Agama Islam tersusun dari dua bagian inti, bagian pertama berupa keyakinan dan bagian kedua berupa aturan perbuatan. Bagian pertama berbicara masalah mengimani dan mengkufuri (ushul), sedangkan bagian kedua berbicara mana yang harus dikerjakan, mana yang sebaiknya dilakukan, mana yang boleh-boleh saja dan mana pula yang seharusnya tidak dikerjakan (furu’).
Bagian pertama masuk dalam ranah aqidah ia adalah perkara yang tsabit, artinya tetap dan tidak akan mengalami perubahan sampai kapanpun. Sedangkan yang kedua masuk dalam ranah fiqih, ia akan terus berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman (mutaghayyirat).
Seseorang yang berbeda pendapat dalam permasalahan fiqih tidak lantas dianggap keluar dari Islam karena ijtihadnya. Berbeda ketika perbedaan pendapat pada ranah aqidah (ushul), secara otomatis statusnya sebagai seorang muslim tercabut. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti usaha seorang faqih untuk menyimpulkan sebuah hukum syar’i pada permasalahan tidak ada dalil spesifiknya (dalil dzanni).
Begitulah yang terjadi pada ummat Islam pasca wafatnya Rasulullah. Banyak perkara-perkara baru yang terjadi. Padahal di zaman Rasul hal itu belum pernah terjadi sehingga tidak ada kepastian hukumnya. Hal ini menuntut para fuqaha’ untuk mencari jalan keluar dari setiap permasalahan tersebut. Mereka berijtihad menggunakan segenap ra’yu (fikiran) mereka, namun dengan tetap mengikuti kaidah-kaidah syari’at, dan dengan mengetahui maqashid (tujuan) dari syari’at.
Disebabkan ragam permasalahan yang terus berbeda tiap generasi ini maka dalam salah satu pembahasan fiqih ada kajian khusus tentang sejarah pensyari’atan hukum (tarikh tasyri’). Fungsi kajian ini adalah untuk mengetahui prinsip, maqashid syari’at, syumuliyahnya dan kontribusi para ulama dalam lembar khazanah peradaban Islam.
Periodisasi Tasyri’
Syaikh Musthafa Ahmad Az-Zarqa’ dalam kitabnya “al-Madkhal al-Fiqhi al-‘aam” membagi periode tasyri’ menjadi 8; periode pertama adalah periode kenabian, dimana Rasulullah sebagai sumber hukum dari beragam persoalan. Periode kedua adalah periode khulafa’ ar-Rasyidin hingga pertengahan abad pertama, mereka yang berada diperiode ini adalah para sahabat yang langsung menyaksikan turunya wahyu, ketika menghadapi sebuah permasalahan baru mereka mengembalikan kepada al-Qur’an, jika tidak ada kepada sunnah Rasulullah, barulah ketika tidak ada juga mereka berijtihad menggunakan ra’yu mereka berdasarkan pada maqashid syari’at yang mereka pahami.
Periode ketiga terhitung dari pertengahan abad pertama sampai awal abad kedua, pada fase ini Islam telah menyebar luas ke beberapa daerah diantaranya, Yaman, Iraq, Mesir dan Syam. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqih sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarnya para sahabat ke berbagai daerah maka muncullah berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain.
Periode keempat dimulai awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode kemajuan Islam pertama. Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lainnya.
Periode kelima, dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Dalam periode ini para ulama berusaha untuk mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad di kalangan ulama fiqih. Mereka lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam madzhab mereka masing-masing, sehingga tidak ada lagi ulama mujtahid. Kalaupun ada ulama fiqih yang berijtihad, ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip madzhab yang dianut.
Adapun periode keenam dimulai dari pertengahan abad ke-7 H sampai munculnya Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Utsmani) yang masuk dalam periode ketujuh. Perkembangan fiqih pada periode enam ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqih yang semakin menurun pada periode sebelumnya.
Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqih dikenal juga dengan periode taklid secara membabi buta. Sedangkan periode terakhir dimulai dari akhir Perang Dunia II sampai hari ini. Di periode ini mulai kesadaran untuk kembali merujuk kepada al-Qur’an dan sunnah mulai bermunculan kembali.
Periode Taqlid, Periode Kelam Fiqih
Periode taqlid yang dimaksud adalah periode kelima dan keenam dari perjalanan tarikh tasyri’. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya diperiode ini para ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqh Islam dari sumbernya yang asli, tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam madzhabnya masing-masing (taqlid). Periode ini disebut juga sebagai periode kemunduran ummat Islam.
Problem terbesar dari periode ini adalah setiap madzhab menganggap dirinya sebagai sebagai satu-satunya representasi kebenaran dalam panggung sejarah Islam dengan dalih catatan gemilang para pendahulunya. Para pengikut madzhab Hambali disebabkan oleh besarnya peran dan beratnya ujian yang diderita oleh tokoh-tokoh masa lalunya sejak Imam Ahmad bin Hambal menderita penyakit ujub dengan menganggap dirinya sebagai penghulu ummat Islam, sebagai representasi ahlu sunnah, hanya mereka yang layak eksis dan memiliki hak prerogatif dakwah.
Demikian pula dengan para pengikut madzhab Asy’ari, disebabkan oleh besarnya peran madzhab Asy’ari dalam menentang kaum Mu’tazilah menderita sindrom keangkuhan intelektual dengan menganggap dirinya berpengetahuan luas dan berfikiran hebat, mereka menuduh para pengikut Hambali sebagai orang-orang yang memiliki pengetahuan dangkal dan berwawasan sempit.
Setiap guru dari masing-masing madzhab berusaha dengan gigih untuk merekrut para pelajar sebagai pengikutnya lalu membentuk sisi intelektual dan visi mereka sesuai dengan konsep-konsep madzhabisme. Akibatnya suasana pembelajaran dan kelas berubah menjadi ajang membela pandangan-pandangan suatu madzhab dan menjatuhkan madzhab yang lain.
Ibnu Katsir menyebutkan fenomena ini dalam “al-Bidayah wa an-Nihayah”, pada tahun bulan Syawwal 469 H, ketika itu Abu Nashr bin Al-Qusyairi diundang ke madrasah Nizamiyah. Didalam ceramahnya ia sempat menyudutkan madzhab Hambali. Masalah ini kemudian menyulut pertikaian sampai keluar dari lingkungan madrasah.
Pada suatu hari pengikut madzhab menyerang Syaikh Abu Ja’far bin Musa, seorang syaikh madzhab Hambali. Perlakuan ini dibela oleh pengikut madzhab Hambali sehingga terjadilah perseteruan sampai tingkatan bentrok fisik. Kejadian ini memaksa pemerintah turun untuk menyelesaikan masalah ini, keputusannya kepada seluruh wuazh (khatib) dilarang untuk berkhutbah sampai tahun 473 H. Keputusan itu ternyata tidak membuat pertikaian terhenti, pada tahun berikutnya (470 H), bentrok fisik antara dua kubu ini terjadi lagi menimbulkan korban, tercatat 20 orang meninggal dan lainnya mengalami luka-luka (Lihat; Ibnu Katsir, al-bidayah wa an-nihayah; hal. 59-65, juz. 16).
