupakan bidang garap yang didahulukan oleh al-Ghazali.
Kedua, bidang pendidikan jiwa dan kemauan (iradah). Tujuan bidang ini adalah meningkatkan kualitas manusia dari derajat tunduk kepada dorongan syahwat dan nafsu menuju derajat ubudiyah kepada Allah, yaitu ketika seorang individu mampu membebaskan diri dari belenggu nafsu.
Al-Ghazali mengadopsi subtansi kurikulum ini dari Al-Qur’an, Sunnah, dan berbagai sumber tradisi kaum salaf dan kaum sufi generasi pertama. Konsep ini terlebih dahulu dipraktekkan kepada dirinya sebelum kepada orang lain.
Beliau meninggalkan jabatan guru besar di Madrasah Nizhamiyah dan meninggalkan keluarga, daerah, serta popularitasnya selama sebelas tahun, hingga dirinya telah terasah dan bersih kembali.
Ketiga, mengkaji ilmu fikih dan seluruh sistem serta prinsip yang diperlukan untuk mengimbangi pola muamalat yang berlaku pada masa itu dan permasalahan-permasalahan masyarakat yang rill dan senantiasa berkembang. Kajian-kajian al-Ghazali dalam bidang ini bebas dari tren taqlid madzhab dan bersentuhan langsung dengan Al-Qur’an.
Keempat, bidang hikmah atau persiapan fungsional. Menurut al-Ghazali, wilayah ini mencakup seluruh bentuk kebijakan, manajemen dan profesi yang dibutuhkan oleh masyarakat saat itu serta tatacara penempatan masyarakat di semua sektor sesuai kesiapan dan kemampuannya.
Secara eksplisit, al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu-ilmu dalam wilayah ini tidak terbatas pada apa yang telah diketahui oleh manusia saat itu, namun akan banyak lagi ilmu-ilmu yang muncul di masa mendatang disebabkan oleh tabiat kehidupan yang terus berlanjut dan kebutuhan manusia yang terus berkembang.
Visi al-Ghazali dilanjutkan oleh Abdul Qadir Jailani
Al-Ghazali meninggal di tahun 505 H, saat itu Syaikh Abdul Qadir Jailani masih muda. Beliau termasuk orang yang selalu menghadiri majelis-majelis al-Ghazali dan banyak terinspirasi oleh konsep dakwah tasawuf sunni yang dibawanya.
Hal itu tampak dalam berbagai tulisan dan karya ilmiah Abdul Qadir, selain beliau menukil beberapa paragraf secara tekstual dan utuh dari karya al-Ghazali. Beliau juga menulis buku, judulnya al-Ghunyah li-Thalib at-Thariq al-Haqq yang disusun sesuai dengan metode penulisan al-Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din.
Walau begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa keterpengaruhan Abdul Qadir terhadap al-Ghazali hanya sementara, karena setelah itu beliau mampu menciptakan metodenya sendiri dalam pemikiran dan pengamalan.
Terkait peran beliau dalam gerakan ishlah para sejarawan mencatat bahwa aktivitas dakwah Abdul Qadir dimulai sejak tahun 521 H/1127 M. Walaupun sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum itu.
Awalnya murid yang belajar kepada beliau hanya dua orang saja, tapi lama kelamaan jumlahnya terus bertambah hingga mencapai angka 70.000 orang, dan oleh sebab area madrasah tidak dapat menampung mereka lagi, beliau memindahkan pusat kajiannya di dekat pagar kota Baghdad dan membangun madrasah di sana.
Proyek pembangunan madrasah itu selesai pada tahun 528 H/1133 M, nama madrasah dinisbatkan langsung kepada beliau (Qadiriyah). Abdul Qadir menjadikan madrasah ini sebagai pusat kegiatan mengajar, berfatwa, dan menyampaikan nasihat. Madrasah ini kemudian kita sebut dengan madrasah ishlah.
Terkait pembiyaan, biaya operasional madrasah ini ditanggung oleh para pengikut dan konglomerat yang memberi wakaf permanen untuk memenuhi kebutuhan para guru dan murid.
