Oleh: Ryan Arief Rahman
Prolog
Jumlah umur yang dapat digunakan manusia guna memperoleh kebaikan tidak mencapai dua puluh tahun dari seluruh umurnya. Jika salah seorang berumur enam puluh tahun, maka sepertiga umur digunakan untuk tidur – dihitung delapan jam tidur perhari, maka ia tidur sepertiga dari harinya- dan lima belas tahun berlalu dalam masa kanak-kanak, yakni waktu sebelum dewasa (disaat belum terkena kewajiban), sehingga sisa umurnya berkisar dua puluh lima tahun, dua tahun digunakan untuk makan tiga kali dalam sehari, membuang hajat, serta perbuatan manusiawi lainnya – memakan waktu dua jam dalam sehari- maka tersisa umurnya sepertiga dari umur yang hanya dua puluh tiga tahun, yakni waktu yang seharusnya digunakan untuk menyibukkan diri meraih kebaikan sebanyak mungkin. Sepertiga umur tersebut terkadang tidak digunakan dengan baik hingga menyebabkan manusia merugi.
Data empiris tersebut di atas mengingatkan kita untuk berusaha mengamalkan amalan yang dapat memperpanjang usia kita. Dalam makalah ini -insya Allah- akan membahas pandangan para ulama perihal memperpanjang usia dengan amalan shalih.
Makna Memperpanjang Umur
Disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik a, Rasulullah n bersabda, “Barang siapa menyukai dirinya mendapat kelapangan rizki dan umur yang panjang, hendaklah ia menyambung hubungan silaturrahim.” (Imam Al Bukhari Dalam Pembahasan Adab Bab Man Basatha Lahu Firrizki Bi Shilaturrahmi : 10/429)
Para Ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna ‘memperpanjang’ yang disebutkan dalam hadits di atas, dan akan penulis ketengahkan pendapat ulama tersebut. penulis menukil pendapat Imam an Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan al Hafidz Ibnu Hajar. Adapun pendapat mereka sebagai berikut:
Imam Nawawi berkata, maksud al Atsaru yakni ajal, karena ajal ialah suatu hal yang mengiringi kehidupan. Sedangkan bastur rizki adalah melapangkan rizki dan memperbanyak, dan disebutkan maknanya yakni ‘keberkahan’. Adapun penundaan ajal menjadi sebuah pertanyaan yang banyak diperdebatkan, karena ajal dan rizki keduanya ketentuan Allah yang tidak bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana firman Allah l “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. al ‘araf: 34)
Para ulama menjelaskan hal penundaan ajal ini dengan penjelasan yang masuk akal, diantaranya; Pertama: penambah keberkahan dalam umurnya, pemberian taufiq Allah dalam ketaatan, menjadikan waktunya termanfaatkan dengan baik (tidak terbuang) dan berlalu dengan sia-sia. Kedua: penundaan ajal yang dinisbatkan kepada pengetahuan Malaikat dan apa yang tercatat dalam Lauhil Mahfudz bahwa umurnya sampai pada enam puluh tahun, kecuali jika ia menyambung tali silaturrahim akan bertambah baginya empat puluh tahun. Dan Allah mengetahui apa yang akan terjadi bagi seorang hamba, sebagaimana firmanNya, “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. ar Ra’du:39)
Ayat ini menjelaskan bahwa pengetahuan Allah atas apa yang Ia tentukan tidak mengalami perubahan. Dan menjelaskan hal yang terjadi pada makhlukNya seperti penambahan umur berdasarkan ketentuan Allah semata. Dan inilah maksud dari hadits yang kita bahas kali ini. Ketiga: kelestarian seolah-olah tidak mengalami kematian. Ini adalah pendapat al Qadhi dan pendapat ini lemah bahkan batil adanya. Wallahu ‘alam. (Shahih Muslim Bi Syarh An Nawawi Bab Silaturrahmi Wa Tahrimu Qati’atiha : 16/114)
