Jagad media sosial di tanah air tetiba gempar. Syaikh Ali Jabir, da’i nasional hafidzul qur’an asal Madinah yang kerapkali tampil di media massa ditusuk orang tak dikenal. Lokasi di Masjid Falahuddin, Jalan Tamin, Kecamatan Tanjungkarang Pusat, Kota Bandar Lampung, Ahad (13/9) petang. Akibatnya, beliau menderita luka tusuk di lengan kanan bagian atas.
Tak lama berselang pihak kepolisian mengeluarkan press rilis. Pelaku atas nama Alfin Andrian (24) asal Jln. Tamim, Gg Kemiri, Kel. Suka Jawa, dinyatakan mengalami gangguan jiwa selama 4 tahun belakangan. Dalam rilis tersebut dijelaskan, keterangan ini didapat dari orangtua pelaku.
Peristiwa nyaris serupa juga pernah terjadi pada tahun 2018 lalu, satu kasus yang cukup menghebohkan publik Indonesia, kasus kejahatan beruntun yang menurut dugaan penegak hukum pelakunya adalah orang gila.
Kasus pertama menimpa ulama NU (Nahdhatul Ulama) sekaligus Pimpinan Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, KH Umar Basri. Beliau diserang oleh orang yang diduga adalah orang gila pada kamis (27/01/18).[2] Tidak lama kemudian, kasus penyerangan bahkan hingga berujung kematian kembali terjadi (01/02/18). Korban adalah Komandan Brigade PERSIS, Ust H.R Prawoto, saat beliau sedang berada di kediamannya.[3] Tak hanya menyerang manusia, kejahatan orang gila juga ternyata menarget masjid. Pada Selasa (12/02/18) Masjid Baiturrahim Jl. Sumurgembol No 77 karang sari Tuban Jawa Timur dirusak orang yang diduga gila.[4]
Selain menghebohkan karena pelaku adalah orang yang diduga gila, ada yang aneh dari peristiwa-peristiwa di atas. Di antaranya adalah korban yang ditarget adalah tokoh serta simbol Islam. Hal ini kemudian yang memunculkan analisa bahwa ada dalang dibalik peristiwa, bahkan ada kemungkinan bahwa pelaku hanya pura-pura gila.[5]
Kasus-kasus tersebut, jika dihukumi lewat kacamata hukum positif, pelaku akan terbebas dari jerat hukum sebab kegilaannya tersebut. Sebagaimana yang tertera dalam pasal 44 ayat 1 dan 2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Dalam perspektif hukum Islam, Islam memiliki undang-undang yang mengatur pidana, termasuk pidana yang dilakukan orang gila, baik ketika kejahatan itu murni dari orang gila, maupun apabila ia dimanfaatkan oleh pihak lain. Makalah ini bermaksud untuk membahas bagaimana hukum Islam memandang hukum pidana yang dilakoni oleh orang gila.
Definisi Ahliyah at-Taklif
Secara etimologi, term ‘ahliyah’ berasal dari kata kerja اهل, dikatakan: seorang yang ahli, berarti orang tersebut memiliki kekhususan dalam suatu hal.[6]
Sedang menurut terminologi, al-Jurjani dalam at-Ta’rifat nya mendefinisikan:
الاهلية: عبارة عن صلاحية الإنسان لوجوب الحقوق المشروعة له وعليه
“Suatu sifat yang dimiliki oleh seseorang, yang dijadikan ukuran oleh Sang Pembuat Hukum untuk menentukan seseorang telah cakap diberi hak dan dikenai kewajiban kepadanya. [7]
Adapun menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, ahliyah adalah sebuah sifat yang yang ditetapakan oleh Allah Ta’ala kepada seseorang, sehingga ia bisa menjadi objek yang ideal untuk memanifestasikan setiap titah-Nya.[8]
Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa ahliyah ataupun kecakapan seseorang merupakan sifat sempurna badan dan akalnya. Sehingga dengan adanya sifat ini orang tersebut siap untuk mendapatkan setiap hak yang telah ditetapkan untuknya dan juga ia terkena kewajiban menunaikan hak yang diwajibkan atasnya, pun ahliyah menjadi tolok ukur dari sah dan tidaknya setiap tindakan dan mu’amalah yang ia lakukan. Serta dengannya seseorang dibebani tanggung jawab atas setiap syariat yang ditinggalkan.[9]
Pembagian Ahliyah
Para ulama, terkhusus ushuliyun membagi ahliyah menjadi dua macam:
Pertama, ahliyah al-wujub; adalah kecakapan manusia untuk ditetapkan berbagai macam hak baginya, dan dibebani pula kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap orang, semenjak ia lahir hingga menghembutkan nafas terakhir dalam segala kondisi.[10] Para ushuliyun membagi ahliyah ini menjadi dua keadaan: ahliyah al-wujub an-naqishah dan ahliyah al-wujub al-kamilah.
