Dalam kehidupan di dunia ini banyak sekali kebaikan yang dapat kita kerjakan. Sebagian besar dari semua itu mungkin telah kita laksanakan. Semoga di bulan Ramadhan yang penuh dengan berkah ini kebaikan-kebaikan tersebut tidak berhenti kita lakukan.
Kita berharap dengan kebaikan-kebaikan yang kita kerjakan Allah akan memberikan ridha-Nya kepada kita sehingga kita dapat berkumpul dan bertetangga di surga-Nya kelak. Salah seorang salaf yang bernama Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi suatu ketika pernah mengucapkan satu perkataan yang berbunyi:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا جَعَلَ فِيْهِ ثَلاَثَ خِصَالٍ: فِقْهًا فِى الدِّيْنِ وَ زَهَادَةً فِى الدُّنْيَا وَ بَصِيْرًا بِعُيُوْبِهِ
“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba maka Dia akan menjadikan beberapa hal berikut padanya; paham terhadap agama, zuhud terhadap dunia dan mampu meneliti aib diri sendiri.”
Beliau rahimahullah menyimpulkan dari sekian banyak kebaikan ada tiga kebaikan yang merupakan tanda Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba. Tanda pertama adalah paham terhadap agama. Agama yang dimaksud di sini adalah agama Islam karena Islamlah satu-satunya agama yang diterima dan diridhai Allah Subahanahu wa ta’ala. Islam pula satu-satunya syarat bagi seorang hamba untuk masuk surga. Tanpa Islam seorang hamba tak akan mampu masuk surga. Islam pula yang menjadi inti ajaran dari seluruh Rasul sebelum Rasul kita.
Faham Terhadap Agama
Poin terpenting dalam memahami Islam adalah bahwa Islam bermakna pasrah dan berserah diri. Pasrah sepenuhnya kepada Allah, Rabb semesta alam. Berserah diri dalam segala urusan dan kepentingan kepada-Nya. Tidak ada keislaman tanpa kepasrahan. Tidak ada keislaman tanpa penyerahan diri secara penuh kepada Allah. Kehidupan seorang muslim adalah kehidupan yang penuh dengan kepasrahan kepada Allah. Apabila kehidupan seorang muslim dibalut dengan kepasrahan kepada selain Allah maka keislamannya tidak lagi murni dan na’udzubillah bisa jadi Islam telah lepas dari lehernya.
Dari kepasrahan inilah seorang muslim akan ringan mengerjakan setiap ajaran dan tuntutan. Shalat lima waktu, puasa Ramadhan, membayar zakat bagi yang memiliki harta mencapai nishab dan melewati haul, menunaikan haji bagi yang memiliki kemampuan, dan berbagai kewajiban lain akan terasa ringan karena pelaksanaan dari semua kewajiban itu adalah manifestasi dari kepasrahan yang merupakan inti dari Islam. Inilah yang perlu dipahami dari agama Islam. Islam tidak menghendaki hanya sekedar pengakuan di mulut semata. Islam adalah agama yang mengajarkan keselarasan lisan, hati dan tindakan.
Pemahaman terhadap agama Islam yang dimulai dari titik inilah yang akan menjadi tanda kebaikan dari Allah pada seorang hamba. Pemahaman yang benar terhadap Islam akan menjadikan seorang muslim hidup di dunia dengan hati bergantung kepada Allah, pikiran gandrung kepada-Nya dan seluruh syaraf serta detak jantung bertaut pada ridha-Nya. Kebaikan apalagi yang diharapkan seorang muslim dari semua ini?
Zuhud Terhadap Dunia
Tanda kedua adalah zuhud terhadap dunia. Dalam sebuah hadis yang dicantumkan oleh Imam an-Nawawi Rahimahullah pada buku al-Arba’in an-Nawawiyah disebutkan bahwa salah seorang sahabat meminta kepada Rasulullah sembari berkata, “Tunjukkanlah pada saya suatu amalan di mana apabila saya mengerjakannya maka Allah akan mencintai saya, begitu pula manusia pun akan mencintai saya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa pun yang ada di sisi manusia niscaya mereka akan mencintaimu.”
Pertanyaan cerdas dengan jawaban yang sangat brilian. Kunci dari kecintaan Allah dan manusia ada pada zuhud. Pertanyaan berikutnya adalah apa definisi zuhud? Apakah menggunakan pakaian yang compang-camping adalah bentuk zuhud? Apakah menggunakan harta seadanya adalah zuhud? Benarkah zuhud identik dengan tidak mapan, lusuh, tambal-tambalan, dan berbagai konotasi buruk yang lain?
