Dalam ikatan ukhuwah Islamiyah, saling memberi nasehat memiliki peranan penting dalam membangun persaudaraan, karena tak setiap saat seorang muslim berada dalam kondisi terbaiknya dalam menjalankan ketaatan terhadap Allah ﷻ, adakalanya ia merasa malas dalam beramal, atau berada pada titik jenuh sehingga dirinya seolah kehilangan ghirah untuk melakukan sebuah amalan.
Lalu, sejatinya setiap manusia juga tidak akan luput atas dua hal, kesalahan dan sifat lupa. Maka tak heran jika terkadang seorang muslim lalai akan kewajiban yang harusnya ia kerjakan, bahkan seringkali lalai sehingga membiarkan dirinya tercebur dalam perbuatan maksiat.
Disinilah pentingnya saling memberi nasehat satu sama lain, agar ketika seorang muslim berada dalam titik jenuhnya dalam beramal, atau tercebur dalam perbuatan maksiat, akan ada yang mengingatkan dirinya agar kembali pada koridor ketaatan terhadap Allah ﷻ. Sehingga ketika budaya saling menasehati sudah menjadi karakter, tercipta sebuah lingkungan yang baik dan memudahkan sesama muslim dalam menjalankan ketaatan kepada Allah .
Perintah untuk saling menasehati
(وَ العَصْرِ (1) إِنَّ الإِنْسَانَ لَفِى خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَ تَوَاصَوا بِالحَقِّ وَ تَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ )
“Demi masa (1) Sungguh, manusia berada dalam kerugian (2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran (3)” QS. Al-Asr : 1-3
Imam Asy-Syaukani Rahimahullah berkata dalam kitabnya berkenaan dengan lafadz(وَتَوَاصَوا بِالحَقِّ) , yaitu saling menasehati satu sama lain dalam kebenaran yang kita berdiri diatasnya. Iman kepada Allah, Tauhid, menjalankan syariat-syariat Allah, dan mencegah dari yang diharamkan olehNya. (asy-Syaukani, Fath al-Qadir 5/609).
Faidah yang dapat diambil dari ayat diatas adalah betapa seorang muslim akan berada dalam kerugian, salah satunya faktornya jika ia dan saudaranya tidak menasehati dalam kebaikan, tidak saling mengingatkan jika salah satunya lalai, tidak saling memberi motivasi jika salah satunya sedang futur, mereka seakan acuh dengan urusan saudaranya, dan jika hal itu terjadi, maka cahaya amar makruf nahi munkar akan padam dan tali silaturrahmi akan terputus, waiyyadzubillah.
Menasehati tanpa melukai
Namun, tak selamanya proses saling menasehati berjalan mulus dan hasilnya sesuai dengan apa yang diharapkan, kadangkala muncul dampak buruk dari proses saling menasehati jika tidak dilakukan dengan cara yang benar, seperti ketersinggungan, kesenjangan, hingga merasa direndahkan. Artinya, terdapat metode atau cara memnyampaikan nasehat dengan baik agar hasilnya selaras dengan apa yang diinginkan, yakni kembali ingat untuk berada dalam koridor ketaatan Allah ﷻ. Adapun beberapa metodenya, antara lain;
Pertama: Mengharap Ridha Allah ﷻ
Seorang muslim yang ingin menasehati saudaranya hendaknya meluruskan niat Lillahi Ta’ala, karena hanya dengan niat yang lurus seseorang akan mendapatkan RidhoNya. Selain itu, ia juga akan mendapat pahala dari Allah ﷻ atas apa yang telah ia kerjakan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.”) HR. Bukhari (1,54) dan Muslim (1907)
Kedua: Menasehati dikala sepi
Tatkala seorang muslim hendak menasehati saudaranya, hendaknya ia memilih moment yang tepat, para ulama menjelaskan bahwa salah satu moment yang paling tepat untuk memberikan nasehat adalah dikala sepi, jauh dari keramaian orang. Mengapa demikian? Karena apabila seseorang menasehati saudaranya dalam keramaian, secara tidak langsung ia menyebutkan kekurangan saudaranya didepan orang lain. Imam Ibnu Rajab al-Hanbali berkata berkata dalam kitabnya, “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka mereka menasehatinya secara rahasia. Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat, dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Ibnu Rajab, Jami al-Ulum wa al-Hikam Hal.77)
Hal ini juga senada dengan yang dituturkan Imam Syafi’i Rahimahullah dalam syairnya:
تَعَمَّدَنِي بِنُصْحِكَ فِي انْفِرَادِي
وَ جَنِّبْنِي النَّصِيْحَةَ فِي الَجمَاعَةِ
فَإِنَّ النُّصْحَ بَيْنَ النَّاسِ نَوْعٌ
مِنَ التَّوْبِيْخِ لَا أَرْضَى اسْتِمَاعَهُ
“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri.Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu Pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya.” ( Mawaidh al-Imam asy-Syafi’i, hal. 56).
Ketiga: Menasehati dengan lembut
Ketika memberi nasehat, seseorang juga harus memperhatikan cara penyampaiannya, yaitu menyampaikan dengan halus dan lembut, menggunakan bahasa yang sopan, tidak meninggikan suara, serta tidak menggunakan kata-kata yang menyakiti hatinya. Hal ini dilakukan agar nasehat tersebut lebih mudah disampaikan dan tidak menyakiti hati saudaranya karena merasa direndahkan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُوْنُ فِى شَيْئٍ إِلَّا زَانَهُ وَ لَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْئٍ إِلَّا شَانَهُ
(Sesungguhnya sifat lembut yang terdapat dalam sesuatu, pasti akan menghiasinya. Dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya.) HR.Muslim no. 6603 (Imam Muslim, Shahih Muslim hal. 1133). Wallahu a’lam bis shawwab. [Shofian Fadhil. I]
Baca Juga: Relevansi Ibadah Sosial Terhadap Kehidupan Sosial