Oleh : Umar Abdul Aziz
Kehidupan manusia tidak akan pernah terlepas dari perselisihan. Sebuah perselisihan atau perbedaan merupakan sebuah kepastian yang pasti akan ada walaupun tidak diinginkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Ahmad berkenaan perbedaan yang terjadi di antara ulama dalam memutuskan perkara hukum, beliau mengatakan bahwasanya perbedaan yang ada di antara ulama merupakan suatu bentuk rahmat Allah ﷻ kepada hambanya, karena ketika Allah ﷻ menampakkan semua hukum secara jelas atau dhohir, maka hal ini akan memberatkan para hambanya.[1] Allah ﷻ berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu” (QS. Al-Maidah : 101)
Perbedaan pendapat yang dimaksud akan mendapatkan rahmat dari Allah ﷻ adalah perbedaan ulama mujtahid dalam perkara fiqh, dimana ulama satu dengan yang lainnya sudah berusaha dengan kemampuan yang dimiliki, diiringi dengan niat yang ikhlas untuk meraih kebenaran serta mensikapi berbagai problematika keummatan sesuai koridor syariat. Adapun, jika sebaliknya, maka perbedaan tersebut tidak dikatakan ikhtilaf yang mengandung rahmat, justru akan mengundang permusuhan bahkan saling membid’ahkan ulama mujtahid lain.
Sikap yang tidak sesuai dengan koridor syar’i akan menimbulkan perpecahan. Seperti halnya yang terjadi pada kelompok-kelompok Islam hari ini. Dimana sebuah kelompok Islam yang memiliki beberapa tujuan yang sama, namun salah dalam menyikapi perbedaan yang sebenarnya bersifat rahmat. Seperti menyalahkan pendapat yang berseberangan dengan mereka, membid’ahkan, mengkafirkan ataupun menganggap bahwa pendapat kelompoknya adalah benar secara mutlak sedangkan yang selainnya salah.
Sikap yang seperti ini tidak akan pernah membuahkan rahmat, justru akan menimbulkan banyak problem-problem baru yang justru akan menghalangi tercapainya visi dan misi dari dibentuknya kelompok tersebut.
Syariat Islam telah memberikan tuntunan kepada umatnya bagaimana menyikapi perbedaan ini. Diantara sikap tersebut adalah menghargai pendapat mereka dengan tidak mengingkarinya. Sebagaimana Imam Ahmad yang menghormati pendapat masyarakat yang bermadhab Syafi’iyah dengan melakukan qunut subuh ketika sholat bersama mereka. Beliau berqunut lantaran sikap toleran dan hormat beliau terhadap perkara yang mengandung rahmat ini.
Sikap seperti Imam Ahmad berlaku ketika permasalahan yang diperselisihkan adalah ijtihadi. Berbeda halnya ketika perbedaan tersebut terjadi di dalam perkara qoth’i. Maka, mengingkarinya menjadi sikap wajib yang harus dikerjakan manakala mujtahid tersebut bukanlah mujtahid yang ma’dzur.
DEFINISI BID’AH
Secara Etimologi :
Menurut Imam Syatiby bid’ah adalah للإختراع على غير مثال سابق “”. artinya menciptakan sesuatu tanpa adanya permisalan sebelumnya Seperti firman Allah ﷻ dalam Surah Al-Ahqof ayat 9 “قل ما كنت بدعا من الرسل “ yang artinya Katakanlah: “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” Maknanya, aku bukanlah manusia pertama yang diutus dengan membawa risalah dari Allah ﷻ kepada manusia.[2]
Adapun di dalam kamus KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata bid’ah bermakna : perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan.
Secara Terminologi :
Pengertian bid’ah secara istilah Syar’i terbagi menjadi 2, keduanya memiliki perbedaan. Pertama adalah pengertian dari para fuqoha’ “segala hal yang baru dan belum dijumpai pada zaman nabi” sedangkan ahlu hadis juga memiliki definisi sendiri, yakni “segala sesuatu yang tidak dijumpai pada 3 masa awal Islam serta tidak dilandasi dengan dalil Syar’i”. Dari kedua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa para fuqoha’ mendefinisikan bid’ah secara umum. Sedangkan ahlu hadis hanya mendefiniskannya secara syar’i.
Efek dari perbedaan ini adalah adanya pembagian bid’ah hasanah dan bid’ah madhmumah oleh para fuqoha’ namun tidak dengan ahlu hadis yang mengktegorikan bahwa semua bid’ah adalah sesat.[3] namun, pembahasan mengenai pembagian bid’ah ini tidak akan kami perinci, mengingat keterbatasan tempat dan pembahasan.
