Berbagai bentuk pemikiran yang berkembang tersebut mengakibatkan banyaknya bentuk amalan baru yang tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah ﷺ. Di sisi lain munculnya banyak amalan baru yang tidak pernah terjadi di zaman Rasul ﷺ tersebut menciptakan syubhat baru di kalangan umat Islam. Perpecahan di antara kaum Muslimin dan sikap saling menyalahkan pendapat menjadi dampak paling meenonjol dalam persoalan ini.
Fenomena tersebut terjadi karena sebagian kelompok berkeyakinan bahwa setiap amalan yang tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah ﷺ adalah perbuatan yang diada-adakan sehingga hukumnya adalah sesat. Sedangkan sebagian yang lain beranggapan adanya perkara baru yang diperbolehkan selama tidak menyelisihi dalil syar’i baik dari al-Qur’an maupun as-Sunah.
Perbedaan pendapat diantara para Ulama’ tersebut menimbulkan polemik pada masyarakat dan menjadikan banyak percekcokan diantara mereka. Sebagian dari mereka antipati dengan setiap amalan baru, sehingga terkadang mereka mentahdzir ataupun mencela seseorang karena amalanya, bahkan terkadang bara’ dengan orang tersebut. Namun sebagian kelompok lain sangat menggampangkan dalam menciptakan amalan baru, yang terkadang bertentangan dengan Syar’i. Akan tetapi mereka menganggap amalan tersebut tergolong sebagai bid’ah yang baik, sehingga mereka merasa setiap amalan baru adalah boleh.
Dari paparan di atas, kita perlu mengetahui bagamana cara menentukan amalan baru yang berkembang di masyarakat dan tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah ﷺ, sehingga dapat teridentifikasi apakah perbuatan tersebut termasuk dalam perkara bid’ah yang sesat, atau termasuk amalan yang boleh untuk dilakukan karena memiliki kesesuaian dengan Nash al-Qur’an maupun as-Sunnah, meskipun tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi ﷺ.
Ketika seseorang dapat mengidentifikasi perbedaan antara perbuatan-perbuatan bid’ah dan masyru’ maka tidak akan menjadikan ia mudah untuk terjerumus dalam kesesatan yang terkadang berlabel amalan yang diperintahkan, ataupun terhindar dari sifat gampang untuk memvonis seseorang sebagai pelaku bid’ah.
Definisi Bid’ah
Secara Etimologi
Bid’ah adalah bentuk plural dari kata بِدْعٌ yang berasal dari kata يَبْدَعُ – بَدَعَ yang memiliki arti “menciptakan sesuatu yang belum ada.” Menurut Imam asy-Syatibi kata bid’ah adalah الإختراع على غير مثال سابق artinya, menciptakan sesuatu tanpa ada permisalan sebelumnya. Ungkapan tersebut selaras dengan firman Allah ﷻ dalam Qs. al-Ahqaf ayat 9 “قل ما كنت بدعا من الرسل “ yang artinya,”Katakanlah, “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” Maknanya, Rasulullah ﷺ bukanlah manusia pertama yang diutus dengan membawa risalah dari Allah ﷻ kepada manusia.[1]
Di dalam Mu’jam Maqayyisu al-Lughah disebutkan bahwa bid’ah adalah memulai sesuatu dan menciptakanya tanpa ada contoh sebelumnya.[2] Dalam Lisan al-Arab Ibnu Mandzur menyebutkan bahwa kata “Bada’a” memiliki arti segala sesuatau yang pertama, sedangkan kata bid’ah memiliki arti setiap perkara agama yang baru setelah sempurnanya agama tersebut.[3]
Secara Terminologi :
Bid’ah secara terminologi adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam asy-Syathibi
البدعة طريقة في الدين مخترعـة تضـاهي الشـرعية يُقصد بالسلوك عليهـاالمبالغة في التعبّد الله تعالى
Artinya,” Suatu perkara baru yang diciptakan di dalam agama yang menyerupai syari’at, dimaksudkan untuk menempuh ibadah yang ditujukan kepada Allah ﷻ.[4]
Dalam pengertian bid’ah terdapat perselisihan diantara para ulama’. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa bid’ah adalah setiap perkara baru yang tidak memiliki kesesuaian dengan Syar’i, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali :
المراد بالبدعة ما أحدث مما لا أصل له في الشـريعة يـدل عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعًا، وإن كـان بدعـةً لغـة
Artinya,”Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam syari’at. Apabila perbuatan tersebut memiliki dasar yang sesuai dengan nash syar’i maka bukan termasuk bid’ah secara syar’i akan tetapi hanya secara bahasa.[5]
Dari pendapat pertama ini sebagian ulama’ menyimpulkan bahwa perkara bid’ah terbagi menjadi dua yaitu Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dhalalah. Begitu juga ungkapan Imam Syafi’i dalam riwayat al-Baihaqi,”Perkara baru yang tidak ada pada zaman Nabi ﷺ ada dua ketagori. Pertama, perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat para sahabat atau ijma’, maka itu termasuk bid’ah yang sesat (Bid’ah Dhalalah). Kedua, perkara baru yang termasuk baik (Hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau ijma’, maka perkara baru ini tidak tercela.”[6]
Disisi lain terdapat ulama’ yang berpendapat bahwa bid’ah adalah perkara yang tidak dilakukan oleh tiga generasi salaf yaitu sahabat, tabi’in, dan atba’ tabi’in. Pendapat kedua ini terlalu membatasi pengertian bid’ah karena menganggap setiap pebuatan yang tidak di lakukan oleh tiga generasi ini maka bid’ah.