Imam Ibnu Taimiyah berkata, adapun maksud firman Allah “Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuz).Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” (QS. Faathir:11) Sudah ada kejelasan di dalam ayat tersebut yang berarti tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya. Maksud pemanjangan dan pengurangan umur dalam hal ini mengandung dua makna, pertama; mengenai hal yang memperpanjang umur dan hal yang memperpendek umur , maka pengurangan umur, dimana umurnya pendek jika dibandingkan umur lainnya, seperti itu pula umur panjang melebihi umur lainnya. Kedua; terkadang makna berkurangnya umur yakni berkurangnya umur dari yang telah ditentukan, sebagaimana umur bertambah dari umur yang telah ditentukan pula. Di dalam Shahihain disebutkan, Nabi n bersabda, “Barang siapa yang menyukai dririnya mendapat kelapangan rizki dan umur yang panjang, hendaklah ia menyambung hubungan silaturrahim.” Sebagian orang berpendapat dalam hadits tersebut mengenai keberkahan dalam umur ialah beramal dalam waktu yang singkat, dan amalan tersebut secara rasio dapat dikerjakan oleh seorang yang berumur panjang. Karena rizki dan ajal telah ditentukan. Dan disebutkan mengenai keberkahan, yakni bertambahnya amal serta manfaat yang diperoleh. Inipun termasuk taqdir yang ditentukan dan mencakup segala hal.
Penjelasan jawaban yang benar dalam masalah ini: Sesungguhnya Allah menentukan ajal seorang hamba dalam lembaran catatan Malaikat, jika seorang hamba tersebut menyambung silaturrahim maka akan bertambah umur yang telah ditentukan itu, dan jika ia beramal dengan suatu amalan yang dapat mengurangi umurnya, maka akan berkurang pula umur yang telah ditentukan . Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat Imam at Turmudzi dan juga selain beliau , Nabi n bersabda, “ Ketika Adam meminta kepada Allah untuk menampakkan seorang nabi dari keturunannya, kemudian Allah tampakkan untuknya sosok laki-laki yang bercahaya, Adam berkata, “Ya Rabb, siapa ini ?” Allah menjawab, “dia anakmu Daud”. Adam berkata, “berapa umurnya?” Allah menjawab, “empat puluh tahun”. Adam berkata, “berapa umurku?” Allah menjawab, “seribu tahun”. Adam berkata, “aku berikan padanya enam puluh tahun dari umurku”. Kemudian dicatatlah ketentuan tersebut dan disaksikan para Malaikat. Ketika kematian akan menjemput Adam, iapun berkata, “aku masih punya umur enam puluh tahun”. Para malaikat berkata, “sisa umur itu engkau berikan kepada anakmu Daud”, kemudian Adam mengingkarinya sehingga Malaikat mengeluarkan catatan tersebut. Nabi n bersabda, “ Adam lupa, maka lupa pula anak keturunannya, dan Adam membangkang, maka membangkang pula anak keturunannya.” (al-Hakim:2/325)
Dan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa disempurnakan umur Adam dan Daud sesuai umur keduanya. Awal Umur Daud yang ditentukan adalah empat puluh tahun, kemudian ditambah baginya enam puluh tahun.
Dan disebutkan dalam sebuah riwayat, Umar berdo’a “ Ya Allah, jika Engkau tentukan aku menjadi orang yang menderita, maka ubahlah dan tentukan aku menjadi orang yang bahagia, karena Engkau adalah Dzat yang dapat merubah dan menentukan.”
Allah swt adalah Dzat Yang Maha mengetahui sesuatu apa yang terjadi dan mengetahui sesuatu yang belum terjadi serta mengetahui pula akan kejadiannya. Dan Allah mengetahui apa yang ia tentukan dan sesuatu yang ia tambah bagi setiap hamba setelah ketentuan itu. Sedangkan Malaikat tidak mengetahui akan ketentuan Allah tersebut kecuali apa yang telah Allah sampaikan kepada mereka, dan Allah mengetahui sesuatu sebelum terjadi dan setelah terjadi.
