Oleh: Ryan Arif
Etos berarti watak atau karakter seorang individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita, dan Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan.
Sebagai agama yang bertujuan mengantarkan hidup manusia kepada kesejahteraan dunia dan akhirat, lahir dan bathin, Islam telah membentangkan dan merentangkan pola hidup yang ideal dan praktis. Pola hidup Islami tersebut dengan jelas dalam Alqur’an dan terurai dengan sempurna dalam sunnah Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, penghargaan Islam terhadap budaya kerja bukan hanya sekedar pajangan alegoris, penghias retorika, pemanis bahan pidato, indah dalam pernyataan tetapi kosong dalam kenyataan. Islam membuka pintu kerja setiap muslim agar ia dapat memilih amal yang sesuai dengan kemampuannya, pengalaman, dan pilihannya. Islam tidak membatasi suatu pekerjaan secara khusus kepada seseorang, kecuali demi pertimbangan kemaslahatan masyarakat. Islam tidak akan menutup peluang kerja bagi seseorang, kecuali bila pekerjaan itu akan merusak dirinya atau masyarakat secara fisik atau pun mental.
Karakter Etos Kerja Muslim
Budaya kerja islami bertumpu pada akhlak karimah, umat islam akan menjadikan akhlak sebagai energy batin yang terus menyala dan mendorong setiap langkah kehidupannya dalam koridor jalan yang lurus. Semangat dirinya adalah minallah, fi sabililah, ilallah (dari Allah, di jalan Allah, dan untuk Allah)
Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak dalam sikap dan tingkah laku yang dilandaskan pada satu keyakinan yang mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah.Adasemacam panggilan dari hatinya untuk terus nenerus memperbaiki diri, mencari prestasi dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik. Adapun karakter etos kerja muslim tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama: Menghargai Waktu
Salah satu esensi dan hakikat dari etos kerja islami adalah menghayati, memahami dan merasakan betapa berharganya waktu. Dan Waktu adalah asset ilahiyah yang sangat berharga, mengabaikannya akan diperbudak kelemahan namun jika memanfaatkannya dengan baik maka berada di atas jalan keberuntungan. Hal ini sebagaimana firman Allah swt, “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘ashr)
Berdasar pada firman Allah di atas, seorang muslim bagaikan kecanduan waktu. Dia tidak ingin ada waktu yang hilang dan terbuang tanpa makna. Jiwanya merintih bila ada satu detik berlalu tanpa makna. Baginya, waktu adalah rahmat yang tidak terhitung. Pengertian terhadap makna waktu merupakan rasa tanggung jawab yang sangat besar atas kemuliaan hidupnya. Sebagai konsekwensinya, dia menjadikan waktu sebagai wadah produktivitas.Adasemacam bisikan dalam jiwanya agar jangan melewatkan barang seditik pun kehidupan ini tanpa memberi arti.
Kedua: Memiliki Niat Yang Ikhlas
Salah satu kompetensi moral yang dimiliki seorang yang berbudaya kerja islami itu adalah nilai keikhlasan. Sehingga ia memandang tugasnya sebagai pengabdian, sebuah keterpanggilan untuk menunaikan tugas-tugas sebagai salah satu bentuk amanah yang seharusnya ia lakukan. Motovasi unggul yang ada hanyalah pamrih pada hati nuraninya sendiri, kalaupun ada imbalan itu bukanlah tujuan utama melainkan sekedar akibat sampingan dari pengabdiannya tersebut.
Sikap ikhlas bukan hanya output dari cara dirinya melayani, melainkan juga input yang membentuk kepribadiannya didasarkan pada sikap yang bersih. Bahkan, cara dirinya mencari rezeki, makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya adalah bersih. Tidak mungkin di dalam tubuh orang yang ikhlas terdapat makanan dan minuman yang haram. Dengan demikian,ikhlas merupakan energy batin yang akan membentengi diri dari segala yang kotor. Itulah sebabnya Allah swt berfirman,”wa rujza fahjur” dan tinggalkanlah segala bentuk yang kotor.” (Al Muddatstsir: 5)
Ketiga: Memiliki Sifat Jujur
Shadiq (orang yang jujur) berasal dari kata shidq (kejujuran). Kata shiddiq adalah bentuk penekanan dari shadiq dan berarti orang yang didominasi kejujuran. Dengan demikian, di dalam jiwa seorang yang jujur itu terdapat komponen nilai ruhani yang berpihak kepada kebenaran dan sikap moral yang terpuji.
