Oleh : Yunalul Murod
Syariat ada untuk menjaga lima kebutuhan dasar (primer) manusia, yakni menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan (keturunan), dan harta.[1] Tidak terpenuhinya kelima hal tadi, atau salah satu darinya akan berimplikasi pada kehidupan yang tidak lurus dan bermasalah. Demi menjaga lima hal tadi pulalah hukuman hudud disyariatkan dalam Islam.
Aturan dan hukuman-bagi pelanggarnya- dibuat demi menjaga kehidupan individu serta masyarakat dari munculnya pelanggaran-pelanggaran dan kerusakan-kerusakan yang akan menabrak keharmonisan sosial, serta menjaga kebutuhan-kebutuhan asasi manusia sebagai hamba Allah Ta’ala. Prinsip dasar inilah yang harus selalu kita ingat tentang penegakan hudud. Bahwa tidaklah hudud disyariatkan bagi manusia kecuali karena di dalamnya terkandung kemashlahatan yang besar bagi umat manusia.
Karenanya, perlu kita ingat dan catat baik-baik bahwa semua kaedah dan prinsip yang ada seputar penegakan hudud selalunya bersifat manusiawi, baik disadari maupun tidak, karena ia dibuat oleh Rabb-nya manusia. Dengan adanya kaedah-kaedah tadi, diharapkan tujuan dari pelaksanaan hudud itu sendiri akan terealisasi secara optimal.
Diantara salah satu dari kaedah seputar penerapan hudud adalah bahwa ia tidak diterapkan dalam kondisi dan keadaan tertentu,[2] demi menjaga mashlahat yang lebih besar. Dan supaya tidak muncul implikasi yang buruk setelah pelaksanaannya, baik untuk si pelaku maupun masyarakat muslim secara umum. Diantara kondisi yang mendapat pengeculian adalah ketika kondisi perang, meskipun para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hal ini..
Dalam kitab-kitab fiqh, para ulama tidak secara eksplisit menjelaskan tentang hukum menegakkan hudud ketika perang, apakah tetap harus terapkan ataukah ditunda pelaksanaannya. Yang secara jelas dijelaskan di kitab-kitab fiqh yang ada adalah pembahasan mengenai apakah hudud ditegakkan didaerah perang (darul harb atau darul kufr).
Namun secara substansial, kandungan pembahasan keduannya adalah sama. Karena kajian utama dari pembahasanya adalah hudud dan perang itu sendiri. Selain itu kita juga bisa melihatnya dari dalil-dalil yang digunakan, serta argumen-argumen yang diungkapakan. Semuanya berkaitan tentang penegakan hudud ketika perang.
Adapun menegakkan hudud di wilayah konflik namun yang sudah berada dibawah kendali aturan Islam-sebagaimana yang terjadi di banyak negara seperti Suriah, Yaman, Somalia, dsb- dikembalikan kepada tinjauan mashlahat dan madharat yang akan muncul setelah pelaksanaan. Jika dilihat lebih baik untuk mengakhirkannya, maka diakhirkan penegakannya. Adapun jika ada mashlahat yang besar jika hudud tetap ditegakkan, maka ia tetap ditegakkan.
Definisi Hudud Dan Perang
Secara Bahasa: hudud (حدود) adalah jamak dari kata hadd (حدّ) yang bermakna larangan. Maka penjaga pintu dan sipir penjara biasa disebut dengan haddad (حدّاد), karena penjaga pintu melarang orang untuk memasuki pintu tersebut, sedangkan sipir (penjaga) penjara melarang orang untuk keluar darinya.[3]
Sedangkan yang dimaksud dengan hudud (larangan) Allah Ta’ala adalah perkara-perkara yang diharamkan oleh-Nya.[4] Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Itulah larangan-larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.”[5]
Banyak ulama yang menyatakan bahwa secara bahasa had (حدّ) adalah ‘pembatas antara dua hal’[6], atau ‘yang membedakan sesuatu dari selainnya.’[7] Sedangkan Ibnu Mandzur dalam kitabnya Lisan al-Arab menyebutkan, “Had adalah pemisah antara dua hal, sehingga salah satunya tidak bercampur dengan yang lain. Atau bisa juga dimaknai dengan batasan, karena ia melarang sesorang untuk melampauinya. Maka had pencuri adalah sesuatu yang melarangnya untuk mengulangi atau kembali melakukan perbuatan tersebut, dan membuat yang lain enggan melanggarnya.”[8]
Sedangkan H. Moh Kasim Bakri dalam bukunya Hukum Pidana Dalam Islam menyebutkan, “Hudud diambil dari kata ‘had’ yang secara bahasa bermakna pagar, larangan, batas, tapal, dan dinding. Tukang pintu dinamakan ‘haddad’ karena ia melarang oranng masuk dan menjaga orang lain masuk ke dalam rumah.[9]
Secara umum, makna bahasa dari kata had berkutat pada larangan, batasan, dan penghalang. Yang menunjukkan bahwa adanya had adalah sebagai bentuk dari aturan yang ditetapkan Allah Ta’ala yang merupakan batasan yang tidak boleh dilanggar oleh manusia.