KHILAFIYAH
Secara Etimologi
Dalam KBBI makna dari khilafiyah adalah perbedaan pendapat di antara para ahli hukum Islam dalam menentukan hukum. Adapun di dalam kamus al-munjid[4] makna khilaf adalah ضدّ الموافقة, lawan kata dari kesepakatan. Sedangkan kata khilafiyah dimaknai dengan المختلف عليها, sesuatu yang masih diperselisihkan.
Secara Terminologi
Secara terminologi khilaf atau ikhtilaf adalah sebuah perbuatan yang hukumnya belum disepakati oleh para ulama, sehingga para ulama berselisih atasnya. Sebagaimana perkataan fuqoha’ berikut ini.
Para fuqoha mendefinisikan khilaf dan ikhtilaf dengan pengertian yang sama, yakni :
“ما لا يتفق عليه الفقهاء في مسائل الإجتهاد بغض النظر عن الصواب أو خطأ أو شذوذ الرأي”
“Pekara ijtihadiyah yang tidak disepakati oleh para fuqoha akan hukumnya, maka dengan tidak mengatakan ini benar, salah atau cacat suatu pendapat”[5]
BATASAN-BATASAN BID’AH
Perkara bid’ah merupakan perkara yang dalam penisbatannya tidak boleh sembarangan dan asal tuduh, namun para ulama sudah memberikan rambu-rambu seperti apa dan bagaimanakah perkara-perkara yang masuk dalam kategori bid’ah.[6] jika, salah satu dari rambu-rambu ini tidak ada dalam suatu perkara, maka penisbatan bid’ah akan menjadi suatu kemustahilan.
Para ulama menyebutkan 3 rambu-rambu atau batasan yang menjadikan suatu perbuatan menjadi bid’ah[7], berikut perinciannya :
- Al-ihdas (perkara baru)
Dalil dari batasan ini adalah sabda Nabi “ من أحدث” dan “كل محدثة بدعة”.
Adapun maksud dari al-ihdas adalah mendatangkan perkara baru yang tidak ada permisalan sebelumnya, baik perbuatan yang terpuji maupun tercela dalam masalah agama maupun selainnya. Dari batasan yang pertama ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah perkara baru yang mencakup permasalahan agama maupun dunia yang bersifat terpuji ataupun tercela.
- Menisbatkan perkara yang baru kepada agama
Dalil dari batasan ini adalah sabda Nabi “في أمرنا هذا “ , makna dari fi amrina adalah agama dan syariatnya. Maka, suatu perbuatan akan dikatakan bid’ah jika dinisbatkan kepada agama bukan muamalah-muamalah duniawi seperti penemuan-penemuan modern serta hal lain yang tidak berhubungan dengan agama.
- Tidak melandaskan perkara yang baru tersebut kepada dalil syar’i, baik secara khusus atupun umum.
Maka, perkara baru yang bisa dilandaskan kepada dalil syar’i tidak bisa dikategorikan sebagai perkara yang bid’ah. Pelandasan kepada dalil yang umum adalah dengan metode maslahat mursalah seperti perkara pengumpulan Al-Quran atau jam’ul Qur’an oleh para sahabat. Adapun contoh dari pelandasan sebuah perbuatan kepada dalil yang bersifat khusus adalah tindakan Umar yang mengumpulkan para sahabat untuk sholat tarawih secara berjamaah. Disebut sebagai dalil yang khusus dikarenakan terdapat hadis yang menjelaskan bahwa Nabi ﷺ dahulu pernah melakukannya.
Dari pemaparan tentang 3 batasan diatas dapat disimpulkan bahwa suatu perbuatan akan dihukumi bid’ah atau dapat dibid’ahkan jika memenuhi 3 syarat. pertama, hal tersebut adalah perkara baru yang belum ada pada 3 masa awal generasi Islam. kedua, perkara tersebut dinisbatkan kepada agama bukan kepada perkara dunia. Ketiga, tidak ada dalil syar’i yang melandasi adanya perbuatan tersebut baik secara umum (maslahat mursalah) atau khusus.
MACAM-MACAM KHILAF
Perkara khilaf berbeda dengan perkara ijtihadiyah. Walaupun sejatinya, keduanya memiliki kesamaan. Para ulama berbeda-beda dalam membagi serta mengelompokkan perkara khilaf. Namun letak perbedaan mereka hanyalah pada perbedaan dalam memasukkan point terhadap sub point atau sebaliknya.
Khilaf atau ikhtilaf terbagi menjadi 2 macam yakni ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang beragam) dan ikhtilaf tadhood (perbedaan yang kontradiksi).
Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan yang beragam) adalah perbedaan yang konsekuensinya berupa “semua pendapat adalah benar dan satu pendapat tidak dapat menyalahkan pendapat yang lain karena setiap pendapat memiliki dasar.” Adanya perbedaan ini menunjukkan bahwa nabi Muhammad ﷺ memberi keleluasaan secara jelas sehingga dapat memilih salah satu dari beberapa model atau bentuknya. Seperti macam-macam qira’at, bacaan tasyahud, bacaan dzikir, sholat khouf[8] ataupun yang lainnya. Tujuan adanya Perbedaan ini adalah untuk mempermudahkan. sehingga, seorang mukallaf dapat memilih pendapat yang sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.
Ikhtilaf tadhood (perbedaan yang kontradiksi) adalah perselisihan yang menjadikan setiap pendapat berlawanan dengan yang lain, sehingga hukum sebuah permasalahan akan terbagi menjadi 2 kubu yang saling berlawanan. Kubu pertama menghalalkan sedangkan kubu kedua mengharamkan atau kubu pertama menyalahkan pendapat dari kubu kedua. Ikhtilaf ini terbagi menjadi dua [9] yaitu:
- Khilaf Saigh (Perselisihan Yang ditolerir)
Adalah perselisihan yang terjadi dalam perkara-perkara ijtihadiyah. Adapun perkara ijtihadiyah adalah perkara yang bukan berupa ijma’ atau nash yang qath’i (Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan qiyas jally), sehingga perselisihan ini berlaku dan dianggap oleh syar’i asalkan benar dalam proses istinbatul ahkam, sebagian ulama menyebut ikhtilaf ini sebagai perselisihan dalam masalah furu’ atau perselisihan dalam perkara ijtihadiyah, karena mereka hanya berselisih dalam dalil-dalil yang masih dzanny, sedangkan dalil dzanny adalah ranah dan tempatnya perselisihan ulama (ijtihad).
Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jiizany [10]dalam kitab Hukmu Tabdi’ Fi Masaili Ijtihad memberikan keterangan berkenaan ikhtilaf ini. Kemudian penulis meringkasnya sebagai berikut :
Ikhtilaf saigh atau ijtihadiyah Adalah perselisihan dalam perkara yang mengandung 2 kemungkinan:
- Pekara yang tidak ada nashnya (Al-Qur-an dan as-Sunnah).
- Perkara yang ada nashnya, namun tidak qath’i melainkan muhtamal atau dzanny serta tidak adanya ijma’.
Dalil berlakunya khilaf saigh adalah sebagai berikut:
عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
Artinya :
“Dari Muadz bin Jabal bahwasanya Rasulullah ﷺ ketika mengirimnya ke yaman berkata kepadanya: bagaimana jika engkau dihadapkan dengan sebuah permasalahan? ”aku menghukuminya dengan kitab Allah ﷻ .” Kemudian bagaimana jika tidak ada? “aku berhukum dengan sunnah Rasulullah ﷺ”, bagaimana jika tidak ditemukan dalam kitab maupun sunnah? “aku berijtihad dengan pendapatku sendiri dengan tidak berlebih-lebihan.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda segala puji bagi Allah ﷻ yang telah memberikan kesesusaian kepada utusan Rasulullah ﷺ dengan apa yang diridhoi oleh rasulnya”. HR. Abu Dawud
Berkenaan masalah ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menolak penisbatan istilah furu’ dan usul dalam fiqih Islam[11].
Kesimpulan dari statment beliau yang menolak istilah usul dan furu’ dalam fiqh islam :
- Istilah ushul dan furu’ adalah istilah yang dimunculkan oleh kelompok Mu’tazilah dan kelompok lain sesama ahlu bid’ah. Karena istilah ini belum ada ketika zaman nabi dan juga sahabat.
- “Istilah ushul dikaitkan dengan perkara i’tiqodiyah dan pengingkarnya akan dikafirkan”, statment ini sungguh tidak relevan karena banyak ditemukan perkara i’tiqody yang ketika diingkari, ulama sepakat tidak mengkafirkannya. Seperti kelompok syiah mufaddholah (Zaidiyyah) yang mengakui otoritas 3 khalifah pertama, namun menganggap sahabat Ali lebih utama dari mereka semua.
- Begitu pula perkara furu’ yang dikaitkan dengan perkara amaliyah yang pengingakarannya tidak dikafirkan. Hal ini tidak relevan, karena banyak ditemukan perkara yang bersifat amaliyah namun ulama sepakat mengkafirkan pengingkarnya (qoth’i). Seperti mengingkari kewajiban sholat.