Prilaku yang jujur adalah prilaku yang diikuti oleh sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya (integritas). Kejujuran dan integritas dapat mendorong sikap untuk siap menghadapi resiko dan bertanggung jawab.
Keempat: Memiliki Sikap Percaya Diri
Pribadi muslim yang percaya diri tampil bagaikan lampu yang benderang, memancarkan raut wajah yang cerah dan berkharisma. Orang yang berada di sekitarnya merasa tercerahkan, optimis, tentram, dan mutma’innah.
Percaya diri melahirkan kekuatan, keberanian, dan tegas dalam bersikap. Orang yang percaya diri, tangkas mengambil keputusan tanpa tanpak arogan atau defensive dan mereka tangguh mempertahankan pendiriannya. Kita menyaksikan sebuah sejarah perjuangan yang sangat monumental ketika Thariq Bin Ziyad membakar seluruh armadanya untuk kemudian hanya menyodorkan dua pilihan. Mundur, kapal telah hangus terbakar dan hanya hamparan samudra yang akan menerkam para pengecut. Maju berarti kemenangan telah ditangan dan kematian dalam sebuah perjuangan suci merupakan kerinduan para syuhada.
Kelima: Memiliki Sikap Bertanggung Jawab
Takwa merupakan bentuk rasa bertanggung jawab yang dilaksanakan dengan penuh rasa cinta dengan menunjukan amal prestatif di bawah semangat pengharapan ridha Allah, sehingga sadarlah bahwa dengan bertaqwa berarti ada semacam nyala api di dalam hati yang mendorong pembuktian atau menunaikan amanah sebagai rasa tanggung jawab yang mendalam atas kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah.
Tanggung jawab mengandung makna menanggung dan memberi jawaban, dengan demikian pengertian taqwa yang kita tafsirkan sebagai tindakan bertanggung jawab dapat didefinisikan sebagai sikap dan tindakan seorang di dalam menerima sesuatu sebagai amanah; dengan penuh rasa cinta, ia ingin melakukannya dalam bentuk pilihan-pilihan yang melahirkan amal prestatif.
Dalam bekerja, seorang individu akan dihadapkan pada tiga bentuk tanggung jawab, yaitu, tanggung jawab terhadap Tuhannya (Allah SWT), dan tanggung jawab terhadap diri sendiri.
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab terhadap Allah, dapat diperincikan sebagai berikut:
- 1. Iman sebagai landasan bekerja
Bekerja adalah manifestasi keimanan. Dengan kata lain, poros dari kerja adalah tauhid. Hal ini didorong oleh firman Allah:
قل كل يعمل على شا كلته فربكم اعلم بمن هو اهدى سبيلا
Dalam ayat ini terkandung perintah (amar) yang berarti bahwa hal itu hukumnya wajib dilaksanakan. Ini artinya siapa pun mereka yang secara pasif berdiam diri, tidak mau berusaha untuk bekerja, maka dia telah menghujat perintah Allah, dan sadar atau tidak, sesungguhnya orang tersebut sedang menggali kubur kanistaan bagi dirinya sendiri. Iman kepada Allah mendasari setiap aktivitas kerja seseorang.
Landasan keimanan menghindarkan manusia untuk mengeksploitasi terhadap sumber-sumber alam dengan cara yang melampaui batas. Sesungguhnya rezeki Allah itu melimpah tak terbatas, namun Allah juga menetapkan takaran dan ukuran, sehingga manusia tidak bisa seenaknya saja melakukan eksploitasi melampaui batas. Hal ini bisa terjadi karena sifat manusia yang loba dan cenderung melampaui batas. Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Jika Allah melapangkan rezeki-rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, Padahal Allah mengatur apa yang dikehendakinya dengan ukuran-ukuran”. Oleh sebab itu, manusia harus bisa mengendalikan dirinya, antara lain dengan cara bersyukur yang berarti menyadari karunia Allah yang murah itu sehingga ia mampu bertindak rasional.
- 2. Senantiasa Bersyukur
Manusia diperintahkan untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang diperolehnya, bersyukur karena terlepas dari mara bahaya dan dianugerahkan nikmat kehidupan. Manusia tidak boleh menyombongkan diri atas kelebihan-kelebihan yang telah diperolehnya, karena semua itu hanya titipan dari Allah yang diberikan kepadanya. Untuk mewujudkan rasa syukur itu, manusia diperintahkan untuk menunaikan shalat dan berkorban. Dari perspektif psikologis, perasaan bersyukur akan memberi kepuasan pada diri sendiri, selanjutnya akan menghilangkan rasa resah jika memperoleh sesuatu yang dicita-citakan. Islam juga mengajarkan agar manusia melihat ke bawah yaitu mereka yang kurang bernasib baik supaya jiwa mereka tenang. Pengaruh kejiwaan terbesar yang muncul dari rasa bersyukur adalah ketenangan jiwa yang tidak bisa dibeli atau dinilai dengan uang.
