Tidak dapat dipungkiri bahwa Barat telah mengalami kemajuan yang begitu pesat terkhusus masalah sains dan teknologi. Namun sebaliknya, kaum muslimin sendiri malah mengalami kemerosotan yang cukup parah pada segala lini kehidupan.
Hal ini sebagaimana pertanyaan yang pernah diajukan oleh Muhammad Basuni Imran (1885-1976), seorang ulama dari Sambas Pontianak kepada Muhammad Rasyid Ridha pengasuh majalah al-Manar, agar pertanyaan tersebut ditunjukkan kepada Amir Syakib Arsalan, yang inti pertanyaannya adalah:
Pertama, mengapa kaum muslimin mengalami kelemahan dan kemunduran yang merata di seluruh dunia, baik dalam urusan agama maupun dunia;
Kedua, apakah yang menyebabkan kemajuan bangsa Eropa, Amerika serta Jepang? Dan apakah dimungkinkan bagi kaum muslimin, untuk juga maju dengan mengikuti sebab-sebab mereka dan pada saat yang sama tetap teguh memegang agama Islam?[1]
Amir Syakib Arsalan menulis jawabannya dan dimuat di majalah al-Manar tahun 1936. Empat tahun kemudian (1940) jawaban tersebut lalu dilengkapi dan diedit untuk kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul, “Limâdzâ Ta’akkhara al-Muslimûn wa Taqaddama Ghayruhum (Mengapa Umat Islam Mundur, sedangkan Umat lainya Maju).
Pada intinya dari pertanyaan yang tergambar pada judul buku tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaum muslimin mundur karena mereka meninggalkan Islam. Sedangkan bangsa Eropa Barat menjadi maju karena mereka meninggalkan agama mereka; Nashrani dan Kristen.[2]
Jika demikian, maka pertanyaannya adalah mengapa kaum muslimin mengalami kelemahan dan kemunduran ketika mereka meninggalkan agamanya? Apa kaitan antara Islam dengan kemajuan peradaban? Sehingga pada makalah ini penulis akan membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Islam; Agama dan Peradaban
Islam merupakan agama yang memiliki peradaban gemilang, peradaban yang mampu untuk dijadikan cermin oleh peradaban lainnya. Peradaban gemilang Islam tidak hanya pada aspek sains dan teknologi, melainkan juga peradaban yang mampu memanusiakan manusia itu sendiri dengan keadilan, akhlak mulia dan tolerasi yang luar biasa. Bahkan, peradaban Barat sendiri sejatinya tidak akan maju kecuali atas kontribusi peradaban Islam. Barat tidak akan mampu untuk membalas jasa umat Islam tersebut.[3]
Peradaban Islam sangat indah dan sarat akan keadilan, akhlak mulia dan toleransi. Misalnya, dalam sejarah kita ketahui bahwa Rasulullah menaklukkan kota Makkah tanpa adanya peperangan, penjarahan dan pembalasan akan kezaliman yang pernah dilakukan penduduk Makkah pada saat itu kepada beliau dan para sahabatnya. Kemudian, bagaimana toleransi Rasulullah terhadap orang-orang Yahudi di Madinah ketika Rasulullah berkuasa atas Madinah.
Beliau juga menulis satu konstitusi tertulis pertama dalam peradaban dunia yang disebut dengan “Mitsaq Madinah” atau Piagam Madinah yang diperuntukkan kepada seluruh warga kota Madinah, baik muslim ataupun non-muslim, yang isinya menjamin keamanan, kemerdekaan beragama, mekanisme penyelesaian konflik, dan lain sebagainya. Kisah indah akan kita temukan pada lembaran-lembarah sirah beliau yang penuh pelajaran lagi hikmah.
Demikian pula pada masa-masa setelah beliau, misalnya, pada masa Umar bin Khaththab bagaimana akhlak dan keadilan Umar kepada penduduk Palestina setelah berhasil menaklukkan kota tersebut, Umar memberikan toleransi yang luar biasa kepada pemeluk agama lain, baik Yahudi maupun Nashrani untuk tetap tinggal dan beribadah di Palestina dengan tenang tanpa gangguan.
