Sepuluh tahun terakhir Rasul di Madinah total pertempuran yang ada sebanyak 68 kali, yang langsung diikuti langsung oleh beliau sebanyak 28 kali. Jika dibagi selama sepuluh tahun berarti setahun perang yang beliau lakukan selama dua atau tiga kali. Artinya dalam setiap empat bulan sekali beliau pergi bertempur.
Kondisi perang zaman Rasul itu tentu tidak bisa kita simplifikasi dengan melihat realita perang era kontemporer. Terlalu kompleks masalahnya. Perang zaman dahulu masih mengedepankan penguasaan fisik untuk mendefinisikan sebuah kemenangan. Medan perangnya lebih terbuka dan face to face.
Sementara perang hari ini sangat terkait erat dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, gaya perang konvensional bukanlah yang utama. Kemenangan bukan lagi diukur dengan penguasaan fisik, tapi lebih kepada menguasai cara berfikir lawan.
Usia Rasul saat mengikuti perang antara kisaran 53 – 63 tahun. Jika usia pensiun tentara di negri ini adalah usia 58 tahun, maka bayangan kita adalah seorang purnawirawan yang masih terjun ke medan tempur. Cukup tua dan tidak mudah untuk membayangkannya.
Jika empat bulan sekali Rasul bertempur lalu kapan latihannya?, kapan waktu untuk menyiapkan logistik?, kapan waktu berkumpul dengan keluarga?, kapan waktu istirahatnya?. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi muncul begitu saja di benak kita.
Dan akhirnya mau tidak mau kita dibawa kepada sebuah gambaran akan sebuah kehidupan yang penuh dengan tekanan mental dan beban berat. Terutama dari sisi mentalitas atau psikologis.
Secara nalar, logika kita menyangsikannya, bagaimana mungkin seseorang bisa bekerja di bawah tekanan dan dalam waktu yang lama?, bagaimana caranya menjaga ketenangan, kemantapan hati dan fokus?.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari semua itu?, daya tahan (endurance), jawabnya.
Tak hanya pada Nabi Muhammad, sebenarnya. Para Nabi sebelumnya juga begitu, mempunyai daya tahan yang kuat dalam memikul beban berat dalam waktu yang lama dengan tetap stabil secara emosional dan fikiran, tidak goncang, tidak labil tidak mundur, tidak pula tergesa-gesa.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mempertahankan daya tahan tersebut dalam jangka waktu yang lama?.
Kita akan temukan jawabannya pada potongan sabda Nabi kepada Bilal bin Rabah, “… arihnaa ya Billal bi as-Shalah …”, maknanya, wahai Bilal istirahatkan/tenangkan jiwa kami dengan shalat …”. Perkataan ini kerapkali diucapkan Rasul saat beliau dalam tekanan yang sangat kuat.
Secara psikologis wajar dan manusiawi, ada waktu dimana seseorang merasa lemah dan orang butuh semacam “perlindungan spiritual”. Kita lari masuk kesana ketika lemah untuk men-charge kekuatan. Saat dapat energi baru, kita keluar, lalu masuk kembali ketika lemah, begitu seterusnya. Tempat perlindungan itu bernama shalat.
Kiranya ini pula rahasia mengapa dalam rukun Islam shalat adalah rukun yang tidak ada pengecualiannya. Beda dengan puasa, ketika sakit atau safar boleh tidak puasa dengan syarat mengganti (qadha’), zakat ketika belum sampai nishab gugur kewajiban untuk menunaikannya, haji pun demikian ketika belum mampu.
Tapi shalat, orang sakit ada cara shalatnya, safar pun demikian, bahkan dalam perang shalat pun ada caranya, tidak ada alasan yang membolehkan untuk meninggalkannya (kecuali bagi seorang wanita saat haidh).
Salah satu alasannya, karena shalat adalah salah satu sumber energi. Maka, dari perkataan Bilal diatas, seolah-olah kita bisa menemukan sebuah makna baru, bahwa tempat perlindungan spiritual sumber ketenangan dan kestabilan jiwa Rasul adalah shalat.
Apa sih inti dari shalat itu?, do’a. Lalu apa inti do’a?, ketergantungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala, Zat Yang Maha Besar. Begitu kita merasakan ketergantungan itu, kita akan mendapatkan energi baru untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Bisa kita maknai bahwa, shalat dan do’a adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan.
Perlu kita ingat juga, hal yang paling berbahaya dalam kehidupan kita sebagai muslim dan kehidupan para pemimpin adalah saat Allah menyerahkan urusan kepada diri kita sendiri, tidak dibantu.
Maka doa yang seyogyanya kita ulang-ulang adalah agar Allah tidak menyerahkan urusan kepada diri kita walau sekejap mata.
Dalam berdo’a para ulama mensyaratkan harus ilhah (merengek) fungsinya untuk mengecilkan diri kita di hadapan Allah. Karena saat kita mengecilkan diri di hadapan Allah kita mendapat energi dari sumber kebesaran.
Kita ambil contoh, do’a Nabi pada Perang Badar.
Sejarah mencatat antara pasukan muslimin dan Quraisy tidak imbang jumlahnya, kaum muslimin lebih sedikit. Kalau saja di Perang Badar kaum muslimin kalah efeknya akan seterusnya, cahaya Islam yang baru akan bersinar harus redup kembali.
Makanya ketika kita lihat do’a Rasul tidak tampak seperti do’a yang tampak justru semacam tuntutan kepada Allah. “ Allahumma in tahlik hadzihi al-Ishabah fa lan tu’bad fil ardhi abada …”. Ya Allah jika Engkau hancurkan pasukan ini, Engkau selama tidak akan disembah lagi di muka bumi.
Ini adalah tuntutan dari Rasul, sebenarnya. Allah bisa saja menghancurkan pasukan itu kemudian menggantikannya dengan kaum yang lain, mudah saja bagi Allah. Tapi tuntutan seperti itu menunjukkan ketergantungan dan rasa ketergantungan, itu yang disukai Allah. Begitulah cara Rasul mendapatkan sumber energi.
Hari ini kita berada pada titik krisis, Pandemi Covid-19 nyaris mengubah tatanan dunia, dan tak ada yang tahu pasti kapan semua ini akan berakhir.
Selain urusan Pandemi-pun, sebagai seorang manusia biasa, kita pasti juga punya banyak masalah. Beban hidup yang menghimpit, rasa kecewa sebab harapan tak pernah terwujud, sesak di dada karena disakiti, dan sederet masalah lainnya.
Karenanya, kita perlu sumber energi itu, dan sumber energi kita ada pada hubungan yang tidak pernah putus dengan Allah. Shalat dan do’a adalah medianya.
Maka, sudah benarkah shalat dan seberapa serius kita dalam berdo’a?. Tak perlu dijawab, cukup dimuhasabahi. Wallahu a’lam. [adm]
Baca Juga: Menasihati Tanpa Melukai