Prolog
Allah swt memuliakan ummat terdahulu sebelum ummat ini dengan memberikan umur yang panjang dan kekuatan untuk beribadah, ada di antara mereka yang mencapai usia 1000 tahun bahkan ada yang lebih, ada yang belum mencapai usia baligh (cukup umur) hingga usia 80 tahun, ada seorang yang meninggal di usia sekitar 200-an tahun, maka serentak banyak makhluk yang merasa simpati terhadapnya, karena ia telah meninggal dalam usia yang muda. Juga diriwayatkan bahwa nabi Ibrahim berkhitan ketika usia beliau mencapai 80 tahun, nabi Nuh ‘alaihissalam yang berusia lebih dari 1000 tahun, Luqman bin Ka’ab 400 tahun, ‘Abdul masih bin Baqlah Al-Ghasani lebih dari 350 tahun, dan Ash-habul Kahfi yang hidup di dalam gua selama 309 tahun.
Sedangkan usia ummat ini relative singkat jika dibandingkan dengan usia ummat terdahulu di atas, hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadist riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “umur ummatku berkisar antara 60 hingga 70 tahun, dan sangat sedikit di antara mereka yang mencapai usia itu.” ( H.R. Turmudzi, Al Bani menshahihkannya dalam shahih al jami’ no: 1073)
Namun demikian, sebagai ganti dari karunia yang luput dari ummat ini -yaitu umur yang panjang- Allah memberikan karunia lain yaitu berupa pahala yang berlipat ganda dan amalan yang dapat memperpanjang umur, sehingga dengan karunia ini Allah menjadikan ummat Muhammad saw sebagai penghuni jannah. Di antara amalan yang dapat memperpanjang umur dan mengandung pahala yang berlipat adalah silaturrahim, akhlak yang terpuji, berbuat baik kepada tetangga, sholat di masjid al haram dan masjid nabawi, sholat berjama’ah di masjid, sholat sunnah di rumah, sholat dhuhā, jihād fī sabīlillah dan yang lainnya.
Setelah kita merasa lega dengan karunia yang Allah limpahkan untuk ummat ini sebagaimana dijelaskan diatas, namun hati kita sepontan tersentak ketika kita memikirkan firman Allah “dan sekali kali tidak dipanjangkan umur seseorang..” (Q.S. Fathir:11) Lantas, akhirnya kita bertanya tanya dalam benak kita; bagaimana memadukan antara dua hal yang kontradiktif di atas? Dan Bagaimanakah makna panjang umur menurut para ulama? Insya Allah makalah ini akan menjelaskan dan menguraikannya…
Makna Panjang Umur Menurut Ulama
Disebutkan dalam hadits riwayat Anas Bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda, “barang siapa yang menyukai dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan silaturrahim.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna potongan kalimat ‘dipanjangkan umurnya’ yang disebutkan dalam hadits di atas. Dalam hal ini akan penulis ketengahkan pendapat Imam An Nawawī, Syaikhul Islām Ibn Taimiyah, dan Al Hāfidz Ibn Hajar.
Menurut Imam An Nawawī
Dalam buku shahīh muslim bi syarh an nawawī beliau berkata, “maksud umur adalah ajal, karena ajal ialah suatu yang mengiringi kehidupan. Sedangkan maksud dilapangkan rezekinya bermakna dilapangkan dan diperbanyak rezekinya.” Lebih lanjut beliau menjelaskan pendapat ulama tentang maksud dipanjangkan umurnya, bahwa yang dimaksud adalah pertama; bertambahnya keberkahan umur yakni dengan dimudahkan dalam mengerjakan ketaatan, menjadikan waktunya termanfaatkan dengan baik dan tidak terbuang sia sia. Kedua; penundaan ajal yang dimaksud adalah penundaan yang dinisbatkan kepada pengetahun malaikat dan apa yang tercatat dalam lauh al mahfūdz. Ketiga; maksud ditunda ajalnya dalam hadits di atas adalah seseorang akan selalu dikenang oleh orang-orang seolah-olah dia tidak mengalami kematian. Ini adalah pendapat yang lemah.
Menurut Ibn Taimiyah
Dalam majmù fatāwā beliau berkata, maksud pemanjangan dan pengurangan umur mengandung dua makna, pertama; bahwa seorang akan berumur panjang, sedangkan seorang yang lain akan berumur pendek. Sehingga pengurangan umur itu bermakna umurnya pendek jika dibandingkan dengan umur orang yang lebih panjang. Kedua; berkurangnya umur juga bermakna berkurangnya umur dari yang telah ditentukan Allah, sebagaimana umur juga bisa bertambah dari umur yang telah ditentukan, pendapati ini berdasarkan tekstual hadits di atas. Ada juga pendapat lain, bahwa maksud dipanjangkan umur dalam hadist tersebut adalah bertambah dalam arti keberkahan, yaitu bertambahnya amal serta manfaat. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa Allah telah menentukan ajal setiap manusia dalam lembaran catatan malaikat, jika seseorang menyambung silaturrahim maka umur yang telah tercatat itu akan bertambah. Sebaliknya, jika ia beramal amalan yang dapat mengurangi umurnya, maka berkurang pula umur yang telah ditentukan.