Adapun secara Istilah: Hudud adalah hukuman atau sanksi yang telah ditentukan oleh Allah yang membuat seorang kriminal enggan untuk mengulangi perbuatannya, berupa pelanggaran terhadap hak Allah Ta’ala. Maka keluar dari definisi ini ta’zir, karena hukumannya tidak jelas batasan dan ketentuannya. Karenanya, qisas tidak temasuk had karena ia berkaitan dengan hak sesama manusia.[10]
Serupa dengan pengertian di atas, Sayyid Sabiq mengatakan, “Had adalah sanksi yang ditetapkan (kadarnya) sebagai hak Allah Ta’ala. Maka ta’zir bukanlah had karena kadarnya ditetapkan oleh seorang hakim.”[11] Karena had adalah murni hak Allah, maka ia tidak bisa dibatalkan baik oleh individu ataupun oleh kelompok. Sedangkan Imam al-Jurjani berkata, “Hudud adalah bentuk jamak dari kata had yang secara bahasa bermakna larangan. Sedangkan secara syar’i had adalah hukuman yang kadarnya telah ditentukan dan wajib dilaksanakan sebagai hak Allah Ta’ala.”[12]
Dalam kitabnya yang populer, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu DR. Wahbah az-Zuhaili memerinci tentang pengertian had (hudud), “Had secara istilah menurut ulama Hanafiyah adalah hukuman yang kadarnya telah ditentukan oleh syariat yang wajib dilaksanakan sebagai hak Allah Ta’ala. Maka hukuman ta’zir tidak bisa disebut had karena tidak ditentukan kadarnya oleh syariat. Begitu juga qisas, karena meskipun kadarnya ditentukan, namun ia adalah hak manusia, maka qisas bisa dibatalkan dan dimaafkan pelakunya.[13]
Adapun menurut jumhur, Had adalah hukuman yang ditetapkan oleh syariat, baik berupa hak Allah Ta’ala atau hak sesama hamba.”[14]
Sedangkan ‘perang’ adalah sebuah aksi fisik ataupun non fisik (dalam arti sempit, adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan) antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Perang secara klasik di maknai sebagai pertikaian bersenjata. Di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri, namun secara umum perang berarti ‘pertentangan’.[15]
Pada dasarnya, perang bersifat militer dan menggunakan berbagai jenis senjata. Akan tetapi, pada zaman sekarang dikenal perang-perang yang lain seperti perang kebudayaan, perang media massa, perang ekonomi, dan perang fisik.[16] Maka cakupan perang lebih luas dari sekedar aksi permusuhan yang bersifat fisik secara langsung. Termasuk dalam kategori perang adalah kegiatan mengalahkan lawan dengan selain menggunakan senjata dan alat tajam.
Dalam Bahasa Arab perang disebut dengan harb atau qital, yang biasa dimaknai dengan pertikaian, permusuhan, saling membunuh dan menyerang. Berkata Ibnu Mandzur, “Perang merupakan bentuk kata sifat yang bermakna kebalikan dari situasi aman, atau kegiatan saling menyerang (berperang) satu dengan yang lain.”[17] Sedangkan Ahmad bin Muhammad al-Muqri’ memaknai perang (حرب) dengan saling bermusuhan (membunuh) atau saling bertikai.[18] Disebutkan pula dalam al-Mu’jam al-Wasith, “Adalah peperangan atau permusuhan yang dilakukan oleh dua kelompok.”[19]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perang memiliki beberapa arti, diantaranya; pertama, permusuhan antara dua negara, bangsa, agama, atau suku, dsb. Kedua, pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau lebih (tentara, laskar, pemberontak, dsb). Ketiga, perkelahian atau konflik.[20] Namun yang akan menjadi pembahasan kita adalah perang yang bermakna kontak senjata antara dua atau lebih pihak di mana masing-masing pihak bertujuan mengalahkan pihak lainnya.
Disyariatkannya Hudud
Menegakkan hudud adalah wajib atas setiap penguasa atau yang mewakilinya. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan logika.[21] Allah Ta’ala berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (al-Maidah: 38)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali deraan.” (an-Nuur: 2)
Penegakkan hudud membawa mashlahat yang besar bagi kehidupan manusia. Dengan ditegakkannya hudud, kriminalitas akan berkurang dan masyarakat mampu merasakan keamanan dan ketentraman dalam semua aspek kehidupan mereka. Jiwa mereka akan terlindungi, harta mereka aman, serta kehormatan mereka akan terjaga. Karenanya, penegakkan hudud merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam Islam.[22]
Maka setiap perbuatan yang dikerjakan untuk menolak dan meniadakan penegakkan hudud, sama saja dengan menolak, memusuhi serta mengumumkan perang terhadap hukum Allah Ta’ala.[23] Karena perbuatan tersebut berimplikasi pada eksisnya kejahatan dan kemungkaran, serta merupakan bentuk kerelaan terhadap kemaksiaatan. Dari jalur sahabat Abdullah bin Umar Rasulullah pernah bersabda:
مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُونَ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ فَقَدْ ضَادَّ اللَّه فِي أَمْرِهِ
“Barangsiapa yang pembelaannya digunakan untuk menghalang-halangi hukum Allah, berarti ia melawan Allah dalam perintah-Nya.”[24]
Rasulullah juga pernah bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah, ketika orang-orang terpandang mereka mencuri, mereka membiarkannya (tidak menghukum), sementara jika orang-orang yang rendahan dari mereka mencuri mereka menegakkan hukuman had. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku sendiri yang akan memotong tangannya.”[25]
Berkata Abu Malik Kamal, “Para ulama telah berijma’ akan wajibnya menegakkan hudud atas para pelaku kriminal, dan tidak ada yang berbeda pendapat mengenai hal ini.”[26]
Telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah pelanggaran-pelanggaran yang wajib diberlakukan had terhadap pelakunya, yakni: zina -termasuk didalamnya liwath-, menuduh zina (qadzaf), meminum khamr, mencuri, muharabah (begal, rampok, dan sejenisnya), serta murtad.[27]
Apakah Hudud Diberlakukan di Wilayah Perang?
Dalam literatur-literatur fiqh, para ulama tidak secara eksplisit menjelaskan tentang hukum menegakkan hudud ketika perang, apakah tetap harus terapkan ataukah ditunda pelaksanaannya. Yang secara jelas dijelaskan di kitab-kitab fiqh yang ada adalah pembahasan mengenai apakah hudud ditegakkan didaerah perang (darul harb atau darul kufr).
Namun jika kita mengkaji lebih dalam, substansi dari keduannya adalah sama. Ini bisa kita lihat dari dali-dalil serta argumen yang para ulama gunakan ketika menjelaskan tentang hukum menegakkan had di wilayah perang, semuanya berkaitan tentang perang itu sendiri.
Selain itu, kalau kita mau menelisik kasusnya lebih dalam, yang dimaksud dalam menegakkan hudud di wilayah perang adalah ketika pasukan muslimin berperang memerangi orang-orang kafir, dan bukan untuk tujuan lain selain daripada berperang. Oleh karenanya, hukum menegakkan had ketika perang dapat kita simpulkan dari pembahasan menegakkan had di wilayah perang atau darul harb.