Sebaliknya, peradaban selain Islam tidak memperhatikan akhlak, keadilan dan toleransi baik kepada sesama mereka sendiri dan terlebih selain mereka, misalnya, invasi Pasukan Salib terhadap Palestina Pada tahun 492 H (1099 M) yang berujung kepada penguasaan dan pembantainan yang mencapai 70 ribu orang. Sampai-sampai aliran darah kaum muslimin berubah menjadi sungai di masjid al-Aqsha, lorong-lorong serta perempatan-perempatan.[4]
Tidak hanya itu, mereka juga membuat kerusakan dimana-mana, merampok di sekitar Kubah Sakhrah empat puluh dua lampu yang terbuat dari perak. Setiap lampu, harganya mencapai tiga ribu enam ratus dirham; merampas satu lampu yang bobotnya empat puluh ritl Syam; dan dua puluh tiga lampu emas.[5]
Demikian pula kaum Yahudi yang sekarang menjajah Palestina, sebagaimana yang kita ketahui tentang pengusiran, pembantaian, dan kekejaman yang mereka lakukan kepada kaum muslimin dan selainnya di negeri tersebut (Palestina).
Semua ini menunjukkan bahwa peradaban selain Islam adalah peradaban yang banyak kezaliman. Meskipun sekarang peradaban selain Islam terkhusus peradaban Barat bisa dibilang berkembang pesat terkhusus masalah sains dan teknologi, akan tetapi hal itu tidak menjadi kebahagiaan masyarakat pada peradaban tersebut, karena kosongnya keadilan, akhlak mulia serta toleransi, dan bahkan jika dikaji lebih lanjut maka akan sangat terlihat keburukan akan tatanan peradaban yang mereka bangun.
Berbeda dengan Islam, peradaban yang dibangun Islam bersifat universal dan komprehensif, tidak hanya aspek materi seperti sains dan teknologi, tetapi juga termasuk non materi seperti keadilan, akhlak dan toleransi. Sehingga, meskipun saat ini peradaban Islam mengalami kemunduran dalam berbagai lini kehidupan, hal itu tidak menghalangi umat Islam untuk terus berusaha mengikuti langkah-langkah para salaf terdahulu yang berhasil membangun peradaban yang gemilang dan sempurna.
Berbeda jika mengekor kepada peradaban Barat, tentu umat Islam tidak akan mampu menjadi cermin beradaban yang gemilang dan indah, karena peradaban Barat hanya memperhatikan aspek materi, tidak memperdulikan aspek rohani. Sehingga, bagaikan manusia tanpa ruh dan jiwa.
Oleh karenanya, yang terpenting saat ini adalah bukan mengekor ke Barat akan tetapi kembali untuk menggali sebab-sebab kejayaan peradaban Islam terdahulu dan mengetahui sebab-sebab ketertinggalan peradaban Islam saat ini.
Amir Sakib Arsalan menyebutkan bahwa sebab terpenting dari tertinggalnya kaum muslimin adalah: kebodohan, ilmu yang setengah-tengah (kurang), sifat pengecut, keputus-asaan dan lupa terhadap (sejarah) pendahulu mereka yang agung.[6]
Islam Sebagai Worldview
Worldview adalah gabungan dari dua kata: world yang berarti dunia, dan view yang berarti pandangan. Dalam bahasa Indonesia, kata worldview diterjemahkan dalam beberapa ungkapan yaitu, pandangan dunia, pandangan alam, maupun pandangan hidup.[7]
Jika worldview ini digabung dengan Islam maka maknanya adalah sebagaimana yang diungkapan oleh al-Attas bahwa ia bukan sekedar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kultural. Tapi, mencakup aspek dunia dan akhirat, dimana aspek dunia harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akhirat, sedangkan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek final.[8]
Dari pengertian diatas maka worldview Islam mudahnya bisa diartikan dengan cara pandang Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an, Sunnah serta pemahaman para salaf yang pada akhirnya membuahkan akhlak dan tindakan yang sesuai dengan aturan syariat Islam.
