Ada seorang imam besar dari Kuwait bernama Syaihk Fahd al-Kandari, beliau bersama timnya mengadakan acara Musafir Ma’al Qur’an, yaitu menjelajah ke negri-negri yang ada penghafal al-Qur’annya, mulai dari Timur Tengah, beberapa negara di Benua Eropa, Afrika, Asia, bahkan sampai ke Indonesia.
Nah, salah satu negri yang di jelajahi adalah Mauritania yang terdapat di benua Afrika, di sana ia mendapatkan sesuatu yang unik, ketika melihat cara mereka menghafalkan al-Qur’an. Sebab mereka tidak menggunakan al-Qur’an sebagaimana yang kita gunakan. Al-Qur’an mereka berbentuk kayu sepanjang 40-55 cm dan lebar 20-25 cm. Di sana Syaihk Fahd diperkenalkan dengan seorang anak yang bernama al-‘Alamah Muhammad Fadhil, berumur 10 tahun dan telah menghafal al-Qur’an 30 juz. Ketika diwawancarai sejak kapan ia mulai menghafalkan Qur’an dan berapa lama ia menyelasaikannya serta siapa pembimbingnya, ia menjawab, “Saya mulai menghafal sejak umur 6 tahun dan selesai pada umur 8 tahun, dan yang membimbing diriku adalah orang tuaku”.
Pendidikan Ala Mauritania
Hal itu mungkin akan sangat luar biasa bagi kita, tapi bagi mereka hal semacam itu merupakan hal yang biasa dan wajar, karena ternyata mereka (orang-orang Mauritania) adalah suku yang sangat di segani oleh para ulama Saudi akan kebiasaan mereka dalam menuntut ilmu yang luar biasa.
Sebab, sudah menjadi kebiasaan mereka, jika ada anak kecil di sana berusia 7 tahun belum menghafal Qur’an, itu akan sangat memalukan kedua orang tuanya, bahkan 7 dari 13 doktor di MEDIU berasal dari Mauritania. Jadi, mereka mendapat pendidikan Al-Qur’an bukan hanya sejak kecil, tapi mulai sejak bayi. Maka ketika seorang Ibu yang sedang hamil, ia tidak akan menghabiskan waktunya hanya untuk tidur. Sang ibu akan menyibukkan diri dengan mengulang dan membaca Al-Qur’an.
Saat lahir, maka anggota keluarganya yang akan menggantikan si ibu yang membacakan Al-Qur’an, misalkan si anak mengulang hafalan kepada bapak atau ibunya di depan adiknya yang masih bayi, ketika sedang digendong oleh ibu, kakaknya akan membacanya di hadapan ibunya.
Ketika si bayi mulai menginjak usia 7 tahun ke atas, mereka pergi ke tempat para masyaihk untuk belajar ilmu agama, tapi tidak di dalam kelas, karena para masyaihk setempat membuat tenda di tengah gurun dan di sanalah mereka melakukan proses belajar mengajar. Dalam pikiran kita mungkin hal itu akan sangat tidak mengenakkan, namun bagi mereka itu adalah nikmat dari menuntut ilmu, yang mana nikmat itu tidak dapat diketahui selain mereka yang merasakannya.
Maka ketika syaihknya berkata, “Istami’!”(Perhatikan!), maka semuanya memfokuskan perhatian hanya kepadanya, tidak ada yang berani menulis, apalagi bercanda, karena akan dimarahi. Setelah syaihknya menerangkan panjang lebar, baru kemudian mereka menulis apa yang telah disampaikan, uniknya tidak di selembar kertas, tapi di batu, daun, kulit pohon atau sejenisnya yang mereka bawa dari rumah, bukan karena tidak ada kertas tapi itu adalah sebuah larangan.
Kemudian, setelah mereka menulis semua yang telah diterangkan oleh syaihk, pastinya sesuai dengan ingatannya masing-masing, lalu mereka tunjukkan ke syaihk, jika ada kesalahan maka akan dikembalikan untuk dibenarkan hingga semua muridnya menuliskan semua yang diucapkan oleh sang guru. Hal ini menunjukkan bahwa syaihk tersebut hafal apa yang diucapkan.
Ketika semua murid telah menuliskan dengan benar, lalu syaihk menyuruh untuk menghapus catatan yang telah mereka tulis tadi, hal tersebut menunjukkan pelajaran yang disampaikan oleh syaihk sudah dihafal luar kepala. Jadi catatan mereka ya ingatan mereka itu. Setelah semuanya benar dan dihapus, maka syaihk melanjutkan pelajarannya, dan begitu seterusnya sampai pelajaran mereka di hari itu habis, barulah apa yang mereka ingat ditulis ulang dalam buku-buku mereka.
Ilmu Itu Didatangi
Di usia 17 tahun rata-rata mereka sudah bisa mengeluarkan fatwa, artinya mereka sudah jadi mufti. Namun, timbul sebuah pertanyaan kenapa ulama dari Mauritania tidak terkenal. Sebab, sudah menjadi tradisi mereka untuk belajar dan mengajar di area setempat, sehingga tidak ada yang namanya safari dakwah, seminar, mengisi dauroh atau tablig akbar.
Berarti, jika ada orang-orang yang ingin belajar kepada mereka, harus mendatangi dan berkunjung kepada mereka, hal ini sesuai dengan kata pepatah ‘ilmu itu didatangi bukan didatangkan’. Sebenarnya bayak ulama-ulama dari Mauritania, biasanya nama mereka berakhiran asy-Syinqithi, mereka adalah hasil didikan adat menuntut ilmu ala Mauritania.
[Syahrinal/Majalah An-Nuur vol.57]