Jiwa manusia tak jauh beda dengan anggota tubuh yang lain. Seperti halnya tangan akan lelah jika terus mengangkat. Kaki akan pegal saat terus berlari. Mata akan berair jika tak henti menatap. Jiwapun demikian, akan lemah ketika iman menipis.
Siapapun akan merasakannya, tak terkecuali seorang penuntut ilmu, ahli ibadah atau aktivis dakwah. Seringkali, ketika mata sebenarnya menatap tempat sujud, tapi hati berada di tempat lain. Ketika raga berada di majelis ilmu, namun jiwa dan pikiran fokus kepada hal lainnya, ini adalah indikasi dia sedang futur.
Futur adalah rasa malas, enggan, dan lamban dalam melakukan kebaikan dari yang sebelumnya rajin dan bersemangat melakukannya. Akibat didera futur seseorang menjadi lemah dan malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan suatu aktivitas kebaikan.
Fenomena ini sebenarnya adalah sesuatu yang wajar, sebuah sunnatullah yang jauh-jauh hari telah disabdakan oleh Baginda Rasulullah:
لكُلِّ عملٍ شِرَّةٌ، ولِكُلِّ شرَّةٍ فَترةٌ، فمن كانَت فَترتُهُ إلى سنَّتي، فَقد أفلحَ، ومَن كانت إلى غيرِ ذلِكَ فقد هلَكَ
“Setiap amal itu ada masa semangatnya, dan pada setiap masa semangat itu ada masa futur (bosan). Barangsiapa yang ketika futur tetap berpegang kepada sunnahku, maka sesungguhnya ia telah beruntung. Dan barangsiapa yang ketika futur berpegang kepada selain sunnahku, maka sesungguhnya ia telah tersesat.” (HR. Ahmad)
Menurut DR. Nashir bin Sulaiman al-Umar dalam tulisannya yang berjudul al-Futur, al-madhahir – al-asbab – al’ilaj, beliau membagi futur menjadi tiga bagian:
Pertama: Futur yang menyebabkan seseorang terputus total dari kebaikan yang dilakukan sebelumnya. Seseorang yang melazimi satu perbuatan tertentu, kemudian meninggalkannya, seperti seorang penuntut ilmu yang kemudian berhenti dari belajarnya, atau seorang da’i yang berhenti dari dakwah karena kandas semangatnya.
Kedua; Futur yang menyebabkan seseorang berkurang amalnya dari kebiasaan yang sebelumnya, golongan ini lebih banyak dari golongan sebelumnya, misal seorang penuntut Ilmu yang biasanya belajar sepuluh materi dalam sepekan, ketika futur dia hanya mengikuti lima materi saja, atau seseorang yang biasa banyak infaq namun dikemudian hari dia mengurangi jumlah harta yang diinfakkan, ini termasuk juga kedalam jenis futur.
Ketiga; Golongan yang mengalami kefuturan namun dia bisa kembali kepada keadaannya yang semula, golongan yang ketiga ini adalah golongan yang paling sedikit jumlahnya, karena futur mempunyai pengaruh tersendiri dalam jiwa manusia.
Belajar Dari Generasi Terdahulu
Ka’ab bin Malik adalah sahabat yang mengikuti hampir setiap peperangan bersama Rasulullah. Namun saat perang Tabuk atau yang sering disebut juga dengan ghazwah al-Usrah (perang yang dipenuhi berbagai kesulitan) karena terjadi pada masa paceklik yang sulit.
Semangat dalam dakwah dan jihad Ka’ab seperti hilang. Ada sesuatu yang aneh dirasakan Ka’ab bin Malik. Entah kenapa, sahabat yang begitu dekat dengan Rasul ini merasa enggan untuk segera berangkat bersama yang lain menuju Tabuk.
Selama ini hampir tak satu pun peluang jihad disia-siakan Ka’ab. Tapi di Perang Tabuk ini, ia merasa kalau ladang gandumnya yang sedikit lagi panen benar-benar menyibukkannya. Ka’ab menunda-nunda persiapan keberangkatan yang menyebabkan akhirnya Ka’ab benar-benar tertinggal dan tidak ikut perang bersama Rasulullah.
Setelah peperangan yang memakan waktu sekitar satu setengah bulan itu berakhir. Ka’ab bin Malik segera mendatangi Rasululullah untuk mengadukan perihal masalahnya.
Walaupun akhirnya keputusan Rasul terhadap dirinya akibat ketidak ikutsertaan dalam perang Tabuk cukup menyakitkan, dikucilkan selama 40 hari oleh kaum muslimin, termasuk oleh anak dan istrinya. Tapi Ka’ab telah menyadari masalahnya, berusaha untuk bangkit dan menerima segala konsukwensinya demi untuk bisa kembali bersama-sama dengan Rasulullah dan para sahabat lagi.