Dengan worldview Islam inilah kaum muslimin akan mengalami kemajuan yang pesat dan cepat, karena worldview Islam ini akan menggiring seseorang kepada keimanan dan keihsanan yang merupakan tingkat tertinggi dari keisalaman seorang hamba.
Asep Sobari, pendiri Sirah Community Indonesia (SCI) dalam testimoninya terhadap buku karya Hamid Fahmy Zarkasi yang berjudul Minhaj, pernah berkata, “Seandainya kita telah mencapai derajat iman paling rendah (saja), dari 70 lebih derajat iman, yaitu menyingkirkan ganguan dari jalanan, maka itu pun sudah berdampak sangat dahsyat. Tidak ada kekacauan lalu lintas, saling serobot di lampu merah, parkir sembarangan, trotoar yang beralih fungsi, jalanan berlubang yang merenggut banyak nyawa, dan seterusnya. Ternyata (sebaliknya) dana ratusan milyar bahkan triliyunan untuk menciptakan kenyamanan perjalanan, masih belum bisa memastikan bahwa kita semua, rakyat dan pemerintah, telah mencapai derajat terendah dari iman itu.[9]
Dengan worldview Islam maka seseorang akan mampu untuk merealisasikan tujuan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan syariat Islam tersebut adalah, merelisasikan mashlahah bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat; juga mencegah madzarat kepada mereka baik di dunia maupun di akhirat, yaitu dengan menjaga agama, Jiwa, akal, keturunan dan harta mereka.[10]
Jika seorang muslim memiliki worldview Islam, maka ia akan mampu untuk merealisasikan mashlahat dan menjaga kelima hal itu (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) maka kemajuan peradaban Islam akan segera terwujud. Hal ini tentu manakala worldview Islam telah mengakar kuat pada setiap masyarakat, para pejabat dan para pengambil keputusan.
Baca Juga: Serial Kajian Fikih Nikah
Islam; Spirit Kehidupan
Ajaran Islam mengandung spirit atau semangat untuk mengoptimalkan selalu potensi yang telah Allah berikan, potensi tersebut meliputi, pendengaran, penglihatan, hati, akal dan waktu dua puluh empat jam.
Hal ini sebagimana firman Allah, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl: 78); juga firman-Nya berkenaan tentang akal, “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah (QS. Al-A’raf: 179); dan tentang waktu yang Allah berikan, dimana Allah banyak sekali bersumpah dengan menggunakan waktu. Baik pada waktu pagi (QS. At-Takwir: 18), dhuha (QS. Adh-dhuha: 1), siang (QS. Asy-Syam: 3), sore (QS. Al-Ashr: 1), dan malam (QS. Asy-Syam: 4).
Lima hal ini merupakan potensi luar biasa yang Allah karuniakan kepada manusia. Pendengaran, penglihatan, hati, akal dan waktu merupakan variabel terpenting dalam ilmu pengetahuan. Ia juga merupakan kunci kesuksesan dunia dan akhirat serta pondasi penting dari peradaban tertentu.
Islam sebagai ajaran dan syariat yang Allah turunkan sangat perhatian perkara tersebut, sehingga mengharuskan pangikut-pengikutnya untuk senantiasa semangat, memaksimalkan potensi-potensi tersebut. Islam bukan ajaran yang bermalas-malasan, dan ia juga bukan ajaran yang hanya pasrah tanpa ada usaha. Akan tetapi, Islam adalah agama yang memerintahkan manusia untuk selalu bersemangat dalam kebaikan, baik untuk dunianya maupun akhiratnya. Allah Ta’ala berfirman, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. Ash-Sharh: 4)
Rasulullah juga pernah bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, maka janganlah kamu mengatakan; ‘Seandainya tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu’. Tetapi katakanlah: ini sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya. Karena sesungguhnya ungkapan kata ‘law’ (seandainya) akan membukakan jalan bagi godaan setan.”[11]
Dalam hadits diatas, Rasulullah mendorong seluruh manusia, baik yang lemah maupun kuat, baik yang lahir dalam kekurangan ataupun sempurna, semuanya diperintahkan untuk terus bersemangat dalam kebaikan, memaksimalkan potensi yang telah Allah berikan baik untuk urusan dunia ataupun akhiratnya.