Ahliyah al-wujub an-naqishah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak dituntut sebuah kewajiban. Hal ini ditetapkan kepada seorang janin yang masih dalam kandungan, ia berhak mendapatkan berbagai hak seperti waris, wasiat dan wakaf. Namun, ia tidak dibebani dengan suatu kewajiban apapun.
Ahliyah al-wujub al-kamilah, yaitu kecakapan seorang untuk menerima hak dan dikenai sebuah kewajiban. Ahliyah ini ditetapkan semenjak ia lahir dan berlaku selama ia masih bernafas.[11]
Kedua, Ahliyah al-Ada’, adalah kecakapan seorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut syariat, dihitung sejak ia menginjak usia tamyiz.
Sebagaimana ahliyah al-wujub, ahliyah al-ada juga terbagi menjadi dua; ahliyah al-ada’ an-naqishah, seorang yang telah memiliki ahliyah ini ia sudah tamyiz dan mengerti akan hal yang ia lakukan, seperti ibadah dan sebagian bentuk akad. Dan hukumnya sah jika dilakukan, dan ahliyah al-ada’ al-kamilah, orang yang memiliki ahliyah ini adalah orang yang telah baligh serta mengerti betul semua tindak perbuatan yang ia lakukan, seperti dalam tabbaru’ al-maliyah semilal waqaf dan hibah.[12]
Penghalang Ahliyah
Awaridh ahliyah merupakan hal-hal dan kendala yang memberikan pengaruh dalam berbagai hukum baik itu yang dapat merubah hukum atau bahkan sampai menghilangkannya.[13] Terbagi menjadi dua:
Pertama: samawiyah, yaitu sebuah peghalang yang ada dan ditetapkan oleh sang pembuat dan pemilik syariat (Allah). Dalam hal ini seorang hamba tidak memiliki kuasa sama sekali, sehingga penghalag ini dinisbatkan ke langit, maksudnya adalah ketetapan dari langit. Awaridh ini ada sebelas; anak kecil, gila, idiot, tidur, lupa, pingsan, perbudakan, sakit, haidh, nifas dan mati).
Kedua: muktasabah, adalah setiap penghalang yang memungkinkan adanya usaha dari mukallaf, baik untuk mengadakannya ataupun menghilangkannya. Penghalang tersebut ada tujuh; bodoh, tolol, mabuk, senda gurau, salah, safar serta terpaksa.
