Oleh: Muhsinin al-Amin bin Rosyidin
Allah menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Dengan penciptaan manusia berpasangan mendorong untuk melakukan hubungan biologis dengan lawan jenisnya, guna melahirkan keturunan yang akan meneruskan kelangsungan eksistensi manusia. Namun, tidak setiap orang yang melahirkan merasa senang dan bahagia, terutama bila kelahiran tersebut merupakan kelahiran yang tidak diinginkan, karena faktor kemiskinan, faktor kegagalan kontrasepsi, akibat hubungan seks diluar nikah, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan banyak perempuan melakukan aborsi.
Daniel S. Green dari Washington Post mengatakan bahwa pada tahun 1996, di Amerika setiap tahun ada 550.000 orang yang meninggal karena kanker dan 700.000 meninggal karena penyakit jantung. Adapun berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Berarti ada 2.000.000 nyawa yang dibunuh setiap tahunnya secara keji tanpa banyak yang tahu. Artinya, aborsi lebih tinggi sebagai penyebab kematian dibandingkan kanker atau penyakit jantung.[1]
Dikutip dari Reuters, Sabtu 26 Mei 2018 sebagian warga Irlandia melakukan protes agar aborsi dilegalkan,[2] lalu disusul pada Jum’at 22 Juni 2018, Ratusan perempuan di Brazil melakukan aksi turun ke jalan menuntut otoritas berwenang Brazil agar mengambil langkah-langkah melegalkan aborsi dan mengizinkan mereka mendapatkan akses melakukan tindakan tersebut.[3]
Mengingat besarnya bahaya yang timbul dari tindakan tersebut, disamping abortus itu sendiri perbuatan asusila bila dipandang dari sudut moral dan etika, maka para ulama berusaha menjelaskan keberadaan abortus dalam perspektif hukum Islam.
Pengertian Aborsi
- Menurut Bahasa
Aborsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya ialah pengguguran kandungan, sedangkan Abortus artinya fetus dengan berat kurang dari 500 gram pada saat dikeluarkan dari uterus, yang tidak mempunyai kemungkinan hidup atau keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal
Aborsi Dalam Bahasa Inggris istilah ini menjadi abortion yang berarti pengguguran janin dari rahim sebelum ia mampu hidup sendiri, yaitu pada 28 minggu pertama dari kehamilan.[4]
Dalam Bahasa Arab aborsi dari kata جهض-يجهض-إجهاضا yang artinya melahirkan anaknya dalam keadaan belum sempurna penciptaannya[5]. Dalam kamus lain disebutkan جهض artinya mengalahkan, mencegah, menjauhkan.[6] Dan اجهض-يجهض-إجهاضا artinya perempuan hamil menggugurkan anaknya pada waktu yang tidak tepat, atau menggugurkan janin sebelum usia empat bulan, yang dalam Bahasa Arab pelaku aborsi disebut مجهض jama’nya مجاهض و مجاهيض .[7] Atau, secara bahasa juga bisa dikatakan, lahirnya janin karena dipaksa atau karena lahir dengan sendirinya.
Lembaga bahasa mengkhususkan bahwa ijhāḍ berarti mengeluarkan janin dari rahim sebelum bulan keempat dari kehamilan.[8] Dalam kajian fikih, tindakan aborsi menggunakan banyak istilah yakni istilah isqoṭ (menggugurkan), istilah ilqā (melempar), istilah ṭarḥu (membuang), dan imlaash.[9]
- Istilah
Yaitu seorang perempuan yang menggugurkan janin yang ada dalam perutnya dengan cara mengkonsumsi obat yang bisa menggugurkan kandungan atau dengan cara apapun yang bisa dilakukannya.[10]
Ijhad ialah mengeluarkan janin dari perut seorang ibu pada waktu yang tidak tepat untuk melakukannya.[11] Atau kematian janin sebab keluarnya dari Rahim ibu yang belum siap untuk menjalani kehidupan.[12]
Aborsi atau abortus adalah pengakhiran kehamilan baik belum cukup waktu, yaitu di bawah usia 20 sampai 28 minggu, mau pun belum cukup berat, yaitu di bawah 400 gr sampai 1000 gr. Bayi dikatakan bisa hidup di dunia luar kalau beratnya mencapai 1000 gr atau usia kehamilan 28 minggu. Ada juga yang mengambil sebagai batas untuk abortus berat anak antara 500 gr sampai 999 gr, disebut partus immaturus.[13]
Dalam dunia kedokteran aborsi adalah mengeluarkan hasil konsepsi atau pembuahan, sebelum janin itu dapat hidup di luar tubuh ibunya.[14]
Aborsi atau abortus menurut hukum pidana, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan suatu perbuatan yang mengakibatkan kandungan lahir sebelum waktunya melahirkan menurut alam. Pada tindak kejahatan terhadap pengguguran kandungan ini diartikan juga sebagai pembunuhan anak yang berencana, di mana pada pengguguran kandungan harus ada kandungan (vrucht) atau bayi (kidn) yang hidup yang kemudian dimatikan. Persamaan inilah yang juga menyebabkan tindak pidana penguguran (abortus) dimasukkan ke dalam titel buku II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa orang.[15]
Dari semua pemaparan diatas bisa diambil kesimpulan bahwa aborsi adalah sebuah perilaku yang dilakukan oleh seorang wanita hamil untuk menggugurkan kandungan yang ada di dalam rahimnya dengan cara minum obat-obatan atau cara lainnya yang bisa menghantarkan si calon bayi atau bayi keluar dari Rahim ibu dengan cara yang tidak alamiah dan belum sempurna.
