Fadhilah dan Amaliah Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
Oleh Syamil Robbani (Staf Pengajar Ma’had Aly An-Nuur)
MUQADIMAH
Sesungguhnya Allah telah mengutamakan sebagian Nabi atas nabi yang lain, mengutamakan sebagian malaikat atas sebagian lain, mengutamakan sebagian bulan atas bulan-bulan lain, dan mengutamakan beberapa hari atas hari-hari yang lainnya.
Di antara waktu yang Allah utamakan dan muliakan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Maka hendaknya seorang muslim mengetahui fadhilah (keutamaan) bulan ini serta amaliah yang dianjurkan untuk dikerjakan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.
Oleh karena itu kami berusaha menghadirkan makalah singkat yang membahas fadhilah dan amaliah seorang muslim pada bulan Dzulhijjah dalam usaha untuk memaksimalkan, mengisi, dan memanfaatkan hari-hari mulia tersebut dengan berbagai amalan shalih.
PENAMAAN DZULHIJJAH
Adapun dinamakan dengan bulan Dzulhijjah disebabkan karena pada bulan mulia itu orang-orang dari segala penjuru dunia datang ke Makkah untuk melaksanakan haji.
Sebagaimana keterangan dari As-Sakhawi yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya “Tafsîr Al-Qur’ân Al-Adzîm” bahwa penamaan bulan Dzulhijjah dikarenakan ibadah agung haji ditunaikan pada bulan tersebut. Sehingga pada bulan itu orang-orang berkumpul untuk menunaikan ibadah haji. (Tafsîr Al-Qur’ân Al-Adzîm, Ibnu Katsir, 4/147)
FADHILAH SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Pertama, bulan Dzulhijjah termasuk bulan Haram.
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya. Hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga darinya berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab yang biasa diagungkan Bani Mudhar yaitu antara Jumadilakhir dan Sya’ban.” (HR. Bukhari)
Bulan-bulan haram adalah waktu yang mulia dan utama, bulan yang agung di sisi-Nya, Allah mengistimewakan bulan tersebut di antara yang lain. Dia memerintahkan hamba-Nya untuk mengagungkan sekaligus mengharamkan di dalamnya untuk perbuatan zalim, maksiat, serta menerjang batasan-batasan Allah.
Imam Qatadah menjelaskan bahwa kezaliman yang dilakukan pada bulan haram merupakan kezaliman yang paling besar, walaupun pada dasarnya kezaliman adalah sesuatu yang dosa juga. Sebab seseorang tersebut telah menodai keagungan bulan-bulan haram. (Jâmi Al-Bayân, Ath-Thabari, 14/239)
Kedua, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari yang utama.
Allah Ta’ala bersumpah dengan hari-hari mulia dalam firman surat Al-Fajr
وَٱلۡفَجۡرِ ١ وَلَيَالٍ عَشۡرٖ
“Demi Fajar, Demi malam yang sepuluh.” (QS. Al-Fajr: 1-2)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan malam yang sepuluh adalah sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah. Sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Mujahid. (Tafsîr Al-Qur’ân Al-Adzîm, Ibnu Katsir, 8/390)
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu
أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا أَيَّامُ الْعَشْرِ
“Hari-hari yang paling utama di dunia adalah sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijjah).” (Shahih Al-Jami’,1/253/1133)
Ketiga, amalan pada waktu tersebut menjadi amal yang paling dicintai Allah.
Sebagaimana hadits dari Rasulullah ﷺ
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidak ada hari-hari untuk berbuat amal shalih yang lebih Allah cintai kecuali sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, sekalipun jihad fi sabilillah?”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sekalipun jihad fi sabilillah, kecuali seorang lelaki yang pergi berjihad dengan harta dan jiwanya lalu tidak kembali sedikit pun dari keduanya.” (HR. Tirmidzi)
Abdurrahman Al-Mubarakfuri dalam syarah hadits ini menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai sepuluh hari tersebut, sebagain mengatakan sepuluh hari yang dimaksud adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan lainnya berpendapat sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Jika memperhatikan pendapat tersebut maka diketahui bahwa alasan kenapa dinyatakan bahwa sepuluh hari terakhir Ramadhan itu lebih utama adalah karena shiyam dan lailatul qadar.
Adapun pendapat yang menyebutkan sepuluh hari Dzulhijjah lebih utama adalah karena terdapat hari Arafah di dalamnya dan hari Arafah adalah hari paling utama dalam satu tahun, dan lailatul qadar adalah malam terbaik dalam setahun.
Kemudian pendapat yang kuat menurut Al-Mubarakfuri adalah sepuluh hari Dzulhijjah lebih utama karena secara redaksi hadits tersebut berbunyi “tidak ada hari-hari.” bukan dengan lafadz “tidak ada malam-malam.” (Tuhfatul Ahwadzi, Al-Mubarakfuri, 3/386)
Maka dalam kitab “Fadhlul ‘Asyar wal Udhiyyah” memberikan rangkuman bahwa bulan yang paling mulia dalam setahun adalah bulan Ramadhan, sepuluh malam paling mulia adalah sepuluh malam hari terakhir Ramadhan dan malam paling mulia adalah malam lailatul qadar.
