Terkadang atau bahkan sering kita melihat ada orang-orang yang hidupnya bahagia, hartanya melimpah, serba berkecukupan, kesenangan hidup begitu mudah didapatkan, tidak pernah sakit atau celaka, panjang umur, bahkan Allah berikan keluar biasaan pada kekuatan tubuhnya. Tapi disisi lain kualitas ibadahnya buruk, selalu lalai dalam mengerjakan kewajiban, sering berbuat dzalim, bahkan dengan sengaja menjadikan syari’at Islam sebagai bahan olok-olokan.
Seakan semua kejahatan dan dosa yang ia lakukan tidak berpengaruh apapun bagi kehidupannya, bahkan semakin membuat harta dan kebahagiaannya bertambah. Ketahuilah, bahwa hal tersebut merupakan istidraj, yakni sebuah ujian yang diberikan oleh Allah berupa kelapangan rezeki dan kebahagiaan duniawi yang seringnya ini tidak disadari.
Allah membiarkan saja dahulu, membukakan pintu rezeki, kesenangan, kedudukan, kemewahan, keangkuhan, lalu saat mereka mengira bahwa dunia ini berada di tangannya, ia bisa berbuat sesuka hatinya, bergembira ria. Sampai pada saat mereka benar-benar telah terperdaya itulah Allah turunkan adzabnya. Sungguh, kejatuhan dari puncak kemegahan, kesenangan dan keangkuhan jauh lebih sakit dan pahit dari penderitaan biasa.
Tapi hal yang lebih menyedihkan lagi kalau dari pihak orang yang beriman yang taat ikut terpukau oleh kilauan gemerlap dunia yang dimiliki oleh orang yang terkena istidraj ini, lalu ikut mengaminkan apa yang mereka perbuat.
Definisi Istidraj
Istidraj secara bahasa diambil dari kata da-ra-ja (Arab: درج ) yang artinya naik dari satu tingkatan ke tingkatan selanjutnya. Sementara istidraj dari Allah kepada hamba dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit dan tidak diberikan langsung. Allah biarkan orang ini dan tidak disegerakan adzabnya. Allah berfirman,
سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُونَ
“Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qalam: 44)
Imam at-Thabari ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, ’’ Kami (Allah) akan memperdaya mereka dari sisi yang tidak mereka ketahui, itu dikarenakan sebelumnya mereka diberi kelimpahan dunia sampai mereka menyangka bahwa apa yang mereka lalukan itu baik disisi Allah, karenanya pembangkangan yang mereka kerjakan semakin menjadi-jadi, kemudian saat itulah Allah menurunkan adzabNya yang tidak pernah disangka-sangka (Jami’ul bayan fi ta’wil al-Qur’an, 561/23)
Adapun Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat diatas menyebutkan sebuah kisah seorang ahli maksiat dari kalangan Bani Israil yang berkata “Duhai Tuhanku, sangat sering aku mendurhakai-Mu, namun mengapa Engkau tidak pernah menghukumku?” lalu Allah memerintahkan Nabi pada zaman itu untuk mengatakan kepadanya, “Berapa banyak hukuman yang Aku sudah berikan kepadamu tapi kamu tidak menyadarinya, matamu yang kering dari aimata taubat dan hatimu yang keras itu adalah bentuk istidraj dari-Ku, andai saja kamu mau berfikir”. (al-Jami’ fi ahkam al-Qur’an: 252/18)
Rasulullah sallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ
“Apabila engkau melihat Allah memberikan kepada seorang hamba berupa nikmat dunia yang disukainya padahal dia suka bermaksiat, maka itu adalah istidraj …” (HR. Ahmad)
Hikmah dari istidraj adalah agar para pelaku kemaksiatan itu mau sadar dan bertaubat, ini merupakan salah satu bentuk dari Rahmat Allah kepada manusia. Allah berfirman:
أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُونَ
“ Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji
sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran? (at-Taubah: 126)
Adapun bagi orang kafir yang sudah tidak ambil pusing dengan segala dosa yang dilakukannya hikmahnya agar penangguhan terhadap hukuman itu membuat hukumannya lebih berat, sebagaimana Iblis yang Allah berikan kebebasan untuk berbuat dosa sampai datangnya hari kiamat.
Istidraj merupakan sunnatullah yang Allah peruntukkan bagi orang-orang kafir atau dzalim yang membangkang serta berbuat dosa dan tidak mau bertaubat, disamping merupakan ujian kesabaran bagi orang-orang beriman yang menyaksikan, masihkah ia yakin dengan keimanannya atau justru larut dalam gelombang istidraj itu.
Nikmat Atau Istidjraj?
Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan dan dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga mereka tersesat dari jalan Allah tanpa sadar. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah.
Memang, antara nikmat dan istidraj memiliki perbedaan tipis, meskipun secara dzahir sama, sama-sama berupa kesukesan secara duniawi. Yang membedakan adalah sikap terhadap nikmat itu. Abu Hazim mengatakan dalam hilyatul ‘auliya mengatakan:
كلّ نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية
“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” (Hilyatul Auliya’, 1/497)
Inilah yang seharusnya menjadi patokan kita, saat nikmat demi nikmat datang silih berganti namun disaat yang sama ketaatan kepada Allah stagnan atau bahkan menurun, itu adalah tanda istidraj. Namun jika yang terjadi sebaliknya, kenikmatan itu semakin membuat kita taat kepada Allah maka itu bukan termasuk istidraj, karena memang seperti itu seharusnya hidup seorang muslim.
Demikian pula halnya ketika seorang Muslim Allah segerakan hukuman atas dosa-dosanya didunia itu merupkan pertanda cinta Allah kepadanya, karena dengan itu Allah hapus dosa-dosanya.
Dalam musnadnya Imam Ahmad menyebutkan sebuah kisah dizaman Rasul, ada seorang laki yang mempunyai seorang kekasih pada masa Jahiliyah, kemudian keduanya masuk Islam, suatu hari mereka bertemu kembali dan laki-laki itu kemudian berhasrat untuk mencium wanita itu, namun perempuan ini menolak dan berkata, “ Pergilah, sesungguhnya Allah telah mengganti era kejahiliyahan dengan mendatangkan kepada kita Islam”.
Mendengar itu sang lelaki tersadar dan segera berpaling, namun malang baginya tiba-tiba wajahnya menabrak dinding yang menyebabkan wajahnya terluka.
Kemudian laki-lali ini datang mengadukan perihal apa yang diperbuatnya kepada Rasulullah, setelah mendengar penuturan itu, Rasulullah bersabda: “ Kamu adalah orang yang Allah ingin kamu menjadi baik, sebab ketika Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang maka Allah akan menyegerakan hukuman atas dosa-dosanya didunia, dan ketika Allah ingin keburukan bagi pelaku maksiat, Allah simpan hukuman baginya didunia untuk diberikan kelak ketika hari Kiamat secara utuh, sehingga banyaknya dosa-dosanya layaknya sebuah gunung” (Musnad Imam Ahmad, 360/27)
Demikianlah, istidraj memang kelihatan manis dan menggiurkan pada awalnya, namun berbuah pahit pada akhirnya. Istidraj selain menjadi ujian bagi pelakunya juga merupakan ujian bagi yang melihatnya, apalagi bagi seorang pejuang kebenaran yang bisa saja silau mata oleh kemegahan orang lain yang sedang berada dalam gelombang badai istidraj tersebut. Wal Iyadzu Billah. (Yamin)
Baca Juga;