Beliau juga berpesan untuk senantiasa meminta pertolongan kepada Allah sebagai bentuk ketundukan dan ketawakalan seorang hamba kepada Rabb-nya.
Abdurahman bin Hasan Alu Syekh menjelaskan maksud dari hadits diatas adalah, “Bersemangat dalam menjalankan sebab yang bermanfaat bagi hamba dari urusan dunia dan akhiratnya dari sebab-sebab yang wajib, sunah, dan mubah (boleh) yang Allah syariatkan. Kemudian dalam mengerjakan sebab tersebut, hamba tadi hendaknya meminta tolong kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya agar sebab itu menghasilkan dan memberi manfaat. Bersandarnya hanya kepada Allah Ta’ala dalam mengerjakannya. Karena Allah yang menciptakan sebab dan akibatnya. Suatu sebab tidak akan bermanfaat kecuali jika Allah mengizinkannya. Sehingga hanya kepada Allah Ta’ala semata ia bertawakal dalam mengerjakan sebab, karena mengejakan sebab adalah sunah, sementara tawakal adalah tauhid. Jika ia menggabungkan keduanya, maka akan terwujud tujuannya dengan izin Allah”[12]
Rasulullah juga menganjurkan untuk mengucapkan doa ketika berada di pagi dan sore hari agar terhidar dari kemalasan, yaitu dengan doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegundahan dan kesedihan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan bakhil, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan pemaksaan dari orang lain”[13]
Islam senantiasa memotivasi kaum Muslimin untuk semangat berkarya, belajar, berfikir, beribadah, bekerja dan lain sebagainya. Maka, dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa kemunduran peradaban Islam hari ini adalah disebabkan jauhnya masyarakat muslim dari ajaran Islam.
Masyarakat tidak lagi menjadikan Islam sebagai ajaran yang sempurna, komperhensif dan tidak pula mampu memecahkan masalah-masalah kontemporer yang baru terjadi. Padahal Islam memiliki ajaran yang shalih pada setiap tempat, zaman dan waktu. Islam adalah agama yang terus akan mampu memberikan mashlahat dan mencegah madzarat pada setiap masalah yang ada baik sekarang ataupun yang akan datang.
Hal ini bisa dibuktikan dengan kedudukan mashlahah dalam syariat Islam. Bahwa syariat Islam tidaklah disyariatkan kecuali untuk merealisasikan mashlahat bagi manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat; juga mencegah madzarat kepada mereka baik di dunia maupun di akhirat. Sampai-sampai seorang fuqaha pernah berkata, “Sesungguhnya syariat itu seluruhnya mengandung mashlahah-mashlahah, baik mencegah madzarat atau merealisasikan mashlahat”.[14]
Berkenaan tentang ajaran Islam ini, yang mengandung mashalat dan mencegah madzarat, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad) kecuali agar menjadi rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya: 107).
Rahmat di sini mencakup—secara pasti—penjagaan mashlahah-mashlahah hamba dan mencegah mafsadah-mafsadah mereka, karena tidak mungkin ia disebut rahmat apabila menyia-nyiakan mashlahah ini.[15] Maka syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad pasti mampu merealisasikan mashlahat tersebut.
Kamampuan Islam dalam mendatangkan mashlahat juga dibuktikan dengan prinsip-prinsip syariat dan tabiat hukumnya, dimana Islam secara umum mengandung prinsip musyawarah, persamaan, keadilan dan menghilangkan madzarat ataupun larangan memberikan kemadzaratan. Islam juga mengandung hukum-hukum secara khusus baik pada masalah yang berkaitan dengan aqidah, akhlak, ibadah maupun muammalat. Yang kesemuannya itu bertujuan mendatangkan mashlahah bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.[16]
Semua itu menunjukkan bahwa Islam mampu menjadi solusi pada setiap masalah yang sedang dan akan terjadi.