Macam – Macam Aborsi
Dalam ilmu medis kedokteran, aborsi dapat digolongkan kepada dua kategori yaitu abortus spontaneus dan abortus provokartus. Abortus spontan (terjadi dengan sendiri, keguguran), insiden abortus ini pada umumnya tercatat sebesar 10%-20%.[16] Aborsi Spontan atau alamiah yaitu berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma. Para ulama sepakat tidak ada persoalan dalam kasus ini karena terjadi secara alami dan atas kehendak Allah Swt. Adapun jenis aborsi spontan dapat dibedakan sesuai dengan kondisinya sebagai berikut : [17]
- Abortus completes, (keguguranlengkap) artinya seluruh hasilkonsepsi dikeluarkan sehinggarongga rahim kosong.
- Abortus inkopletus, (keguguranbersisa) artinya hanya adasebagian dari hasil konsepsi yangdikeluarkan yang tertinggaladalah deci dua dan plasenta
- Abortus iminen, yaitu keguguranyang membakat dan akan terjadi,dalam hal ini keluarnya fetusmasih dapat dicegah denganmemberikan obat-obat hormonaldan anti pasmodica
- Missed abortion, keadan di manajanin sudah mati tetapi tetapberada dalam rahim dan tidakdikeluarkan selama dua bulanatau lebih.
- Abortus habitulis atau keguguranberulang adalah keadaan dimanapenderita mengalami keguguranberturut-turut 3 kali atau lebih.
- Abortus infeksious dan abortus septic, adalah abortus yang disertai infeksi genital.
Sedangkan abortus provokartus (sengaja digugurkan), merupakan 80% dari semua abortus. Abortus provokartus ada yang berdasarkan diagnosis pihak medis yang mengharuskan ibu diaborsi. Dan ada juga tanpa diagnosis pihak medis, yakni atas kehendak ibu karena berbagai alasan seperti ekonomi sulit, terlalu banyak anak, terjadi hubungan di luar nikah, perkosaan dan lain-lain, inilah disebut aborsi non therapeuticus. Abortus provocatus terbagi dua yakni artificialis atau therapeu ticus (abortus semacam ini ialah penguguran kehamilan dengan alasan membahayakan jiwa ibu, misalnya karena ibu berpenyakit berat), dan abortus provockatus kriminalis, adalah pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah dan dilarang oleh hukum.[18]
Dengan demikian banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan pengguguran. Cara yang paling tradisional adalah dengan cara yang kasar dan keras, seperti memijat-mijat bagian tertentu, yaitu perut dan pinggul dari tubuh wanita yang akan digugurkan kandungannya. Cara lain adalah dengan meminum obat-obatan atau ramuan tradisional dengan ditelan melalui mulut, atau diletakkan ke dalam vagina (alat kelamin wanita), dan ada juga yang menggunakan cara dengan mengoleskan zat-zat yang memedihkan kulit di bagian perut, atau si ibu sengaja berlapar-lapar agar janinnya meninggal.[19]
Menurut perspektif fiqih, aborsi digolongkan menjadi tiga macam :[20]
- Aborsi Spontan (al-isqâth al-dzâty). Janin gugur secara alamiah tanpa adanya pengaruh dari luar, atau gugur dengan sendirinya. Biasanya disebabkan oleh kelainan kromosom. Hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh infeksi, kelainan rahim atau kelainan hormon. Kelainan kromosom tidak memungkinkan mudhghah tumbuh normal. Kalaupun tidak gugur, ia akan tumbuh dengan cacat bawaan.