Zuhud dalam arti paling sederhana dapat diartikan dengan menjadikan dunia hanya di pelupuk mata dan akhirat dalam hati, bukan sebaliknya. Dengan definisi demikian maka orang terkaya di dunia sekalipun dapat bertindak zuhud dan orang termiskin di dunia dapat bertindak tidak zuhud. Orang terkaya di dunia dinilai zuhud selama seluruh kekayaannya tidak masuk dalam hati, tidak menjadi hal yang digandrungi hingga menjadikannya lalai dari meningkatkan ibadah dan ketakwaan kepada Allah. Ia akan tetap dinilai zuhud selama dunia hanya dijadikannya sebagai perantara untuk meraih akhirat.
Sebaliknya, orang termiskin di dunia dinilai tidak zuhud bilamana hatinya penuh dengan dunia, pikirannya tidak lekang dari urusan dunia dan seluruh syaraf tubuhnya digerakkan demi menumpuk harta sehingga hati, pikiran dan seluruh syarafnya lalai dari akhirat, lalai dari sang pencipta dan lalai dari negeri yang abadi. Alangkah malang golongan manusia yang demikian, sengsara di dunia, bersusah payah, letih tanpa henti, habis waktu dan tenaga demi dunia, dan akhirat pun menjauh darinya karena ia sendiri yang melupakan akhirat.
Zuhud akan melepaskan seluruh perasaan tidak cukup pada seorang hamba. Bila perasaan tidak cukup pada diri seseorang telah sirna maka tiada lagi yang tersisa selain kebahagiaan yang diiringi dengan syukur dan sabar. Betapa beruntungnya, hidup dengan keislaman yang benar didampingi hati yang penuh dengan kebahagiaan. Demikian mengapa Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi menjadikan zuhud sebagai tanda Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba.
Meneliti Aib Sendiri
Tanda yang terakhir adalah mampu meneliti aib diri sendiri. Cukup populer di tengah-tengah kita satu peribahasa, “Gajah di pelupuk mata tak tampak namun semut diujung lautan tampak.” Peribahasa ini dibuat karena memang demikianlah tabiat manusia. Hobi yang telah ada pada diri seorang manusia sejak hari pertama ia dilahirkan adalah suka mengoreksi orang lain. Gemar mencari kesalahan orang lain. Sangat peka terhadap cela yang entah dengan sengaja atau tidak sengaja dikerjakan oleh orang lain.
Islam sebagai agama yang sempurna mengarahkan tabiat buruk tersebut. Dalam surat al-Hujurat Allah Subhanahu wa ta’ala mengajak manusia yang telah dibekali akal untuk merenung, bisa jadi mereka yang dicela lebih baik dari yang mencela dan bisa jadi mereka yang mencela lebih buruk dari yang dicela. Inilah spirit positif yang langsung diturunkan oleh Allah sebagai pedoman bagi manusia. Betapa sengsara hidup seorang manusia yang hari-harinya dipenuhi dengan prasangka dan penelitian terhadap aib orang lain.
Kemampuan untuk meneliti aib diri sendiri akan menjadikan seorang muslim terus melakukan introspeksi dan perbaikan setiap hari. Seorang muslim yang dapat mengetahui dan menyadari kesalahannya sendiri akan menjadi pribadi yang terus melejit dalam hal kedekatan dan keakraban kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini akan terus ia lakukan dan kerjakan hingga malaikat maut menghampiri dan menjemputnya. Sifat demikian ini perlu dan penting untuk dimiliki. Terlebih di bulan suci Ramadhan. Jangan sampai puasa kita penuh dengan prasangka dan penelitian terhadap aib orang lain.
Mari kita jaga shiyam kita, ibadah kita, shadaqah kita, infak kita, kebaikan-kebaikan kita di bulan suci Ramadhan ini dengan terus istiqamah melaksanakan amal kebajikan. Jangan pernah lelah berbuat baik dan taat kepada Allah karena iblis dan tentaranya tidak pernah istirahat mengajak manusia untuk bermaksiat agar nanti menjadi teman di neraka. Demikian kultum singkat yang dapat kami sampaikan, apalah arti ilmu tanpa diamalkan. Bila ada salah kata dan tindak-tanduk kami mohon yang sebesar-besarnya, semoga Allah terus menjaga kita di bulan Ramadhan ini dan sampai malaikat maut menjemput nyawa kita. Aamiin ya Rabbal ‘Alamin. (Nuryadi/annursolo.com)
Baca Juga: Islam Bukan Agama Prasmanan