Janissary, From Hero to Zero
Penulis: Muhammad Faishal Fadhli (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
Keberhasilan memperluas wilayah meningkatkan reputasi Daulah Utsmaniyah. Namun di sisi lain, ada banyak korban perang termasuk anak-anak yang menjadi yatim. Utsmaniyah sangat peduli terhadap permasalahan ini dan mengatasinya dengan baik.
Sultan Orkhan bin Utsman, berinisiatif menolong anak-anak yang terlantar itu. Segala kebutuhan mereka dipenuhi. Pendidikan terbaik diberikan. Karakter disiplin paling ditekankan.
Seiring berjalannya waktu, mentalitas dan fisik mereka semakin meningkat. Hingga terbentuklah pasukan perang yang sangat tangguh. Di kemudian hari, mereka dikenal dengan nama Janissary.
Pasukan Elit Daulah Utsmaniyah
Sultan Orkhan memang menghendaki terbentuknya pasukan baru dalam pemerintahannya. Pasukan formal dan resmi, bukan pasukan perang insidental.
Dalam proses pembentukan organisasi militer, Orkhan menemui seorang alim ahli ibadah, Haji Baktasy. Dalam kesempatan sowan itu, ia meminta doa agar Allah ﷻ senantiasa melimpahkan kebaikan kepada pasukannya.
Haji Baktasyi kemudian menatap salah seorang tentara. Dengan penuh antusias, ia meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut seraya mendoakan agar Allah ﷻ menerangi wajahnya dan menajamkan pedangnya.
Kemudian ia menanyakan apakah pasukan ini sudah diberi nama?
Karena ternyata belum memiliki nama, maka ia mengusulkan agar diberi nama Yani Tasyri, artinya tentara baru.
Alauddin bin Utsman, saudara kandung Orkhan, mengusulkan lambang bendera pasukan ini. Berwarna merah, bulan sabit di tengah, dan di bawah bulan sabit itu terdapat gambar pedang yang mereka sebut Dzul Fiqar, yaitu nama untuk pedang legendaris Ali bin Abi Thalib.
Mengingat bahwa sebagian besar pasukan Yani Tasyri, Jennisari, Janissary, atau Inkisyariyah ini berasal dari negeri-negeri Balkan yang notabenenya non muslim, Utsmaniyah menetapkan kebijakan yang arif: tidak ada paksaan dalam beragama.
Ya, mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam.
Namun demikian, kebutuhan dan masa depan mereka, tetap dijamin oleh negara. Meskipun mereka dibiarkan memeluk agama masing-masing, akan tetapi, hampir seluruh pasukan yang dididik tersebut mendapat hidayah dan menjadi mualaf. Sebab mereka melihat dan merasakan keadilan agama Islam yang agung ini.
Janissary terdiri dari infantri (pasukan pejalan kaki) dan kavaleri (pasukan berkuda). Jenderal atau pemimpin pasukan Janissary disebut Aga. Setiap Aga memimpin beberapa brigade dan masing-masing brigade terdiri dari beberapa batalion yang dipimpin oleh seorang kolonel atau Corbaci.
Karya peradaban paling legendaris yang berhasil ditorehkan oleh pasukan Janissary adalah penaklukan Konstantinopel pada masa Sultan Muhammad Al-Fatih.
Berkat izin Allah ﷻ, kekuatan ruhiyah, dan usaha yang gigih, bersama sekitar 80.000 pasukan, Sultan Muhammad II (Al-Fatih) berhasil menaklukkan wilayah yang ia impikan. Dalam proses penaklukan ini, Sultan Al-Fatih mengimami pasukan Janissary dalam shalat jamaah, memotivasi mereka, dan menempatkan para ulama di barak-barak milter.
Pada masa keemasan Daulah Utsmaniyah, Janissary merupakan pasukan terkuat di Eropa, bahkan ditakuti di seluruh dunia. Dikisahkan bahwa ketika Spanyol menjajah Belanda, Raja Belanda memohon pertolongan kepada Sultan Sulaiman al-Qanuni.
Beliau pun segera mengirim 40 seragam tentara Janissary untuk dikenakan oleh para tentara Belanda. Trik sederhana ini berhasil. Orang-orang Spanyol yang terlanjur mengira bahwa Utsmani ikut berperang bersama pasukan Belanda, memutuskan untuk berhenti mengusik Belanda selama tiga puluh tahun.
From Hero to Zero
Seiring berjalannya waktu, hancurlah reputasi Jannisary yang gemilang, disebabkan kekuatan mereka bersanding dengan hawa nafsu. Memasuki abad ke-17, 18, dan 19, Janissary justru menjadi gulma dan parasit yang mengerikan bagi Daulah Utsmaniyah.
