Oleh: Qodri Abu Hanan
Terus terang saya amat terkesan dengan penuturan yang disampaikan M. Musrofi dalam bukunya “Melesatkan Prestasi Akademik Siswa”. Ia menyebutkan, ilustrasi berikut ini bisa kita jadikan renungan tentang bagaimana selama bertahun-tahun, boleh jadi kita selalu memposisikan anak dalam posisi SALAH:
- Ketika bangun pagi. Apakah tadi pagi Anda memarahi anak Anda ketika ia sulit bangun pagi? Kalau ya, ini kesalahan pertama pada anak Anda. Lalu Anda memarahi anak Anda ketika ia sulit mandi pagi? Ini kesalahan kedua anak Anda. Kemudian Anda juga memarahinya ketika sulit makan pagi? Ini kesalahan ketiga anak Anda. O ya, mungkin Anda memarahi anak Anda ketika ia tidak segera berangkat sekolah? Ini kesalahan keempat anak Anda.
- Di sekolah. Mungkin sang guru akan memarahi anak Anda karena tidak memperhatikan saat gurunya menerangkan. Berarti ini kesalahan kelima anak Anda. Barangkali anak Anda juga berantem dengan temannya. Kemudian ia dipanggil oleh guru bimbingan konseling terus dimarah-marahi. Ini kesalahan keenam anak Anda.
- Siang atau sore hari. Anak Anda pulang sekolah tanpa ganti pakaian langsung bermain sepakbola dengan anak tetangga. Anda langsung memarahi anak Anda, belum apa-apa sudah langsung bermain. Ini kesalahan ketujuh anak Anda. Anda kembali memarahinya ketika anak Anda tidak bersegera mandi sore, ini kesalahan kedelapan anak Anda.
- Malam hari. Anak Anda ogah-ogahan mengerjakan PR. Ketika diajari tidak paham-paham. Kembali Anda marah-marah padanya. Berarti ini kesalahan kesembilan anak Anda.
- Saat jam tidur. Anak Anda tidak segera tidur, bahkan main-main atau nonton TV. Lagi-lagi Anda memarahinya. Ini kesalahan kesepuluh anak Anda.
Dengan demikian, kalau dihitung berarti kurang lebih ada sepuluh kesalahan yang dikerjakan anak Anda dalam sehari semalam. Anak Anda selalu salah setiap hari. Kalau mengatakan salah kepada anak tersebut sehari atau dua hari mungkin tidak terlalu bermasalah. Namun apa jadinya jika setiap hari selama bertahun-tahun sang anak selalu dijadikan obyek kesalahan dan kekurangan? Apakah ia bisa merasa bahagia di rumah? Apakah ia bisa merasa bahagia di sekolah?
Akibat selalu disalahkan
Jika di rumah dan sekolahan bukan tempat yang membahagiakan mereka, lalu di mana anak Anda merasa benar dan bisa berbahagia?
Boleh jadi ia akan mencari kebahagiaan dengan bermain bersama teman sebaya di tempat tetangga. Atau nongkrong di gang-gang kampung sambil menggoda orang yang sedang lewat. Kalau sudah menginjak usia SMA boleh jadi ia akan lebih jauh mencari komunitas yang bisa membahagiakan hatinya dan membenarkan tindakannya. Jangan-jangan ia merasa benar dan berbahagia saat-saat ber-narkoba. Saat kebut-kebutan di jalan. Saat-saat berzina dengan teman perempuannya. Atau saat tawuran di jalanan. Na’udzu billahi min dzalik.
Saya pernah kaget ketika membaca berita Solo Pos tentang seorang anak yang bunuh diri gara-gara sambal. Kisahnya, ada seorang anak yang bernama Agung, ia berangkat mancing bersama teman-temannya. Setelah mendapatkan beberapa ekor ikan, segera ia pulang ke rumah dan menyerahkan ikan tersebut kepada ibunya untuk di goreng. Selain menggoreng, sang ibu juga membuat sambal. Maklum mereka dari keluarga yang kurang mampu, sehingga makan ikan dengan sambel merupakan menu yang istimewa. Tapi begitu kecewanya Agung, ternyata ikan hasil jerih payahnya dihabiskan adiknya. Terjadilah keributan antara Agung dengan adiknya. Mendengar suara ribut-ribut sang ibu justru memarahi Agung, agar mengalah dengan adiknya. Akhirnya tanpa banyak bicara, ia pergi begitu saja dari meja makan. Setelah ditunggu beberapa lama tidak kembali, sang ibu pun mencarinya. Begitu kagetnya, ternyata Agung sudah tidak bernyawa. Jasadnya tergantung di seutas tali.
Bahaya marah
Dalam sebuah penilitian, sang peneliti menempatkan alat alat canggih ke tubuh seorang anak yang terhubung ke monitor dan komputer. Dan dia dalam kondisi tenang, terlihat di monitor layar penelitian membentuk gambar yang sangat indah. Diafragma warna warni penuh keharmonisan, sangat beraturan dan sangat indah. Hingga pada akhirnya, sang anak dimarahi. Apa akibatnya?? diafragma warna warni yang harmonis dan beraturan tersebut hancur berantakan menjadi tak berbentuk dan merusak keindahan susunan warna. Secara langsung. Sang peneliti berujar, bahwa diafragma warna warni itu menggambarkan syaraf otak dari si anak.
Dan dari percobaan penelitian itu jelas menggambarkan bahwa ketika anak tenang, kondisi damai dan tidak dimarahi susunan saraf otak itu berirama indah sesuai tugasnya. Namun ketika dimarahi, sekonyong konyong susunan saraf otaknya menjadi tak berirama dengan indahnya. Artinya terjadi gangguan disana.
Meskipun marah pada anak ada nilai positifnya, sebaiknya orangtua perlu menghindarinya. Setidaknya, jangan terlalu sering marah pada anak. Orangtua yang bisa mengelola emosinya dengan baik akan berdampak pada perkembangan pribadi anak yang juga baik.
Anak dapat mengembangkan rasa percaya diri melalui rasa aman yang tercipta. Anak juga mampu mengembangkan kematangan emosinya, tanggung jawab, kemandirian, dan anak sehat secara mental karena berada di lingkungan yang penuh rasa aman, tenteram, dan diwarnai kegembiraan.
Jadi, mari kita berusaha sekuat tenaga untuk tidak memarahi anak kita. Kalaupun ingin memarahinya, pergunakanlah hikmah, lembut sehingga tidak mengganggu susunan saraf otak anak. Rasulullah saw bersabda:
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari)
Terakhir, sebelum kita mengeluh tentang anak-anak kita, pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul. Wallahul Musta’an.
Sumber: Majalah YDSUI April 2012
smoga saat mama n papa q lihat ini mereka gak bkal mrahin aq tiap hari…..