Olah sebab itu Ulama berpendapat bahwa penghapusan dan penetapan hanya berada pada catatan Malaikat saja, sedangkan Ilmu Allah l tidak menyelisihi dan tidak nampak bagi Malaikat yang belum Allah sampaikan kepada mereka. Maka dalam Ilmu Allah sebenarnya tidak ada penghapusan dan penetapan terhadap jatah umur manusia.
Ibnu Taimiyah berkata dalam pembahasan lain, “Ada dua jenis ajal, yakni ajal yang mutlak dan hanya Allah yang tahu, dan ajal yang terikat. Pembagian inilah yang menjelaskan makna sabda Nabi n ,’Barang siapa menyukai dirinya mendapat kelapangan rizki dan umur yang panjang, hendaklah ia menyambung hubungan silaturrahim.’ Allah memerintahkan Malaikat untuk menulis ajal seorang hamba dengan berfirman, ’Jika seorang hamba menjalin hubungan silaturrahim maka tambahlah umurnya’. Sedangkan Malaikat sama sekali tidak tahu pertambahannya dan apa saja yang akan terjadi pada seorang hamba, semuanya ada pada pengetahuan Allah saja. Jika ketetapan Allah tersebut memang berlaku baginya, maka tidak dapat diakhirkan dan dipercepat.
Ibnu Hajar berkata, Ibnu Attin mengutarakan secara dhahir makna hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS.al ‘Araf: 7/34)
Adapun jawaban untuk mengkomparasikan antara hadits dan ayat tersebut ditinjau dari dua segi berikut ini;
Pertama: penambahan umur ini sebagai arti dari keberkahan umur yang digunakannya dalam ketaatan, dan perpanjangan waktu hidupnya dikerjakan demi mendapat manfaat di negri akhirat, dan memelihara waktunya dari perbuatan yang sia-sia. Sebagai contoh hal ini telah disebutkan Nabi, beliau memberitakan bahwa umur umatnya jika dibandingkan dengan umur umat-umat sebelumnya sangatlah pendek, sehingga Allah memberikan keutamaan malam Lailatul Qadar, juga keutamaan pada silaturrahim sebagai jalan mendapatkan taufiq untuk berbuat ta’at dan terpelihara dari kemaksiatan. Dan termasuk dari taufiq yang Allah berikan adalah ilmu yang bermanfaat bagi orang sepeninggalnya, shadaqah jariyah dan anak keturunan yang shalih.
Kedua: penambahan umur secara hakiki. Sedangkan makna yang terkandung pada ayat bahwa ajal tidak dapat diundur dan dimajukan, dinisbatkan pada pengetahuan Allah l. Allah menentukan umur seseorang menjadi seratus tahun contohnya jika ia menjalin silaturrahim, dan menentukan enam puluh tahun jika memutusnya. Dan Allah Maha Mengetahui apakah seseorang menyambung silaturrahim atau memutusnya. Maka pengetahuan Allah tentang umur seseorang tidak dapat dimajukan dan diakhirkan meskipun hanya sedetik. Sedangkan pengetahuan umur yang diketahui Malaikat bisa bertambah dan berkurang. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah l “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh). QS. ar Ra’du:13/39)
Maka penghapusan dan penetapan hanya terjadi pada pengetahuan Malaikat, sedangkan pengetahuan Allah l tidak ada penghapusan sedikitpun. Hal ini disebut dengan ketentuan Allah yang diputuskan ( Qadha Mubram ) sedangkan pengetahuan Malaikat disebut dengan ketentuan yang bersifat sementara (Qadha Mu’allaq).
Qadha Mubram lebih tepat digunakan untuk menjelaskan hadits panjang umur tersebut, karena umur mengiringi keadaan suatu hal, jika diakhirkan maka mengandung hal yang baik. At-Thayyibi berkata, “Lebih tepat untuk memaknai maksud hadits tersebut adalah Qadha mubram”.
