Suatu ketika khalifah Harun Ar-Rasyid pergi ke Raqqah, ketika itu melewati rombongan orang-orang yang berlarian menyambut Abdullah bin Mubarak, hingga terputuslah sandal-sandal dan debu-debu berterbangan. Lalu budak wanita Amirul Mukminin melihatnya dengan heran dan bertanya, “Siapa orang itu?” Mereka menjawab, “Ulama dari Khurasan telah datang.” Lalu diapun bergumam, “Demi Allah, inilah raja yang sebenarnya. Tak sebagaimana khalifah Harun yang mengumpulkan manusia dengan tentara dan para pembantunya.”
Keutamaan Ilmu Syar`i
Begitulah, jika seorang memiliki ilmu, mengamalkan dan mengajarkannya. Manusia berbondong-bondong dengan rasa cinta memuliakan pemiliknya, begitulah janji Allah. Bahkan, ilmu adalah termasuk amalan yang paling utama. Mengapa demikian, ini sebagaimana disebutkan Ibnu Baththal dalam Syarh Shahih Bukhari menyebutkan sebuah riwayat, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud, ‘Wahai Abu Abdirrahman, amalan apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Ilmu.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Amalan apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Ilmu.’
Lalu lelaki itu berkata, ‘Saya bertanya kepada anda tentang amalan yang paling utama, tapi kenapa anda menjawab dengan ilmu?’ Beliau menjawab, “Duhai malangnya dirimu! Sungguh ilmu tentang Allah (Ilmu Syar`i) merupakan sebab bermanfaatnya amalmu yang sedikit maupun yang banyak. Dan kebodohanmu tentang Allah menyebabkan amalmu yang sedikit maupun banyak menjadi tidak bermanfaat bagimu.”
Seluruh kebaikan dunia dan akhirat akan didapatkan oleh orang yang paham akan ilmu. Sebaliknya, keburukan akan didapatkan orang tidak paham akan ilmu. Dan satu-satunya cara untuk memahami ilmu adalah thalabul ilmi(menuntut ilmu), dengan mendatangi para ulama dan menimba ilmu dari mereka.
Ilmu Sebelum Qaul dan Amal
Ilmu menjadi sangat penting bagi mereka yang rindu memasuki jannah. Sebab, Allah hanya menerima amalan yang sesuai dengan syari’at-Nya. Maka sebelum beramal dan berkata, hendaklah semua itu dilandasi ilmu. Itu selaras dengan perkataan Imam Bukhari yang sangat terkenal, “Al-Ilmu qabla qaul wal `amal” (berilmu sebelum berkata dan berbuat).
Sebagaimana juga ilmu tidaklah berguna tanpa diamalkan, yang justru menimbulkan sikap meremehkan ilmu dan bermalas-malasan dalam mempelajarinya. Amal shalih yang diharapkan menjadi perantara kepada surga tidaklah berfaedah tanpa diiringi ilmu syar’i. Barangsiapa yang ingin mendapat surga, ia haruslah mengetahui rute perjalanan, supaya menjadi lebih mudah menempuh jalan panjang tersebut. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah memudahkan baginya untuk masuk surga.” (HR. Tirmidzi)
Pengaruh Ilmu terhadap Pemiliknya
Buah dari ilmu yaitu tumbuhnya rasa khasyah (takut) kepada Allah. Apabila ia bekerja, ia mencari pekerjaan halal dan selalu berpijak pada aturan syar’i. Apabila usahanya telah sukses, ia tidak lupa menunaikan kewajibannya dan melakukan sunnah Rasul-Nya. Yang intinya mengarah menjauhi hal yang mencelakakan dunia dan akhiratnya.
Bila ia mengamalkan ilmu syar’i maka dihitung sedang meniti jalan ke surga, walaupun secara lahir ia bekerja untuk menghidupi diri dan keluarganya. Kemudian orang yang semakin tinggi ilmunya, semakin tinggi pula derajatnya di jannah selagi konsisten dengan ilmunya. Allah berfirman, “Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu ke beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Dalam tafsir Al-Qurthubi disebutkan riwayat yang menjelaskan ayat tersebut yaitu, “Kedudukan ulama berada di atas orang-orang beriman dengan selisih 700 derajat, jarak masing-masing derajat dengan yang lain sejauh 500 tahun perjalanan.” Maka jika ditotal, jarak antara keduanya adalah 350.000 tahun perjalanan. Perkirakan berapa kilometer jarak yang mampu ditembuh selama itu, sungguh jarak yang sangat jauh.
Bahkan, Nabi Muhammad juga memberikan perumpamaan yang fantastis dalam sabdanya, “Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan ahli ibadah seperti perumpamaan bulan purnama dibandingkan dengan bintang-bintang yang ada.” (HR. Abu Dawud) Sebab, ahli ibadah hanya bernilai satu ibadah saja, sedangkan ahli ilmu (ulama) yang mengamalkan dan mengajarkan ilmunya, maka dia mendapat pahala orang yang beramal shalih lantaran bimbingan dan motivasinya.
Kami akhiri dengan sabda Rasulullah, “Ketahuilah sesungguhnya dunia itu terlaknat dan segala isinya juga terlaknat. Kecuali, dzikir kepada Allah dan apa yang berkaitan dengannya, dan orang yang alim atau orang yang belajar.” (HR. Tirmidzi)
Peran Ulama Figur Para Rasul
Imam Ahmad bin Hambal membuka tulisan beliau dalam karya ar-Radd `ala al-Jahmiyah dengan perkataan yang sangat indah, “Sega puji bagi Allah, yang telah mengisi setiap kekosongan para rasul dengan hadirnya para ulama. Mereka menyeru manusia menuju hidayah. Mereka bersabar menghadapi gangguan yang merintangi jalannya. Mereka menghidupkan jiwa-jiwa yang mati dengan mangajarkan Kitabullah.
Mereka berikan pencerahan kepada orang-orang yang buta dengan cahaya Allah. Betapa banyak korban yang telah dibinasakan oleh Iblis, lalu mereka menghidupkan kembali jiwanya. Betapa banyak orang yang tersesat dan bingung, lantas mereka beri bimbingan. Betapa indah ajakan mereka kepada manusia, namun betapa buruk tanggapan manusia atas mereka.”
Ibnu Jama’ah Al-Kinani Asy Syafi’i berkata, “Pahamilah bahwa semua dalil tentang keutamaan ilmu dan ulama hanya diperuntukkan bagi ulama yang mengamalkan ilmunya, yang baik, dan yang bertakwa. Dengan ilmunya ia hanya mencari ridha Allah dan kedudukan mulia di sisi-Nya, kelak di dalam surga yang penuh nikmat. Bukan ulama yang mencari ilmu untuk maksud jahat, atau dengan kebiasaaan buruk, atau untuk memperoleh materi duniawi, seperti harta, kedudukan, dan pengikut yang banyak.” (Tadzkiratus Sami’ wal mutakallim, Hal. 46)
[Ammar Abdurrahman/Majalah An-Nuur vol.57