Ibn Taimiyah mengukuhkan pendapatnya dengan hadits riwayat turmudzi bahwa Nabi saw bersabda, “ ketika adam meminta kepada Allah untuk menampakkan seorang nabi dari keturunannya, kemudian Allah tampakkan untuknya sosok laki-laki yang bercahaya, Adam berkata, “ya Rabb, siapa ini?” Allah menjawab, “dia anakmu, Dawud.” Adam bertanya,” berapa umurnya?” Allah menjawab,”40 tahun.” Adam bertanya lagi, “berapa umurku?” Allah menjawab,”1.000 tahun.” selanjutnya adampun berkata, “aku berikan 60 tahun dari jatah umurku padanya.” Kemudian dicatatlah ketentuan tersebut dan disaksikan oleh para malaikat. Ketika kematian akan menjemput adam, ia pun berkata,”aku masih punya jatah umur 60 tahun.” Para malaikat berkata,”sisa umur itu telah engkau berikan kepada anakmu, dawud.” Kemudian adam mengingkarinya sehingga malaikat mengeluarkan catatan tersebut. Nabi saw bersabda, “adam lupa, maka lupa pula anak keturunannya, dan adam membangkang, maka membangkang pula anak keturunannya.” (H.R. Turmudzi dan Al Bani menshahihkannya dalam shahīh al jāmì, no: 5209)
Menurut Ibn Hajar
Beliau berkata, “Ibn At Tīn mengutarakan bahwa secara tekstual, hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.)” (al a’raf: 34) adapun jawaban untuk menggabungkan antara hadits dan ayat tersebut ditinjau dari dua segi berikut ini: pertama; penambahan umur ini sebagai arti kiasan dari keberkahan umur. Sebagai contoh, umur umat Muhammad saw jika dibandingkan dengan umur ummat ummat sebelumnya sangat pendek, sehingga Allah memberikan keutamaan malam lailatul qadar yang setara dengan 83 tahun 4bulan melakukan ibadah dan ketaatan. Kedua; penambahan umur secara hakiki (bertambahnya bilangan umur). Bertambahnya umur yang dimaksud adalah dinisbatkan kepada pengetahuan dan catatan malaikat. Adapun maksud surat al áraf: 34 adalah bahwa ajal tidak dapat diundur dan dimajukan itu dinisbatkan pada pengetahuan Allah swt. Misalnya, Allah menetapkan umur arief adalah 100 tahun jika menjalin silaturrahim, dan 70 tahun jika tidak menjalin silaturrahim. Ketetapan umur arief yang telah Allah tentukan ini tidak akan bisa dimajukan atau dimundurkan. Sedangkan pengetahuan umur yang diketahui malaikat itulah yang bisa bertambah dan berkurang. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah swt, ” Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfūzh).” (QS. Ar Rád:39)
Jadi menurut Ibn Hajar, penghapusan dan penetapan hanya terjadi pada pengetahuan malaikat. Sedangkan umur yang dalam pengetahuan Allah swt tidak ada perubahan sedikitpun. Hal ini dalam terminologi aqīdah disebut Al Qadhā Al Mubrām ( ketentuan Allah yang diputuskan), sedangkan pengetahuan malaikat disebut dengan Al Qadhā Al Muállaq ( ketentuan yang bersifat sementara).
Di antara ulama kontemporer yang pernah menulis pembahasan ini adalah Syaikh Nashīruddin Al Bāni dan Syaikh Muhammad Al Utsaimin. Berikut ini akan penulis paparkan pandangan dan argumentasi mereka secara ringkas guna melengkapi kajian syarĭ dalam pembahasan ini.
Menurut Syaikh Nashiruddin Al Bānī
Dalam menjelaskan hadist tentang perpanjangan umur, beliau berkata,” maksud hadits tersebut berdasarkan dzahirnya, Allah menentukan dalam kebijaksanaanNya bahwa menjalin silaturrahim menjadi sebab syarì untuk dapat memperpanjang umur. Hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan ajal yang telah ditentukan Allah. Karena silaturrahim yang menjadi sebab bertambahnya umur itu serupa dengan ketaatan yang dapat menambah kualitas iman. Perubahan tersebut tidak menyelesihi apa yang telah tercatat dalam lauh al mahfūzh, umur bisa bertambah dan berkurang sebagaimana iman tergantung pada sebab yang melatarbelakanginya.