Definisi Akal dan Urgensinya Dalam Syariat
Secara bahasa al-aqlu berarti al-hijru wa an-nahyu (pencegahan dan larangan). Akal lawan kata dari al-hamqu (bodoh).[14]
Sedang menurut istilah, para ulama memiliki definisi masing-masing yang berbeda-beda. Adapun Husam an-Nauri menyimpulkan definisi yang telah diutarakan oleh para ulama, beliau mengatakan bahwa akal adalah kemampuan manusia untuk memahami hakikat sesuatu yang masih bisa dinalar. Kemudian ia juga mampu mengambil sebuah hukum degan mengaitkan berbagai maklumat yang terkumpul di otaknya.[15]
Dalam syariat, akal memiliki kedudukan dan urgensitas yang sangat penting. Di antara urgensi akal adalah sebagai berikut:
Pertama: akal adalah keistemawan bagi manusia yang Allah karuniakan, dan akal merupakan sarana untuk mengetahui perkara yang bermanfaat dan yang mengandung madharat.
Kedua: wasilah manusia untuk mendapat hidayah dan petunjuk.
Ketiga: perkara yang amat penting untuk mengetahui hukum syariat, setelah terputusnya wahyu.
Keempat: akal adalah sebab adanya taklif. [16]
Definisi Gila
Secara bahasa: junun masdar dari جن-يجن-جنونا.yang berarti menutupi. Adapun malam menjadi gelap karena tertutupi, dan jin (الجن) itu lawan kata dari manusia. Dinamakan jin karena ia tertutupi dan tidak terlihat, sedang tameng (الجنة) adalah alat yang digunakan untuk menghalangi serangan senjata [17]
Adapun menurut terminologi, para ulama memberikan definisi gila dengan berbagai redaksi namun semuanya mengerucut pada makna sama, sebagai berikut:
Pertama: hilangnya akal yang menyebabkan tidak normalnya perilaku, baik verbal maupun tindakan[18].
Kedua: hilang ataupun lemahnya kinerja akal. Pada pengertian ini mencangkup seluruh pengertian segala penyakit yang berkaitan dengan gangguan kejiwaan yang mengakitbatkan hilangnya kemampuan berpikir[19].
Ketiga: hilangnya kemampuan pada diri seseorang untuk membedakan antara perkara baik dan buruk. Serta memahami dampak dari segala perbuatan. Sehingga perbuatan tersebut tidak dianggap. Hal ini bisa disebabkan karena penyakit pada otak sejak dari kelahiran, atau miringnya sistem saraf otak tersebab sakit atau kecelakaan, ataupun juga gangguan setan.[20]
Keempat: gila adalah keadaan saat akal tengah tertutup[21].
Kelima: penyakit yang menyerang akal manusia, sehingga daya untuk mengetahui dan membedakan antara perkara baik dan buruk menghilang dan tidak berfungsi.[22]
Pembagian Gila
Dalam rangka mempermudah dalam menentukan hukum bagi orang gila, para ulama mengklasifikasikan gila menjadi beberapa macam, sebagai berikut:
Gila ditinjau dari sebab kegilaan.[23]
Pertama: Junun Asli, yaitu penyakit gila yang menimpa seseorang sejak dilahirkan, dan sedikit sekali kemungkinan bisa disembuhkan.
Kedua: Junun Thari’/Aridh, yaitu penyakit gila yang menimpa seseorang bukan sejak ia lahir, melainkan tersebab suatu hal seperti sakit, yang kemudian hal tersebut melemahkan kemampuan akalnya.
Gila ditinjau dari Masa Berlangsungnya.
Pertama: Junun Muthbaq (terus menerus)
Yaitu gila yag menjadikan seseorang tidak bisa berfikir sama sekali dan berlangsung terus menerus, baik itu bawaan sejak ia lahir (junun Ashli) ataupun tidak (junun muthbaq)
Kedua: Junun Mutaqatti’ (berselang/kambuhan)
Adalah gila yang menjadikan seseorang tidak dapat berfikir sama sekali, namun tidak terus menerus. Terkadang ia kambuh dan terkadang ia sembuh. Jika ia kambuh, ia tidak dapat berfikir sama sekali, namun jika sembuh, akalnya akan normal kembali.[24]
Pengaruh Gila dalam Ahliyah
Di antara penghalang (awaridh) sebuah taklif, ada yang memberikan pengaruh pada hukum secara menyeluruh, ada juga yang hanya memberikan efek pada sebagian saja. Adapun gila, yang merupakan salah satu bentuk awaridh. Ia hanya memberikan dampak terhadap ahliyah al-ada’, sehingga orang gila tidak dikenai tanggung jawab apapun secara syar’ie. Karena ahliyah al-ada itu pondasinya adalah akal. Sedangkan orang gila tidak memiliki akal.
