Ada sebuah budaya atau tradisi yang susah ditemukan kecuali hanya di Indonesia; yaitu tradisi jamuan dengan cara prasmanan. Meskipun istilah ini sudah familiar di tengah kita, namun tidak menutup kemungkinan ada beberapa daerah yang masyarakatnya belum begitu akrab dengannya.
Prasmanan adalah cara penyajian makanan dalam sebuah pesta maupun restoran, dengan mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata secara menarik di beberapa meja. Mana yang ia suka, ia ambil. Sebaliknya yang tidak ia suka, ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisalnya.
Prasmanan dalam pandangan Islam boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang halal, serta tidak berlebih-lebihan. Akan tetapi, sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin menyikapi ajaran agama Islam seperti sikap mereka ketika di depan prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka, ia comot dan pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai, maka ia tinggalkan.
Prasmanan Dalam Beragama
Islam laksana buhul atau tali yang kuat dan tidak akan putus kecuali apabila ajarannya dilaksanakan layaknya metode kalangan Ahli Kitab dalam beragama, yaitu dengan mengimani sebagian ajaran dan mengkufuri sebagian yang lain.
Pola prasmanan dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. Allah Ta’ala menegaskan:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kalian mengimani sebagian isi Kitab lalu ingkar terhadap sebagian yang lain? Tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Dan pada hari kiamat kelak mereka akan dimasukkan ke dalam azab neraka yang sangat pedih. Allah sama sekali tidak lengah mencatat semua perbuatan kalian.” (QS. al-Baqarah: 85).
Islam adalah pedoman hidup yang lengkap dan sempurna. Allah Ta’ala mengaruniakannya kepada kita, untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, kita harus menerima dan berusaha mengamalkan seluruh ajaran Islam. Tidak boleh kita ambil setengah-setengah. Dalam arti salah satu ajarannya kita amalkan, sementara ajaran yang lain kita tolak.
Jangan Membeda-bedakan
Banyak orang ketika shalat menggunakan tata cara Islam, tapi sayang ketika berbisnis ia tidak mau diatur oleh Islam. Ada yang dalam berhaji memakai fikih Islam, namun saat berideologi dan berkeyakinan, ia memilih untuk mengadopsi akidah agama lain.
Ada juga yang saat berpuasa konsisten dengan tata cara Islam; tidak makan, tidak minum dan tidak berdusta. Tapi saat berpolitik ia tak mau berpegang teguh dengan ajaran Islam, sehingga menghalalkan segala cara. Berdusta dengan topeng pencitraan, memfitnah, menyuap, melakukan money politic, bermain culas dan berkorupsi. Amat disayangkan, banyak yang punya anggapan, “Ini adalah masalah politik, bukan urusan agama”. Seakan-akan kalau berpolitik lalu boleh menghalalkan segala cara.
Begitu pula dalam masalah hukum, ayat-ayat suci seringkali tertindih ayat-ayat konstitusi dan hukum warisan Belanda. Perda-perda syariah dilarang untuk diterapkan. Dituduh tidak menghargai kebinekaan atau melanggar HAM. Syariat Islam beserta hukum-hukumnya hanya boleh diterapkan di Pengadilan Agama saja, itu pun masih ada kebebasan untuk memilihnya. Sedangkan hampir seluruh lini dan aspek kehidupan, diatur bukan dengan hukum yang dimaui oleh Allah Ta’ala.
Padahal sesungguhnya Islam, sebagaimana mengatur tata cara shalat dan puasa, Islam juga mengatur tentang etika berbisnis dan mengatur urusan negara. Islam sebagaimana mengatur tentang keimanan dan ibadah, juga mengatur tentang hukum dan tata cara berbusana. Pendek kata, Islam itu mengatur manusia dari bangun tidur hingga tidur lagi, bahkan ketika tidur. Mengatur manusia dari lahir hingga menguburnya saat mati. Islam mengatur mulai dari masuk kamar mandi hingga mengatur bangsa dan negara, bahkan dunia.
Jangan Setengah-setengah
Beragama secara parsialitas adalah salah satu trik setan dalam menyesatkan bani Adam. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuk Islamlah kalian secara kaffah (totalitas), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 208).
Berkaitan dengan ayat ini dan satu ayat setelahnya, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan titah dari Allah Ta’ala kepada orang-orang beriman agar mereka masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhan. Yaitu dalam seluruh syariat agama dan tidak meninggalkan darinya sedikit pun.
Selain itu, Allah memerintahkan agar tidak menjadi orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya; jika perkara yang disyariatkan itu sesuai dengan hawa nafsu dikerjakan, namun jika bertentangan ia akan meninggalkannya. Akan tetapi, yang menjadi kewajiban adalah hawa nafsu itu haruslah mengikuti agama. Mengerjakan setiap yang ia mampu berupa perbuatan-perbuatan baik, sedangkan yang belum mampu ia tetap memandangnya wajib dan berniat mengerjakannya.” (Taisir al-Karim rr-Rahman, hlm. 78).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala menyeru para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya serta membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran Islam dan syariatnya; melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan sesuai kemampuan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an al-‘Azhim, 1/335).
Ayat ini menunjukkan indikasi bahwa, di sana hanya terdapat dua buah pilihan. Pertama, masuk ke dalam Islam secara keseluruhan dengan melaksanakan ajarannya yang komprehensif dan paripurna, atau apabila tidak mau melaksanakan ajaran Islam secara keseluruhan, maka yang ada hanya pilihan kedua, yaitu mengikuti langkah-langkah setan dengan melakukan pembeda-bedaan ajaran Islam atau meremehkan sebagian ajarannya.
Syariat Dibuang, Siksa Menghadang
Ketika seseorang telah memutuskan dirinya untuk memeluk agama Islam yang memang satu-satunya agama yang benar sebagaimana diterangkan di dalam Al-Qur’an, maka haruslah ia menerima seluruh konsekuensinya secara sempurna tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Ia harus mengerjakan seluruh ajarannya tanpa terkecuali. Demikian juga ia harus berserah diri kepada hukum yang Allah turunkan; baik hukum itu sudah diketahui hikmahnya atau belum.
Semakin total manusia berpaling, semakin utuhlah balasan buruk yang bakal diterima. Begitupun sebaliknya, semakin total personal maupun komunal dalam berpegang kepada syariat, maka semakin sempurna pula perolehan kebahagiaan yang didapat. Karena tak ada yang lebih valid kebenarannya daripada aturan Allah.
Sistem kehidupan dari Allah ini juga tidak akan pernah kehilangan relevansinya dengan pergantian zaman. Sebab, tidak ada satu pun perkara yang luput dari pengetahuan-Nya, yang tampak maupun yang gaib; dulu, kini, maupun yang akan datang. Karena sifat-Nya Yang Mahabijaksana, maka semua hukum-hukum Allah pastilah adil, dan mustahil zalim. Semua hukum-Nya sempurna dan tanpa cacat, karena datang dari Dzat Yang Mahasempurna tanpa cacat.
Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kita untuk meninggalkan pola prasmanan dalam beragama. Sebab Islam bukan agama prasmanan. Sebagaimana namanya, Islam adalah tunduk dan patuh terhadap semua yang datang dari Allah Ta’ala. Wallahu a’lam bisshaab. (Fery/annursolo.com)
Baca Juga: Fuqaha’ vs Khutaba’