Adapun hari-hari yang paling mulia adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, hari yang paling mulia dalam satu tahun adalah hari Arafah, dan hari yang paling mulia dalam satu pekan adalah hari Jum’at. Waktu paling mulia adalah waktu sahur, sebagaimana negeri yang paling utama adalah Makkah Mukarramah, dan masjid yang paling utama adalah Masjidil Haram. (Fadhlul ‘Asyar wal Udhiyyah, Khalid Al-Bahr, 15)
Keempat, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari berkumpulnya ibadah-ibadah mulia.
Fadhilah Dzulhijjah yang selanjutnya adalah sebagaimana keterangan dari Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya “Fathul-Bari” yang menuturkan
أَنَّ السَّبَبَ فِي امْتِيَازِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ لِمَكَانِ اجْتِمَاعِ أُمَّهَاتِ الْعِبَادَةِ فِيهِ وَهِيَ الصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالصَّدَقَةُ وَالْحَجُّ وَلَا يَتَأَتَّى ذَلِكَ فِي غَيْرِهِ
“Di antara sebab keistimewaan sepuluh hari Dzulhijjah adalah karena pada hari mulia tersebut berkumpul induk-induk ibadah yang tidak ada pada hari lainnya, mulai dari shalat, puasa, sedekah, dan haji.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 2/460)
Kelima, pahala dilipatgandakan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Keutamaan atau fadhilah bulan Dzulhijjah yang lain adalah pahala amal shalih akan dilipat gandakan dari pada bulan-bulan selainnya.
Sebagaimana keterangan Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitab “Fathul Bari” bahwa amalan nafilah (sunah) yang dikerjakan pada sepuluh hari Dzulhijjah itu lebih utama daripada nafilah yang dikerjakan di sepuluh Ramadhan.
Begitupun dengan ibadah wajib yang ditunaikan pada sepuluh hari Dzulhijjah. Pahalanya akan lebih dilipat gandakan daripada bulan lainnya. (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 9/16)
Maka kesempatan berjumpa dengan bulan Dzulhijjah adalah suatu nikmat agung yang Allah berikan kepada seorang hamba.
Oleh karena itu, wajib bagi seorang muslim untuk mensyukuri nikmat itu dan memanfaatkan waktu-waktu berharga yang dimiliki dengan memaksimalkan ibadah. Karena para Salafush Shalih juga telah memberikan suri teladan dalam memanfaatkan waktu emas tersebut. Sebagaimana riwayat dari Abi Utsman
كَانُوا يُعَظِّمُونَ ثَلَاثَ عَشَرَاتٍ؛ الْعَشْرُ الْأُوَلُ مِنَ الْمُحَرَّمِ ، وَالْعَشْرُ الْأُوَلُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ ، وَالْعَشْرُ الْأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ
“Bahwasanya (para Salafush Shalih) mengagungkan sepuluh hari yang tiga; yaitu sepuluh hari pertama Muharram, sepuluh hari pertama Dzulhijjah, dan sepuluh hari terakhir Ramadhan.” (Mukhtashar Qiyamul-Lail, Al-Marwazi, 247)
Disebutkan dalam beberapa atsar bahwa para Salaf terdahulu bersungguh-sungguh dan meningkatkan ibadah pada sepuluh hari mulia ini. Salah satunya adalah Sa’id bin Jubair yang diriwayatkan bahwa
إِذَا دَخَلَ أَيَّامُ الْعَشْرِ اجْتَهَدَ اجْتِهَادًا شَدِيدًا حَتَّى مَا يَكَادُ يَقْدِرُ عَلَيْهِ
“Apabila (Sa’id bin Jubair) memasuki tanggal sepuluh (bulan Dzulhijjah), ia akan lebih semangat lagi hingga hampir saja ia tidak sanggup untuk mengamalkannya.” (Sunan Ad-Darimi, Ad-Darimi, 2/1113/1815)
AMALAN DI SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Setelah mengetahui fadhilah bulan Dzulhijjah, selanjutnya adalah memahami amalan yang disunahkan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang diringkas sebagai berikut:
Pertama, shiyam.
Dianjurkan bagi seorang muslim untuk shiyam selama sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah. Karena Nabi memotivasi untuk beramal shalih di waktu-waktu tersebut dan di antara amal shalih yang utama adalah berpuasa.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada tanggal sembilan bulan Dzulhijjah, serta pada hari ‘Asyura, serta tiga hari dari setiap bulan, dan hari Senin serta Kamis pada setiap bulan.” (HR. Abu Dawud)
Bahkan Imam An-Nawawi dalam kitabnya “Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim” memberikan keterangan bahwa berpuasa di bulan Dzulhijjah adalah sangat-sangat dianjurkan (istihbâb syadîdan). (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 8/71)
Di antara keutamaan berpuasa di hari Arafah adalah menghapuskan dosa (kecil) satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Beliau ditanya tentang puasa pada Arafah, maka beliau menjawab, “Puasa itu akan menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim)
Kedua, memperbanyak zikir.