Dalam disertasinya yang berjudul Qawaid wa Dhawabith ‘Uqubat al-Hudud wa at-Ta’zir, Ibrahim bin Fahd al-Wad’an menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang penegakkan hudud bagi para kriminal ketika perang. Secara garis besar, para ulama dalam menyikapi masalah ini terbagi menjadi empat pendapat:
Pertama, mereka yang menyatakan bahwa hukuman had tetap ditegakkan secara mutlak, baik diwilayah kekuasaan Islam, maupun di wilayah perang.
Kedua, yang menyatakan bahwa hukuman tidak diberlakukan secara mutlak terhadap si pelaku, baik di wilayah perang, maupun di wilayah kekuasaan Islam.
Ketiga, bahwasanya semua hukuman had tetap diberlakukan di wilayah perang kecuali pencurian (had potong tangan).
Keempat, bahwa hukuman tidak dilaksanakan terhadapnya di wilayah perang, tetapi tidak gugur secara keseluruhan, melainkan ditangguhkan hingga kembalinya pasukan.[28]
Di sini, kami akan memerincinya satu persatu disertai dengan dalil-dalil digunakan oleh masing-masing, dan bagaimana mendudukkannya:
Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa hudud tetap diberlakukan secara mutlak meskipun dalam keadaan serta wilayah perang.
Ini adalah pendapat ulama Malikiyah[29] dan Syafi’iyah[30], dan juga pendapat yang dipilih oleh al-Baihaqi[31] dan Ibnu Hubairah.[32] Ini juga merupakan pendapat Abu Tsaur dan Ibnu Mundzir.[33] Argumen yang mereka gunakan adalah:
- Bahwa dalil-dalil yang memerintahkan pelaksanaan hudud bersifat mutlak di segala tempat dan waktu, seperti firman Allah:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali.” (an-Nur: 2)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potongkah tangan keduanya.” (al-Maidah: 38)
Berkata Imam Asy-Syafi’i, “Bisa diambil kesimpulan dari kedua ayat di atas, bahwa Allah Ta’ala mewajibkan untuk menegakkan hudud serta tidak membedakan antara wilayah musuh dengan wilayah Islam.”[34] Dan karena setiap perintah menunjukkan kewajiban yang harus dilaksanakan.
- Hadist Ubadah bin Shamit radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah bersabda:
جَاهِدُوا النَّاسَ فِي اللَّهِ الْقَرِيبَ وَالْبَعِيدَ وَلَا تُبَالُوا فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ وَأَقِيمُوا حُدُودَ اللَّهِ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَر
“Berjihadlah melawan manusia dengan niat karena Allah, baik yang dekat atau pun yang jauh, jangan hiraukan cercaan orang karena melaksanakan aturan Allah, dan tegakkanlah hukum-hukum Allah baik saat bermukim maupun saat bepergian (dalam perjalanan).”[35]
Catatan: Hadist Ubadah bin Shamit di atas secara eksplisit memang menunjukkan kewajiban menegakkan hudud baik ketika mukim maupun safar. Namun lafadz yang digunakan masih umum (mutlak). Dan sebagaimana yang telah diketahui ada dalam kaedah ushul fiqh sebuah kaedah yang menyatakan, bahwa lafadz yang umum itu dikhususkan, dan yang mutlak di batasi kemutlakannya jika ada dalil yang menunjukkan hal tersebut.
Maka, pendapat kelompok pertama ini tidak tepat. Sebab, terdapat hadist lain yang diriwayatkan oleh Busr bin Abi Artha’ah yang menunjukkan bahwa had tidak ditegakkan ketika kondisi perang, yang ini menjadi pengkhusus dari kata ‘safar’ yang digunakan pada hadist Ubadah bin Shamit di atas.
Berkata asy-Syaukani, “Tidak ada pertentangan dari kedua hadist diatas, karena hadist riwayat Busr bin Artha’ah lebih khusus daripada hadist Ubadah, dan lafal yang umum itu dikhususkan. Maka ‘safar’ yang dimaksud dalam hadist Ubadah adalah safar ketika perang.”[36]
Selain itu, ada juga beberapa atsar yang menunjukkan praktek dari para sahabat yang tidak menegakkan had bagi para kriminal baik di wilayah perang, maupun ketika perang itu sendiri.[37] Padahal sebagaimana yang kita ketahui, para sahabat adalah golongan yang paling dekat pemahamannya terhadap perkataan Rasulullah, serta paling mengerti maksud beliau.[38] Lebih lanjut, rinciannya akan dijelaskan pada pembahasan tentang pendapat yang keempat.
Kemudian, termasuk hal yang menjadi pegangan para ulama adalah, bahwa hudud diakhirkan jika didalamnya mengandung mashlahat bagi si pelaku (pelanggar), seperti cuaca dingin atau panas yang sangat, dan ini merupakan pembatasan terhadap nash yang mutlak. Maka dalam hal ini, mengakhirkan hudud lebih utama karena mengandung mashlahat yang jauh lebih besar bagi umat Islam secara umum. Yakni si pelaku tidak bergabung dengan pihak musuh atau bahkan murtad dari Islam.[39]
Berkata Ibnu al-Qayyim, “Mengakhirkan had karena suatu alasan merupakan sesuatu yang diakui syariat, sebagaimana had tidak ditegakkan bagi wanita yang sedang hamil maupun menyususi, juga ketika si pelaku sakit, atau saat cuaca sedang sangat panas dan dingin. Kalau demi mashlahat pribadi si pelaku saja hudud bisa diakhirkan, maka mengakhirkannya demi kepentingan Islam dan umat secara umum tentunya lebih utama.”[40]
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa hukuman ditiadakan secara mutlak -tidak diakhirkan- di wilayah perang.
Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qudamah dan Ibnul Qayyim.[41] Dalam kitabnya Ibnu Qudamah mengutip perkataan Imam Abu Hanifah, “Tidak ada had dan qisas di daerah perang, begitu juga setelah pulang.”[42] Termasuk juga ketika peperangan terjadi di negeri Islam. Ini bisa kita lihat dari dalil yang mereka pakai.