Diantara ulama yang menjelaskan pembahasan ini adalah Syaikh Nashiruddin Al-bany dan Syaikh Muhammad al-Utsaimin, berikut nukilan penjelasannya;
Al ‘Allamah Nashiruddin Albani dalam menjelaskan hadits Nabi n “Barang siapa menyukai dirinya mendapat kelapangan rizki dan umur yang panjang, hendaklah ia menyambung hubungan silaturrahim.” beliau berkata, “maksud hadits tersebut berdasarkan dzahirnya Allah menentukan dalam kebijaksanaanNya bahwa dengan menjalin silaturrahim menjadi sebab syar’i yang dapat memperpanjang umur, begitupun akhlak yang baik seperti akhlak kepada tetangga yang banyak disebutkan dalam hadits shahih, dan hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan bahwa ajal ialah suatu hal yang telah ditentukan Allah, karena ketentuan ajal ditinjau dari segi penutup kehidupan baik bahagia atau binasa. Kedua keadaan tersebut telah ditentukan bagi setiap manusia, dan ketentuan Allah pula kebahagiaan dan kebinasaan itu tergantung dari jalan yang ia tempuh, sebagaimana sabda Nabi n, “Beramallah kalian, karena sesuatu mudah sesuai dengan ketentuanNya, jika seseorang ditentukan menjadi orang yang bahagia, maka ia akan dimudahkan untuk berbuat amalan yang dilakukan orang yang bahagia, dan siapa yang tercatat menjadi orang yang binasa, maka ia akan dimudahkan untuk mengerjakan perbuatan orang yang binasa.” Kemudian Nabi membaca firman Allah, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (QS. 92:5-10)
Hal ini sebagaimana iman yang bartambah dan berkurang, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan perbuatan maksiat, perubahan tersebut tidak menyelisihi apa yang telah tercatat dalam Lauh Mahfudz. Begitu pula dengan umur bisa bertambah dan berkurang tergantung sebab yang melatar belakanginya, dan hal ini tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan dalam Lauh mahfudz. Maka perhatikanlah masalah ini, karena hal ini penting menyelesaikan permasalahan yang beragam. Oleh sebab itu disebutkan dalam banyak hadits shahih dan atsar mauquf menjelaskan do’a agar dipanjangkan umur.
Sedangkan Syaikh Muhammad al Utsaimin berkata, “Hadits tersebut tidak menjelaskan bahwa manusia mempunyai dua umur; umur jika menyambung silaturrahim dan umur jika memutus silaturrahim. Akan tetapi umur manusia hanya satu, yakni umur yang telah ditentukan Allah. Manusia yang telah Allah tentukan dapat menjalin silaturrahim niscaya manusia itu akan menjalin silaturrahim, sedangkan orang yang telah Allah tentukan memutus tali silaturrahim niscaya ia akan memutus tali silaturrahim. Rasulullah n ingin menganjurkan umatnya mengerjakan amalan baik, sebagaimana anda mengatakan kepada orang yang ingin mempunyai anak untuk segera menikah, dan pernikahan telah ditentukan, begitu pula anak. Jika Allah menghendaki anda mempunyai anak, maka Allah menghendaki anda menikah, meskipun sebenarnya pernikahan dan anak dua hal yang telah ditentukan Allah. Begitu pula dengan urusan rizki dan menjalin tali silaturrahim dua hal yang telah ditentukan, namun anda tidak mengetahui hal ini. Maka dari sinilah Nabi n menganjurkan dan menjelaskan jika anda menjalin silaturrahim niscaya Allah melapangkan rizki dan memanjangkan umur anda, meskipun kedua hal tersebut Allah tentukan untuk anda. Ketika menjalin silaturrahim menjadi amalan yang harus dilaksanakan manusia, maka Nabi n menganjurkan hal tersebut dengan menjelaskan jika manusia ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah menjalin silaturrahim, meskipun sebenarnya menjalin silaturrahim perbuatan yang telah ditentukan Allah l. Kemudian yang harus diketahui pula bahwa perpanjangan umur dan pelapangan rizki suatu hal yang nisbi ( yang relatif berdasar kehendak Allah ). Dan kita pun menemukan sebagian orang yang menjalin silaturrahim mendapatkan kelapangan rizki akan tetapi umurnya tetap saja pendek, maka kita katakan jika orang yang menjalin silaturrahim saja umurnya masih pendek terlebih orang yang tidak menjalin silaturrahim umurnya akan semakin pendek. Hanya Allah yang metentukan seseorang akan menjalin silaturrahim dan umurnya akan berakhir dalam batas ketentuannya.