- Aborsi karena darurat atau pengobatan (al-isqâth al-dharry/al-‘ilâjiy). Aborsi jenis ini dilakukan karena ada indikasi fisik yang mengancam nyawa ibu bila kehamilannya dilanjutkan. Dalam hal ini yang dianggap lebih ringan resikonya adalah mengorbankan janin, sehingga menurut agama aborsi jenis ini diperbolehkan. Kaidah fiqih yang mendukung adalah: ”Yang lebih ringan diantara dua bahaya bisa dilakukan demi menghindari resiko yang lebih membahayakan.” [21]
- Aborsi karena khilaf atau tidak disengaja (khatha’). Pada kasus ini, aborsi dilakukan tanpa sengaja. Misalnya seorang pemburu yang hendak menembak binatang buruannya tetapi meleset mengenai seorang ibu yang sedang hamil ketika ibu itu sedang berjalan di persawahan sehingga mengakibatkan ibu tersebut keguguran. Tindakan pemburu tersebut tergolong tidak sengaja. Menurut fiqih, pihak yang terlibat dalam aborsi seperti itu harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Dan jika, janin keluar dalam keadaan meninggal ia wajib membayar denda bagi kematian janin atau uang kompensasi bagi keluarga janin.[22]
Aborsi Ditinjau Dari Beberapa Aspek
- Aspek Kesehatan
Beberapa akibat yang dapat timbul akibat perbuatan aborsi, yaitu: [23]
- Pendarahan sampai menimbulkan shock dan gangguan neurologis/syaraf di kemudian hari, akibat lanjut perdarahan adalah kematian;
- Infeksi alat reproduksi yang dilakukan secara tidak steril. Akibat dari tindakan ini adalah kemungkinan remaja mengalami kemandulan di kemudian hari setelah menikah;
- Resiko terjadinya ruptur uterus (robek rahim) besar dan penipisan dinding rahim akibat kuretasi. Akibatnya dapat juga kemandulan karena rahim yang robek harus diangkat seluruhnya;
- Terjadinya fistula genital traumatis, yaitu timbulnya suatu saluran yang secara tidak normal yaitu ada saluran antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan.
Resiko komplikasi atau kematian setelah aborsi legal sangat kecil dibandingkan dengan aborsi ilegal yang dilakukan oleh tenaga yang tak terlatih. Beberapa penyebab utama resiko tersebut antara lain:
Pertama, sepsis yang disebabkan oleh aborsi yang tidak lengkap, sebagian atau seluruh produk pembuahan masih tertahan dalam rahim. Jika infeksi ini tidak segera ditangani akan terjadi infeksi yang menyeluruh sehingga menimbulkan aborsi septik, yang merupakan komplikasi aborsi ilegal yang fatal.
Kedua, pendarahan. Hal ini sebebakan oleh aborsi yang tidak lengkap, atau cedera organ panggul atau usus.
Ketiga, efek samping jangka panjang berupa sumbatan atau kerusakan permanen di tuba fallopi (saluran telur) yang menyebabkan kemandulan.[24] Kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik (kehamilan di luar tempat yang semestinya) pada kehamilan berikutnya akibat kerusakan pada lapisan dalam rahim (endometrium) setelah dilakukan dilatasi (pelebaran secara paksa leher rahim dengan alat khusus) dan kuretase (pengerokan endometrium dengan alat khusus) pada tindakan aborsi. Kerusakan pada endometrium yang diakibatkan dilatasi dan kuretase ini juga meningkatkan resiko terjadinya placenta previa (letak plasenta tidak pada tempat semestinya sehingga mengganggu proses persalinan), aborsi spontan pada kehamilan berikutnya, berat badan bayi lahir rendah sampai kemungkinan terjadinya kemandulan akibat kerusakan yang luas pada endometrium.[25]
- Aspek Psikologi
Secara ideal, ibu hamil dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan bergizi demi kualitas tumbuh kembang anaknya nanti, sedangkan perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan justru akan melakukan cara-cara yang kurang menguntungkan kesehatannya pada awal kehamilan. Sehingga dampak yang akan dirasakan adalah kepada bayi yang apabila proses aborsi tidak berhasil. Peristiwa aborsi bukanlah peristiwa sesingkat waktu medis, seorang perempuan harus melalui proses panjang, rumit, penuh konflik dan kesedihan sebelum maupun sesudah tindakan. Pelaku akan mengalami perasaan stress, malu, rendah diri, hilangnya rasa percaya diri, berdosa, kehilangan spirit hidup, phobia (takut laki-laki, tidak mampu berhubungan intim), ingin bunuh diri karena putus asa sampai kehilangan ingatan.