Ketika pemerintah pusat melemah, kendali keamanan atas wilayah-wilayah imperium berangsur-angsur jatuh ke tangan Janissary. Hal ini tidak menjadi masalah jika mereka menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Sayangnya, begitu berkuasa mereka seakan lupa daratan.
Berikut kutipan langsung dari tulisan Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shallabi, pakar sejarah Islam, ketika beliau menggambarkan kemerosotan moral pasukan Janissary,
“Tabiat pasukan ini menjadi rusak dan akhlak mereka berubah sangat drastis. Kepentingan mereka menjadi sumber bencana bagi pemerintah Utsmani dan rakyatnya. Mereka kini seringkali melakukan intervensi dalam masalah-masalah kenegaraan dan hati mereka kini banyak membidik pucuk kekuasaan dan kedudukan.
Mereka tenggelam dalam kenikmatan dunia dan semua yang haram. Sehingga sangat sulit bagi mereka untuk berangkat dan bergerak dalam jihad di tengah dinginnya musim dingin…”
Tidak sedikit sejarawan yang menilai bahwa Janissary telah melampaui batas karena mereka melakukan banyak kesalahan. Setidaknya, ada empat kesalahan Janissary paling fatal yang disimpulkan dari berbagai literatur sejarah Utsmaniyah.
Pertama, memakzulkan dan membunuh Sultan Utsman II pada tahun 1622. Kedua, memakzulkan dan membunuh Sultan Ibrahim I pada tahun 1648. Ketiga, mencopot Mushtafa II. Tepatnya pada 18 Juli 1703, masyarakat terhasut provokasi Janissary untuk memberontak kepada penguasa. Kemudian pada 22 Agustus 1703, mereka berhasil menggulingkan Sultan Mushtafa II.
Hal yang sama juga mereka lakukan kepada Sultan Ahmad III dan Sultan Mushtafa IV.
Kemudian kesalahan yang keempat, ketika Sultan Mahmud II berkuasa, beliau membentuk korps tentara yang diberi nama Muallem Eshkinji. Rupanya hal ini memicu kecemburuan di kalangan Janissary. Untuk yang kesekian kalinya, mereka melakukan pemberontakan.
Inilah kesempatan terbaik bagi sang sultan untuk menumpas Janissary yang sudah cukup lama merugikan Daulah Utsmaniyah. Kemungkinan, memang demikianlah skenario yang direncanakan oleh Sultan Mahmud II untuk memancing Janissary keluar dari sarang lalu disergap.
Jadi, korps Muallem Eshkinji hanyalah umpan. Dan Janissary memakannya.
Atas restu dari mufti besar kerajaan, Sultan Mahmud II memerintahkan untuk mengepung dan membubarkan pasukan Janissary. Bahkan beliau turun langsung ditemani oleh Syaikhul Islam Qadhi Zadah Afandi dan Perdana Menteri dengan pasukan lebih dari 60.000 orang.
Tempat pertahanan Janissary ludes dilahap si Jago Merah. Para pemberontak itu tak mampu mengimbangi serangan balik dari sultan yang menggempur mereka dengan hujan meriam tanpa henti.
Dr. Muhammad Suhail Taqqusy mengutarakan bahwa Utsmaniyah menyebut perang pembersihan Janissary ini dengan nama “Pertempuran Khairiyah.”
Dr. Ali Hasun dalam karyanya yang bertajuk Tarikh ad-Daulat al-Utsmaniyah, mengisahkan bahwa Sultan mengumumkan pembubaran pasukan ini sehari setelah kemenangannya.
Hasan Pasya kemudian diangkat sebagai panglima perang, karena ia dianggap mempunyai peran besar dalam menumpas Janissary. Setelah itu, dibentuklah tatanan milter baru.
Pembubaran kelompok Janissary, bertepatan dengan selesainya proyek pembangunan masjid di komplek asrama militer di kawasan Tophane, Istanbul. Sultan Mahmud II menamai masjid yang baru berdiri itu dengan nama Nusretiye yang artinya kemenangan gemilang.
Penamaan Nusretiye ini dimaksudkan untuk memperingati pembubaran kelompok elite militer yang membangkang. Demikian keterangan Yulianto Sumalyo dalam anggitannya yang berjudul, Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim.
Inilah akhir dari kisah Janissary; from hero to zero. Para pendahulu mereka, berhasil menorehkan prestasi yang membanggakan dan menjadi karya agung dalam sejarah. Namun, nama baik itu tercoreng karena para penerusnya bersikap liar dan merepotkan Daulah Utsmaniyah.
Fa’tabiru yaa Ulil Abshar.