Adapun dalam ahliyah al-wujub, gila tidak memberikan dampak apapun. Sebab dasar dari ahliyah ini adalah sifat kemanusiaan. Maka, selama manusia masih hidup, ahliyah al-wujub akan senantiasa melekat pada dirinya.[25]
Pertanggung Jawaban Orang Gila dalam Kasus Pidana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang disebut dengan pidana adalah segala tindak kejahatan termasuk didalamnya adalah pembunuhan, perampokan, dan segala tindak kriminal atau kejahatan yang bisa dikenai hukuman menurut undang-undang.[26] Adapun dalam hukum Islam pidana sering diistilahkan jarimah dan jinayah. Hanya saja dalam Islam lebih diperjelas bahwa hukuman atau perjanggung jawaban dari tindak pidana berupa qishas dan hudud ataupun ta’zir.[27]
Adapun pertaggung jawaban orang gila berkaitan dengan pidana ini berbeda-beda, perbedaan ini tersebab dua aspek, apakah gilanya menyertai jarimah atau terjadi sesudahnya. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
Pertama: Gila yang Menyertai Jarimah (Tindak Pidana)
Apabila gila menyertai tindakan pidana (saat melakukan dalam kondisi gila), maka pelakunya dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana, karena saat melakukan hal tersebut ia tidak mempunyai kemamuan idrak (berfikir).[28] Dalam hal ini yang menjadi landasannya adalah hadits Rasulullah Shalallahu alahi wa sallam,
رفع القلم عن ثلاثة : عن النائم حتى يستيقط ، وعن الصبى حتى يحتلم ، وعن المجنون حتى يعقل
“diangkatnya kalam (tuntutan) dari tiga hal; dari anak-anak sampai ia dewasa, dari orang yang tidur sampai terjaga, dan dari orang gila sampai ia waras”.[29]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa apabila seorang yang mengidap penyakit gila melakukan tindakan jarimah al-hudud atau tindak pidana yang berkonsekunsi pada penegakan had, seperti berzina, mabuk, mencuri dsb. Maka ia tidak terkena hukuman had alias gugur. Hanya saja pada kasus pencurian ia masih diwajibkan untuk mengembalikan harta yang dicuri,[30] apabila masih ada.
Apabila telah hilang, maka diambil dari hartanya.[31] maksudnya adalah harta yang berada di tangan walinya. berupa harta waris ataupun harta yang menjadi haknya.[32] Demikian juga pada perkara lain yang berkaitan dengan harta, seperi pengrusakan dll.
Adapun dalam tindak pidana yang berkonsekuensi qishash dan diyat. Maka orang gila tidaklah di-qishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah Maliyah, yaitu dengan membayar diyat. Hal tersebut dikarenakan kejahatan yang berkaitan dengan hak hamba itu tidak bisa digugurkan seperti halnya hak Allah.[33]
Adapun para ulama berselisih mengenai siapa yang berhak membayarkan diyat; menurut pendapat as-Syafi’i adalah dengan mengambil harta orang gila tersebut. adapun menurut jumhur; al-aqilah (keluarga pelaku) yang membayarkan sebagaimana dalam pembunuhan bersalah.