Hukum Aborsi Menurut Fikih Islam
Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah ayat dalam al-Quran yang menjelaskan hal tersebut. Ketentuan-ketentuan ini dapat kita lihat dalam al-Quran, antara lain:
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. al-Maidah:32)
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. ( QS al-Isro’: 31)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”. (QS al – Isro’:33)
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Islam memberikan landasan hukum yang jelas bahwa kehidupan manusia itu suci sehingga harus dipelihara dan tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan karena suatu sebab atau alasan yang benar, seperti dalam eksekusi hukuman mati, dalam perang atau dalam pembelaan diri yang dibenarkan oleh syariat.
Di dalam teks-teks al Qur’an dan Hadits tidak didapati secara khusus hukum aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa manusia tanpa hak, sebagaimana firman Allah ﷻ
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنا مُّتَعَمِّدا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خٰلِدا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيم ا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS. An-Nisa’ : 93).
Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwasannya Rasulullah ﷺ bersabda:
إن أحدكم يجمع في بطن أمه أربعين يوما، ثم يكون علقة مثل ذلك، ثم يكون مضغة مثل ذلك، ثم يبعث الله إليه ملكا بأربع كلمات، فيكتب عمله وأجله ورزقه وشقي أم سعيد، ثم ينفخ فيه الروح
“sesungguhnya seseorang diantara kamu kejadiannya dikumpulkan dalam perut ibumu selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqoh) dalam waktu yang sama, kemudian menjadi segumpal daging (mudghoh) juga dalam waktu yang sama. Sesudah itu malaikat diutus untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan diutus untuk melakukan pencatatan empat perkara, yaitu mencatat rizkinya, usianya, amal perbuatannya dan celaka atau bahagia“. ( HR. Bukhari )[26]
Perbedaan ahli fiqih mengenai hukum aborsi hanya berkisar pada sebelum terjadinya peniupan (qobla nafkh al-ruh) maksudnya adalah sebelum adanya peniupan ruh kedalam janin, pendapat mereka sebagai berikut:
- Hukum Aborsi Sebelum Peniupan Ruh
Dalam hukum aborsi sebelum terjadinya peniupan ruh ke dalam janin, para ahli fiqih memiliki pendapat masing-masing yang beragam.
- Madzhab Hanafi
Hukum aborsi sebelum adanya ruh dalam madzhab Hanafi terdapat tiga pendapat:
Pendapat pertama, diperbolehkan melakukan aborsi dengan catatan janin tersebut belum terjadi peniupan ruh kedalamnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abidin “Hukum menggugurkan janin yang belum berumur empat bulan ialah diperbolehkan”.[27] Pendapat ini juga disepakati oleh al-Hashkafi, ia berpendapat boleh melakukan aborsi sebelum peniupan ruh walaupun belum mendapat izin dari suami.
