(Hikmah Disyari’atkannya Udhhiyah)
Oleh: Tengku Azhar, Lc.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالبُدْنَ جَعَلْنها لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِاللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْر فَاذْكُرُوْا اسْم اللهِ عَلَيْهَا صَوَافّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ لَن يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلاَدِمَآؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah Ta’ala, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah Ta’ala ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati) maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepadamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridho’an) Allah Ta’ala, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Ta’ala telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah Ta’ala terhadap hidayahNya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Hajj : 36-37)
Tafsir Ayat
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menafsir kalimat ‘al-qaani’ wal mu’tarra’ (orang yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta). Shahabat Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Al-Qaani’ adalah orang-orang yang rela dengan apa yang telah diberikan kepadanya, sedangkan ia berada di dalam rumahnya (tidak keluar untuk meminta-minta daging udhhiyah), adapun ‘al-mu’tarra’ adalah orang yang datang kepadamu dan memohon kepadamu agar kamu memberikan udhhiyah kepadanya, tetapi dia tidak meminta-minta.”
Dalam riwayat yang lain beliau –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Al-Qaani’ adalah orang yang menjaga dirinya (dari meminta-minta), dan al-mu’tarra adalah orang yang meminta-minta.”
Shahabat Malik bin Anas –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Al-Qaani’ adalah yang tidak meminta-minta dan meminta-minta, adapun al-mu’tarra yang memohon belas kasihan kepadamu.”
Shahabat Sa’id bin Jabir –radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Al-Qaani’ adalah yang meminta-minta.”
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari memilih pendapat yang mengatakan bahwa ‘al-qaani’ adalah yang orang yang meminta-minta, dan al-mu’tarra adalah orang yang terbuka (menerima) untuk memakan daging.”
Kemudian imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata, “Ayat ini dijadikan hujjah oleh para ulama bahwa daging udhhiyah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: sepertiga untuk pemiliknya (orang yang berudhhiyah), sepertiganya lagi dihadiahkan untuk teman-teman dan kerabatnya, dan sepertiganya lagi disedekahkan untuk orang-orang fakir.”
Udhhiyah adalah sarana syukur atas nikmat-nikmat Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Imam Ibnu Katsir mengatakan :
“Sebagaimana Kami telah memberimu kebaikan (nikmat) yang banyak di dunia dan akhirat, termasuk sungai di surga yang telah disebutkan, maka ikhlaskanlah seluruh sholat wajib dan sunnahmu serta sembelihanmu untuk Rabbmu semata. Maka beribadahlah kepada-Nya semata, janganlah engkau sekutukan dan sembelihlah binatang dengan menyebut nama-Nya saja.” [Tafsir Ibnu Katsir 4/509].
Allah Ta’ala mencatat dan mengabadikan sejarah nabi-Nya Ibrahim ‘Alaihi Salam, beserta putranya Nabi Ismail dan istrinya Hajar, dikarenakan perwujudan syukur mereka yang tulus dan benar kepada Allah Ta’ala.
Nabi Ibrahim menyadari betul bahwa anak dan istri adalah amanah titipan Allah Ta’ala. Ketika Allah Ta’ala memerintahkan beliau untuk meninggalkan istrinya Hajar dan putranya yang masih bayi, Ismail, di padang tandus tanpa tumbuhan, penduduk dan air di Makkah, semuanya beliau kerjakan dengan penuh ikhlas dan tawakal. Perpisahan dengan anak dan istri selama belasan tahun dan kecintaan kepada putranya juga tidak menghalanginya untuk melaksanakan perintah Allah Ta’ala menyembelih Ismail.
Hajar, seorang ibu muslimah yang lemah dan penyayang. Ketika harus berpisah dengan suami, mendidik putranya sendirian, tak pernah mengeluh dan berputus asa. Bahkan ketika Allah Ta’ala memerintahkan suaminya untuk menyembelih putranya. Ia pun merelakan dengan penuh tawakal.
Ismail seorang putra yang sholih dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Tak pernah ia menghujat ayahnya yang tak memberikan kasih sayangnya sejak kecil. Ketika ayahnya meminta pendapatnya tentang perintah Allah Ta’ala untuk menyembelih dirinya, ia pun dengan mantap meyakinkan tekad ayahnya untuk melaksanakan perintah Allah Ta’ala.
Sungguh ini merupakan gambaran sebuah keluarga yang memahami betul makna syukur kepada Allah Ta’ala. Di balik kasih sayang ayah-ibu dan anak, terkandung keyakinan penuh bahwa semua yang ada adalah nikmat Allah Ta’ala semata. Nikmat yang harus disyukuri, dan wujud dari syukur itu adalah melaksanakan perintah Allah Ta’ala Yang Maha Mengaruniakan nikmat tersebut.
Manusia sering lupa daratan dengan nikmat yang Allah Ta’ala karuniakan kepadanya. Sering kali, nikmat membuatnya lupa menunaikan hak Allah Ta’ala dan hak saudara-saudara di sekitarnya. Maka Allah Ta’ala mensyariatkan penyembelihan hewan ternak kepada umat Islam dan umat-umat sebelum kita, supaya manusia mengingat dan menghayati kisah syukur keluarga Ibrahim :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَى مَارَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Ilahmu ialah Ilah Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya.” [QS. Al Hajj ;34].
Imam Ath Thabary menafsirkan firman Allah Ta’ala :
فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا
“ Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). ”
“ Kepada Ilah kalian, tunduklah kalian dengan mentaati-Nya dan hinakanlah diri kalian di hadapan-Nya dengan beribadah.” [Tafsir Ath Thabari 10/191].
Jadi, wujud syukur kita kepada Allah Ta’ala adalah ketundukan dan kepatuhan kita terhadap perintah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, orang yang taat kepada Allah ta’ala berarti bersyukur kepada Allah. Yaitu :
وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَى مَآأَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلاَةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“ Orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka”.
وَالبُدْنَ جَعَلْنها لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِاللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْر فَاذْكُرُوْا اسْم اللهِ عَلَيْهَا صَوَافّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ لَن يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلاَدِمَآؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah Ta’ala, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah Ta’ala ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati) maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepadamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridho’an) Allah Ta’ala, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Ta’ala telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah Ta’ala terhadap hidayahNya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Hajj : 36-37
Wallahu A’lamu bish Shawab.