Namun, dari perbedaan pendapat tersebut ada perkara yang disepakati oleh kedua kelompok yaitu setiap perkara baru dalam urusan agama yang menyelisihi Nash syar’i baik dari al-Qur’an maupun as-Sunah adalah bid’ah Dhalalah.[7]
Pandangan Ulama’ Terhadap Bid’ah
Dalam memandang perkara bid’ah para ulama’ memiliki kesimpulan yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Perbedaan pendapat tersebut terletak pada hukum bid’ah. Apakah setiap perkara yang tidak terjadi pada zaman Nabi ﷺ termasuk bid’ah yang dihukumi sesat, ataukah perkara baru tersebut bisa terbagi menjadi bid’ah yang baik (Hasanah) dan bid’ah yang sesat (dhalalah). Namun hakikatnya Ulama’ telah bersepakat bahwa setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash syar’i adalah bid’ah yang sesat. Berikut perbedaan manhaj yang terjadi di antara para Ulama’:
- Pendapat pertama adalah pendapat kelompok al-Muwasi’in yang menyatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua yaitu Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Madzmumah. Sebagaimana yang diungkapkan Imam Syafi’i di dalam Manaqib asy-Syafi’i yang telah disebutkan diatas. Cara mengetahui perkara bid’ah adalah dengan metode ijtihad, qiyas dan penelitian terhadap dalil atau nash syar’i. Apabila perkara menyerupai perkara-perkara yang diperbolehkan maka hukumnya boleh. Sebaliknya apabila serupa dengan hal yang haram maka hukumnya haram.[8]
Ibnu Atsir berkata,” Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah Huda dan bid’ah Dhalalah.” Setiap yang menyelisihi Nash syar’i maka termasuk sesat dan setiap yang memiliki kesesuaian dengannya maka termasuk bid’ah huda. Sehingga setiap perbuatan yang baru namun memiliki kesesuaian dengan Nash maka akan diberi pahala dan sebaliknya perbuatan yang tidak sesuai dengan Nash maka akan mendapatkan keburukan.[9]
Al-Izz bin Abdus Salam dan berpendapat bahwa bid’ah adalah perbuatan yang belum pernah dilakukan pada zaman Nabi ﷺ. Hal tersebut terbagi menjadi lima bagian yang termasuk dalam Ahkamul Khamsah seperti wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah. Apabila suatu perkara baru sesuai dengan kaidah wajib maka termasuk bid’ah yang wajib, seperti menyibukan diri dengan mempelajari ilmu nahwu atau ushul fiqh. Atau masuk pada kaidah haram maka hukumnya pun menjadi haram seperti bid’ah yang dilakukan Madzhab Qadariyah, Murji’ah, Mujasimah. Atau termasuk dalam kaidah sunah maka menjadi sunah, seperti membangun sekolahan atau setiap kebaikan yang belum terjadi pada zaman Nabi ﷺ seperti shalat tarawih dan lain-lain. Atau masuk pada kaidah makruh maka akan menjadi makruh, seperti menyobek mushhaf al-Qur’an. Atau masuk dalam perkara mubah seperti bertashafah setelah shalat Subuh dan Ashar.[10]
- Pendapat yang kedua adalah pendapat al-Mudhayiqun yang menyebutkan bahwa setiap perkara baru yang diada-adakan dalam agama yang tidak pernah terjadi di zaman Rasul ﷺ adalah perkara Bid’ah Madzmumah dan sesat. Karena setiap bid’ah hukumnya adalah haram. Pendapat kedua ini menolak pembagian tentang bid’ah sebagaimana yang disebutkan oleh al-Izz bin Abdus Salam.[11] Perbedaan antara kelompok pertama dan kedua ini adalah perbedaan secara haqiqi bukan secara lafdzi. Karena kelompok pertama tidak serta merta menghukumi perbuatan bid’ah adalah sesat dan haram namun masuk dalam ranah Ijtihadi. Sedangkan kelompok kedua berpendapat setiap perkara baru adalah bid’ah karena tidak dilakukan oleh Salaf.[12]
Ibnul Jauzi mengatakan,”Bid’ah adalah perbuatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya kemudian diada-adakan,” Mayoritas perkara bid’ah bertentangan dengan Nash syar’i. Meskipun perkara bid’ah tersebut tidak menyelisihi Nash Jumhur Salaf tetap memakruhkan karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Tsabit kepada Abu Bakar dan Umar Radhiallah ‘Anhuma ketika peristiwa Jam’ul Qur’an,”Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang belum dilakukan oleh Rasulullah ﷺ?”