Namun beberapa ulama hanafiyah seperti Abu Yusuf,[43] menyatakan bahwa tidak ditegakkannya had adalah karena tidak adanya khalifah kaum muslimin di wilayah perang. Bila khalifah (pemimpin) bersama mereka, maka hukuman itu diberlakukan terhadap si pelaku dan tidak ditangguhkan. Tapi bila khalifah tidak berada di sana bersama mereka, maka hukuman itu menjadi gugur.[44]
Namun secara umum madzhab hanafi menyatakan bahwa had gugur di daerah perang dan tidak pula ditegakkan setelah kembali ke wilayah Islam.[45] Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa madzhab Hanafi sepakat untuk tetap menegakkan had seandainya peperangan terjadi di wilayah Islam. Diantara dalil-dalil yang mereka gunakan:
- Sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاتقام الحدود في دار الحرب
“Hukuman (hudud) tidak diberlakukan di wilayah perang.”[46] -Namun hadist ini tidak jelas sumbernya-.
Berkata al-Babarti (salah seorang ulama madzhab Hanafi), “Semua orang tentu maklum bahwa had tidak mungkin ditegakkan di wilayah perang, karena daerah tersebut bukan termasuk wilayah kekuasaan imam. Maka tentu yang dimaksud dari hadist di atas adalah bahwa had tidak lagi wajib ditegakkan secara mutlak (jika pelanggarannya dilakukan di wilayah perang).”[47]
Catatan: Beberapa koreksi untuk pendapat ini; Pertama, kesimpulan hukum yang diambil dari hadist di atas adalah tidak tepat. Karena lafal hadist tidak menunjukkan bahwa kewajiban menegakkan had harus disertai dengan kehadiran imam di kamp militer kaum muslimin, bahkan lafal hadist menunjukkan peniadaan had secara mutlak.
Kedua, hadist tadi belum tentu menunjukkan gugurnya penegakan hudud di wilayah perang secara mutlak. Namun bisa jadi berisi perintah mengakhirkan penegakannya hingga kembali dari perang. Dan inilah yang secara jelas dipraktekkan oleh para sahabat radhiallahu anhum.
Ketiga, Hadist yang dijadikan landasan oleh madzhab Hanafi adalah hadist yang tidak diketahui sumbernya, dan tidak jelas asal-usulnya. Berkata Ibnu al-Hammam al-Hanafi, “Keberadaanya tidak diketahui.” Karenanya pengambilan hukumnya juga tertolak.[48]
- Kasus Abu Mihjan ats-Tsaqafi pada perang Qadisiyah. Sa’ad bin Abi Waqqas membatalkan hukuman-ketika itu had cambuk karena meminum khamr- dari Abu Mihjan, lalu membebaskannya seraya berkata, “Demi Allah, hari ini aku tidak akan mencambuk seseorang yang bisa menyebabakan petaka yang lebih besar terhadap kaum muslimin daripada apa yang tengah menimpa mereka.” Maka Abu Mihjan menjawab, “seandainya engkau menegakkan had atasku, maka aku berharap ia akan menyucikanku. Dan seandainya engkau menggugurkannya dariku, maka aku tidak akan pernah lagi meminumnya selamanya.”[49]
Catatan: pengambilan kesimpulan oleh Hanafiyah di atas tidaklah tepat, karena atsar ini tidak menunjukkan pengguguran hudud secara keseluruhan. Akan tetapi had digugurkan dari seorang prajurit jika ia memiliki jasa serta pengaruh besar dalam pasukan, serta nampak darinya tanda taubat yang sungguh-sungguh-seperti Abu Mihjan-, sebagaimana yang dikatakan oleh Saad bin Abi Waqqas. Yang mana ketika had ditegakkan padanya petaka yang timbul bagi pasukan kaum muslimin akan lebih besar.[50]
Sedangkan perbuatan Saad yang meniadakan had secara mutlak dan tidak mengakhirkannya bagi Abu Mihjan di dasari oleh dua hal. Pertama, Karena Saad melihat jasa Abu Mihjan yang sangat besar bagi Islam secara umum, dan perannya yang vital di barisan pasukan kaum muslimin, sehingga menurut Sa’ad jasa dan kebaikan itu sudah menjadi penebus kesalahan bagi Abu Mihjan.
Kedua, Meniadakan had secara mutlak serta tidak mengakhirkanya merupakan ijtihad pribadi dari Sa’ad.[51] Karena pada prakteknya, sahabat-sahabat yang lain (seperti Umar, Abu Darda’, dan Hudzaifah) mengakhirkan penegakannya, bukan meniadakannya secara mutlak.
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa semua had tetap ditegakkan dalam keadaan perang, kecuali had potong tangan (dalam kasus pencurian).
Diantara yang berpendapat demikian adalah al-Auza’i sebagaimana yang dinyatakan oleh as-Syafi’i[52], juga pendapat al-Qadhi serta as-Syaukani[53]. Dalil yang mereka pakai adalah:
- Hadist Busr bin Abi Artha’ah dari rasulullah shallahu alaihi wasallam:
لَا تُقْطَعُ الْأَيْدِي فِي الْغَزْوِ
“Tidak ada potong tangan dalam peperangan.”[54]
Al-Qadhi berkata, “Maksud Rasulullah melarang memotong tangan ketika perang adalah karena bisa jadi yang dia ambil adalah harta ghanimah yang dia juga punya bagian mendapatkannya.”[55] Yang dimaksud adalah karena adanya syubhat kepemilikan.
Riwayat hadist ini shahih hingga Busr, tapi ia dipersoalkan tentang statusnya sebagai sahabat dan tentang penyimakannya dari nabi. Ada juga yang mencela keadilannya, namun bukan kejujurannya. Selain itu hadist ini juga memiliki jalur lain sebagai penguat.[56] Berkata Imam at-Tirmidzi ketika meriwayatkan hadist ini, “Hadits ini gharib, tapi ada selainnya yang meriwayatkan dengan sanad seperti hadits ini.”[57] Hadist ini juga dishahihkan oleh Ibnu Hajar, adz-Dzahabi, dan as-Sa’ati.[58]
Ibnu al-Qayyim berkata tentang hadist ini, “Hukum potong tangan adalah salah satu dari hukuman yang telah ditentukan Allah. Tapi rasulullah melarang memberlakukannya dalam kondisi perang karena dikhawatirkan terjadi sesuatu yang lebih dimurkai oleh Allah-yakni membelotnya si pelaku ke barisan musyrikin-.”[59] Maka seandainya perang telah berhenti dan pasukan kembali ke wilayah Islam (wilayah aman), maka penegakkan had kembali sebagaimana semula.
