Allah menciptakan air dengan beragam manfaat. Selain menjadi wasilah utama berlanjutnya kehidupan tumbuhan, hewan, dan manusia; manfaat terbesar air adalah dapat digunakan untuk mensucikan dan membersihkan tubuh dan pakaian dari najis, juga mensucikannya dari hadats besar dan kecil.
“Maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan.” (Al-A’raf: 57)
Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” (Al-Anbiya`: 30)
Parafuqaha mengklasifikasi air menjadi tiga macam: air thahur (suci dan mensucikan), air thuhur (suci namun tidak mensucikan), serta air mutanajjis (najis, tidak suci dan tidak mensucikan).
Air Thahur
Parafuqaha sering menyebut air thahur ini dengan air mutlak. Yaitu semua air yang turun dari langit—air hujan, salju, dan embun—atau yang bersumber dari bumi—air sumur, air mata air, air sungai, air danau, dan air laut—baik yang tawar maupun yang asin.
“Dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” (Al-Furqan: 48)
“Dan Allah menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk mensucikan kamu dengan (hujan) itu.” (Al-Anfal: 11)
Rasulullah saw bersabda, “Laut itu airnya suci-mensucikan dan bangkai (binatang yang hidup di dalam)nya halal.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa`i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Juga, “Sesungguhnya air itu suci-mensucikan. Dia tidak menjadi najis kecuali jika berubah bau, rasa dan warnanya.” (HR. Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan Imam Ahmad)
Parafuqaha sepakat, selama air ini tidak terpengaruh oleh benda lain sehingga berubah ketiga sifatnya (warna, bau dan rasa) maka ia tetap suci dan mensucikan, baik jumlahnya banyak maupun sedikit. Adapun bila salah satu atau lebih dari ketiga sifatnya berubah, para fuqaha membedakan antara perubahan yang diakibatkan oleh benda suci dan yang diakibatkan oleh benda najis.
Pengaruh Benda Suci
Apabila suatu benda suci jatuh ke dalam air atau dilewati air sehingga salah satu dari tiga sifat air berubah, para ulama membedakan antara benda-benda yang jatuh atau dilewati air yang umumnya tak mungkin dihindari—seperti batu, tanah, lumut, dedaunan, ranting kayu gaharu/cendana, minyak bumi, garam, ikan, bangkai ikan, belerang, besi, berbagai bahan tambang, dan berbagai bebatuan mineral—dengan benda-benda yang jatuh ke dalam air yang dapat dikontrol manusia seperti gula, susu, kopi, madu, minyak wangi, dan lain sebagainya.
Paraulama sepakat, jika sifat air berubah oleh benda suci yang umumnya tak mungkin dihindari maka air tetap pada hukum asalnya: suci dan mensucikan. Itulah sebabnya air yang tergenang atau disimpan dalam waktu yang lama, tetap dihukumi suci dan mensucikan meskipun warna, bau dan rasanya berubah. Air ledeng yang berubah warna, bau dan rasanya oleh karena karat pipa yang dilewatinya atau kaporit untuk menjernihkannya termasuk jenis air ini.
Sedangkan jika sifat air berubah oleh benda suci yang umumnya dapat dikontrol oleh manusia sehingga manusia tidak lagi menyebutnya air dan menyebutnya dengan sebutan lain, maka hukumnya berubah dari thahur menjadi thuhur. Dari suci mensucikan menjadi suci tidak mensucikan. Contohnya adalah air teh, air kopi, air sirup, air sabun, air yang dicampur dengan pewarna makanan atau kain, dan lain sebagainya.
Apabila perubahan sifat air itu tidak selamanya hal mana benda suci yang mencampurinya terpisah, mengendap, atau dapat dipisahkan, maka air kembali ke sifat asalnya. Misalnya, air yang dicampur dengan tanah yang banyak. Ketika berwujud lumpur—meskipun air dan tanah sama-sama dapat digunakan untuk bersuci: wudhu, mandi, dan tayamum—kita tidak diperbolehkan berwudhu atau mandi dengan lumpur itu. Baru setelah tanah mengendap sehingga ketiga sifat air kembali, maka air pun kembali suci mensucikan. Dasarnya adalah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi saw dan istri beliau mandi dengan menggunakan bejana besar yang ada endapan tepung di dalamnya.
Air Sisa Minum Kucing
Parafuqaha madzhab Hanafi menyatakan bahwa air sedikit sisa minum kucing sebaiknya tidak digunakan untuk bersuci. Menurut mereka, hukumnya makruh tanzih apabila ada air lain yang dapat digunakan. Sisa minum binatang lain yang tak terhindar dari najis, seperti ayam yang dilepas sehingga makan najis, ular, tikus dan sebagainya disamakan dengan sisa minum kucing.
Meskipun bila ditinjau dengan kaidah umum sisa minum binatang-binatang tersebut adalah najis, namun berdasarkan istihsan, untuk memudahkan manusia, sisa minum mereka dihukumi suci. Sebab, binatang-binatang tersebut memang selalu berada di sekitar manusia. Pun Nabi saw. telah menyatakan bahwa sisa minum kucing adalah suci.
‘Aisyah bertutur, “Rasulullah saw pernah mengulurkan wadah kepada kucing untuk tempat minum. Kemudian beliau berwudhu dengan sisa air yang diminum kucing itu.” (HR. Ad-Daruquthni)
Namun, jika tidak ada air lain selain air sisa minum binatang tersebut di atas, maka tidaklah makruh. Adapun menurut para fuqaha madzhab Syafi’i, mulut kucing dan sisa minumnya adalah suci.
Mengenai pengaruh benda najis, insya Allah akan dibahas pada edisi mendatang. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah YDSUI edisi April 2012