- Perkara dzanny ataupun qath’i merupakan perkara yang sifatnya idhafiyyah (disandarkan). Terkadang, sebuah hadis menurut satu ulama berstatuskan qath’i lantaran terpenuhi syarat-syarat keqath’ian sebuah dalil, namun hadis yang sama berstatus dzanny pada ulama lain lantaran tidak terpenuhinya syarat keqoth’ian hadis tersebut baginya.
Contoh dari khilaf saigh adalah perbedaan sahabat dalam memahami perintah Rasulullah ﷺ agar tidak sholat ashar kecuali di Bani Quraidhoh. Sebagian sahabat memahaminya secara dhahiru nash yakni diperbolehkan mengerjakan sholat ashar ketika telah sampai di bani Quroidhoh walaupun telah lewat masanya. Sebagian lain memahaminya dengan perintah agar bersegera menuju bani Quroidhoh. Contoh lain dari khilaf saigh dalam amaliyah adalah perselisihan dalam hukum gerakan-gerakan wudhu (hukum tamadmadhoh serta istinsyaq).[12]
- Ikhtilaf madhmum (Perselisihan Yang Tercela)
Adalah perbedaan dalam perkara-perkara yang sebenarnya tidak layak untuk berselisih didalamnya atau pendapat yang menyelisihi ijma dan nash yang qoth’i. Sehingga, perbedaan pendapat seperti ini tercela dan tidak dianggap pendapatnya bahkan bisa kepada tingkatan dikafirkan. Imam Syatiby menyatakan bahwa setiap perkataan yang menyelisihi dalil qoth’i dari nash mutawatir atau ijma’, maka perkataannya akan dibuang dan tidak diakui[13]
Dalil akan tecelanya ikhtilaf macam ini adalah QS. Ali imron :103
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah ﷻ , dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah ﷻ kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah ﷻ mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah ﷻ , orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah ﷻ menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah ﷻ menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Bukti lain akan tercelanya dan tidak berlakunya khilaf madhmum ini adalah sebuah kaidah fiqh yang berbunyi:
“لا اجتهاد مع النص”
“tidak ada ijtihad ketika terdapat nash”
Makna kaidah : syarat diperbolehkannya ijtihad adalah tidak adanya nash dalam perkara tersebut, ketika ditemukan nash tentang itu, maka nash diambil dan meninggalkan pendapat selainnya. Maksud dari nash disini adalah nash qoth’i yang tidak ada ihtimal dalam segi dilalah dan tsubutnya. Seperti adanya ijma, karena adanya ijma’ akan menghalangi adanya ijtihad di dalamnya.[14]
Contoh dari ikhtilaf madhmum adalah kelompok Mu’tazilah yang menafikan sifat-sifat Allah ﷻ , pendapat khawarij yang mengkafirkan seluruh sahabat, ataupun kelompok Syiah Mufaddhalah (Syiah Zaidiyyah) yang mengakui kekhilafahan Abu Bakar, Umar dan Utsman, namun mereka lebih mengutamakan sahabat Ali dari mereka semua.
PERBEDAAN ANTARA MASALAH KHILAFIYAH DAN MASALAH IJTIHADIYAH
Dari pemaparan tentang macam-macam khilaf diatas. Maka, yang menjadi lahan pembahasan penulis adalah macam dari khilaf tadhood yakni khilaf saigh dan khilaf madzmum. Begitu pun juga, dari penjabaran masing-masing khilaf, maka dapat di ketahui bahwa perbedaan antara permasalahan khilafiyah dan permasalahan ijtihadiyah adalah permasalahan khilafiyah meliputi segala permasalahan yang masih diperselisihkan, baik khilaf saigh ataupun madmum. Berbeda dengan permasalahan ijtihadiyah, bahwa permasalahan ini hanya khusus untuk satu jenis khilaf saja yakni khilaf saigh.