Sebagaimana perkataanya “hukum aborsi sebelum peniupan ruh tidak mengapa walau belum ada izin dari sang suami”.[28] Dalam kitab fathu al-qadir dikatakan “apakah dipebolehkan aborsi setelah kehamilan? Boleh, selama belum terjadi penciptaan, dan penciptaan tersebut terjadi setelah janin berumur 120 hari.[29]
Pendapat kedua, melakukan aborsi sebelum peniupan ruh diperbolehkan hanya adanya udzur syar’i saja. Hal ini sebagaimana yang telah dinukil oleh Ibnu Abidin pada bab al-Karahah dalam kitab al-Khaniyah bahwa aborsi haram kecuali karena adanya udzur, ia mengatakan “dalam bab Karahah al-Khaniyah: saya tidak mengatakan hal itu halal, adapun yang haram iadalah jika sperma sudah becampur dengan ovum”.[30]
Ibnu Wahban juga telah menjelaskan bahwa bolehnya aborsi jika dalam keadaan dharurah, ia mengatakan “hukum aborsi diperbolehkan jika adanya udzur”, lalu menyebutkan bentuk udzur yang boleh melaukan aborsi yaitu, jika dengan hamilnya ibu tersebut akan menyebabkan air susu ibu tidak keluar, atau keadaan ekonomi suami yang memprihatinkan saat itu”.[31]
Pendapat ketiga, memakruhkan secara mutlak, sebagaimana pendapat ‘Ali bin Musa dari ulama’ madzhab Hanafi sebagaimana dinukil oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya, “Ali bin Musa memakruhkan untuk melakukan aborsi walaupun sebelum peniupan ruh, karena setelah tercampurnya air mani dengan ovum sudah ada kehidupan didalam rahim”.[32]
- Madzhab Maliki
Untuk Madzhab Maliki ada dua pendapat:
Pedapat pertama, berpedapat bahwa aborsi sebelum peniupan haram, ini adalah pendapat yang mu’tamad di madzhab Maliki. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam kitab asy-Syarh al-Kabir, “Mengeluarkan air mani yang sudah bercampur didalam Rahim merupakan perkara yang tidak diperbolehkan, walaupun sebelum empat puluh hari. Adapun jika sudah ditiupnya ruh kedalamnya, maka haram secara ijma’”.[33] Ad-Dasuki mengomentari perkataan al-Dardair, “bahkan sebelum berumur empat puluh hari, dan ini adalah pendapat yang mu’tamad, dikatakan juga bahwa perkara ini dimakruhkan”.[34] Maksud dari tidak diperbolehkannya dari perkataan Dardair adalah haram, karena dalam Madzhab Maliki tidak ada kalimat yang menunjukan akan kebolehan melakukan aborsi pada janin yang belum genap umur empat puluh tahun. Adapun jika sudah ditiupkannya ruh kedalam janin Madzhab Maliki mengharamkannya secara ijma’.
Pendapat kedua, berpendapat bahwa hukumnya makruh sebagaimana uraian diatas yang dikatakan oleh ad-Dasuki.
- Madzhab Syafi’i
Untuk Madzhab Syafi’I ada dua pendapat:
pendapat pertama, berpendapat tentang penyebab aborsi kandungan yang belum ditiupkan ruh (belum berusia 120 hari), mengarah pada haram. Persoalan ‘Azl tidak termasuk pengguguran kandungan, karena adanya perbedaan antara pengguguran dan ‘Azl. Satu sisi, air mani yang belum masuk kedalam Rahim belum disiapkan untuk menjalani kehidupan. Lain halnya dengan air mani setelah bersemayam di Rahim yang berarti ia sudah disiapkan untuk hidup.[35] Imam Al-Ghazaly dalam kitab Ihya’ Ulumuddin membahas tentang perbedaan aborsi dengan ‘azl. Menurutnya, aborsi yang dilakukan sebelum ditiupkannya ruh tidak bisa dihukumi haram. Berbeda dengan janin yang memang telah bernyawa maka hukumnya jelas haram. Namun, bukan berarti pengguguran sebelum adanya ruh tersebut lebih baik, tetapi hukumnya berada di antara makruh tanzih dan haram.[36] Akibat hukum bagi pelaku pengguguguran kandungan setelah peniupan ruh menurut pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah pelakunya wajib membayar ghurrah .[37]
Pendapat kedua, membolehkan untuk melakukan aborsi dengan catatan sebelum janin berumur empat puluh hari. Hal ini sebagaimana yang telah dinukil oleh asy-Syibramalasi dalam kitab nihayatu al-muhtaj, “Para ulama saling berbeda pendapat tentang kebolehan menggurkan nutfah yang sudah bercampur di dalam rahim seorang. Abu Ishaq al-Marudzi berkata “menggugurkan nutfah dan ‘alaqah diperbolehkan”.[38]
- Madzhab Hambali
Adapun madzhab Hanbali sendiri ada dua pendapat:
Pendapat pertama, mengatakan bahwa hukum aborsi pada macam ini diperbolehkan, dengan catatan sebelum janin berumur empat puluh hari. Hal ini sebagaimana yang telah dikatakan oleh al-Bahuti dalam kitab beliau, “Bagi seorang perempuan boleh menggugurkan nuthfah yang belum genap berumur empat puluh hari didalam rahimnya dengan cara memakan obat yang diperbolehkan”. [39]
Ibnu Qudamah mengatakan “Apabila seorang yang tsiqah menyatakan bahwa seorang wanita telah mengugurkan janin yang sudah berbentuk daging, maka bagi wanita tersebut wajib membayar tebusan. Adapun apabila sang tsiqah menyatakan bahwa yang digugurkan baru pada tahap awal pembuahan, ada dua pendapat : pendapat yang paling shahih adalah bagi pelaku tidak dibebani apapun, sebab pada asalnya seorang itu terbebas dari tanggungan. Pendapat yang kedua sang pelaku harus tetap membayar tebusan”.[40]
Ibnu ‘Aqil al-Hanbali menjelaskan tentang kebolehan melakukan aborsi sebelum janin umur empat puluh hari, “Selama janin belum ditiupkannya ruh, ia tidak dibangkitkan pada hari kiamat, maka menggugurkannya pun tidak diharamkan.”[41]
Pendapat kedua, haram menggugurkan janin pada fase ini. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah “Jika seorang wanita meminum obat agar janinnya gugur, maka baginya harus membayar tebusan atas perilakunya.”[42] Dengan adanya konsekuensi membayar tebusaan itu menunjukan ketidak bolehnya perkara tersebut.