Sedang pembunuhan yang ia lakukan itu disamakan dengan al-qathl al-khata’. Sebagaimana pendapat mayoritas ulama selain Syafi’I;
إنّ المجنون عمده خطأ
“(perbuatan) yang disengaja oleh orang gila itu (dianggap) khata”[34]
Sedangkan perkara yang juga menjadi perselisihan para ulama adalah perihal kafarah bagi orang gila. Menurut Abu Hanifah tidak wajib, karena kafarah adalah bentuk ibadah, sedang orang gila tidak dibebani dengan ibadah. Menurut Syafi’I dan Ahmad bin Hambal itu wajib, tetapi tidak untuk puasanya.[35]
Kedua: Gila yang Datang Belakangan
Maksudnya adalah gila yang muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik sebelum atau setelah proses pengadilan. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat:
Menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, gila yang timbul pada pelaku sebelum atau sesudah proses pengadilan hakim tidak menghalangi dan menghentikan proses hukuman, artinya mereka tetap di-qishas dan dikenai had meskipun mereka dalam kondisi gila.[36]
Hal ini dikarenakan menurut mereka, dasar dari dilaksanakanya hukuman adalah terpenuhinya syarat taklif ketika melakukan tindakan pidana, bukan pada waktu proses pengadilan apalagi eksekusi hukuman.[37]
Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah bersilang pendapat dengan kedua madzhab sebelumnya, menurut dua madzhab ini seorang pelaku tindak pidana yang kemudian mengalami kegilaan tidak dikenai had dalam jarimah hudud hingga tersadar[38], dikarenakan penegakan had masuk juga dalam perkara taklif yang dibebankan pada orang gila, sedangkan mereka bukan lagi mukhatab ketika masa pengadilan ataupun masa eksekusi karena kegilaannya. Serta karena syarat legal penegakan had menurut Hanafiyah bukan hanya terpenuhinya syarat taklif ketika melakukan tindak pidana saja, namun juga saat masa pengadilan dan eksekusi hukuman.[39].
Adapun jarimah qishas, menurut Hanafiyah terdapat dua ketentuan:
Ketentuan pertama, jika pelaku menjadi gila sebelum atau sesudah proses pengadilan. Namun, belum diserahkan kepada waliyu ad-dam (wali korban) maka hukuman qishas diganti diyat.
Kedua, jika pelaku menjadi gila setelah diserahkan kepada wali korban, maka mereka boleh membunuhnya.
Kedua ketentuan ini jika pelaku menjadi gila dan kegilaannya tidak mungkin untuk sembuh (junun muthbaq)[40]. Namun, apabila junun mutaqati’ maka ia diqishas pada saat pelaku sadar.[41]
Adapun Madzhab Malikiyah, para ulamanya saling berbeda pendapat.
Setidaknya ada empat pendapat: Pendapat pertama: menurut Imam Malik bin Anas, orang gila ditunggu hingga sadar dan di-qishas pada masa sadarnya tersebut.
Kedua: menurut Ibnu Mawaz, apabila tidak ada kemungkinan sembuh, maka hukuman qishas diganti dengan diyat, dan ia tidak diqishas dalam keadaan gila.
Ketiga: menurut al-Mughirah: diserahkan kepada wali korban, terserah mereka mau memberi tindakan apapun, bisa dibunuh atau diberi maaf dan mereka pun tidak harus menuntut diyat dari pelaku.
Keempat: menurut al-Lakhami, pilihan diberikan kepada wali korban. Bisa dibunuh, atau mengambil diyat dari pelaku jika memiliki harta, kalau tidak maka dimaafkan.[42]
Sedangkan pendapat yang rajih menurut Husam Suhail an-Nauri dalam penelitiannya yang berjudul; Atsar al-Junun fi at-Tasharafat al-Qauliyah wa al-Fi’liyah fi asy-Syariah al-Islamiyah, adalah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah[43]
Hukum Orang Gila yang Diperalat
Dalam melakukan tindakan kriminal, terkadang seseorang tidak melakukannya dengan tangannya sendiri. Akan tetapi ada kalanya ia memanfaatkan jasa pihak lain untuk melancarkan kejahatannya. Termasuk memanfaatkan orang gila untuk melancarkan tindakan kriminal seperti yang terjadi pada beberapa kasus.