Sehingga, perkara khilafiyah lebih umum dari perkara ijtihadiyah. Setiap perkara ijtihadiyah adalah perkara khilafiyah, namun tidak setiap perkara khilafiyah adalah perkara ijtihadiyah [15]
HUKUM MUJTAHID YANG SALAH DALAM PERKARA MUJMA’ ALAIH (DISEPAKATI)
- Ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad
Ulama yang memiliki kemampuan dalam berijtihad (mujtahid mutlak), ketika salah dalam berpendapat, maka ia tidak berdosa dan tidak pula dibid’ahkan. sebagaimana pendapat para sahabat, tabi’in serta ulama salaf. Mereka satu pendapat dengan pendapat diatas, mereka berpendapat :
“Mereka, para mujtahid yang salah dalam berijtihad tidak dikafirkan, tidak difasikkan dan tidaklah didosakan baik dalam perkara amaliyah, i’tiqodiyah , usul, furu’ , qoth’iat ataupun dalam perkara dzonniyat”.[16]
Namun, untuk mendapatkan keistimewaan sebagaimana yang tertera dalam perkataan salaf diatas, seorang mujtahid harus memenuhi 3 syarat berikut :
- Mujtahid adalah seorang yang beriman kepada Allah ﷻ dan Rasulnya
- Mujtahid memiliki niat dan kemauan yang jujur dalam mencapai kebenaran
- Mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuan yang dimiliki dalam proses ijtihad serta bertaqwa kepada Allah ﷻ sekuat yang dia bisa.
Jika mujtahid ini salah dalam berpendapat lantaran kesalahan yang timbul dari dirinya, seperti mengikuti hawa nafsu, tidak mencurahkan seluruh tenaga, menolak dalil yang lebih mu’tabar, menta’wil dengan yang tidak layak atau telah sampai kepadanya hujjah namun ia berpaling darinya. Maka, ia berdosa[17] dan dihukumi berdasarkan berdasarkan tingkat permasalahan yang diingkari (dikafirkan, dibidahkan tanpa dikafirkan ataupun difasikkan).
Jadi, Seorang mujtahid yang tergelincir sehingga melakukan kesalahan dalam hal ini, maka perkataannya dianggap seperti perkataan manusia biasa yang bukan seorang mujtahid, namun bila perkataannya dalam perkara lain benar secara syar’i, maka perkataannya diterima dan dianggap secara syar’i.[18]
- Ulama yang tidak memiliki kemampuan berijtihad
Jika ulama yang tidak memiliki kemampuan berijtihad atau memiliki kemampuan berijtihad namun salah karena alasan dari pribadi ulama tersebut seperti yang telah kami jelaskan diatas. Maka para ulama membagi tingkatan pengingkaran terhadapnya sebagai berikut:[19]
- Dikafirkan (sepakat)
Adalah mereka yang berbeda dalam usulul iman seperti 6 rukun iman. Misalnya : kelompok keras Jahmiyah yang mendustakan sesuatu yang jelas dalam Al-Qur’an (Nabi Ibrohim bukanlah kekasih Allah ﷻ ), kelompok yang meyakini bahwa Allah ﷻ menyatu dalam dzat makhluknya, kelompok keras Rafidhah yang menuhankan sahabat Ali.
- Dibid’ahkan (sepakat) dan Dikafirkan (diperselisihkan)
Adalah mereka yang bersepakat dalam perkara ushul iman namun berselisih dengan pemahaman ahlu sunnah dalam perkara usulul i’tiqad seperti asma’ dan sifat ataupun takdir. misalnya : kelompok mu’tazilah yang menafikan sifat Allah ﷻ, khowarij yang mengkafirkan sahabat serta mengkekalkan pelaku dosa di neraka, Rafidhah yang mencela serta mengkafirkan sahabat.
- Dibid’ahkan (sepakat) serta tidak dikafirkan (sepakat)
Misalnya : kelompok syiah mufaddalah (Zaidiyyah) yang mengakui kekhilafahan Abu Bakar, Umar serta Utsman, namun lebih mengutamakan Ali dari mereka, kelompok Murjiah serta Asyariyah dan Maturidiyah yang menta’wilkan beberapa sifat Allah ﷻ .
Jadi, hukum pembid’ahan terhadap yang memperselisihkan perkara qoth’iyat adalah diperbolehkan, bahkan menjadi suatu bentuk dari ishlah serta amar ma’ruf nahi munkar kepada ulama yang salah ketika itu.
HUKUM MEMBID’AHKAN SEORANG MUJTAHID YANG TERGELINCIR DALAM PERKARA BID’AH.[20]
Seorang mujtahid yang tergelincir dalam perkara bid’ah tidak semena-mena dihukumi sebagai seorang mubtadi’ (ahlu bid’ah), namun harus dipastikan terlebih dahulu dengan melihat kepada 3 kaidah berikut ini :
- Harus terpenuhi syarat-syaratnya dan terhindar dari penghalang-penghalangnya.
