Oleh : Yasyfi Ramadhani
Indonesia sebagai suatu gugusan pulau-pulau yang membentang dari Barat ke Timur di antara dua Benua Australia dan Asia, telah menjadi Bandar Pelabuhan Internasional yang dikunjungi oleh berbagai bangsa dari penjuru dunia. Tujuan utama segenap bangsa itu adalah berdagang, sehingga darinya benturan peradaban tak terelakkan. Asimilasi dan akulturasi pun terjadi di Nusantara, memberi corak pada keyakinan, politik, budaya, hukum, dan sebagainya.
Kehidupan Bangsa Indonesia yang sebelumnya disebut Nusantara, berjalan dengan baik bersama agama dan paham lainnya di Nusantara. Setelah Islam datang pada abad ke-7 yang dibawa oleh saudagar muslim yang berasal dari Timur Tengah; Gujarat; dan Persia ke Nusantara, Kerajaan Syiwo-Buddha India yang lebih dahulu masuk ke Nusantara pada abad ke-2 dan ke-4 tidak merasa terusik sama sekali. Kehidupan aman dan tentram antara pemeluk Islam dan Hindhu-Buddha berlangsung sekian lama tanpa kekerasan dan penjajahan dari bangsa lain.
Hal itu terus berlangsung sampai kedatangan Wali Songo (pada 1404-1482 M dan tidak ada seorang pun yang berasal dari pribumi asli) pada abad ke-14 yang diprakasai oleh Sultan Muhammad I (Muhammad Jalabi), Khalifah Turki Utsmani (1394-1421 M) untuk berdakwah di Nusantara. Kedatangan mereka pun tidak membuat resah kerajaan-kerajaan yang berkuasa di Nusantara. Dengan motif dakwah mereka datang kepada rakyat jelata sampai penguasa Kerajaan Syiwo-Buddha-yang pada saat itu terjadi perang saudara (Perang Paregreg 1401-1406 M)- dengan berbagai cara mereka tempuh, baik dagang, pertanian, pengobatan, mendirikan Masjid dan Pesantren maupun dakwah sesuai adat yang berlaku mereka lakukan di Pulau Jawa.
Dikalangan rakyat mereka diterima dengan baik, sehingga banyak dari rakyat yang menjadi pemeluk Islam, walaupun dari kalangan penguasa belum berkenan menerima Islam, tetapi Wali Songo yang sejatinya dewan dakwah (sembilan dewan Ulama dengan berbagai keahlian) itu masih diterima dan diperlakukan dengan baik. Bahkan, oleh para penguasa, mereka diberi hak dan kewenangan untuk berdakwah di Kerajaan Syiwo-Buddha masa itu, sehingga lahirlah Pesantren Ampel Dento sebagai pusat kaderisasi ulama dan pemimpin, Pesantren Kudus, Pesantren Gresik dan sebagainya.
Kehidupan Bangsa Indonesia yang demikian romantis itu terus berlangsung sampai berdirinya Kerajaan Islam Demak di Pulau Jawa (1482 M) atas jasa Wali Songo tersebut. Dan hampir seluruh penduduk Jawa memeluk Islam saat itu. Peran Ulama saat itu tercermin dari kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Nusantara, Kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka di Sumatera, Kerajaan Islam Ternate dan Tidore di Sulawesi, Kerajaan Islam Demak di Jawa dan kerajaan-kerajaan lainnya yang memegang teguh Syari’at Islam sebagai way of life mereka.
Tatkala Kerajaan Portugis dan Spanyol atas nama perjanjian Tordesilas, 7 Juni 1494 M, yang memutuskan bahwa dunia dibagi menjadi dua bagian Barat dan Timur, barulah dilakukan penyerangan ke Malaka, pada 1511 M dan inilah awal penjajahan yang terjadi di Indonesia.
Ekspansi tersebut adalah mandat dari Paus Alexander VI yang membenarkan Imperialisme dengan tujuan 3G (Gold, Gospel and Glory). Berbeda dengan penguasa muslim yang tetap mempertahankan segala sesuatunya lestari di Indonesia, mereka penguasa kerajaan Portugis dan Spanyol malah membawa kekayaan alam Indonesia ke kampung halaman mereka, bahkan dengan cara paksa yang sudah jamak diketahui, maka perhatikan siapa sebenarnya pembela bangsa ini. Namun para Ulama tak tinggal diam, sebagai pelopor perlawanan terhadap penjajahan Barat dikirimlah pasukan dipimpin Panglima Fatahillah di bawah komando Sultan Trenggono yang berkuasa di Kerajaan Islam Demak saat itu. Kemenangan atas Sunda Kelapa akhirnya memunculkan satu nama yang menggantikan Sunda kelapa terinspirasi dari al-Qur’an, yaitu Fathan Mubina,dalam bahasa Indonesia diubah menjadi Jayakarta, lalu menjadi Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Indonesia yang dikenal sekarang.