Selain Ibnuم Jauzi terdapat Ulama’ lain yang berpendapat demikian seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab al-Hanbali, Imam as-Syaukani dan Imam ash-Shan’ani, Mereka berpendapat bahwa setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah dhalalah. Karena perkara baru adalah setiap yang belum dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, Khulafa’ ar-Rasyidin dan Salaf ash-Shalih. Begitu juga pembagian bid’ah adalah pembagian yang tertolak. Karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah Dhalal.[13]
- Pendapat ketiga adalah pendapat yang mengatakan bahwa setiap perkara yang baru yang dilandasi dengan dalil syar’i dan disebutkan dengan Nash maka hal tersebut tidak dikatakan bid’ah. Karena perbuatan tersebut sesuai dengan Nash syar’i meskipun tidak pernah dilaksanakan pada zaman Nabi ﷺ, akan tetapi hukum perbuatan tersebut dikembalikan kepada hukum yang sesuai, apakah berhukum wajib atau sunah atau mubah.
Pebedaan kelompok ketiga ini dengan kelompok pertama hanya secara lafadz saja. Karena hanya berbeda pada penamaanya saja jika kelompok pertama menyebut perkara baru yang sesuai dengan Nash sebagai bid’ah Hasanah kelompok ketiga tidak menyebutnya sebagai bid’ah akan tetapi dikembaikan pada hukum yang sesuai baik itu wajib, sunah, atau mubah.[14]
Imam asy-Syathibi berpendapat bahwa kata “Bid’ah” adalah sebuah istilah yang ditujukan kepada setiap perkara baru yang menyelisihi syari’at, sedangkan perkara baru yang tidak menyelisihinya tidak disebut bid’ah, akan tetapi perkara yang masyru’ yang dikembalikan kepada hukum yang sesuai. Pendapat ketiga ini adalah pendapat yang Mutawasith, karena mereka tidak terlalu longgar dalam menilai suatu perkara baru sebagaimana pendapat pertama, juga tidak terlalu mengekang pada makna bid’ah itu sendiri sebagaimana pendapat kedua.
Dalil Larangan Bid’ah
Rasulullah ﷺ Bersabda :
من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة، ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة
Artinya,”Barangsiapa yang memulai membuat sunnah dalam Islam berupa amalan yang baik, maka ia memperoleh pahalanya diri sendiri dan juga pahala orang yang mengerjakan itu sesudah sepeninggalannya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala-pahala mereka yang mencontohnya. Begitu juga barangsiapa yang memulai membuat sunnah dalam Islam berupa amalan yang buruk, maka ia akan memperoleh dosa diri sendiri dan juga dosa orang yang mengerjakan itu sesudahnya sepeninggalnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka yang mencontohnya.” (HR. Muslim, 690)[15]
عن جابر بن عبد االله رضي االله عنه: “أن رسول االله صـلى االله عليـه وسـلم إذا خطب … يقول أما بعد؛ فإن خير الحديث، كتاب االله، وخير الهدي، هدي محمد، وشـر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة
Artinya,”Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah ﷺ apabila berkhutbah beliau berkata ‘amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap Bid’ah adalah dhalalah. (HR. Muslim 867)[16]
عن أمّ الْمؤمنين أمّ عبد الله عائشة رضي الله عَنْها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ]رواه البخاري ومسلم[ وفي رواية لمسلم : من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ
Artinya,”Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, Aisyah Radhiallahuanha dia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,”Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami yang bukan (berasal) darinya, maka tertolak. Dalam riwayat Muslim disebutkan siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka tertolak. (HR. Bukhari 2697) [17]
Macam-Macam Bid’ah
- Bid’ah Haqiqiyah dan Idhofiyah
Bid’ah Haqiqiyah adalah bid’ah yang tidak ada dalil baik dari al-Qur’an, as-Sunnah maupun ijma’ ataupun dalil dari ahlul ilmi. Contoh dari Bid’ah Haqiqiyah adalah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah ﷻ atau menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan. Termasuk juga ibadah-ibadah yang tidak ditunjukan kepada Allah ﷻ, seperti sembelihan, Nadzar, berdo’a kepada selain Allah ﷻ dan lain sebagainya.[18]
Adapun Bid’ah Idhafiyah, Imam asy-Syathibi memberikan pengertian dengan menyebutkan dua hal. Pertama perbuatan tersebut memiliki keterkaitan dengan dalil syar’i sehingga tidak bisa disebut sebagai bid’ah. Kedua, perbuatan tersebut tidak berkaitan dengan dalil syar’i. Penyebutan Bid’ah Idhafiyah tersebut dikarenakan bersandar pada dalil akan tetapi di sisi lain dalam hal tata cara maupun keadaanya tidak bersandar pada dalil.