Bukti berikutnya yang menunjukkan bahwa Islam akan senantiasa mampu untuk menjawah seluruh persoalan yang sedang dan akan terjadi adalah, bahwa Islam memiliki sumber-sumber hukum tertentu, baik sumber primer seperti: Al-Qur’an dan Sunnah. Maupun sekunder seperti: Ijma’ dan ijtihad dengan seluruh macam-macamnya seperti Qiyas, Istihsan, Mashlahah Mursalah, Urf, Syar’un man Qablana, Madzhab ash-Shahabi, Saddu adz-Dzara’i dan Ishtihhab.[17]
Yang kesemua sumber ini menjadikan syariat Islam shalih dan mampu untuk terus diterapkan. Dimana tidak akan ada sesuatu perkara atau kejadian baru kecuali syariat Islam memilik hukum atas hal itu.[18]
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa meninggalkan agama Islam merupakan sebab kemunduran peradaban, karena, Islam memiliki kejayaan peradaban yang kompleks dan dapat menjadi cermin keshalihan bagi seluruh peradaban yang ada.
Islam juga merupakan pandangan hidup atau worldview yang menjadikan seseorang mampu merealisasikan mashlahat dan mencegah madzarat, yaitu dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Selain itu, Islam juga memiliki kaitan erat dengan kemajuan peradaban, karena Islam menuntut kepada masyarakat untuk terus memaksimalkan potensi yang telah Allah berikan kepada mereka, baik dalam urusan dunia ataupun terlebih urusan akhirat.
Bahkan lebih dari itu semua, Islam mengajarkan kepada kita untuk berfikir secara utuh, memikirkan peradaban manusia yang sempurna, yaitu sebagai seorang yang memiliki jasmani dan rohani. Islam adalah agama yang memanusiakan manusia dengan kemajuan-kemajuan peradaban yang ada, termasuk akhlak yang mulia, keadilan yang merata dan toleransi terhadap manusia. [Amir Syahidin]
Khutbah Jum’at: Ingat Allah di Waktu Lapang, Allah Ingat di Waktu Sempit
[1] Amir Syakib Arsalan, Limadza Ta’akhara al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum (Bairut: Dar Maktabah al-Hayah, tt), hlm 38
[2] Ibid, dan lihat, Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj; Berislam, dari Ritual hingga Intelektua (Jakarta: INSISTS, 2020), hlm. xvii
[3] Lihat, Tim Willace Murphy, What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Wertern Civilization. (London: Watkins Publishing, 2006)
[4] Lihat, Abdullah Nashih ‘Ulwan, Shalahuddin al-Ayyubi, Bathal Hiththin wa Muharrir Al-Quds min ash-Shalibiyyin; 532-589 (Dar as-Salam, tt), hlm. 44
[5] Lihat, Ismail bin Umar bin Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah (Daru Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 1988 M), vol. 12, hlm. 192
[6] Amir Syakib Arsalan, Limadza Ta’akhara al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum…, hlm 75
[7] M. Kholid Muslih, et. al. Worldview Islam (Jawa Timur: PII-UNIDA, 2018), hlm. 4
[8] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hlm. ix
[9] Hamid Fahmy Zarkasyi, Minhaj; Berislam, dari Ritual hingga Intelektua…, hlm. vi
[10] Lihat, Ahmad ar-Raisuni, Muhadharat fi Maqashid asy-Syari’ah (Mesir: Dar al-Kalimah, 2010), hlm. 126
[11] Muslim bin Hijaj an-Naisaburi, Shahih Muslim (Bairut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, tt), vol. 4, hlm. 2052
[12] Abdurahman bin Hasan, Fathul Majid Syarh Kitab at-Tauhid (Mesir: Matba’ah as-Sunnah al-Muhammadiyah, 1957), hlm. 461
[13] Abu Dawud Sulaiman bin Asy‘ats, Sunan Abi Dawud (Bairut: al-Maktabah al-‘Ashriyah, tt), vol. 2, hlm. 93
[14] Abdul Karim Zaidan, Ushul Dakwah (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 2002), hlm. 58
[15] Ibid, hlm 58.
[16] Ibid, hlm. 61
[17] Untuk pembahasan lebih lengkap silahkan lihat, Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (Bairut: Dar al-Fikr, 1999), hlm. 21
[18] Abdul Karim Zaidan, Ushul Dakwah…, hlm. 68