Dalam istilah hukum Islam, orang yang menjadi otak di balik kejahatan atau orang yang menjadi penyebab kejahatan tapi tidak secara langsung disebut dengan mutasabib. Sedang orang yang menjadi pelaku lapangan atau eksekutor disebut dengan mubasyir.
Adapun hukum ataupun pertanggung jawaban atas kejahatan yang menghadirkan dua pelaku tersebut pada dasarnya adalah dibebankan kepada mubasyir sebagai eksekutor.[44] Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kaidah:
اذا اجتمع المباشر و المتسبب اضيف الحكم الى المباشر
“Apabila (dalam suatu perbuatan) ada mubasyir dan mutasabib, maka hukum disandarkan kepada mubasyir”[45]
Namun, seorang mutasabib juga bisa dibebani tanggung jawab apabila kondisi-kondisi berikut ini:
Pertama: apabila tindakan mubasyir dibawah pengaruh kuat mutasabib
Kedua: ide jahat semata-mata dari seseorang
Ketiga: jika mubasyir melakukan kejahatan karena ditipu oleh mutasabib.
Keempat: apabila ahliyah mubasyir itu kurang (tidak sempurna)
Kelima: mubasyir dalam kondisi dipaksa.[46]
Maka, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang gila yang diperalat untuk melakukan tindak kejahatan pidana tidak dibebani tanggung jawab. Melainkan orang yang memanfatkannya-lah yang mendapat beban tersebut.
Hukum Orang yang Pura-Pura Gila
Fakta dan kenyataan bahwa kondisi gila bisa menghalangi seseorang dari pertanggung jawaban pidana, ternyata dimanfaatkan oleh oknum tertentu dalam melanjalankan aksi kejahatan. Mereka berpura-pura gila agar terbebas dari tuntutan hukum.
Adapun Hukum Islam memberikan ketentuan hukum bagi orang yang pura-pura gila (at-tathahur bi al-junun) yang melakukan tindak pidana, sebagai berikut:
Kondisi pertama: jika diketahui bahwa orang tersebut tidak gila, namun hanya berpura-pura. Maka, ia dihukumi sebagai mukallaf, dan ketentuannya pun sesuai dengan ketentuan bagi mukallaf.
Kondisi kedua: jika tidak diketahui bahwa ia berpura-pura gila, maka dihukumi sebagaimana orang gila, berikut ketentuannya. Alias dihukumi dzahir-nya, sedang segala urusan bathin diserahkan kepada Allah di hari akhir.[47]
Kesimpulan
Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertanggung jawaban orang gila dalam tindak pidana tidak dapat disamaratakan (gebyah uyah), melainkan disesuaikan dengan aspek dan variabel yang menyertainya.
Tindakan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang dalam kondisi gila, menggugurkan pertanggung jawaban, kecuali pada pencurian dan pembunuhan yang didalamnya terdapat hak hamba, diwajibkan dhaman.
Adapun seorang yang melakukan tindak pidana, lantas setelah itu menjadi gila. Menurut Madzhab Syafi’I dan Hambali tidak menggugurkan had dan qishas. Adapun menurut dua madzhab lainnya, hukuman gugur dan ditunggu sampai sadar jika dalam perkara jarimah hudud. Adapun dalam jarimah qishas kedua madzhab ini punya pandangan yang berbeda.
Orang gila yang dimanfaatkan dalam kasus kejahatan pidana, terlepas dari tanggung jawab. Karena tidak sempurnanya ahliyah.