Allah Ta’ala berfirman
لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ وَيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ فِيٓ أَيَّامٖ مَّعۡلُومَٰتٍ
“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Hajj: 28)
Abu Ja’far Ath-Thabari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ayâm ma’lûmât” adalah sepuluh hari pertama dari Dzulhijjah. Sebagaimana perkataan Qatadah. (Jâmi’ Al-Bayân, Ath-Thabari,18/610)
Maka hendaknya seseorang memperbanyak zikir pada hari-hari mulia ini. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ، وَالتَّكْبِيرِ، وَالتَّحْمِيدِ
“Tidak ada satu hari yang pahala di hari itu lebih besar di sisi Allah dan beramal di hari itu lebih dicintai di sisi Allah daripada sepuluh hari ini (Dzulhijjah). Oleh sebab itu perbanyaklah kalian bertahlil, bertakbir dan bertahmid.” (HR. Ahmad)
Muhammad bin Ibrahim As-Sabr menjelaskan bahwa teknis dalam takbir dua macam; pertama, takbir mutlak yaitu takbir yang dimulai pada awal Dzulhijjah sampai hari terakhir tasyrik dan waktunya luas pada hari-hari tersebut.
Kedua, takbir muqayyad yaitu takbir yang terikat dengan waktu, adapun waktunya adalah setiap usai shalat. Dimulai pada hari Arafah setelah Subuh sampai hari terakhir tasyriq dan dilakukan setiap selesai shalat lima waktu. (Al-Ayâm Al-Fâdhilah, Muhammad bin Ibrahim As-Sabr, 8)
Ketiga, menyembelih udhiyah.
Hendaknya bagi orang yang mempunyai keluasan rezeki untuk menyembelih udhiyah pada hari yang mulia itu. Karena Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan ibadah kurban yang penuh dengan fadhilah. (Zâd Al-M’âd, Ibnu Qayyim, 2/381)
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ”
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba yang warna putihnya lebih banyak daripada warna hitam, aku melihat beliau meletakkan kaki beliau di atas rusuk domba tersebut sambil menyebut nama Allah dan bertakbir, lalu beliau menyembelih domba itu dengan tangan beliau sendiri.” (HR. Bukhari)
Apabila seseorang berniat untuk menyembelih udhiyah maka hendaknya dia menjauhi beberapa hal ketika memasuki bulan Dzulhijjah. Di antaranya adalah tidak memotong rambut, kuku, atau kulitnya sampai hewan kurban tersebut disembelih.
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعَرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian telah melihat hilal sepuluh Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, hendaknya ia tidak mencukur rambut dan tidak memotong kuku terlebih dahulu.” (HR. Muslim)
Keempat, memperbanyak doa.
Hendaknya seorang muslim memanfaatkan momen mulia tersebut dengan memperbanyak doa, karena hari-hari itu adalah waktu mustajabnya doa.
Disebutkan bahwa bulan haji merupakan saat ketika doa yang dipanjatkan tidak akan tertolak dan mustajab. (Al-Atiq Mushannaf Al-Jami’, 12/126)
Keterangan yang sama juga dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali yang menyebutkan sebuah riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah adalah waktu tidak tertolaknya doa. (Lathâif Al-Ma’ârif, Ibnu Rajab, 269)
Terkhusus pada hari Arafah, karena sebaik-baik doa adalah doa yang dipanjatkan pada hari mulia tersebut.
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah dan sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi sebelumku katakan adalah kalimat ‘laa ilaaha illallahu wahdahu laa syarikalah lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai in qadiir.’ (Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan pujian dan Dialah Maha menguasai atas segala sesuatu).” (HR. Tirmidzi)
Kelima, membaca Al-Qur’an dan amal shalih lainnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa membaca Al-Qur’an adalah amalan yang mulia dan pahalanya dinilai pada setiap huruf yang dibaca. Terlebih jika amalan ini dilakukan bertepatan dengan waktu-waktu mulia seperti 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah.
Sebagaimana nasihat dari Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam fatwanya yang menganjurkan untuk senantiasa memanfaatkan serta memaksimalkan waktu yang mulia ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah) dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an, dzikir, takbir, tahlil, tasbih, sedekah, puasa dan amal-amal shalih lainnya. (Majmu’ Fatawa, Utsaimin, 21/37)
Demikian tulisan ringkas tentang fadhilah dan amalan sunah di bulan Dzulhijjah. Semoga bisa menjadi salah satu wasilah untuk kita meningkatkan amal shalih dalam menggapai ridha Ilahi. Wallahu a’lam bish shawab.