Menurut Syaikh Muhammad Al Utsaimin
Dalam menjelaskan hadist tersebut, beliau berkata, hadits itu tidak menjelaskan bahwa manusia mempunyai dua umur; umur jika menyambung silaturrahim dan umur jika memutus silaturahim. Tetapi umur manusia hanya satu, yaitu umur yang telah Allah tentukan. Manusia yang telah Allah tentukan dapat menjalin silaturrahim niscaya manusia itu mampu melakukannya, sedangkan orang yang telah Allah tentukan memutus silaturrahim niscaya ia akan memutuskannya. Rasulullah ingin menganjurkan ummatnya mengerjakan amal baik, sebagaimana kita mengatakan kepada seseorang ‘siapa yang ingin mempunyai anak hendaklah ia menikah.’ Pernikahan itu sendiri telah ditentukan Allah, begitu pula anak. Jika Allah menghendaki kita mempunyai anak, maka Allah menghendaki agar kita menikah, meskipun sebenarnya pernikahan dan mempunyai anak adalah dua hal yang telah ditentukan Allah. Hanya Allah sajalah yang telah menentukan kita mampu menjalin silaturrahim dan hanya Dia-lah yang mengetahui batas usia kita.
Closing Speech
Dari pendapat dan argumentasi para ulama di atas, maka kita bisa memahami bahwa makna perpanjangan umur dalam hadist tersebut berkisar antara tiga makna yaitu: Pertama; keberkahan umur, Kedua; perpanjangan umur secara hakiki, Ketiga; kepemilikan reputasi baik yang dikenang oleh manusia setelah kematiannya.
Penulis tidak menemukan seorang ulama pun yang menerangkan makna ketiga, atau membahasnya dalam pembahasan yang spesifik, kecuali Imam An Nawawi yang menukil makna tersebut dari Al Qadhī Iyādh, namun beliau sendiri melemahkannya, dan Imam Ibn Hajar menukilnya dari Ibn At Tīn, kemudian At Tibi membenarkannya.
Sedangkan makna pertama dan kedua adalah benar sesuai dengan maksud hadits. Karena banyak hadits yang menerangkan perihal berlipatnya pahala amal dan amalan yang dapat memperpanjang usia.
Kesimpulan yang harus kita ambil dari makna pertama yang bersifat kiasan dan makna kedua bersifat hakiki itu adalah hendaklah tujuan memperpanjang umur untuk menginvestasikan setiap waktu dalam rangka ketaatan dan ketaqwaan. Karena Orang yang panjang umurnya namun jelek amalnya pada hakekatnya adalah sejelek jelek manusia, sebagaimana sabda nabi saw yang diriwayatkan Abu Bakrah bahwa seorang laki laki bertanya kepada nabi saw, “wahai Rasul, manusia yang bagaimanakah yang paling baik? Rasulullah saw bersabda, “orang yang panjang umurnya dan baik amalnya.” Kemudian orang itu bertanya lagi,’ wahai Rasul, manusia yang bagaimanakah yang paling jelek? Rasulullah saw bersabda,” orang yang panjang umurnya namun buruk amalnya.” (H.R. Ahmad dan Al Bānī menshahihkannya dalam shahīh al jāmì, no: 3297)
Sebagai penutup, Dr. Yusuf Al Qardhawī mengatakan, “sebenarnya umur manusia yang hakiki bukanlah jumlah tahun yang dilalui dari kelahiran hingga wafat, akan tetapi umur yang sebenarnya ialah apa yang tercatat dalam timbangan amal di sisi Allah berupa amal shalih dan kebajikan. Seorang ahli hikmah berkata, ‘berapa banyak umur yang panjang masanya namun sedikit muatan amalnya, dan berapa banyak umur yang pendek masanya namun banyak muatan amalnya. Orang yang diberikan keberkahan umur, ia akan mendapatkan karunia Allah dalam waktu yang relative singkat, yaitu suatu karunia yang tidak bisa diungkapkan dengan untaian kata dan sya’ir.’ Semoga kita diberikan limpahan karunia itu. Amin..
Reference:
1. Dr. Muhamad Bin Ibrahim An Nu’aim, Kaifa Tuthil Umraka Al Intaji (Diman: Maktabah Al Malik Fahad Al Wathaniyah, 1422) Cet 3.
2. Imam An Nawawi, Shohih Muslim Bi Syarh An Nawawi (Bairut: Dar Al Qalam, 1407) Cet 1
3. Muhammad Nashirudin Al Bani, Shohih Al Jami’ As Shogir (T.Tp: Al Maktab Al Islami,1406) Cet 2
4. Fahad As Sulaiman, Al Majmu Ats Tsamin Min Fatawa Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin ( Riyadh: Dar Al Wathan, 1411) Cet 1
5. Jalaludin Al Syuyuthi, Ifadah Al Khobar Bi Nashihi Fi Ziyadah Al Umr Wa Naqsihi (Jeddah: Maktabah Dar Al Wafa,1407) Cet 1
6. Muhammad Nashiruddin Al Bani, Shohih Al Adabal Mufrad Li Al Imam Al Bukhori (Urdun: Dar Ashshidiq,1414)
7. Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al Asqalani, Shahih Al Bukhari Bi Syarhi Fathu Al Bary (Qahirah: Dar Ar Rayyan Li At Turats, 1407) Cet 1
8. Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Al Waqtu Fi Hayah Al Muslim (Bairut: Mu’assasah Ar Risalah, 1405) Cet3