“Shabran ‘Ala Yasir, Fa Inna Mau’idakumul Jannah,” bersabarlah wahai keluarga Yasir, sungguh tempat kembali kalian adalah Jannah.
Kata-kata ini diucapkan oleh baginda Rasul saat menyaksikan beratnya siksaan dari kaum Quraisy Bani Makhzum terhadap keluarga Yasir dikarenakan keislaman mereka.
Rasul bukan tak sedih menyaksikan kekejaman dan kesewenang-wenangan kafir Quraisy dalam menyiksa kaum muslimin generasi awal yang menyambut seruan dakwahnya. Tapi pada kondisi Islam memang dalam kondisi yang sangat lemah. Kekuatan belum ada sama sekali, bahkan untuk membela para muslimin mustadh’afin yang disiksa.
Ucapan Rasul di atas menunjukkan yang saat itu Rasul bisa lakukan baru sebatas itu. Menguatkan hati di atas iman, tidak lebih. Tapi sekedar itu saja rupanya membuat keimanan keluarga Yasir kokoh bak karang diterjang ombak lautan.
Keluarga Yasir adalah keluarga yang masuk Islam awal-awal. Artinya, pertemuan mereka dengan Rasulullah belum lama. Otomatis maklumat-maklumat yang Rasul sampaikan juga belum banyak. Tapi mengapa keyakinan mereka begitu kuat tak tergoyahkan?, sebuah pertanyaan menarik untuk menjadi bahan renungan kita.
Manisnya Iman, Surga Dunia
Ada sebuah pernyataan menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dinukil oleh muridnya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Madarij as-Salikin baina Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in (1/452), “Sesungguhnya di dunia ini ada jannah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga yang di dunia, maka dia tidak akan masuk ke dalam surga akhirat”.
Surga dunia yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah adalah merasakan manisnya kecintaan kepada Allah, mengetahui-Nya (ma’rifatullah), melazimi zikir dalam segala kondisi, meng-Esa-kan Allah dengan rasa takut, tawakkal, dan penuh pengharapan.
Siapapun orangnya ketika bisa melakukan hal-hal tersebut maka Allah akan menjadikan kesengsaraan dunia tidak berarti apa-apa baginya. Semua penderitaan dan kesusahan yang dialami berubah menjadi rasa nikmat yang tidak tergantikan oleh apapun.
Seperti keluarga Yasir, bertubi-tubinya siksaan yang mendera tak membuat keimanan goyah. Mereka bisa tabah serta sabar menjalani siksaan hingga tubuh tercabik-cabik dan nyawa meregang, itu karena iman telah menghunjam di dalam dada mereka.
Allah berikan kepada mereka kemanisan iman yang siapapun jika merasakannya tak ingin menukarnya dengan apapun. Termasuk sesuatu yang paling berharga bagi setiap manusia, nyawa.
Hal ini pernah pula dialami oleh Ibnu Taimiyah saat dipenjara, tanpa sedih dan sesal beliau justru mengatakan kata-kata yang menyejukkan hati bagi siapapun yang mendengarnya.
Kata-kata ini diabadikan oleh muridnya, Imam Ibnu Qayyim dalam al-Wabil ash-Shayyib (1/48), “Apa yang bisa dilakukan oleh musuh-musuh terhadapku?. Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku, ia selalu bersamaku tak terpisahkan. Jika aku dipenjara, maka ia adalah khalwat (bersendirian dengan Allah). Jika aku terbunuh, maka ia bagiku kesyahidan. Jika aku diusir dari negeriku, maka bagiku ia adalah wisata.”
Kami, kata Ibnu Qayyim al-Jauziyah ketika mengomentari perkataan ini, “Apabila dihantui oleh ketakutan, rasa was-was, dan bumi serasa sempit, mendatangi beliau (Ibnu Taimiyyah). Melihat saja wajah serta mendengar nasihat-nasihatnya, dada menjadi lapang, timbul kekuatan, keyakinan dan ketenangan baru dalam hati kami. Maha Suci Allah yang telah memberiku kesempatan untuk bisa menyaksikan keindahan surga melalui salah satu hamba Allah, sebelum bertemu denganNya kelak …”
Begitulah pancaran iman yang kuat, ia bukan saja berpengaruh kepada pemiliknya. Tapi ibarat cahaya, siapa yang dekat pasti akan merasakannya.
Ada getaran-getaran halus tak kasat mata yang menyelusup masuk ke relung kalbu, mengkristal dalam fikiran, lalu menjelma menjadi sebuah tindakan. Indah, tak terungkap oleh kata-kata. Mungkin karena demikian, ia disebut Jannatun fiddunya (surga dunia) oleh Ibnu Taimiyyah. Wallahu a’lam bi as-Shawab.