Catatan: Kelompok yang kedua ini mengambil kesimpulan hukum hanya dengan melihat zhahir hadist. Padahal para sahabat radhiallahu anhum adalah orang-orang yang paling paham terhadap fiqh serta manusia yang paling dalam keilmuanya. Sedangkan mereka mehamami bahwa yang dimaksud dalam hadist diatas adalah hudud secara keseluruhan, dan bukan hanya had potong tangan.[60] Seperti sahabat Sa’ad yang mengakhirkan penegakan had bagi Abu Mihjan yang meminum khamr ketika perang qadisiyah.
Hal ini juga didukung oleh perkataan-perkataan, serta praktek yang para sahabat lakukan. Karena menurut mereka, illah (sebab) tidak ditegakkannya had adalah demi meraih mashlahat yang lebih utama dan juga menjaga kaum muslimin dari munculnya madharat yang lebih besar. Yakni dikhawatirkan bahwa si pelaku akan bergabung dengan musuh-menurut Umar dan Zaid-, atau mengendorkan semangat kaum muslimin dan menambah motivasi bagi musuh-menurut Hudzaifah-. Yang intinya adalah menjaga kemashlahatan bagi kaum muslimin, agar tidak terjadi kerusakan yang lebih besar.[61] Maka yang lebih tepat adalah mengakhirkan seluruh bentuk hudud dan bukan hanya had potong tangan.
Ibnu al-Qayyim berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk memotong tangan ketika perang supaya hal tersebut tidak menjadi sebab bergabungnya si pelaku dengan orang-orang kafir (musuh). Karenanya yang tepat adalah tidak menegakkan semua hudud selama peperangan.”[62]
Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa hukuman tidak dilaksanakan di wilayah perang, tetapi juga tidak gugur secara keseluruhannya, melainkan ditangguhkan hingga kembali, atau hingga suasana kondusif.
Ini adalah pendapat Ahmad (Hanabilah)[63], al-Auza’i-dalam riwayat Tirmidzi- serta Ishaq bin Rahawaih.[64] Termasuk diantaranya yang berpendapat demikian juga adalah Abu al-Qasim al-Khiraqi, beliau berkata, “Had tidak ditegakkan terhadap seorang muslim di daerah musuh (ketika perang).”[65] Diantara dalil-dalil yang mereka jadikan sebagai argumen adalah:
- Hadist dari Busr bin Abi Artha’ah yang telah disebutkan di atas.
- Atsar bahwa Umar bin al-Khattab pernah mengirim surat kepada para sahabat yang isinya; “Seorang panglima pasukan, komandan brigade khusus, atau salah seorang dari kaum muslimin tidak boleh melaksanakan hukuman (had) ketika perang hingga kembali pulang. Supaya si pelaku tidak dihasut oleh setan karena dendamnya, lantas bergabung dengan kaum kafir.”[66]
- Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Abu Darda melarang pelaksanaan hukuman terhadap seorang yang ikut berperang sampai kembali, karena khawatir orang itu akan dikuasai dendam sehingga bergabung dengan pasukan kafir.[67]
- Dalam kitab al-Umm, as-Syafi’i menyebutkan sebuah riwayat dari sahabat Zaid bin Tsabit, “Hudud tidak ditegakkan di wilayah perang, karena dikhawatirkan si pelaku akan bergabung dengan musuh.”[68]
Catatan: ketiga atsar diatas-no 2, 3 dan 4- jelas menunjukkan bahwa sebab ditinggalkannya penerapan hudud ketika perang adalah demi menjaga mashlahat yang lebih besar bagi pasukan kaum muslimin-yakni khawatir si pelaku akan bergabung dengan musuh serta menambah motivasi bagi barisan musuh-, sehingga semua had ditangguhkan pelaksanaannya, dan bukan hanya had mencuri sebagaimana yang dikemukakan pendapat yang ketiga . Dan seperti ini jugalah yang dipraktekkan oleh para sahabat. Dikuatkan juga oleh perkataan Ibnu al-Qayyim yang telah kami sebutkan sebelumnya (pada catatan untuk pendapat ketiga).
- Diriwayatkan juga oleh Alqamah bin Qais, ia mengatakan, “Ketika kami sedang bersama suatu pasukan diwilayah romawi, saat itu Hudzaifah bin al-Yaman bersama kami, sementara kami dipimpin oleh al-Walid bin Uqbah, lalu al-Walid meminum khamr, lantas kami hendak menghukumnya, maka Hudzaifah berkata, “Apakah kalian akan menghukum pemimpin kalian, sementara kalian telah dekat dengan musuh sehingga mereka bisa menyerang kalian!”[69]
Catatan: jelas bahwa sahabat Hudzaifah tidak menggugurkan penegakkan had secara mutlak, namun beliau mengingkari mereka yang tergesa-gesa menerapkannya, padahal dalam kondisi perang dan berada di wilayah musuh. Disini jelas bahwa alasan beliau adalah karena dekatnya kaum muslimin dengan musuh, sehingga musuh bertambah semangat setelah mengetahui apa yang terjadi diantara pasukan kaum muslimin. Maka hukuman tetap ditegakkan ketika kembali (ke daerah Islam atau wilayah aman).[70]
- Kisah tentang Saad bin Abi Waqqas yang tidak menghukum Abu Mihjan-setelah meminum khamr– ketika perang Qadisiyah, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pendapat terakhir ini yang dipilih oleh beberapa ulama terkenal, seperti Ibnu Qudamah, Ibnu al-Qayyim, dan Ibnu al-Hammam. Berkata Ibnu Qudamah al-Maqdisi, “Dan pendapat ini merupakan ijma’ para sahabat.”[71] Yang beliau maksud adalah ijma’ sukuti.[72]
Pendapat ini juga dirajihkan juga oleh Abu Malik Kamal dalam Shahih Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah, juga Bakr Abu Zaid, serta Ibrahim bin Fahd al-Wad’an dalam disertasinya.