- Bid’ah ‘Adiyah dan Ibadah
Bid’ah dalam ibadah adalah suatu hal yang memiliki hubungan erat dengan dari macam-macam ibadah. Sedangkan Bid’ah ‘Adiyah adalah bid’ah yang terjadi pada kebiasaan dalam keseharian.[19]
Ulama’ bersepakat dengan adanya bid’ah dalam ibadah. Namun mengenai bid’ah yang terdapat pada ‘adat (kebiasaan) Ulama’ berbeda pendapat. Al-’izz bin ‘Abdus Salam dan al-Kharafi berpendapat bahwa masuknya bid’ah pada perkara keseharian adalah hal yang mutlak, karena Islam adalah ajaran sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, baik itu perihal ibadah maupun kebiasaan (‘adat). Karena ‘adat seperti ibadah, semuanya disyari’atkan oleh Allah ﷻ. Jika di dalam ibadah terdapat kebid’ahan, maka tidak menutup kemungkinan di dalam ‘adat (kebiasaan) juga ditemukan kebid’ahan. Sedangkan kelompok yang lain berpendapat bahwa bid’ah hanya tedapat pada perkara ibadah saja.[20]
Imam asy-Syathibi menjelaskan perihal perselisihan pendapat di atas bahwa setiap ‘adat (kebiasaan) yang tidak ada sangkut pautnya dengan ibadah maka, tidak ada bid’ah di dalamnya namun apabila ‘adat tersebut bagian dari ibadah maka bid’ah bisa terjadi di dalamnya.[21]
- Bid’ah I’tiqadiyah dan Amaliyah
Bid’ah I’tiqodiyah adalah meyakini sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, baik itu disertai dengan amalan atau tidak, sebagaimana bid’ah yang dilakukan oleh Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain sebagainya.
Sedangkan Bid’ah Amaliyah adalah Mensyariatkan sesuatu dalam agama yang belum disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bid’ah Amaliyah terbagi menjadi beberapa bagian yaitu bid’ah dalam ibadah itu sendiri, seperti melaksanakan puasa yang tidak diperintahkan. Ataupun bid’ah dalam penambahan yang tidak disyariatkan seperti penambahan jumlah rakaat shalat.
- Bid’ah Mukafirah dan Ghairu Mukafirah
Bid’ah Mukafirah adalah bid’ah yang mengingkari perintah yang mujma’ alaih (disepakati), Mutawatir dan ma’lum dalam agama, mengingkari perkara fardhu ataupun memfardhukan perkara yang ingkar, menghalalkan yang haram dan sebaliknya, atau meyakini sesuatu yang telah dihapuskan oleh Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ. Contoh bid’ah yang dilkukan oleh orang-orang Jahmiyah dalam mengingkari Asma’ Allah ﷻ serta mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluq, begitu juga bid’ah Qadariyah yang mengingkari ilmu Allah ﷻ dan Qadha’ serta Qadar-Nya. Ataupun bid’ah yang dilakukan oleh Mujasimah yang menyerupakan Allah ﷻ dengan makhluq.
Sesorang yang melakukan bid’ah mukafirah dapat mengeluarkan dirinya dari agama setelah sempurna Iqamatul hujjah karena termasuk perbuat kufur. Sedangkan dalam Bid’ah Ghairu Mukafirah tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari agama.[22]
- Pembagian bid’ah dalam Ahkamil Khamsah
Sebagian ulama’ membagi bid’ah dengan pembagian pada Ahkamul Khamsah yaitu wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Al-‘Iiz bin Abdus Salam mengatakan,” Bid’ah adalah perkara yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah ﷺ dan bid’ah tersebut terbagi menjadi bid’ah wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Ulama’ lain yang berpendapat demikian adalah al-Qarafi[23]
Kaidah Dalam Mengetahui Bid’ah[24]
Dalam mengetahui apakah ibadah dilakukan oleh seseorang adalah termasuk sebuah kebid’ahan, kita perlu mengetahui rambu-rambu dalam mengidentifikasi sebuah ibadah yang masuk dalam kategori bid’ah. Berikut beberapa kaidah dalam mengidentifikasi perkara bid’ah :
Kaidah pertama
كل إحداث في الأمور التعبدية بدعة
“Setiap perkara baru disebut bid’ah apabila terjadi pada perkara ibadah”
Sesungguhnya setiap perkara baru pada urusan duniawi tidak termasuk bid’ah. Karena pada dasarnya hal tersebut merupakan perkembangan untuk mempermudah manusia. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah di atas.[25] Hadits tersebut menunjukan bahwa bid’ah hanya terjadi pada perkara agama tidak pada perkara dunia. Akan tetapi apabila perkara baru tersebut terjadi pada urusan agama dan tidak ada kesesuaianya dengan al-Qur’an dan Hadits maka kembali pada hukum asalnya yaitu dhalalah.
Contoh, perkembangan yang terjadi pada pakaian termasuk pada perkara duniawi bukan termasuk bid’ah. Perkembangan tersebut diperbolehkan selama senantiasa menjaga batasan-batasn yang ditentukan seperti menutup aurat, tidak menyerupai orang kafir dan lain-lain.