Demikian pemaparan pendapat para ulama pada masing-masing madzhab dalam masalah hukum aborsi sebelum ruh ditiupkan kedalam janin.
- Hukum Aborsi Setelah Peniupan Ruh
Para ulama sepakat untuk mengharamkan abortus yang dilakukan pada waktu janin telah diberi nyawa,[43] yaitu setelah janin melalui proses pertumbuhan selama empat bulan atau 120 hari. Mereka berdalil dengan hadis Rasulullah ﷺ :
إن أحدكم يجمع في بطن أمه أربعين يوما، ثم يكون علقة مثل ذلك، ثم يكون مضغة مثل ذلك، ثم يبعث الله إليه ملكا بأربع كلمات، فيكتب عمله وأجله ورزقه وشقي أم سعيد، ثم ينفخ فيه الروح
“sesungguhnya seseorang diantara kamu kejadiannya dikumpulkan dalam perut ibumu selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqoh) dalam waktu yang sama, kemudian menjadi segumpal daging (mudghoh) juga dalam waktu yang sama. Sesudah itu malaikat diutus untuk meniupkan ruh ke dalamnya dan diutus untuk melakukan pencatatan empat perkara, yaitu mencatat rizkinya, usianya, amal perbuatannya dan celaka atau bahagia“. ( HR. Bukhari )[44]
Pada kondisi tertentu, seseorang yang sedang mengandung dihadapkan oleh dua pilihan yang merugikan; menyelamatkan jiwanya atau menggugurkan kandungannya. Hal itu diantara lain dapat diketahui dari hasil pemeriksaan medis yang menunjukan bahwa jiwa sang ibu akan terancam bila janin dalam kandungannya tetap dipertahankan.
Menanggapi kenyataan tersebut, kita lihat kitab fatwa hindi jika janin membahayakan nyawa sang ibu dan tidak ada jalan untuk menyelamatkan nyawa sang ibu kecuali harus mengugurkannya. Perlu diperhatikan, apabila janin itu tidak bernyawa tidak mengapa untuk menggugurkannya, dan apabila janin bernyawa tidak diperbolehkan. Karena hal itu salah satu bentuk pembunuhan terhadap jiwa.[45] Begitu juga yang telah dijelaskan oleh Ibnu ‘Abidin bahwa tidak diperbolehkan melakukan aborsi ketika janin bernyawa, karena meninggalnya seorang ibu hanya dugaan saja.[46]
Namun, ada beberapa ulama yang membenarkan aborsi guna menyelamatkan jiwa sang ibu, diantaranya ialah Mahmud Syaltut dan Yusuf al-Qardhawi. Dalam hal ini, keselamatan ibu lebih diutamakan daripada keselamatan sang bayi, terlebih bila kehidupan sang ibu benar-banar telah nyata sedangkan bayi belum tentu lahir dengan keadaan selamat dan bernyawa.
Pandangan ini didasari dengan kaidah fikih yang mengatakan الضرر يزال atau kemudharatan itu harus dihilangkan. Disamping itu, ada juga kaidah yang berbunyi:
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
Apabila bertemu dengan dua mafsadah, maka yang lebih besar kemudharatannya harus diutamakan dengan mengorbankan yang lebih kecil kemudharatannya.[47]
Dalam hal ini, kemudharatan yang mengakibatkan kematian sang ibu lebih besar dampaknya bila dibandingkan dengan kematian sang janin.