Berkenaan dengan fenomena futur Ibnul Qayyim al-Jauziyah memberikan nasihat yang indah untuk kita semua;
تَخَلَلْ الْفَتَرَاتِ لِلَّسالِكِيْنَ أَمْرٌ لَا بَدَّ مِنْهُ، فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى مُقَارَبَةٍ وَتَسْدِيْدٍ، وَلَمْ تُخْرِجْهُ مِنْ فَرْضٍ، وَلَمْ تُدْخِلْه فِيْ مُحَرَّمٍ؛ رُجِيَ لَهُ أَنْ يَعُوْدَ خَيْرًا مِّماَ كَانَ
“Saat-saat futur bagi seorang yang beramal adalah hal wajar yang harus terjadi. Seseorang yang masa futurnya beramal semampunya, tidak keluar dari amal-amal fardhu, dan tidak melaksanakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, ketika pulih ia akan berada dalam kondisi yang lebih baik dari keadaan sebelumnya ” (Madarij as-Salikin, 3/126)
Hindari Panjang Angan-angan
Salah satu sebab yang membuat seseorang itu futur adalah banyak angan-angan. Panjang angan-angan itu selain dapat merusak hati, melupakan akhirat, menunda-nunda taubat dan menambah kecintaan pada dunia, juga akan mengacaukan skala prioritas Ibadah seseorang.
Kadang syetan tidak menggoda kita untuk berbuat kesyirikan atau kekafiran, karena dia tahu benteng aqidah kita masih kokoh. Syetan tidak datang kepada kita untuk mengajak melakukan dosa besar, karena dia tahu ajakan itu pasti kita tolak.
Syetan tidak datang kepada untuk mengajak berasyik masyuk dengan dosa-dosa kecil, karena dia tahu pasti setelah itu ada istigfar dan taubat. Syetan tidak mengajak kita untuk melakukan perbuatan makruh, karena dia tahu pasti akan ada yang mengingatkan.
Bisa jadi dia datang pada perbuatan mubah yang melalaikan dari keta’atan bisa jadi dia datang untuk mengatakan, “Sudahlah, ibadahmu sudah banyak, tak perlu rajin-rajin beramal, toh kamu sudah punya banyak simpanan pahala“.
Atau dia akan datang untuk mengacaukan prioritas amal kita, membumbungkan angan setinggi langit, membuat yang lain Nampak lebih indah dan menarik dan saat kita nanti sudag lalai terpedaya, tinggallah kita pada sebuah kenyataan pahit, bahwa semua tak seindah yang kita angankan, dan kita tersungkur pada sebuah episode baru kehidupan bernama penyesalan. Setelah itu berat bagi untuk kembali berjalan diatas jalan yang semula kita diatasnya.
Solusi
Agar kita tak terbuai oleh angan-angan semu, alangkah bijak dan indah nasihat Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitab ‘Madarij as-Salikin’ berikut;
إِنَّ أَفْضَلَ الْعِبَادَةِ الْعَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الْوَقْتِ وَوَظِيفَتُهُ
“Sebaik-baik amal adalah yang mendatangkan keridhaan Allah kapanpun dan dimanapun sesuai keadaan dan tugas yang dibebankan di atas pundaknya“.
Menurut DR. Sayyid Muhammad Nuh dalam tulisannya afaatun ‘ala thariq hal-hal yang menyebabkan seseorang menjadi future adalah; Ghuluw (berlebih-lebihan) dan kaku dalam beragama, melampui batas dalam perkara-perkara yang mubah, berpisah dari jama’ah (‘uzlah) kaum muslimin, sedikitnya mengingat kematian dan kampung akhirat, meremehkan ibadah harian, memasuki urusan yang bersifat syubhat, fokus pada satu urusan agama dan mengesampingkan hal lainnya, lalai mengerjakan Sunnah Rasulullah, tidak memperhatikan hak-hak badan, tidak mempertimbangkan resiko dari jalan pilihannya, berteman dengan orang-orang yang mempunyai cita-cita dan kemauan rendah, spontan dalam bertindak tanpa tahapan-tahapannya, kemudian yang terakhir, melakukan perbuatan maksiat besar atau kecil.
Adapun solusinya menurut beliau adalah; menjauhi maksiat besar atau kecil, membiasakan untuk melazami amal harian seperti; istigfar, membaca al-Qur’an, sholat malam, sholat dhuha, kemudian memperhatikan waktu-waktu yang memiliki keutamaan ibadah didalamnya, tidak berlebih-lebihan dalam beragama, hidup ditengah-tengah jama’ah kaum muslimin, tidak mengasingkan diri (‘uzlah), dan tidak melupakan urusan akhirat.
Merupakan salah satu tanda dari kecerdasan seseorang terhadap jiwanya adalah dia mengetahui apakah imannya bertambah atau berkurang dan tanda yang lain adalah dia mengetahui bagaimana godaan-godaan setan datang kepadanya.
Seseorang yang bisa mendeteksi hal yang demikian, akan mudah baginya untuk melakukan sesuatu yang tidak menjadikan jarak antara dirinya dengan Allah semakin jauh. Wallahu a’lam bis shawab. [Abdullah]
.