Kaidah kedua :
العبادة التي لا تستند إلى دليل معتبر شرعًا بدعة
“Setiap ibadah yang tidak disandarkan kepada dalil syar’I adalah bid’ah”
Dalil dari kaidah tersebut adalah Hadits Rasulullah ﷺ :
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya,”Shalatlah sebagaimana engkau shalatku.”[26]
Dalam pelaksanaan ibadah atau penetapanya tidak boleh berhujah dengan hadits yang tidak Mu’tabar (dianggap) oleh syar’i. Begitu juga dilarang untuk menyandarkan amalan kepada hadits palsu. Sebagaimana bid’ah berupa melakukan shalat Raghaib[27] di malam pertengahan bulan Sya’ban yang berhujah dengan hadits Maudhu’ (palsu).
Lantas bagaimana hukum beramal dengan berhujah menggunakan hadits dha’if (lemah periwayatannya)? Jumhur Ulama’ seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i tidak memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dha’if kecuali pada perkara Fadhailu al-A’mal dengan syarat hadits tersebut tidak sampai pada derajat Syidatu Dha’fuhu (sangat lemah) dan tidak meyakini kesunahanya.[28]
Berkata Imam Ahmad,”Dalam perkara halal dan haram kita sangat selektif pada sanadnya, namun kita Tasahul dalam perkara Tarhib dan Targhib.”[29] Namun seyogyanya kita lebih mengutamakan amalan-amalan yang telah jelas-jelas dinash oleh syar’I dengan periwayatan yang baik.
Kaidah ketiga :
التقرّب إلى االله بما ليس له أصل بدعة
“Bertaqarub kepada Allah ﷻ dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya maka termasuk bid’ah.”
Suatu ketika datang tiga orang Sahabat Nabi ﷺ menanyakan perihal amalan mereka. Salah seorang tidak akan menikah, seorangnya lagi tidak akan memakan daging dan seorang lagi tidak akan tidur. Namun Rasulullah ﷺ melarang perbuatan mereka dan memerintahkan untuk tawasuth dan tidak berlebihan.[30] Wajhu dalalah dari hadits di atas adalah keinginan tiga Sahabat tersebut untuk bertaqarub kepada Allah ﷻ namun cara yang mereka tempuh tidak disyari’atkan dalam Islam. Dapat disimpulkan bahwasanya setiap perbuatan yang ditujukan untuk bertaqarub kepada Allah ﷻ namun dengan mengamalkan apa yang tidak disyari’atkan maka termasuk bid’ah yang sesat. Contoh bertaqarub kepada Allah ﷻ dengan tari-tarian dan lain sebagainya.
Kaidah keempat :
لم يثبت حسنه بدليل شرعي ففعله بدعة
“Setiap kebaikan yang tidak ada dalil syar’inya maka mengerjakanya adalah bid’ah.”
Kaidah di atas disandarkan pada hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh Muslim “Man sanna sunnatan hasanatan.” Hadits tersebut menunjukan bahwa amalan baik yang sesuai dengan syar’i maka akan mendapatkan pahala, namun sebaliknya apabila melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syar’i maka termasuk perbuatan buruk yang akan mendapatkan cela.
Maksud dari kata “hasan” pada hadits di atas adalah setiap yang ditetapkan nilai kebaikanya oleh syar’i. Sedangkan “Qabiih” adalah perbuatan buruk menurut syar’i yang akan mendapatkan cela dan balasan.
Kaidah kelima :
كل عبادة غير معللّة مخالفتها بدعة
“Setiap ibadah yang tidak dijelaskan Illatnya (sebab) maka menyelisihinya adalah bid’ah.”
‘Illat secara bahasa adalah sebab, sedangkan secara istilah ialah suatu keadaan atau sifat yang jelas, dan mengandung relevansi sehingga kuat dugaan serta yang menjadi alasan atau sebab penetapan sesuatu ketentuan syar’i.[31] Dapat disimpulkan illat adalah sebab adanya hukum. Maka apabila didapati suatu illat pasti didapati juga hukum.
Suatu hukum apabila telah dijelaskan Illatnya maka terkadang hukum tersebut bisa berubah-ubah atau bisa di qiyaskan dengan yang lainya, namun ada ibadah yang tidak dijelaskan illatnya maka menyelisihi ibadah yang tidak ditetapkan adalah perbuatan bid’ah. Seperti waktu pelaksanaan shalat dan jumlah rakaatnya.
Kaidah keenam :
التغيير في الزمان والمكان والعدد والصفة والهيئة والكيفية في العبادات بدعة
“Merubah waktu, tempat, bilangan, sifat, keadaan, dan tata cara suatu ibadah adalah bid’ah.”
Telah kita ketahui bersama bahwa syarat dalam beribadah adalah ittiba’ (Mengikuti) bukan ibtida’ (Membuat perkara baru). Ittiba’ tersebut akan sempurna jika amalan tersebut sesuai dengan apa yang telah ditetapkan syar’i dari waktu, tempat, sifat, keadaan maupun tata caranya.
- Merubah waktu yang telah ditetapkan syar’i adalah bid’ah, Islam telah menentukan sebagaian waktu dari sebuah ibadah seperti waktu shalat, haji dan sebagainya maka mengerjakan ibadah dengan merubah waktu yang telah ditetapkan adalah perbuatan bid’ah dan tidak diterima.