Dalam menjalankan misi ishlah, menyebarkan dakwah, dan pendidikan, Abdul Qadir tidak sendirian, beliau banyak didukung oleh sejumlah murid-murid yang cemerlang dan sahabat yang tulus, sehingga tak heran jika di kemudian hari muncullah madrasah-madrasah cabang yang visinya sama dengan madrasah pusat; Madrasah Qadiriyah.
Koordinasi Antar Madrasah Ishlah dan Persatuan Dewan Gurunya
Antara tahun 546-550 H (1151-1155 M) terbentuk upaya untuk membangun koordinasi dan komunikasi antar madrasah ishlah dengan tujuan menyatukan langkah dan mengatur kerja sama.
Untuk tujuan ini, diadakanlah beberapa perkumpulan dan pertemuan (semacam konferensi) yang membuahkan beberapa hasil yang sangat penting dalam tataran struktur dan teori.
Dalam konteks struktur kita dapati upaya koordinasi dan kerja sama berhasil membentuk penyatuan kepemimpinan madrasah-madrasah ishlah yang mencerminkan corak kerja kolektif (amal jama’i) dan universal yang mencakup seluruh belahan dunia Islam.
Pertemuan pertama, bertujuan menyatukan kepemimpinan tadi, diadakan di ribath Madrasah Qadiriyah, Baghdad, dihadiri oleh lebih dari 50 syaikh yang berasal dari Iraq dan lainnya.
Pertemuan kedua, diselenggarakan bersamaan dengan momentum pelaksaan ibadah haji, dihadiri oleh tokoh-tokoh madrasah ishlah dari seluruh pelosok dunia Islam.
Pertemuan selanjutnya disusul dengan pertemuan-pertemuan yang lebih besar untuk membentuk suatu kepemimpinan dan struktrur kerja yang jelas. Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam hal ini terpilih sebagai pemimpin tertinggi.
Sedangkan tugas lembaga yang berada di bawah kendali satu komando kepemimpinan ini adalah mengkoordinasi aktivitas-aktivitas seluruh madrasah ishlah dan mengarahkannya untuk berperan dalam koridor bidang yang digelutinya; menyebarkan pola hidup zuhud dan mendidik generasi baru dengannya.
Model pendidikan ini diyakini sebagai sumbu dari proses menganggulangi berbagai penyakit dan ketimpangan yang telah merasuki sendi-sendi masyarakat Muslim sehingga membuat lemah tak berdaya ketika menghadapi berbagai tantangan serta tidak sanggup menunaikan kewajibannya, baik di dalam maupun luar lingkungannya.
Penyatuan struktur madrasah-madrasah ini membuahkan beberapa dampak yang cukup signifikan, antara lain:
Pertama, bersatunya aktivitas yang dilakukan di seluruh madrasah ishlah.
Kedua, setiap madrasah dan ribath (pondok) mengirim kader-kadernya ke Madrasah Qadiriyah, yang terdiri dari pelajar-pelajar berprestasi dan murid-murid cemerlang yang dinilai memiliki kemampuan dasar untuk menjadi syaikh di masa mendatang.
Ketiga, penguasaan yang baik dalam menggabungkan pelajaran fikih dan kehidupan zuhud dapat mengikis, bahkan menghilangkan konfrontasi dengan para fuqaha’ dan membangun kerjasama yang baik antar kedua belah pihak.
Keempat, sikap zuhud berhasil mengeluarkan dari keterasingan ‘uzlah ala tasawwuf. Selain itu, zuhud juga memberi andil yang cukup besar dalam menghadapi tantangan-tantangan yang mengancam dunia Islam.
Karena sebab ini pula, terjadi hubungan yang sangat erat terjalin antara Kesultanan Nuruddin Zanki di Damaskus dengan tokoh-tokoh madrasah ishlah di Baghdad, Harran, Pegunungan Hakkar, dan Damaskus.
Hubungan ini menghasilan kesediaan madrasah-madrasah tersebut untuk bekerja sama dengan Nuruddin lalu dilanjutkan dengan Shalahuddin. Sejak saat itu kesultanan Zanki menjadi pusat pertemuan tokoh-tokoh yang memiliki visi ishlah dan murid-murid madrasah ishlah.