Berbeda halnya dengan aborsi yang dilakukan akibat kehamilan yang tidak dikehendaki karena didorong oleh faktor-faktor lain, misalnya faktor ekonomi, sosial atau rasa malu karena kehamilan terjadi akibat hubungan diluar nikah, maka Islam tidak mentolerirnya.
Kesimpulan
Aborsi adalah fenomena yang terus hidup di lingkungan manusia. Fenomena ini dapat dikatakan terselubung bahka cenderung ditutupi oleh pelaku ataupun masyarakat. Aborsi bukan sekedar masalah medis atau kesehatan masyarakat, namun termasuk problem sosial bahkan agama terkhusus Islam.
Seorang yang melakukan tindakan aborsi berarti ia telah memutus kehidupan seseorang yang seharusnya hidup dengan izin Allah ﷻ. Dengan pemaparan diatas kita bisa mengetahui bahwa aborsi mempengaruhi kesehatan dan psikilogi masyarakat. Dan para ahli fikih pun telah menjelaskan hukum melakukan aborsi, bahwa aborsi setelah terjadi peniupan ruh hukumnya haram dengan ijma’ ahli fikih kecuali dalam keadaan dharurah.
Adapun sebelum terjadi peniupan ruh mereka ada yang mengatakan haram, merupakan pendapat yang mu’tamad dalam Madzhab Maliki, dan dari Madzhab Syafi’i juga ada yang mengatakan akan keharaman hukum aborsi sebelum peniupan ruh. Ada juga berpendapat boleh secara mutlak, hal ini dipegang oleh sebagian ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Dan Boleh jika adanya udzur, pendapat ini merupakan pendapat yang mu’tamad dikalangan Madzhab Hanafi adapun yang berpendapat Makruh, dipegang oleh sebagian Madzhab Hanafi dan juga Madzhab Maliki.
Adapun penulis mengambil pendapat Abu Hanifah yang memperbolehkan melakukan aborsi dengan syarat adanya dharurah, Apabila tidak ada dharurah maka hukumnya tetap haram. Karena hal ini sebagai bentuk kepedulian pada perkara dharurah yang menimpa sang ibu. Diantara bentuk udzur yang diperbolehkan adalah setelah mendapatkan vonis dari dokter spesialis dan tsiqah dalam masalah ini, bahwa apabila kehamilan terus dilanjutkan akan menyebabkan kematian pada sang ibu, atau bayi yang akan lahir mengalami kecacatan yang sangat parah dan tidak bisa diobati. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Syaikh Yusuf Qardhawi.
Waallahu a’lam bi ash-shawab.
[1] https://hasanbaharuddin.wordpress.com/2018/01/14/88.htm. diakses pada 14 Januari 2018
[2] https://dunia.tempo.co/read1092842/-irlandia-bakal-legalkan-aborsi.htm. diakses pada 26 Mei 2018 pukul 19:20 WIB
[3] https://dunia.tempo.co/read.1100406-unjuk-rasa-di-brazil-minta-legalkan-aborsi.htm. diakses pada Minggu, 24 Juni 2018 pukul 14:23 WIB
[4] K. Prent, C.M.J. Adisubrata, WJS. Poerwadarminta, Kamus Latin Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1969, 2.
[5] Muhammad bin Mukarram bin Mandzur, Lisan al-Arab, Beirut, Daar al-Sadir, 7/131. Versi Syamila
[6] Ibrahim Mustafa, dkk, Mu’jam al-Wasiith, Islanbul-Turki, Maktabah Islamiyah, 1-2/143. Lihat juga Kamus Munawir, A.W.Munawwir, Surabaya, Pustaka Progressif, 1997, hal 219. Lihat juga al-Munjid, Lois, Beirut, Katsulikiyah, hal 108.
[7] Ibrahim Mustafa, dkk, Mu’jam al-Wasiith, Islanbul-Turki, Maktabah Islamiyah, 1-2/143.
[8] Said Abu Habiib, al-Qamus al-Fiqhi, Daar al-Fikri, Damaskus, 1408 H/1988 M, 1/106.
[9] Mausuah fiqhiyah kuwaitiyah, Daar as-Salasil, Kuwait, 1404-1427 H, 2/56
[10] Pengurus kantor al-Buhuuts al-‘Alamiyah, Majallah al-Buhuts al-Islamiayah, 63/259, Versi Syamilah
[11] Ali bin Nayif Asy-syukhud, Mausu’ah al-Usrah al-Muslimah, 2/432, versi syamilah
[12] Ibid, 1/461.
[13] Fakultas Kedokteran UNPAD, Obstetri Patologi, Bandung: UNPAD, Elstrar, 1984, hal. 7.