Orang yang pura-pura gila dihukumi mukallaf jika ketahuan bahwa ia berpura-pura gila, dan dihukumi sebagaimana orang gila jika tidak diketahui kepura-puraanya.Wallahu a’lam. [Risdianto]
Baca Juga: Post Truth dan Kualitas Literasi Digital Kita
[1] http://news.metrotvnews.com/hukum/eN4x4Y5N-kapolri-sebut-angka-kejahatan-sepanjang-2017-turun-23, diakses pada hari Senin 30 juli. Jam 20.35
https://beritagar.id/artikel/berita/interval-kejadian-kejahatan-di-indonesia-memburuk. diakses pada hari Snin 30 juli 2018. jam 20.36
[2] https://www.kiblat.net/2018/02/08/kyai-umar-basri-korban-teror-orang-gila-alami-trauma/ diakses pada hari Selasa, 17 juli 18, jam 13.00.
[3] https://www.kiblat.net/2018/02/05/ustadz-prawoto-tewas-dianiaya-orang-gila-ini-imbauan-persis/ diakses pada Selasa, 17 juli 18, jam 13.01.
[4] https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/02/13/p42n70384-kaca-masjid-tuban-dirusak-pelaku-diduga-orang-gila diakses pada hari sabtu 22 juli 2018 jam 06.30
[5] https://www.kiblat.net/2018/02/10/intelijen-diduga-dalang-rentetan-insiden-orang-gila-serang-ulama/ diakses pada Senin 6 agustus 2018, jam 19.45
[6] Ibnu Mandzur, lisan al-‘Arab (Dar Shadir, Beirut) 9/29.
[7] Ali bin Muhammad bin Ali az-Zain asy-Syarif al-Jurjani, At-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403H) hlm 40.
[8] Musthafa Ahmad az-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am (Damaskus; Dar al-Qalam, 1998) 2/783.
[9] Ibid.
[10] Dr.Wahbah az-Zuhaili, ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut; Dar al-Fikri, 2001) 1/162.
[11] Ibid. Hlm 162
[12] Husam Suhail an-Nauri, Atsar al-Junun fi at-Tasharafat al-Qauliyah wa al-Fi’liyah fi asy-Syariah al-Islamiyah. Hlm:10
[13] Ibnu Amir al-Hajj, al-Taqrir wa at-Takhyir fi Ilmi al-Ushul (Beirut, Daar al-Fikr;) 2/230)
[14] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab. 11/459
[15] Husam Suhail an-Nauri, Atsar al-Junun fi at-Tasharafat al-Qauliyah wa al-Fi’liyah fi asy-Syariah al-Islamiyah. Hlm: 15
[16] Ibid, hlm: 16-17
[17] Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab. 13/92
[18] Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, At-Ta’rifat( Daar al-Kutub al-Arabi, Beirut, Libanon; 2002) hlm:69
[19] Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i Muqarinan bi at-Tasyri’ al-Wadh’i (Muasasah Ar-aRisalah Nasyirun, Damaskus, Suriah;2005)hlm 341
[20] Mas’ud bin Umar al-Talfazani, Syarkhu al-Talwih ala at-Taudhih. (Maktabah Shabh, Mesir) 2/332
[21] Qasim al-Qaunawi, Anis al-Fuqaha (Beirut, Muasasah al-Kutub ats-Tsaqafiyah;1986) hlm.55
[22] Dr.Muhammad az-Zuhaili, an-Nadhariyat al-Fiqhiyah (Dar al-Qalam, Suriah;1993) hlm.149
[23] Para ulama terdahulu menyebut ada tiga penyebab orang menjadi gila:
- Kurangnya jaringan saraf pada otak orang gila. Hal ini terjadi sejak kelahiran.
- Keluarnya jaringan otak dari salurannya, bisa disebabkan karena sakit atau kecelakaan—
- Gangguan setan, dengan hembusan hayalan-halayan yang rusak.