Dari penjelasan Ulama di atas, maka kita dapatkan makna perpanjangan umur dalam hadits tersebut berkisar antara tiga makna berikut:
Pertama: keberkahan pada umur,
Kedua: perpanjangan umur secara hakiki,
Ketiga: reputasi baik yang dikenang setelah kematiannya.
Penulis tidak menemukan seorang ulama pun yang menerangkan makna perpanjangan tersebut dengan makna yang ketiga di atas, jarang sekali ulama yang mengulasnya. Imam an Nawawi menukil makna tersebut dari al Qadhi al Iyadh namun beliau melemahkannya. Imam Ibnu Hajar menukilnya dari Ibnu Attin, kemudian at Thayyibi membenarkannya. Namun tak ada salahnya jika makna tersebut dijadikan salah satu makna dari perpanjangan umur yang dimaksud dalam hadits. Dan keutamaan Allah hanya didapatkan oleh orang-orang yang dikehendaki Allah, dan Ia adalah Dzat Yang Maha memiliki keutamaan yang agung. Sedangkan makna pertama dan kedua benar sesuai dengan maksud hadits. Karena hadits-hadits perihal berlipatnya pahala amal termaktub dalam hadist.
Kesimpulan yang harus kita ambil dari perbedaan makna memperpanjang umur dalam hadits tersebut baik secara hakiki atau kiasan, hendaknya tujuan memperpanjang umur demi menginvestasikan waktu agar dapat meraih kebaikan sebanyak mungkin. Sedangkan siapa saja yang umurnya panjang namun amalnya jelek adalah sejelek-jeleknya manusia.
Doktor Yusuf al Qardhawi mengatakan sebenarnya umur manusia yang hakiki bukanlah jumlah tahun yang ia lalui dari hari kelahiran hingga wafatnya, akan tetapi umur yang sebenarnya ialah apa yang tercatat dalam timbangan amal di sisi Allah dari amal shalih yang dilakukannya yang penuh dengan kebaikan. Dan tidak mengherankan jika kita dapati manusia berumur lebih dari seratus akan tetapi tidak diimbangi dengan ketaqwaan kepada Allah dan memberi manfaat kepada sesama, maka (umur yang ia lalui) tidak bernilai sama sekali bahkan berakibat lebih buruk dari lagi, Namun ada sebagian orang meninggal di waktu sangat muda tapi timbangan amalnya penuh dengan kebaikan.
Seorang ulama berkata, “Berapa banyak umur yang panjang masanya namun sedikit muatan amalnya, dan berapa banyak umur yang pendek masanya namun banyak muatan amalnya. Barang siapa yang diberikan keberkahan umur, ia akan mendapatkan karunia Allah dalam waktu yang relatif singkat”.
Referensi
Kaifa Tuthilu Umruka Al Intaji, Dr. Muhamad Bin Ibrahim An –Nu’aim
Al Majmu’ Al Utsaimin Min Fatawa Fadilatus Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin
Shahih Al Adab Al Mufrad Lil Imam Bukhari, Karangan Nashiruddin Albany
Fathul Bary Kitab Al Adab Bab Man Basatha Lahu Fir Rizqi Bi Silaturrahmi
sumber: Majalah YDSUI
Padahal pada ayat yang lain, cukup jelas Allah berfirman :
Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. (Fathir:011)
Dan barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan? (Yassiin:068)
Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah:096)
niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui”. (QS 71:4)
Telah pasti datangnya ketetapan Allah maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang) nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan. (QS 16:1)
Sungguh saat ini sudah menjadi suatu fenomena yang sudah dianggap biasa, dari anak-anak sampai orang dewasa ketika perayaan hari ulang tahun diiringi dengan nyanyian Panjang Umur.
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (Al-Baqarah : 120)