Yang dimaksud disini adalah terlepas dari 3 keadaan:
- Mukroh (terpaksa)
Jika seseorang berpendapat dengan pendapat yang bid’ah namun ia melakukannya secara terpaksa, maka kalimat bid’ah tidak bisa disematkan kepadanya. Keadaan terpaksa memiliki beberapa ketentuan, seperti : orang yang memaksa memiliki kemampuan atas ancamannya, orang yang dipaksa tidak mampu menghindarinya, yakin bahwa hukuman akan diberikan jika ia tidak mengerjakan sesuatu sesuai dengan yang diminta serta hukuman yang nanti diberikan merupakan sesuatu yang membahayakan seperti kematian.
- Al–jahlu (bodoh)
Untuk dapat mengatakan bahwa seorang mujtahid tersebut adalah mubtadi’, maka ia harus terlepas dari udzur jahl, dengan menjelaskan sekaligus memahamkan kepadanya hujjah yang benar bahwa pendapatnya menyelisihi syariat.
- Salah dalam ta’wil
Di antara penghalang dari penyebutan mubtadi’ adalah mujtahid yang salah ta’wil. Perbedaan ta’wil shohih dengan batil adalah ketika makna ta’wilan tersebut sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh nash qur’an dan sunnah.
Jika mujtahid terhindar dari 3 keadaan tersebut, kemudian masih salah dalam ijtihadnya, maka menurut kaidah pertama ia berhak dibid’ahkan. Namun, untuk memutlakkan kebid’ahan ini harus diiringi dengan 2 kaidah berikutnya.
- Tidak semua pelaku bid’ah adalah mubtadi’
Jika diketahui bahwa seorang mujahid sudah berbuat bid’ah, maka walaupun perbuatannya dihukumi bid’ah belum tentu pelakunya adalah seorang yang pantas dikatakan mubtadi’, karena bisa jadi, mujtahid tersebut adalah seorang mujtahid yang ma’dzur, sehingga diperlukan ta’yin [21] terlebih dahulu.
- Mujtahid terbagi menjadi dua, ma’dzur (tidak berdosa) dan atsim (berdosa)
Untuk membedakan status mujtahid tersebut (ma’dzur atau atsim ). Maka, dapat dilihat dari 2 aspek :
- Dalam hal keilmuan
Mujtahid yang ma’dzur adalah yang menguasai dalil-dalil syar’i baik yang kulli (kaidah fiqh dan usul fiqh) ataupun juz’i (al-qur’an dan sunnah). Sedangkan yang atsim adalah kebalikan dari yang ma’dzur atau mungkin menguasai beberapa dalil namun jahl dengan sebagian yang lain.
- Dalam hal kejujurannya meraih kebenaran serta ketundukannya terhadap dalil
Mujtahid ma’dzur dalam hal ini adalah yang jujur hanya untuk mencari kebenaran serta tunduk terhadap dalil yang ada. Adapun mujtahid yang berdosa adalah mereka yang berlawanan dengan ciri-ciri mujtahid yang ma’dzur.
Jadi, mujtahid ma’dzur adalah mujtahid yang menguasai dalil-dalil kully atau juz’i serta jujur dalam mengikuti kebenaran namun salah dalam pengambilan hukum (zullatul alim). Adapun mujtahid atsim adalah ulama yang tidak menguasai dalil kully atau juz’i serta tidak jujur dalam meraih kebenaran seperti tidak mengerahkan semua kemampuan ataupun mengikuti hawa nafsunya.
Jadi, untuk menghukumi seorang mujtahid bid’ah diperlukan penelitian tentang internal seorang mujtahid dalam hal keterpenuhan syarat ataupun penghalang serta pemastian status mujtahid tersebut, ma’dzur atau atsim
HUKUM MEMBID’AHKAN PENDAPAT YANG MASIH KHILAF
Khilaf Saigh
Pada dasarnya, membid’ahkan adalah bentuk pengingkaran. Bahkan pembid’ahan termasuk ke dalam tingkatan pengingkaran yang tinggi, karena di bawahnya terdapat tingkatan lain seperti pemfasikan. Berdasarkan kaidah fiqh “ لا انكار في مسائل الإجتهاد”, maka mengingkari perkara ijtihad adalah tidak diperbolehkan. Karena perkara ijtihadiyah adalah lahan yang memberi keluasan kepada para mujtahid untuk berijtihad dengan pendapatnya masing-masing sesuai dengan kapasitas keilmuannya.
Maka, membid’ahkan perkara yang masih ijtihadiyah (khilaf saigh) adalah tidak diperbolehkan karena pendapat mereka masih bisa dikembalikan kepada nash syar’i[22]. Sebagaimana kaidah “tidak ada pembid’ahan dalam perkara ijtihad”.
Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jiizany dalam Mi’yarul Bid’ah[23] memberikan 4 alasan sekaligus bukti akan tidak bolehnya membid’ahkan perkara ijtihady, berikut penjelasannya:
- Sabda nabi tentang bid’ah “وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة و كل ضلالة في النار” mengandung makna bahwa bid’ah berkonsekuensi dosa dan akan berujung kepada neraka. Sedangkan nabi juga bersabda tentang perkara ijtihad “إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران و ان اجتهد فأخطأ فله أجر “ bahwa setiap mujtahid akan mendapakan pahala walaupun salah. Dari kedua hadis tersebut dapat diketahui bahwasanya ijtihad dan bid’ah adalah 2 hal yang berbeda dan tidak bisa disatukan, karena semua bid’ah adalah tercela sedangkan semua ijtihad adalah berpahala dan tidak ada cela sama sekali.
- Dilihat dari perbedaan antara bid’ah dan ijtihad.
Bid’ah adalah perkara yang tidak ada dalilnya, baik nash secara khusus atau secara umum. Hal ini berbeda dengan ijtihadiyah yang terbangun atas usul syariat dan disandarkan kepada dalil walaupun mayoritasnya adalah dzonny.
- Ditinjau dari akibat keduanya
Bid’ah menimbulkan perpecahan serta terputusnya persaudaraan di antara kaum muslimin, sedangkan ijtihadiyah tidaklah seperti itu, perkara ini tidak menimbulkan perpecahan kecuali kesalahan dalam mensikapi dengan sikap yang tidak benar menurut syariat.
- Perkataan ahlu ilmu dan istidlal mereka
Imam Syatibi berkata :
“و ليس من شأن العلماء إطلاق لفظ البدعة على الفروع المستنبطة التي لم تكن فسها سلف”
“ Tidak selayaknya bagi seorang ulama memutlakan istilah bid’ah dalam perkara furu’ hasil istinbat yang mana hal ini tidak ada pada masa salaf”
Beliau menambahi “Perkara yang seperti ini (furu’ /ijtihady) tidak ada unsur bid’ah didalamnya selama bisa dikembalikan kepada landasan syar’i”. [24]
Syaikh bin Baz berkata seputar permasalahan meletakkan tangan setelah i’tidal dalam sholat, beliau berkata “ Tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjadikan perselisihan dalam permasalahan ini dan perkara yang semisalnya serta wasilah lain yang dapat menimbulkan perpecahan. Maka hal yang seperti ini dilarang, walaupun dikatakan bahwa hukum menyatukannya tangan ketika selepas i’tidal adalah wajib sebagaimana yang dipilih oleh Imam Syaukany dalam Nailul Authar”.
Maka bila menurut seseorang pendapat Imam Syafi’i lebih rojih (kuat), ia tidak boleh mengingkari orang lain yang merajihkan pendapat dari Imam Malik, begitu pula sebaliknya.
Khilaf Madzmum
Sebagaimana pengertian di atas, bahwa khilaf madhmum adalah perbedaan pendapat terhadap nash qath’i ataupun ijma’, sehingga perselisihan mereka tidak dianggap secara Syar’i. Adapun mengenai hukum pengingkaran atau pembid’ahan khilaf yang madzmum, para ulama sepakat membolehkan bahkan mewajibkannya, lantaran pendapat mereka yang menyelisihi qoth’iyat (dalil-dalil qoth’i).[25] Adapaun status pendapat ini adalah sesuai derajatnya, sebagaimana pengelompokkan pada pembahasan di atas.[26] Pendapat ini berdasarkan kepada sebuah kaidah fiqh yang berbunyi :
“Tidak ada ijtihad selama terdapat nash”
Pengingkaran terhadap pendapat yang menyelisihi dalil qoth’i adalah wajib diingkari dengan tujuan islah serta amar ma’ruf nahi munkar.
KESIMPULAN
Dari beberapa pembahasan yang dapat kami paparkan diatas, maka kami berkesimpulan bahwa:
- Suatu perbuatan dikatakan bid’ah ketika memenuhi 3 syarat, yaitu: perkara yang baru muncul, disandarkan kepada agama serta tidak memiliki dalil secara khusus maupun umum (maslahat mursalah).
- Khilaf ada 2 macam. Tanawuu’ (perbedaan yang beragam) serta tadhaad (perselisihan yang kontradiksi). khilaf tadhood dibagi menjadi khilaf saigh (perbedaan yang ditolerir/ijtihady) dan madmum (perbedaan yang tercela).
- Setiap ijtihad adalah perkara khilaf, namun tidak semua perkara khilaf adalah ijtihad. Khilaf lebih umum dari ijtihad.