Paling tidak ada tiga alasan kenapa pendapat ini yang dijadikan sebagai pilihan; pertama, karena dalil-dalil yang digunakan kuat dan jelas, serta jelas menunjukkan apa yang dimaksud. Kedua, sesuai dengan pemahaman, perkataan, serta aplikasi dari para sahabat. Ketiga, pendapat ini sejalan dengan ruh tasyri’ serta lebih sesuai dengan mashlahat.[73]
Dan pendapat ini juga yang dipilih oleh penulis. Yang intinya mengakhirkan penerapan hudud hingga kembali ke wilayah aman, atau hingga suasana menjadi kondusif. Karena pada dasarnya penerapan hudud diakhirkan jika dengannya akan timbul kerusakan atau madharat yang lebih besar. Sayyid Sabiq berkata, “Rasulullah telah melarang penegakkan hudud ketika perang, karena dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang lebih buruk.”[74]
Apakah hudud ditegakkan di wilayah yang telah dikuasai oleh mujahidin?
Menegakkan hudud merupakan kewajiban bagi seorang imam yang tidak bisa ditawar lagi. Seandainya tidak ada imam, maka kewajiban ini dibebankan kepada para ulama, cendekiawan, para pemuka kaum, serta pemegang kekuasaan di wilayah tersebut. Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Jika tidak ada seorang sulthan (imam), maka menjadi keharusan bagi para pemuka (pemimpin) yang memegang kekuasaan sebagai ahlu al-halli wa al-aqdi untuk menunjuk seorang hakim sebagai penegak hukum.”[75]
Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, bahwa pendapat yang lebih kuat adalah mengakhirkan penerapan hudud ketika perang bagi pelaku kriminal hingga kembali ke wilayah Islam atau wilayah aman, serta menunggu hingga suasana menjadi kondusif.
Secara umum, aplikasi dari pembahasan yang ada pada bab III tadi mampu terealisasi ketika adanya khilafah atau negara Islam. Lalu, bagaimana sebenarnya aplikasi penegakkan hudud di wilayah konflik dalam konteks kekinian-ketika tidak adanya Khilafah Islamiyah-? Apakah sebuah kelompok atau jama’ah yang telah mampu mengontrol wilayah tertentu, wajib mengaplikasikan hudud secara mutlak di wilayah kekuasaannya?-sebagaimana yang terjadi di banyak tempat hari ini, seperti Suriah, Libya, Yaman, Somalia, dsb-.
Para ulama Suriah yang tergabung dalam Haiah as-Syam al-Islamiyah ketika ditanya tentang hal ini menyatakan bahwa untuk sementara ini hudud tidak akan ditegakkan secara keseluruhan di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan oleh para mujahidin di Syam. Fatwa ini didasarkan pada beberapa alasan:[76]
Pertama, belum tercapainya tamkin secara sempurna di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan, serta terealisasinya keamanan mutlak bagi para warga. Karena tamkin (kekuasaan) yang sempurna inilah yang menjadi syarat wajibnya penegakan hudud. Selain itu, tanpa tamkin yang sempurna dikhawatirkan penegakan had justru menimbulkan mafsadat yang lebih besar.
Kedua, keadaan negri Syam saat ini sedang dalam kondisi perang. Sedangkan pendapat yang kuat dari para ulama, bahwa hudud tidak ditegakkan dalam suasana perang, khawatir akan terjadi hal yang lebih buruk muncul setelah penegakannya.
Ketiga, Bahwasanya syari’at memerintahkan kita untuk sebisa mungkin mencegah penerapan hukuman had bagi saudara sesama muslim.[77] Dan kondisi masyarakat Syam saat ini menghajatkan hal tersebut. Baik karena kondisi kehidupan masyarakat yang sangat sulit, maupun keadaan mereka yang bodoh serta ketidak fahaman akan hukum-hukum syariat.
Berkata Imam Abdurrazak as-Shan’ani dari Ibrahim an-nakha’i, “Cegahlah penerapan hudud dari kaum muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan alasan untuk mereka maka tinggalkanlah! Karena sesungguhnya seorang hakim yang salah memaafkan, itu lebih baik daripada salah dalam memberikan hukuman.”[78]
Keempat, Keadaan mayoritas kaum muslimin yang berada dalam kungkungan kebodohan dalam waktu yang lama. Yang seandainya hudud ditegakkan khawatir mereka justru akan lari dari Islam. Dikhawatirkan pula hal ini dijadikan alat bagi musuh agar manusia ragu-ragu kemudian lari dari agamanya.
Karena ini pulalah, dahulu rasulullah tidak menegakkan had bagi orang-orang munafik yang secara lahir terlihat baik. Seandainya beliau menegakkan had atas setiap munafik, niscaya banyak Bangsa Arab yang akan lari dari Islam.[79]
Kelima, Pada dasarnya penegakkan hudud wajib untuk disegerakan. Namun, ia boleh diakhirkan jika dilihat akan muncul kerusakan (mafsadat) setelah pelaksanaanya, dan hal ini bukan termasuk dari perbuatan menolak syari’at.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika setelah ditegakkannya hudud muncul kerusakan yang lebih besar dari pada mashlahat yang ingin diraih, maka hudud tidak dilaksanakan. Beliau berkata, “bahwa hudud ditegakkan sesuai dengan kemampuan… jika tidak mampu melaksanakannya, maka dilihat pilihan mana yang akan lebih menghasilkan kebaikan, dan mana yang lebih bisa mencegah keburukan.”[80]
Secara umum, apa yang diutarakan oleh Haiah as-Syam al-Islamiyah di atas bisa dijadikan sebagai pedoman serta pertimbangan bagi penegakan hudud di berbagai daerah konflik yang ada hari ini, yakni di wilayah-wilayah yang telah terkuasai oleh mujahidin atau berada di bawah aturan Islam. Maka, apabila suasana dirasa telah kondusif dan tidak ada lagi kekhawatiran akan munculnya madharat dan kerusakan yang lebih besar, lebih utama untuk menyegerakan penegakan hudud. Sebagai bentuk realisasi dari perintah Allah yang terdapat pada nash-nash syar’i berkenaan tentang kewajiban menegakkan hudud.
Kesimpulan
Pada dasarnya, penegakkan hudud ketika perang dengan di wilayah perang adalah sama, meski sekarang tidak ada yang dinamakan daerah Islam (Darul Islam) dan daerah perang (Darul Harb). Karena subtansi dari pelaksanaan antara keduanya adalah sama. Maka hari ini, yang disebut wilayah Islam adalah wilayah yang berada pada kontrol kaum muslimin, sedangkan wilayah perang adalah wilayah musuh.