Pada abad selanjutnya, tahun 1619 M, Kerajaan Protestan Belanda yang telah mengetahui kekayaan alam yang ada di Indonesia, mencoba menguasai Indonesia. Tetapi sekali lagi, selalu dihadang oleh Ulama dan Santri. Karenanya sejarawan Barat menyebutnya sebagai Santri Insurrection-Perlawanan Santri. Jika ditanyakan, mengapa bukan Kerajaan Hindhu-Buddha yang melawan penjajahan tersebut, maka ketahuilah bahwa keduanya telah tiada saat itu. Akibatnya, kedua penjajah Barat dengan Politik Kristenisasinya dengan agama Katolik dan Protestan yang mencoba menjajah Indonesia, selalu dihadang oleh Ulama dan Santri serta sultan yang mempertahankan kedaulatan negara, bangsa dan agama Islam.
Sampai tiba kemerdekaan bangsa Indonesia berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, bangsa dan negara Indonesia memperoleh kemerdekaan IPOLEKSOSBUDHANKAM dan agama. Terbebas dari segala bentuk penjajahan yang diciptakan oleh imperialis Barat Katolik dan Protestan ataupun imperialis Timur Kekaisaran Shinto Djepang, pada 9 Ramadhan 1364 H, Jumat legi, 17 Agustus 1945. Ini dapat dikatakan sebagai Puncak keberhasilan dari perjuangan yang panjang, sejak zaman Wali Songo kemudian oleh para Ulama dan Santri dalam menjawab tantangan imperialis Barat Katolik Portugis, 1511 M, sebagai pelaksana keputusan Perjanjian Tordesilas, 1494 M, yang direstui oleh Paus Alexander VI hingga penjajahan terakhir oleh Balatentara Dai Nippon, 8 Maret 1942, sebagai pelaksana konsep penjajahan Kekaisaran Shinto Jepang.
Benar, Republik Indonesia telah berdiri. Namun ternyata, pendaratan Tentara Sekutu dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di Tanjung Priok Jakarta, Semarang dan Surabaya, serta Sumatra, 29 September 1945, tidak memahami Atlantic Charter, 14 Agustus 1941 dan Djakarta Charter, 22 Juni 1945, sehingga mereka mencoba kembali menjajah Indonesia. Reaksi Umat Islam dari Partai Politik Islam Indonesia, Masyoemi (Majelis Syoera Muslimin Indonesia) yang dipimpin oleh Dr. Soekiman Wiryosandjoyo, mempelopori menjawab tantangan ini dengan, “ Resoloesi Djihad, 60 Milioen Kaoem Moeslmin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah. Perang didjalan Allah oentoek menentang tiap- tiap pendjadjahan”, pada 1 Dzulhijjah 1364, Rabu Pon, 7 November 1945.
Detik-detik 10 November 1945, Boeng Tomo melalui Radio Pemberontak berpidato menyemangati rakyat disertai panggilan Takbir pada akhir pidatonya selalu membekas di relung hati para pemuda Islam, sehingga hadirlah para Ulama antara lain: Choedrotoes Sjeich Rais Akbar K.H Hasyim Asy’ari dari Pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. K.H Asyhari dan Kiai Toenggoel Woeloeng dari Yogyakarta. K.H Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon dan K.H. Moestafa Kamil dari Syarikat Islam Garut Jawa Barat, mereka ikut memimpin peperangan di Surabaya. Mengapa selalu diakhiri dengan takbir, maka Muhammad Natsir menjelaskan bahwa Bung Tomo selalu mengakhiri pidatonya dengan takbir dalam menutup pidato Radio Pemberontakan, yaitu karena Bung Tomo memahami siapa yang tepat menjadi teman dalam membela tanah air dan bangsa serta Agama Allah dari ancaman tiap-tiap kezhaliman musuh-musuh Allah, melainkan hanya Ulama dan umat Islam.
Jikalau hari ini, masih saja terdengar kicauan yang ingin menjatuhkan Ulama dan Umat Islam dari perannya menegakkan kebenaran, sementara mereka yang menjatuhkan Ulama membiarkan kekuatan asing menguasai bumi Indonesia, siapa pun dia, baik rakyat, pejabat, atau bahkan presiden sekalipun, kalau perbuatan itu dilakukan terang-terangan, adakah sebutan yang lebih halus untuk mereka dari “Pengkhianat Bangsa”?.
Sumber:
- Ahmad mansur suryanegara, Api sejarah (jilid 1): Mahakarya perjuangan Ulama dan santri dalam Menegakkan NKRI. Bandung: Salamadani, 2009 dan 2010 M.
- Majalah Eramuslim Digest, Konspirasi Penggelapan Sejarah Islam Indonesia, edisi koleksi IX. Versi pdf.
- Rachmad Abdullah, Wali Songo; Gelora Dakwah Dan Jihad Di Tanah Jawa (1404-1482), (Solo: Al-Wafi, 2015), cet. I.
- Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo,(Depok: Pustaka Iiman, 2016), cet. IV
- http://www.nu.or.id/post/read/62913/detik-detik-resolusi-jihad-nahdlatul-ulama-dan-pertempuran-10-november-1945