Sedangkan dalam kaitannya dengan tanggung jawab individu pada diri sendiri dapat diperincikankan sebagai berikut:
1. Bekerja sebagai kewajiban
Islam mewajibkan manusia untuk bekerja. Bekerja bukanlah bertujuan untuk mendapatkan uang semata sehingga mampu belanja apa saja atau memaksimalkan konsumsi, akan tetapi bekerja merupakan media untuk membuktikan bahwa manusia itu adalah khalifatullah yang patuh mengikuti perintah Allah SWT.
Dalam hadis disebutkan, yang artinya “Seseorang yang keluar mencari kayu bakar (lalu hasilnya dijual) untuk bersedekah dan menghindari ketergantungan kepada manusia, itu lebih baik dari seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, baik diberi atau pun ditolak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas (memberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (meminta).” (HR Muslim).
2. Bekerja harus halal dan baik
Dalam hadis disebutkan bahwa bekerja mencari rezeki yang halal hukumnya adalah wajib. Ini dimaksudkan agar manusia dengan berbagai unsurnya yaitu jasmani dan rohani dapat hidup secara sehat. Untuk sehat jasmani dan rohani, antara lain makanan harus thayyib dan halal. Thayyib artinya baik, bersih, dan tidak basi, masih valid, dan sebagainya. Ini syarat untuk sehat jasmani. Sementara halal, makanan yang halal adalah syarat untuk menjadi sehat rohani.
3. Menempuh jalan yang lurus (Sirat al-Mustaqim)
Pada umumnya setiap manusia memiliki tujuan mulia yaitu menjadi manusia bermanfaat dan hidup secara sempurna serta berkecukupan. Banyak ayat al-Quran yang mendorong manusia untuk mencapai kesuksesan dan kebenaran dengan senantiasa beramal baik menuju harapan dan cita-citanya. Dalam mewujudkan cita-cita, manusia harus tetap berpegang teguh pada jalan Allah yang merupakan jalan yang lurus. Allah berfirman yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Jalan lurus yang dimaksud adalah “Jalan yang telah diberi nikmat Allah ke atas mereka, dan bukan jalan yang dimurkai, juga bukan jalan orang-orang yang sesat”.
4. Sabar
Sabar merupakan sifat terpuji yang sangat sering disebut dalam al-Quran. Dalam menjalani kehidupannya, manusia tentu akan menghadapi berbagai macam peristiwa, baik peristiwa yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Di antara peristiwa yang menyedihkan seperti kesempitan rezeki, kelaparan, bencana, dan lain-lain. Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, manusia diminta bersabar. Jika manusia berduka cita menghadapi kesusahan-kesusahan, Allah memerintahkan mereka untuk menunaikan shalat, berdoa kepada Allah dan bersabar. Apabila ditimpa musibah, hendaknya mengucapkan dan menghayati firman Allah: ”Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jua kami kembali”. (QS al-Baqarah: 156).
Keenam: Memiliki Insting Bertanding (Fastabiqul Khoirat)
Semangat bertanding merupakansisi laindari citra seorang muslimyang memiliki semanagat jihad. Panggilan untuk bertanding dalamsegalalapangan kebajikan dan meraih prestasi, dihayatinya dengan rasa penuh tanggung jawab sebagai pembuktian firman Allah swt; “Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Seungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al ba1qarah:148) dan Seorang mujahid dan ciri pribadi muslim yang mempunyai etoskerja islami tidak pernah menyerah pada kegagalan.
Kesimpulan
Dari paparan yang telah dikemukakan, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Islam sebagai agama dan ideologi mendorong pada umatnya untuk bekerja keras, namun tidak melupakan beribadah. Islam sebagai agama yang syamil dan kamil juga memberikan guideline tentang etos kerja yang menjadikan kerja itu bukan hanya sebagai mencari rezeki akan tetapi lebih dari berdimensi transendental dan sekaligus identitas kemanusiaannya itu sendiri. Wallahu a’lam
siap…. semangat!!!
Ilmu yang sangat bergu, mungkin ini sedikit melenceng dari tema, bagimana cara mendidik anak agar disiplin terhadap waktu? Trmksh