- Merubah tempat ibadah yang telah ditentukan syar’i adalah bid’ah. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ ,”Haji adalah Arafah.” Hadits tersebut menunjukan bahwa pada tanggal sembilan dari Dzul Hijah adalah hari Arafah. Jama’ah haji pada tanggal tersebut diwajibkan untuk wukuf di tempat yang ditentukan yaitu padang Arafah. Jika ada seseorang melakukan ibadah di selain tempat yang telah ditentukan maka telah berbuat bid’ah.
- Merubah bilangan ibadah adalah bid’ah. Allah telah menetapakan Kafarah Yamin bagi seseorang yang melanggar sumpahnya maka barang siapa yang menambah atau mengurangi telah berbuat bid’ah. Contoh Thawaf sebanyak tujuh kali, bilangan shalat lima waktu dan lain-lain.
- Merubah sifat suatu ibadah adalah bid’ah. Rassulullah ﷺ bersabda,”Shalatlah sebagaimana engkau melihat shalatku.”[32] Hadits tersebut menjelaskan bahwa shalat memiliki sifat yang khusus baik dalam bacaan maupun gerakanya. Maka merubah sifat yang telah ditetapkan adalah perbuatan bid’ah. Contoh tidak melakukan takbiratul ihram ketika shalat.
- Merubah jenis dari suatu ibadah adalah bid’ah. Terdapat beberapa ibadah yang telah ditetapkan jenisnya seperti Udhiyah yang telah ditetapkan dengan hewan dari jenis ternak (Unta, sapi, kambing). Maka melakukan ibadah dengan merubah jenis ibadah yang telah ditetapkan adalah bid’ah. Seperti seseorang berudhiyah menggunakan ayam.
- Merubah tata cara ibadah adalah bid’ah. Telah jelas bahwa al-Qur’an dan sunah telah menjelaskan tata cara dalam beribadah, maka ketika ada seseorang yang mengada-adakan tata cara suatu ibadah adalah bid’ah. Contoh apabila ada seseorang yang berwudhu dengan cara mendahulukan kaki baru kemudian berkumur.
Kaidah ketujuh :
تخصيص العام وتقييد المطلق بلا دليل بدعة
“Menkhususkan keumuman dan menikat hal yang telah mutlak tanpa dalil adalah bid’ah.”
Ulama telah merumuskan kaidah, bahwa keumuman akan tetap menjadi umum sampai ada dalil yang mengkhususkanya.[33] Makna khusus adalah sebagaimana firman Allah ﷻ Qs. al-Maidah 3, dalam ayat tersebut Allah ﷻ mengkhususkan keharaman dalam suatu perkara. Sedangkan makna muthlaq sebagaimana yang disebutkan Allah ﷻ dalam firmanya Qs. Al-Ma’idah ayat 38 Rasululah ﷺ bersabda,”Sesungguhnya pencuri dipotong tangan pada pergelanganya.”
Contoh dari kaidah ini adalah sunah dalam ziyarotul qubur yang telah disebutkan dalam hadits Rasulullah yang menunjukan keumuman lafadz bahwa ziarah kubur boleh dilakukan kapan saja namun apabila sesorang mengksusukan ziarah qubur pada hari raya idul fitri padahal hadits tersebut menunjukan keumumanya.
Kaidah kedelapan :
مخالفة قواعد التيسير بدعة
“Menyelisihi kaidah taysir adalah bid’ah.”
Allah ﷻ telah menjelaskan bahwa agama islam ini sesungguhnya dibangun atas dasar hikmah dan mashlahat bagi hambanya. Maka setiap ketetapan Allah ﷻ pasti memiliki hikmah, keadilan, kasih sayang dari-Nya. Sehinga setiap permasalaah yang akan menimbulakan kesengsaraan, kesukaran dan kedzaliman bukan termasuk dari syari’at Allah ﷻ .[34] telah disebutkan di bab sebelumnya hadits tentang tiga orang sahabat yang inin mennggalkan tidur, menikah dan makan uantuk beribadah kepada Allah ﷻ, Namun Rasulullah ﷺ melarang perbuatan mereka, beliau bersabda,”Demi Allah aku adalah orang yang lebih bertakwa dari pada kalian, aku puasa namun akau juga ifthar aku shalat tapi aku juga tidur, aku juga menikahi seorang wanita, dan barang siapa yang benci terhadap sunahku bukan bagian dariku.[35]
Kesembilan :
التعبد بالعقل دون النقل بدعة
“Beribadah dengan Aqli tampa Naqli adalah bid’ah.”
Pada dasarnya ibadah adalah terikat dengan syar’i yang telah ditetapkan dengan naqli yang shahih. Beribadah kepada Allahﷻ harus didasari dengan rasa khudhu’ (tunduk) dan istislam (pasrah). Maka ketika beribadah kepada Allah hanya didasari dengan akal tampa menyertakan dalil naqli maka termasuk bid’ah.
