“Ustadz, saya berhasil mendapat gelar Hafidzul Qur’an (hafal keseluruhan isi al-Qur’an). Namun, disaat yang bersamaan saya adalah seorang pezina.” tanya seorang jamaah muda kepada Ustadz Hanan Attaki dalam acara Muslim United jilid 2 lalu. ”Dan perlu diketahui ustadz, bahwa kekuatan hafalan qur’an saya sangat kuat. Bagaimanakah pandangan ustadz perihal ini?”
Dengan bijak beliau Ustadz Hanan Attaki menjawab dengan untaian nasihat yang merujuk kepada dalil-dalil syar’i. Pertama, berkenaan tentang dosa berzina, beliau melantunkan kalam ilahi seuntai ayat dalam al-Qur’an dengan suara khasnya yang indah dan merdu menambah suasana semakin syahdu, ayat tersebut menyiratkan makna bahwa tiap hamba tidak boleh berputus asa pada rahmat Allah meski mereka adalah sekumpulan pendosa.
Kedua, berkaitan dengan al-Qu’ran yang telah rampung dihafalkan pemuda tersebut secara menyeluruh, Ustadz Hanan Attaki bependapat itu tak lain merupakan wujud nikmat Allah Ta’ala dan patut untuk disyukuri. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwasannya ilmu itu selalu bersemayam dalam hati bukan sekedar hiasan di kepala.
Allah sendiri telah menjelaskan tipe manusia yang dianugrahi hati namun tak berfungsi untuk dapat memahami ‘lahum qulubun laa yafqahuuna biha’. Karena esensi ilmu ada untuk diimplementasikan bukan sekedar hiasan di dalam pikiran. Andaikata ilmu sekedar terkoleksi di alam dimensi pikiran dalam kepala tanpa realisasi dalam amal perbuatan maka iblis adalah makhluk yang menyandang gelar pemilik ilmu sejati.
BACA JUGA: Konsep Taqiyah Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah
Cermat Menimba Ilmu Dari Sumbernya
Kita tidak mengatakan Ust. Hanan At-Takki adalah seorang mujtahid, tapi sekedar memberikan gambaran bahwa seperti itulah ketika sebuah persoalan ditanyakan pada orang yang tepat. Akan lahir darinya sebuah lentera terang yang memberikan petunjuk untuk menapaki jalan kehidupan, menawarkan solusi pada segala problematika yang menimpa tanpa menggadaikan ridha Yang Maha Segalanya.
Sebaliknya, bila urgennya agama malah dipercayakan kepada orang yang bukan ahlinya, menyebarlah fitnah ditengah ummat hingga mengaburkan makna dari nilai-nilai keagamaan dan menjadi benih sebab terpecahnya persatuan dalam tubuh umat islam sendiri.
Fenomena fatwa yang bertentangan dengan dalil syar’i banyak terjadi di negeri ini, seperti kasus toleransi kebablasan perihal keyakinan berupa ungkapan selamat hari natal yang harus dilafalkan hingga keabsahan hubungan seksual non marital (zina) yang bila ditinjau ulang selalu menuai badai kontroversi dan penuh kecacatan logika maupun moral. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan sekehendak lisanmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram,’ untuk mengadakan kebohongan. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung” (an-Nahl : 116)
Para ulama salaf terdahulu jauh-jauh hari telah berwasiat untuk selalu melazimi keotetikan ilmu yang bersumber dari sumur kebenaran, agar selalu cerdas dalam memilah guru, dan bertanya meminta fatwa hanya kepada orang yang tepat. Allah Al-Maula Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl:43)
Ibnu Sirrin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu adalah nilai keislaman seseorang, maka lihatah dengan baik pada siapa kamu menimbanya”
Identifikasi Kredibilitas Fatwa
Kebutuhan umat pada fatwa ulama menjadi dasar sandaran segala aktivitas yang hendak dilakukan tiap insan beriman. Sehingga, kekeliruan dalam berfatwa merupakan bahaya besar yang berdampak tergelincirnya bayak orang. Untuk itulah, mufti (orang yang memberikan fatwa) harus berasal dari jajaran ulama yang memiliki kompetensi dari segi ilmu dan banyaknya bekal yang harus dimiliki. Sehingga para mufti punya rambu-rambu sendiri dalam memegang hak otoritas fatwa:
Pertama, kelayakan seorang mufti yang menjadi bahan pertimbangan yaitu baligh, muslim, tsiqqah, dipercaya, bebas dari sifat-sifat fasiq dan tercela, kejernihan jiwa, kecerdasan akal, kematangan daya fikir, pandai dalam bersosial dan bijak dalam mengambil kesimpulan sebuah hukum. (Adabul Mufti wal Mustafti 86, al-Majmu’ 1/41)
Kedua, fatwa bersumber dari dali-dalil syar’i yang sesuai dan tidak bertentangan dengan pemahaman para ulama terkemuka dengan hujjah dari al-Qur’an, as-Sunnah an-Nabawiyah, Ijma para mujtahid, dan qiyas. Maimun bin Mahran berkata, ”Dahulu sahabat Abu Bakar ra ketika mendapati suatu permasalahan selalu bersandar pada al-Qur’an. Bila tak didapati maka beliau beralih mencari di kumpulan hadits-hadits nabi, bila tidak didapati lagi, beliau meminta pendapat ijma’ dari kaum muslimin.” (ad-Darimi 1/58)
Ketiga, melekatnya sifat-sifat seorang mufti. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Tidak patut seseorang mengeluarkan fatwa sebelum menghiasi dirinya dengan empat perkara; Niat ikhlas, karena niat adalah cahaya yang tanpanya tak akan ada cahaya petunjuk dalam fatwanya, Ilmu yang luas, Kekuatan referensi juga wawasan, sangat mumpuni, dan masyhur di tengah-tengah umat” (I’lamul Muwqi’in, 4/199)
Keempat, mempriortaskan kemudahan. Karena Allah Azza wa Jalla memberikan fitrah kepada manusia condong menyukai kemudahan juga kelapangan, dan fitrah membenci kesulitan. Tidak diragukan pula bahwa keistimewaan syariat islam terletak pada kemudahannya dan pelepasan dari segala kesulitan. Bahkan, kalangan ulama menyebutkan dalil memudahkan umat mencapai derajat dalil yang qath’i’. (Maqashid Syari’ah Islamiyah, Thahir bin ‘Asyur, Hlm. 63)
Kelima, Fatwa tidak tersusun dari kalimat yang membingungkan. Inti fatwa sendiri tampil sebagai penjelas hukum-hukum sehingga harus diungkapkan dengan jelas dan gamblang. Titah Allah Ta’ala pada Rasulullah ﷺ pun menyampaikan dengan penuh kejelasan,
وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan amanat Allah dengan kejelasan …” (an-Nuur : 54). Wallahu a’lam bisshowab. [Ahmed Azka]
BACA JUGA: Paham Rusak Akibat Belajar Otodidak