Mereka menjadikan kesultanan Zanki sebagai tempat hijrah yang mereka datangi dari berbagai pelosok kota dan sultan membuka pintunya lebar-lebar bagi setiap orang yang tulus dan mau berbuat baik di jalan Allah, sekalipun mazhab dan afiliasinya berbeda.
Setelah itu, keluarga Zanki menyalurkan segenap potensi individu-individu yang memegang kendali pemerintahan, politik dan militer, serta mengesampingkan peran berbagai kekuatan dan faktor lainnya.
Berbicara tentang gerakan ishlah pada periode ini sangat kompleks sebenarnya. Semua peristiwa dan perubahan yang terjadi setelahnya bukan atas dasar individu semata, tapi hasil kerja kolektif (amal jama’i) yang matang secara perencanaan dan solidaritas yang kuat, sebagaimana yang telah disebutkan.
Peran Alumni Madrasah Ishlah
Berbagai fakta sejarah menyebutkan bahwa Madrasah Qadiriyah memiliki peran yang sangat besar dalam mempersiapkan generasi yang siap menghadapi ancaman pasukan salib di kawasan Syam.
Madrasah ini menampung anak-anak pengungsi yang melarikan diri dari penjajahan kaum Salib, lalu menggembleng dan mengembalikan mereka ke wilayah-wilayah konfrontasi yang dimotori oleh kesultanan Zanki.
Para pelajar tersebut dikenal dengan julukan al-Maqadisah yang dinisbatkan kepada nama kota al-Quds atau Baitul Maqdis (Palestina). Di kemudian hari sebagian dari mereka cukup berpengaruh dalam bidang fikih dan politik.
Pada masa berikutnya, beberapa murid madrasah Qadiriyah ini berhasil menjadi tokoh terkemuka seperti Ibnu Naja, seorang ulama yang kemudian menjadi penasihat di era Shalahuddin al-Ayyubi dalam bidang politik dan militer.
Al-Hafizh ar-Rahawi, Musa bin Syaikh Abdul Qadir yang pindah ke Syam guna mendukung kegiatan intelektual di sana, Ibnu Qudamah (pengarang kitab al-Mughni) dan salah seorang penasihat Shalahuddin serta saudara dekatnya; al-Hafizh Abdul Ghani.
Dua orang yang masih terkait hubungan saudara itu datang ke Baghdad dan belajar di madrasah Qadiriyah setelah keluarga mereka eksodus dari Jama’il di Napolis ke Damaskus.
Selain itu, banyak juga para ulama dan alumni madrasah-madrasah ishlah dari berbagai penjuru yang datang ke Syam untuk mengajar di madrasah-madrasah yang didirikan oleh Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Madrasah Qadiriyah adalah pusat dari semua madrasah ishlah, selain itu banyak madrasah-madrsah lain dengan kekhasannya masing-masing. Diantaranya adalah Madrasah ‘Adawiyah, didirikan oleh Syaikh Adi bin Musafir (salah satu murid Abdul Qadir Jailani) di Pegunungan Hakkar adalah madrasah yang memberikan banyak sumbangsih dalam bidang militer.
Para alumni madrasah-madrasah tersebut yang terdiri dari Suku Kurdi Hakkariyah dan Rawadiyyah kemudian berperan sebagai pemimpin tentara, panglima perang dan pasukan biasa. Tokoh utama yang muncul hasil didikan madrasah ini adalah keluarga Shalahuddin al-Ayyubi.
Asal keluarga ini dari adalah Duwain yang termasuk kawasan Azerbeijan. Ayah Shalahuddin bernama Ayyub, lahir di negeri tersebut. Namun kemudian ayahnya (kakek Shalahuddin) yang bernama Syadzi membawa Ayyub dan Asaduddin Syirkuh ke Baghdad dan menetap di Takrit.
Disini kakek Syadzi meninggal dan Shalahuddin lahir. Tak lama kemudian Ayyub dan Syirkuh keluar dari Takrit untuk bergabung dengan Imaduddin Zanki. Dari kisah Shalahuddin bermula. Spesialisasi alumni madrasah Hakkariyah ini adalah kemampuan militernya yang hebat.