Seperti tayamum yang dapat mengangkat hadats dan diperbolehkan melaksanakan shalat, apabila kita mengedepankan akal maka tidak cukup hanya menggunakan debu. Perlu air yang banyak. Namun syari’at tayamum bukan berdasarkan akal akan tetapi bersumber dari dalil Naqli.
Kaidah kesepuluh :
كل مستجد ليس له أصل في الشرع أو يناقضه فهو بدعة
“Setiap inovator yang tidak memiliki asal usul syar’iah atau bertentangan itu adalah bidah.”
Perkara baru dalam masalah agama adalah bid’ah dan pelakunya disebut dan orang yang melakukan bid’ah disebut sebagai mubtadi’. Allah ﷻ akan mencela orang-orang yang mengharamkan atau menghalalkan sesuatu tanpa dilandasi dengan hukum syar’i maka mengharamkan atau menghalalkan sesuatu tanpa dalil syar’i adalah perbuatan bid’ah.
Maksud dari kaidah di atas adalah seseorang yang melakukan pembaharuan namun tidak memiliki kesesuaian dengan syar’i dan maqashidnya maka yang ia lakukan termasuk bid’ah. Namun diperbolehkan apabila memiliki kesesuaian seperti perumusan ilmu Nahwu karena ditujukan unutk mempermudah dalam mempelajari ilmu agama..
Batasan-Batasan Bid’ah
Perkara bid’ah merupakan perkara yang dalam penisbatannya tidak boleh sembarangan dan asal tuduh, namun para ulama sudah memberikan rambu-rambu seperti apa dan bagaimanakah perkara-perkara yang masuk dalam kategori bid’ah.[36] jika, salah satu dari rambu-rambu ini tidak ada dalam suatu perkara, maka penisbatan bid’ah akan menjadi suatu kemustahilan.
Para ulama menyebutkan 3 rambu-rambu atau batasan yang menjadikan suatu perbuatan menjadi bid’ah, berikut perinciannya :
- Al-ihdas (perkara baru)
Dalil dari batasan ini adalah sabda Nabi “ من أحدث” dan “كل محدثة بدعة”.
Adapun maksud dari al-ihdas adalah mendatangkan perkara baru yang tidak ada permisalan sebelumnya, baik perbuatan yang terpuji maupun tercela dalam masalah agama maupun selainnya. Dari batasan yang pertama ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah perkara baru yang mencakup permasalahan agama maupun dunia yang bersifat terpuji ataupun tercela.
- Menisbatkan perkara yang baru kepada agama
Dalil dari batasan ini adalah sabda Nabi ” في أمرنا هذا ” , makna dari fi amrina adalah agama dan syariatnya.
Maka, suatu perbuatan akan dikatakan bid’ah jika dinisbatkan kepada agama bukan muamalah-muamalah duniawi seperti penemuan-penemuan modern serta hal lain yang tidak berhubungan dengan agama.
- Tidak melandaskan perkara yang baru tersebut kepada dalil syar’i, baik secara khusus atupun umum.
Maka, perkara baru yang bisa dilandaskan kepada dalil syar’i tidak bisa dikategorikan sebagai perkara yang bid’ah. Pelandasan kepada dalil yang umum adalah dengan metode maslahat mursalah seperti perkara pengumpulan Al-Quran atau jam’u Qur’an oleh para sahabat. Adapun contoh dari pelandasan sebuah perbuatan kepada dalil yang bersifat khusus adalah tindakan Umar yang mengumpulkan para sahabat untuk sholat tarawih secara berjamaah. Disebut sebagai dalil yang khusus dikarenakan terdapat hadis yang menjelaskan bahwa Nabi ﷺ dahulu pernah melakukannya.
Dari pemaparan tentang 3 batasan diatas dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan dihukumi bid’ah atau dapat dibid’ahkan jika memenuhi 3 syarat. pertama, hal tersebut adalah perkara baru yang belum ada pada 3 masa awal generasi Islam. kedua, perkara tersebut dinisbatkan kepada agama bukan kepada perkara dunia. Ketiga, tidak ada dalil syar’i yang melandasi adanya perbuatan tersebut baik secara umum (maslahat mursalah) atau khusus.
Ingin Dapat Pahala Yang Terus Mengalir? Yuk, Ikut Donasi Pembangunan di Ma’had An-Nuur
Dari pemaparan mengenai metode dalam mengidentifikasi bid’ah di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
- Ulama’ berbeda pendapat mengenai pengertian bid’ah sebagian berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua. Pertama, al-Muwasi’un yang berpendapat bahwa bid’ah yang sesuai dengan dalil syar’i sehingga disebut bid’ah Hasanah, dan bid’ah yang bertentangan dengan syar’i sehingga disebut bid’ah Kedua, al-Mudhayiqun yang berpendapat bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Ketiga, pendapat Imam asy-Syathibi yang mengatakan bahwa setiap bid’ah yang sesuai dengan dalil syar’i maka hukumnya dikembalikan pada dalil yang sesuai sedangkan yang bertentangan dihukumi sesat.