Akan tetapi seiring kemajuan ilmu kedokteran pada zaman ini, didapati penyebab lain dari penyakit gila ini, diantaranya: faktor keturunan, tekanan psikologis, lingkungan, Pendidikan yang salah, hilangnya rasa aman dan ketenangan. (lihat: Al-I’aqah Dzatu as-Shilah bi an-Nikah wa Ahkamuha: 159)
[24] Husam an-Nouri,34-35, lihat Abdul Qadir Audah 142-143, lihat Al-Itsbat Bi Al-Khibrah Baina Al -Qadha Al-Islami Wa Al-Qadha Ad-Dauli Wa Tatbiqatuha Al-Mu’asirah, Abd Nashir Syuniyur. Hlm 231
[25] Husam an-Nauri, hlm.35
[26] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Offline. Versi 1.5.1
[27] Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ al-Jina’i. hlm: 67
[28] Lihat: Al-Junun wa Anwa’uhu fi al-Mandhur al-Islami, Safar Ahmad al-Hamdani (www.al-Alaukah.com) hlm.11
[29] Al-Hafidz Abu Daud bin Sulaiman bi al-Asy’ats al-Sinjistani, Sunan Abi Daud (Bierut ;Dar al-Fikr) 4/194
[30] Husam an-Nouri, hlm.96
[31] Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqhi al-Islami (Dar al-Fikri al-Arabi, Kairo;1998).hlm 330
[32] Abu Ziyad Muhammad bin Mahmud an-Nu’mani, at-Tibyan bianna ‘ala al-Majnun fima Atlafa adh-Dhaman. (http://www.ahlalhdeeth.com)
[33] Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqhi al-Islami. hlm: 330-331
[34] Ibid.
[35] Ibid. hlm 332
[36] Ibid. hlm 333. Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi (Beirut; Dar al-Firki, 1990) 9/356. Lihat: Asna al-Mathalib fi Syarkhi Raudhi ath-Thalib, Zakaria bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari (Beirut; Dar al-Firki, 2002)4/120.
[37] Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqhi al-Islami (Kairo;Dar al-Fikri al-Arabi, 1998).hlm:333
[38] Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, Al-Mausu’ah al-Ahliyah (Kuwait;1989)16/116
[39] Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqhi al-Islami. Hlm: 330. Lihat:
[40] untuk menentukan seorang itu gila muthbaq adalah jika masa gilaannya berlanggsung satu bulan atau lebih setelah kemunculannya.
[41] Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-Islamiyah, Al-Mausu’ah al-Ahliyah (Kuwait;1989)16/114. Lihat: Husam Suhail an-Nauri, Atsar al-Junun fi at-Tasharafat al-Qauliyah wa al-Fi’liyah fi asy-Syariah al-Islamiyah. Hlm:93.
[42] Ibid. hlm: 94.
[43] Husam Suhail an-Nauri, Atsar al-Junun fi at-Tasharafat al-Qauliyah wa al-Fi’liyah fi asy-Syariah al-Islamiyah. Hlm 95.
[44] Ahmad Salim at-Tamimi, Majalah Jami’ah asy-Syariqah, Dauriyah Ilmiyah Muhakamah (juni 2016) jilid 13 hlm: 224
[45] Zain al-Abidin Ibrahim Ibnu Nujaim al-Misri, al-Asybah wa an-Nadhair (Beirut, Daar al-Kutub;1980)1/163
Makna global kaidah: apabila ada mutasabib dan mubasyir dalam tindakan menghilangkan nyawa seseorang ataupun harta seseorang. Adapun mubasyir sebagai eksekutor sedang mutasabib hanya menjadi penyebab tidak langsung dari perbuatan tersebut, dan pengaruh dari mutasabib pun tidaklah kuat, maka pertanggung jawaban dibebankan kepada mubasyir.
[46] Ahmad Salim at-Tamimi, Majalah Jami’ah asy-Syariqah, Dauriyah Ilmiyah Muhakamah (juni 2016) jilid 13 hlm:230
[47] Al-Junun wa Anwa’uhu fi al-Mandhur al-Islami, Safar Ahmad al-Hamdani (www.al-Alaukah.com) hlm.24-25