Pada tahun 475 H, para pelajar bermadzhab Syafi’i mengundang Abu al-Qasim al-Bakri al-Asy’ari untuk menyampaikan ceramah di madrasah an-Nizamiyah. Dalam ceramahnya beliau membuat pernyataan yang membuat pengikut madzhab Hambali marah besar beliau mengatakan, “ Tidaklah Sulaiman itu kafir, melainkan syaithan-syaithan itu yang kafir. Demi Allah, tidaklah Ahmad itu kafir melainkan pengikut-pengiktunya yang kafir”. Otomatis ini memicu pertikaian yang menyebabkan beberapa rumah hancur dan banyak buku-buku yang hilang (Lihat; Ibnu Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh: hal. 428, juz. 8)
Dampak Pada Ummat Islam
Dalam kitabnya “Hakadza Dhuhuru Jail Shalahuddin”, DR. Majid Irsan al-Kilani menyebutkan dampak dari periode ini. Kata beliau, memang tidak dipungkiri peran pengikut madzhab Hambali dan Asy’ari waktu itu cukup besar, namun mereka terjebak dalam sekian banyak kesalahan dalam menerapkan pola aktivitas Islam (Manhaj al ‘amal al-Islami). Bisa dikatakan bahwa inti kesalahan-kesalahan tersebut terletak pada loyalitas mereka yang lebih cenderung kepada afiliasi madzhab, bukan pada fikrah madzhab atau ummat yang menjadi pengikutnya. Ini mengakibatkan kerusakan parah pada banyak bidang.
Dibidang pemikiran karya-karya pemikiran hanya terbatas dalam ruang lingkup madzhab, tidak lebih dari kelanjutan atau pengulangan dari buah fikiran tokoh-tokoh madzhab sebelumnya. Dalam bidang pendidikan, para tokoh madzhab berusaha untuk memberi corak yang sangat signifikan terhadap kurikulum, tujuan, visi, dan pola kehidupan yang berkembang dilingkungan sekolah-sekolah tersebut, sehingga tujuan pendidikan menjadi rusak, rusaknya tujuan pendidikan berimbas pada sempitnya kurikulum yang terbatas pada perkara ibadah dan muamalat dalam cara pandang madzhab tertentu.
Dalam bidang sosial mengakibatkan perpecahan ditubuh masyarakat. Sedangkan dalam bidang politik, seharusnya tujuan dari madzhab ini adalah mengokohkan otoritas Islam, berubah menjadi upaya menegakkan otoritas dan hegemoni madzhab saja. Kondisi secara otomatis membuat masyarakat muslim waktu itu menjadi miskin konsep-konsep yang benar dan kepemimpinan yang matang. Rutinitas mereka berjalan tanpa arahan yang jelas. Standar nilai Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat lenyap dari panggung kehidupan, akibatnya nafsu syahwatpun merajalela.
Disaat kondisi kaum muslimin lemah diberbagai bidang kehidupan itulah pasukan Salib datang. Mereka berhasil menghancurkan kekuasaan Bani Saljuq di Asia kecil, dan menguasai ibukota Nicea. Serangan berlanjut sampai Syam dan memaksa dua penguasa muslim, Ridwan di Halab dan Daqqaq di Damaskus untuk membayar upeti. Serangan itu semakin agresif sehingga berhasil menguasai wilayah yang sangat luas, pada tahun 491 H/1097 M mereka berhasil menguasai Anthakiyah dan puncaknya pada tahun 492 H/1098 M pasukan Salib berhasil menguasai Baitul Maqdis (Palestina), tak terhitung banyaknya pembantaian dan kekejian mereka kepada penduduk setempat.
Demikian dampak dari fanatisme/taqlid yang berimbas buruk pada perjalanan sejarah ummat Islam. Adanya fiqih sebenarnya merupakan sebuah rahmat, perbedaan-perbedaan yang ada seharusnya disikapi dengan bijak, bukan menjadi alasan untuk bertikai. Fiqih bersifat relatif dan fleksibel, ia berubah seiring dengan berubahnya waktu, ini menunjukkan bahwa Islam mampu menjawab tantangan zaman, sebab sebuah ideologi yang tidak mampu menjawab tantangan zaman akan hilang ditelan oleh zaman itu sendiri. Wallahu a’lam bi as-Shawab.
BACA JUGA: Krisis Adab, Problem Dasar Umat Islam