- Perbedaan pendapat antara kelompok pertama dan kedua bersifat Haqiqi sedangkan perbedaan antara kelompok kedua dan ketiga hanya secara
- Ada beberapa macam bid’ah seperti Mukafirah dan ghairu mukafira serta macam lain yang telah disebutkan para Ulama’.
- Di atas telah disebutkan sepuluh metode dalam menetukan bid’ah, karena dalam menentukan kebid’ahan pada suatu amalan adalah perkara Ijtihadi yang terkadang banyak perbedaan penndapat dikalangan Ulama’ maka tidak semua perkara bisa dihukumi bid’ah. Serta terdapat 3 batasan pada perkara bid’ah yaitu perkara baru, bersandar pada agama. Wallahu A’lam Bii Shaawab. [Abdul Haq Mizan]
[1] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatiby, al-I’tishom, Maktabah Tijariyah al-Kubra, Jilid 1, hal. 36
[2] Abu Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Muqaayas al-Lughah, Dar al-Fikri, jilid I, hal. 209
[3] Muhammad bin Mukaram bin Mandzur, Lisan al-Arab, Dar ash-Shadir bayrut, cet. I, jilid 8, hal. 6
[4] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatiby, al-I’tishom, Maktabah Tijariyah al-Kubra, jilid I, hal. 37
[5] Abdurrahman bin Ahmad al-Hanbali, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Dar al-Ma’rifah Bairut 1408 H, hal. 265
[6] Manaqib asy-Syafi’I Lil Baihaqi, Tahqik Said Ahmad Shaqr
[7] DR. Abdul Ilah bin Husain, Mafhumul bid’ah, Dar al-Fathi Yordania, Cet. II 1433 H, hal. 68
[8] Ibid, hal. 69
[9] Ibid, hal. 71
[10] Al-Iiz bin Abdus Salam, Qawa’id al-Ahkam al-Iiz bin Abdus Salam, Maktabah Kuliyah al-Azhariyah Mesir, jilid II, hal. 172-174
[11] DR. Abdul Ilah bin Husain, Mafhumul bid’ah, Dar al-Fath Yordania, Cet. II 1433 H, hal. 93
[12] Ibid, hal.70
[13] Ibid, hal. 98
[14] Ibid, hal. 101
[15] Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahihu Muslim. Dar As-Salam. Riyadl
[16] Ibid, Hal. 592
[17] Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahihu Al-Bukhari. Dar As-Salam, 1417 H. Jilid II Hal. 958
[18] Abu Ishaq Ibrahim bin Musa asy-Syatiby, al-I’tishom, Maktabah Tijariyah al-Kubra, jilid 1, hal. 289
[19] Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili, Mauqifu Ahlu Sunah Wa al-Jama’ah Min Ahli al-Ahwa’ Wa al-bid’ah Maktabah al-Ghurba’ al-Atsriyyah 1415 H, jilid I, hal. 97
[20] Ibid, hal. 74
[21] Ibid, hal. 98
[22] Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili, Mauqifu Ahlu Sunah Wa al-Jama’ah Min Ahli al-Ahwa’ Wa al-Bid’ah, Maktabah al-Ghurba’ al-Atsriyyah, Cet. 1415 H, hal. 105
[23] Al-Iiz bin Abdu as-Salam, Qawa’id al-Ahkam Fii Mashalih al-Anam, Maktabah Kuliyah al-Azhar, jilid II, hal. 172-173
[24] Nazih Mahmud, Dhawabit al-Bid’ah wa Qawaiduha al-Ushuliyah wa Fiqhiyah, Universitas an-Najah al-Wathaniyah, Palestina, Hal. 34
[25] HR. Bukhari, Kitab ash-Shulhu, No. 2550
[26] HR. Bukhari kitab al-Adzan 605
[27] Shalat Raghaib adalah shalat yang dilakukan sebanyak duabelas raka’at dilaksanakan diantara dua Isya’ malam jum’at pertama pada bulan Rajab dengan cara khusus. Begitu juga shalat malam pada pertengahan bulan Sya’ban disebut juga shalat Ragha’ib
[28] Ibnu Abidin Muhammad Amin, Khasyiatu radu al-mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar, Dar al-Fikri, bayrut 1992 M, Jilid I Hal. 385
[29] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 1418 H, jilid XVII, hal. 65
[30] HR. Bukhari, Kitab Nikah, 4776
[31] DR. Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqh, Dar al-Fikr Damaskus 1419 H
[32] HR. Bukhari, Kitab al-Adzan, No. 605
[33] Al-Hamawi ahamad bin ahmad Uyunul bashair fi syarhi al asybah wa nadha’ir jilid I hal 16
[34] Ibnu Qayyim, Muhammad bin abu bakar, I’lamul Muwaqiin, Dar al-Jail Beirut 1973, jilid III hal. 3
[35] HR Bukhari, kitab nikah, No. 4675
[36] Muhammad bin Husain Al-Jizany, Hukmu Tabdi’ Fi Masaili Ijtihad, Maktabatul Mulk Fahad Al-Wathaniyyah, 1431 H, hal. 8