Diantara banyak pendapat para ulama berkenaan tentang penegakan hudud ketika perang atau di wilayah perang, pendapat yang lebih kuat adalah yang menyatakan pelaksanaan hudud ketika perang ditunda hingga kembali ke daerah aman ataupun wilayah Islam. Adapun melaksanakan hudud diwilayah yang telah terkuasai oleh kelompok Islam atau sudah berada di bawah payung aturan Islam-namun masih dalam kondisi perang-, maka penegakkan hudud di dalamnya dikembalikan kepada tinjauan mashlahat dan madharat. Yakni apakah mashlahat atau justru madharat yang akan timbul setelah pelaksanaanya.
Syaikh Sulaiman al-Ulwan-seorang ulama kontemporer masa kini- berkata, “Penegakkannya dikembalikan kepada pandangan imam atau pemimpin kepada mashlahat dan mafsadat yang akan timbul. Jika dilihat lebih baik untuk mengakhirkannya, maka diakhirkan penegakannya. Adapun jika pemimpin melihat adanya mashlahat yang besar jika hudud tetap ditegakkan, maka ia tetap ditegakkan.”[81] Wallahu a’lam.
BACA JUGA: Hukum Aborsi Menurut Fikih Islam
[1] Abdul Aziz bin Abdurrahman, ‘Ilmu Maqashid as-Syari’ (Riyadh, cet 1 2002M) hlm 126
[2] Ibrahim bin Fahd al-Wad’an, Qawaid wa Dhawabith Uqubat al-Hudud wa at-Ta’zir (Riyadh: Universitas Naif Arab, 1428 H, Sebuah Disertasi) hlm 123
[3] Taqiyuddin Abu Bakr ad-Dimasyqi, Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar (Damaskus: Dar al-Basyair, 2001 M) cet 9 hlm 562
[4] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kuwait: Dar as-Salasil, 1427 H) cet 2 vol 17 hlm 129
[5] Al-Baqarah: 187
[6] Ibrahim Musthafa dkk, al-Mu’jam al-Wasith (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyyah) vol 1 hlm 160. Lihat juga: Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1392 H) cet 2 vol 2 hlm 355. Lihat juga: Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat ‘inda Ibnul Qayyim (Dar ‘Ashimah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1415 H) hlm 21
[7] Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh Sunnah (Mesir: al-Maktab at-Tauqifiyyah) vol 4 hlm 4
[8] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir) cet 1 vol 3 hlm 140
[9] Moh Kasim Bakri, Hukum Pidana Dalam Islam (Solo: CV Ramadhani, 1986 M) cet 3 hlm 50
[10] Ibid. Lihat juga: Abu Malik Kamal, Shahih … vol 4 hlm 4
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah… vol 2 hlm 355
[12] Al-Jurjani, Mu’jam at-Ta’rifat (Kairo: Dar al-Fadhilah) hlm 74
[13] Silahkan lihat: ‘Alauddin al-Kasani, Badai’ as-Shanai’ (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1982 M) vol 7 hlm 56
[14] DR Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 1405 H) cet 2 vol 6 hlm 12
[15] Wikipedia Ensiklopedi Bebas Bahasa Indonesia Offline
[16] Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad, alih bahasa: Irfan Maulana dkk. (Bandung: Mizan Pustaka, 2010 M) hlm IXXVII
[17] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shadir) cet 1 vol 1 hlm 302
[18] Ahmad bin Muhammad al-Muqri’, al-Misbah al-Munir Mu’jam ‘Arabi (Beirut: Maktabah Lubnan, 1987) hlm 49
[19] Ibrahim Musthafa dkk, al-Mu’jam al-Wasith (Istanbul: al-Maktabah al-Islamiyyah) vol 1 hlm 163
[20] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2003 M) hlm 854
[21] Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh … vol 4 hlm 5. Lihat juga: Adil bin Yusuf al-‘Azzazi, Tamam al-Minnah fi Fiqh al-Kitab wa Shahih as-Sunnah (Iskandariyah: Dar al-Aqidah, 2009 M) cet 2 vol 4 hlm 490
[22] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah… vol 2 hlm 358
[23] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah… vol 2 hlm 358
[24] Abu Daud as-Sijistani, Sunan Abu Daud, tahqiq: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (Beirut: Dar al-Fikr) vol 2 hlm 329 hadist no 3597, shahih.
[25] Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi) vol 3 hlm 1311 hadist no 1688
[26] Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh … vol 4 hlm 6
[27] Ibid hlm 21. Para ulama masih berselisih pendapat tentang pelanggaran apa saja yang masuk dalam kategori hudud, dan mana yang tidak. Lebih lengkapnya silahkan lihat Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1410 H) vol 5 hlm 12-13
[28] Ibrahim bin Fahd al-Wad’an, Qawaid wa Dhawabith Uqubat al-Hudud wa at-Ta’zir (Riyadh: Universitas Naif Arab, 1428 H, Sebuah Disertasi) hlm 128-132 (dengan sedikit perubahan pada urutan pendapat oleh penulis). Juga: Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh… vol 4 hlm 17-19
[29] Ibnu Qudamah, al-Mughni (Kairo: Hajr li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi wa al-I’lam, 1413 H) vol 13 hlm 173. Juga: Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah… vol 20 hlm 209
[30] Asy-Syafi’i, al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H) vol 7 hlm 248. Ini adalah pendapat madzhab Syafi’i secara umum, meskipun ada beberapa ulama Syafi’iyah yang menyatakan bahwa hudud tetap ditegakkan di daerah perang apabila imam atau pemimpin wilayah tersebut menyertai pasukan. Adapun jika tidak, maka hudud diakhirkan penegakannya hingga kedatangan imam. Hudud juga bisa diakhirkan jika kaum muslimin memutuhkan si pelanggar (mahdud ) lihat: Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat… hlm 67
[31] Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra (Makkah: Maktabah Dar al-Baz) vol 9 hlm 103
[32] Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat… hlm 67
[33] Ibnu Qudamah, al-Mughni… vol 13 hlm 173. Lihat juga: Ibnu Qudamah, al-Syarh al-Kabir (Dar al-Kutub al-Arabi li an-Nasyr wa at-Tauzi’) vol 10 hlm 151
[34] Asy-Syafi’i, al-Umm… vol 7 hlm 274
[35] HR Ahmad no 21641, 21713, dan 21730 dishahihkan oleh al-Albani. Lihat: al-Albani, as-Silsilah as-Shahihah (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif) vol 4 hlm 620 hadist no 1972 (versi Syamilah)
[36] Muhammad bin Ali ay-Syaukani, Nail al-Authar (Mesir: Dar al-Hadist, 1413 H) vol 7 hlm 164. Juga: Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi (Kairo: Dar al-Hadist, 1421 H) vol 4 hlm 378
[37] Diantarany adalah Umar bin al-Khattab, Abu Darda’, Hudzaifah bin al-Yaman, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Busr bin Abi Artha’ah radhiallahu ‘anhum ajma’in.