[14] Markarma Yusup, Kontroversi Hukum Islam Kontemporer, Jurnal Studi Islamika, Vol.XII, 2015, Hal.310.
[15] Dewani Romli, Aborsi Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam, al-Adalah, Vol.X, 2011, hal. 159
[16] Rustam Muchtar dalam Muhdiono, “Aborsi Menurut Hukum Islam (Perbandingan Madzab Syafi’i dan Hanafi)”, Skripsi, (Yogyakarta: UIN, 2002), halaman 211.
[17] Moh. Ali Aziz et al, Fiqih Medis, Surabaya: Rumah Sakit Islam Jemursari, 2012, 74.
[18] Fak. Kedokteran, UNPAD, Obstetri Patologi, Bandung: Elstar. 1984, hal. 7.
[19] Ahmad Anees Munawir, Islam dan Masa Depan Biologis Manusia, Bandung: Mizan, 1991, 35.
[20] Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan Jakarta: Kompas, 2006, hal. 38.
[21] Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fikih, Bandung, Penerbit Risalah, 1985, h. 151.
[22] Maria Ulfah Anshor, Fikih Aborsi: Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan Jakarta, Kompas, 2006, hal. 39.
[23] http://www.rajawana.com/artikel.html/227-aborsi.pdf.htm.
[24] Nurul Etika, Aborsi Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. XI, 2015, hal.215.
[25] Anik Listiyana, Aborsi dalam Tinjauan Etika Kesehatan, Jurnal Kesetaraan dan Keadilan Gender, Vol. VII, 2012, hal. 66-67.
[26] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih, Daar Tauqu an-Najah, 1422 H, no: 3332, 4/133.
[27] Ad-Dar al-Mukhtar Syarhu Tanwir al-Abshar, ‘Alauddin al-Hishkafi, Daar al-Kutub al-Ilmiyah1423 H/2002 M, hal. 197.
[28] Hasyiah Ibnu Abidin, Ibnu ‘Abidin, Daar al-Fikri, Beirut, 1412 H / 1992 M, 3/176
[29] Fathu al-Qadir, Ibnu Hamam, Daar al-Fikri, Beirut, 3/401.
[30] Rad al-mukhtar Wa Hasyiatu Ibnu ‘Abidin, Ibnu ‘Abidin, Daar al-Fikri, Beirut, 1412 H/1992 M, 3/176
[31] Ibid, jus. 3 hal. 176.
[32] Ibid, jus. 3 hal. 176.
[33] Asy-Syarhu al-Kabir, Muhammad bin Ahmad, Daar al-Fikri, 2/266.
[34] Hasyiatu ad-Dasuki ‘Ala asy-Syarhu al-Kabir, Muhammad bin Ahmad ad-Dasuki, 8/78
[35] Nihayatu al-Muhtaj,Syamsuddin Muahammad bin Abi Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin, Daar al-Fikri, Beirut, 1404 H/1984 M, 8/416
[36] Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz II, Mathba’ah Al-Halabi, 1939, h. 53
[37] Abd Rahman Al-Juzairy, Al-Fikih Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, Daar al-Fikr, Beirut, 5/374
[38] Nihayatu al-Muhtaj ila syarhi al-Minhaj, Syamsuddin Muhammad bin Abi Abbas Ahmad bin Hamzah ar-Ramli, 20/166. Syamila
[39] Ar-Raudh al-Murbi’ Syarhu Zaadu al-Mustaqni’, Mansur bin Yunus al-Bahuti, 2/9, Syamila.
[40] Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi, Beirut, Dar al-Fikr, 9/536.
[41] Al-Furu’ Wa Tashihu al-Furu’, Syamsuddin al-Maqdisi, Muassasatu ar-Risalah, 1/393.
[42] Al-Mughni, Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi, Beirut, Dar al-Fikr, 9/558
[43] Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Daar as-Salasil, 1404 H, 2/57.
[44] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari, al-Jami’ al-Musnad ash-Shahih, Daar Tauqu an-Najah, 1422 H, no: 3332, 4/133.
[45] Syaikh Nidham dan Para Ulama Hindi. Al-Fatwa al-Hindi, Daar al-Fikri, 1411 H/1991 M, 5/360
[46] Ibnu Abidin, Hasyiatu Rad al-Mukhtar, Daar al-fikri, 1421 H/2000 M, 2/238
[47] Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fikih, Bandung, Penerbit Risalah, 1985, h. 151.