- Seorang mujtahid yang berkapabel dan telah memenuhi 3 syarat dalam berijtihad (beriman, jujur terhadap kebenaran dan mengerahkan seluruh kemampuan) kemudian salah dalam menghukumi perkara qoth’i, maka ia tidak dibid’ahkan namun dihukumi sebagai seorang mujahid yang ma’dzur. Namun, jika kesalahan tersebut karena faktor pribadinya yang tidak memenuhi 3 syarat dalam berijtihad. Maka, ia berdosa sebesar kesalahan dia di hadapan Allah ﷻ serta wajib diingkari sebagai bentuk islah dan amar ma’ruf nahi mungkar.
- Jika seseorang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad, maka pendapatnya yang menyelisihi pendapat ulama serta mujtahid salaf wajib diingkari, di antaranya dengan membid’ahkannya.
- Untuk membid’ahkan seorang mujtahid yang tergelincir dalam pembid’ahan diperlukan penelitian terhadap kondisi mujtahid tersebut dengan menggunakan 3 kaidah di atas.
- Pendapat yang menyelisihi nash dan dalil qath’i adalah menyimpang dan pendapatnya wajib diingkari.
- Perkara ijtihady boleh dibid’ahkan oleh seorang mujtahid jika mujtahid tersebut menganggap dalil-dalil yang dipakai tidak sohih atau tidak sesuai dengan penunjukkan makna nash. Namun, ia tidak boleh mengucapkannya secara sorih kepada mujtahid lain yang berseberangan dengannya. Sehingga, pembid’ahan dalam hal ini hanya untuk dirinya saja, bukan untuk mujtahid lain yang berseberangan. Wallahu a’lam bi shawab.
[1] Ahmad Ibnu taimiyah, majmu’ fatawa, jilid. 14, hal. 159
[2] as-Syatiby, al-I’tishom Jilid 1, hal. 36
[3] Abdul Fattah bin Sholih, Al-Bid’a Al-Mahmudah Wa Al-Bid’ah Al-Idofiyah, hal. 34
[4] Al-Munjid Fi Lughoh Al-A’lam, Hal. 193
[5] Dr. Jalaluddin Muhammad Sholih, Fiqhul Ikhtilaf Wal Istiqrorul Amny, hal. 5
[6] Muhammad bin Husain Al-Jizany, Hukmu Tabdi’ Fi Masaili Ijtihad, hal. 8
[7] Ibid.
[8] Muhammad bin Husain Al-Jizany, Hukmu Tabdi’ Fi Masaili Ijtihad, hal. 34
[9] Yasir Husain Burhamy, Fiqhul Khilaf Baina Muslimin, hal. 22
[10] Muhammad bin Husain Al-Jizany, Hukmu Tabdi’ Fi Masaili Ijtihad, hal. 12-16
[11] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Jilid. 23, hal. 346-347
[12] Yasir Husain Burhamy, Fiqhul Khilaf Baina Muslimin, hal. 32
[13] Imam Syatiby, Al-Muwafaqot, jilid. 2, hal. 125
[14] Muhammad bin Husain Al-Jiizany, Hukmu Abdi’ Fi Masaili Ijtihad, hal. 63
[15] Muhammad bin Husain Al-Jiizany, Mi’yarul Bid’ah, hal. 106
[16] Muhamad bin Husain Al-Jiizany, ma’alimu usulil fiqh inda ahli Sunnah wal jamaah, hal. 489
[17] Muhamad bin Husain Al-Jiizany, Hukmu Tabdi’ Fi Masaili Ijtihad, hal. 49
[18] Imam Syatiby, Al-Muwafaqat, jilid. 2, hal. 124-125
[19] Yasir Husain Burhamy, Fiqhul Khilaf Baina Muslimin, hal. 65-78
[20] Muhammad bin Husain Al-Jiizany, Hukmu Tabdi’ Fii Masaili Ijtihad, hal. 50
[21] Mengidentifikasi pelaku, apakah terdapat penghalang atau tidak, serta apakah sudah terpenuhi syarat-syaratnya? Sehingga ia berhak untuk dihukumi sebagai mubtadi’
[22] Ibid, hal. 10
[23] Muhammad bin Husain Al-Jiizany, Mi’yarul Bid’ah, hal. 109-112
[24] Imam Syatiby, I’tishom, jilid. 1, hal. 208
[25] Muhamad bin Husain Al-Jiizany, Ma’alimu Usulil Fiqh Inda Ahli Sunnah Wal Jamaah, hal. 493
[26] Lihat, hal. 13