Tak heran jika dikemudian hari mayoritas para panglima dan barisan elit tentara Shalahuddin berasal dari madrasah ini.
Dalam bidang pendidikan, banyak alumni-alumni dari madrasah ishlah seperti Madrasah Ghazaliyah, Qadiriyah (pusat), ‘Adawiyah, Harraniyah dan Suhrawardiyah direkrut untuk bergabung di madrasah formal yang dibangun oleh Sultan Nuruddin Zanki.
Pengaruh pendidikan madrasah ishlah juga dapat dilihat begitu jelas dalam sikap para pejabat pemerintah dan tentara, terhadap kekayaan dan kebijakan ekonomi yang dikeluarkan, tidak tamak, menjauhi praktik monopoli dan gaya hidup glamour serta lebih memperhatikan kemaslahatan umum.
Begitu juga dengan madrasah-madrasah yang lain, mereka memilki andil dan perannya masing-masing dalam gerakan ishlah.
Singkatnya, ketika generasi baru, alumni dari madrasah-madrasah ishlah ini menyebar dan menempati posisi-posisi strategis dalam institusi politik, militer, pendidikan, sosial, dan ekonomi di kawasan yang menampung seluruh potensi mereka (Kesultanan Zanki).
Sehingga tampaklah dampak positif dari kebijakan dan aksi mereka saat menghadapi setiap persoalan dan tantangan yang muncul di panggung kehidupan umat Islam. Dari sinilah perubahan kondisi umat Islam ke arah yang lebih baik terlihat dengan jelas.
Finishing dari proyek ishlah yang dirintis jauh hari dari zaman al-Ghazali adalah kembalinya al-Quds ke pangkuan umat Islam, eksekutornya adalah Shalahuddin al-Ayyubi.
Shalahuddin bukan utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat, bukan pula seorang pahlawan tunggal yang berjuang dengan keistimewaan pribadinya.
Shalahuddin adalah anak didik dari Nuruddin Zanki yang sudah mempersiapkan mimbar baru di Masjidil Aqsha jauh sebelum itu. Di belakangnya ada al-Ghazali, kemudian di teruskan oleh Abdul Qadir Jailani, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, dan deretan nama lainnya yang telah berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat.
Maka, boleh dikata Shalahuddin ‘hanyalah’ juru resmi dari sebuah generasi yang telah mengalami tarbiyah panjang, prosesnya telah dimulai sejak zaman al-Ghazali.
***
Keadaan zaman di mana al-Ghazali dan Abdul Qadir Jailani hidup ada kemiripan dengan kondisi kita hari ini. Karenanya, sejarah gerakan ishlah al-Ghazali bisa kita jadikan salah satu inspirasi untuk kebangkitan Islam mendatang. Mengutip pernyataan Ibnu Khaldun, pola sejarah akan terus terulang, hanya berbeda subjek, waktu dan tempatnya.
Menurut Dr. Adian Husaini dalam bukunya, ”Pendidikan Islam Mewujudkan Generasi Gemilang” akar masalah dari berbagai krisis yang melanda negeri kita adalah ‘pendidikan’. Sebab dari dunia pendidikan inilah dilahirkan para pemimpin, guru, pekerja, politisi, pengusaha, dan sebagainya.
Dalam bahasa al-Ghazali, akar masalah yang menimpa masyarakat adalah kerusakan ulama, yang berakar lagi pada kerusakan ilmu.
Oleh karena itu, jika hari ini kaum muslimin berada pada kondisi yang ‘tidak ideal’, tak berlebihan kiranya jika kita katakan, “Sudah saatnya kaum muslimin terkhusus para intelektualnya mulai melakukan evaluasi bersama secara mendasar terhadap kondisi pendidikan yang ada saat ini, dalam berbagai aspek dan jenjangnya.” Wallahu a’lam bi as-shawwab.
Diringkas dari buku: Hakadza Dzahara Jilu Shalahuddin wa Hakadza ‘Adat al-Quds, karya Dr. Majid Irsan al-Killani oleh Ashabul Yamin.