[38] Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat… hlm 44
[39] Ibrahim bin Fahd al-Wad’an, Qawaid wa Dhawabith.. hlm 130
[40] Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, tahqiq: Thaha Abdu ar-Rauf Sa’ad (Beirut: Dar al-Jail) vol 3 hlm 7
[41] Ibid
[42] Ibnu Qudamah, al-Mughni… vol 13 hlm 173
[43] Asy-Syafi’i, al-Umm… vol 7 hlm 354
[44] Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh… vol 4 hlm 17
[45] ‘Alauddin al-Kasani, Badai’ as-Shanai’… vol 7 hlm 131. Juga: Kamaluddin as-Siwasi, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) vol 5 hlm 266 (versi Syamilah)
[46] Hadist ini tidak jelas asal-usulnya. Ibnu al-Hammam al-Hanafi berkata, “Keberadaanya tidak diketahui.” Lihat Kamaluddin as-Siwasi, Syarh Fath al-Qadir… vol 5 hlm 266 (versi Syamilah)
[47] Akmaluddin Muhammad al-Babarti, al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, vol 7 hlm 199 (versi Syamilah)
[48] Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat… hlm 62-63
[49] Shahih. Lihat: Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf fi al-Ahadist wa al-Atsar (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1409 H, cet 1) vol 6 hlm 550 no 33746. Juga: Said bin Manshur, Sunan Said bin Manshur (India: ad-Dar as-Salafiyah, 1403 H, cet 1) vol 2 hlm 235 no 2502
[50] Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat… hlm 60-61
[51] Ali bin Nayef asy-Syuhud, al-Mufashal fi ar-Radd ‘ala Syubhat A’da al-Islam vol 3 hlm 262 (versi Syamilah)
[52] Asy-Syafi’i, al-Umm… vol 7 hlm 354
[53] Muhammad al-Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud (Beirut: Dar al-Fikr, 1979 M) vol 12 hlm 83. Juga: Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi… vol 4 hlm 378
[54] HR Tirmidzi no 1450, ad-Darimi no 2488. Diriwayatkan juga oleh Abu Daud (no 4408) dan Nasa’i (no 4994) dengan lafal (في سفر).
[55] Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi… vol 4 hlm 378
[56] Lebih lengkapnya silahkan lihat: Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat… hlm 47-52
[57] Abu Isa at-Tirmidzi, Jami’ at-Tirmidzi (Riyadh: Dar as-Salam li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1420 H) cet 1 hlm 352
[58] Ibrahim bin Fahd al-Wad’an, Qawaid wa Dhawabith.. hlm 132
[59] Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in… vol 3 hlm 5
[60] Ibid hlm 143
[61] Musthafa Syalbi, Ta’lil al-Ahkam (cet al-Azhar, 1937 H) hlm 37
[62] Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in… vol 3 hlm 143
[63] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah… vol 20 hlm 209-210
[64] Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat… hlm 40. Juga: Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in… vol 3 hlm 5. Lihat juga: Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadzi (Kairo: Dar al-Hadist, 1421 H) vol 4 hlm 377. Juga: Kamaluddin as-Siwasi, Syarh Fath al-Qadir… vol 5 hlm 267 (versi Syamilah)
[65] Abu al-Qasim al-Khiraqi, Mukhtashar al-Khiraqi (Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1384 H) hlm 305. Lihat juga: Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in… vol 3 hlm 6
[66] Hasan karena diriwayatkan dari beberapa jalur. Dikeluarkan: Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id bin Manshur (India: ad-Dar as-Salafiyah, 1403 H) vol 2 hlm 235 no 2500. Juga: Ibnu Abi Syaibah, al-Kitab fi al-Mushannaf fi al-Ahadist wa al-Atsar (Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, 1409 H) vol 5 hlm 549 no 28861.
[67] Sanadnya Dha’if. Dikeluarkan: Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id bin Manshur… vol 2 hlm 234
[68] Asy-Syafi’i, al-Umm… vol 7 hlm 354
[69] Shahih. Dikeluarkan: Sa’id bin Manshur, Sunan Sa’id bin Manshur… vol 2 hlm 235. Juga: Ibnu Abi Syaibah, al-Kitab fi al-Mushannaf fi al-Ahadist wa al-Atsar… vol 5 hlm 549. Lihat juga: Ibnu at-Turkmani, al-Jauhar an-Naqi, vol 9 hlm 105
[70] Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Al-Hudud wa at-Ta’zirat… hlm 56
[71] Ibnu Qudamah, al-Mughni… vol 13 hlm 173
[72] Ijma’ Sukuti: Yakni sebagian mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum dari sesuatu, sedangkan yang lain hanya diam dan tidak berkomentar yang mana hal ini menunjukkan persetujuan mereka. Lihat: Ibnu Qudamah, Raudhah an-Nazhir wa Jannah al-Manazhir (Riyadh: Universitas Imam Muhammad bin Su’ud, 1399 H) hlm 151
[73] Ibrahim bin Fahd al-Wad’an, Qawaid wa Dhawabith.. hlm 132
[74] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah… vol 2 hlm 365
[75] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah) vol 6 hlm 435
[76] http://islamicsham.org/fatawa/1423
[77] Sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (HR Tirmidzi no 1344):
ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ
[78] Abdurrazak as-Shan’ani, al-Mushannaf (India: al-Majlis al-Ilmi, 1403 H) cet 2 vol 10 hlm 166 no 18698
[79] Ibnu Taimiyyah, as-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim ar-Rasul (Beirut: Dar Kitab al-‘Arabi, 1996 M) cet 1 hlm 369
[80] Ibnu Taimiyah, al-Istiqamah, tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim (Madinah: Universitas Imam Muhammad bin Su’ud, 1403 H) vol 2 hlm 168
[81] https://www.youtube.com/watch?v=OxhbFr74Tco