Sedekah itu bagaikan investasi, yaitu menanam modal untuk meraih untung. Sedekah sendiri artinya memberikan sesuatu untuk mendapatkan pahala dari Allah swt, begitu al-Jurjani menjelaskan di kitab at-Ta’rifat-nya.
Pertanyaannya, lalu bagaimana caranya agar investasi ini mendatangkan untung yang besar?, kuncinya adalah ikhlas mencari ridha Allah swt dalam menginvestasikan yang di miliki ke jalan-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Amalan itu berdasarkan niatnya, dan seseorang itu di ganjar sesuai niatnya” (HR. Bukhari Muslim)
Ikhlas sendiri banyak varian definisinya. Tapi intinya, menjadikan Allah sebagai tujuan tunggal dan final dalam setiap amal ibadah. Definisi ini diterangkan oleh al-Qusyairi di kitab ar-Risalah al-Qusyairiyah-nya. Dari sini dipahami, ikhlas adalah kendaraan untuk bisa meraih kemaksimalan pahala di setiap ibadah, termasuknya sedekah. Dalam bersedekah setidaknya ada dua cara untuk meraih kesempurnaan ikhlas, yaitu melalui jalur sembunyi-sembunyi (ikhfa’) dan terang-terangan (idzhar).
Jalur Ikhfa’
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menjelaskan hasil risetnya bahwa masing-masing jalur antara ikhfa’ dan idzhar memungkinkan seseorang bisa mencapai keikhlasan dan meraih keuntungan besar dari sedekahnya. Dari jalur ikhfa’ ada lima potensi besar orang bersedekah bisa meraih keuntungan pahala yang banyak.
Pertama, melindungi kehormatan penerima sedekah. Sebab, sebagian orang enggan meminta-minta padahal dirinya sangat membutuhkan, ini dikarenakan dirinya menjaga kehormatan dirinya (at-Ta’affuf). Allah swt terangkan orang-orang seperti ini di surah al-Baqarah: 273.
Kedua, menjaga hati dan lisan manusia serta mengantisipasi munculnya iri dengki (hasad) dari mereka. Baik itu terkait dengan pemberi sedekah maupun penerimanya. Abu Ayyub as-Sakhtiyani berkata, “Tidaklah aku menanggalkan pakaian baruku, kecuali disebabkan aku takut omongan orang-orang dekatku karena hasad”.
Ketiga, menolong pemberi sedekah untuk menjaga kerahasiaan amalnya. Sebab, memberi secara sembunyi-sembunyi pada dasarnya lebih utama dari memberi terang-terangan. Sehingga sebagian ulama itu enggan menerima sedekah dari orang secara terang-terangan, namun menerimanya bila dilakukan sembunyi-sembunyi. Alasannya, menjaga kerahasiaan amal baik merupakan bagian dari adab Islami. Imam at-Tsauri berkata, “Seandainya aku tahu salah seorang dari kalian tidak menampakkan dan membicarakan sedekahnya, maka akan aku terima sedekahnya”.
Keempat, menjaga agar tidak jatuh pada kehinaan. Karena sedekah terang-terangan memungkinkan pemberi sedekah secara tidak sadar membuat hina orang yang menerimannya. Atau menghinakan dirinya sendiri, karena muncul sifat ingin dipuji (riya’) dan didengar (sum’ah). Sehingga tidak pantas bagi muslim membuat hina orang lain maupun dirinya sendiri.
Kelima, meningkatkan kewaspadaan agar tidak terjerumus pada kesyirikan. Artinya, membuat amal sedekah tidak murni karena Allah swt. Sebab, idzhar sedekah menimbulkan potensi-pontensi dimasukinya unsur-unsur lain selain ridha Allah swt, seperti riya’, sum’ah, sombong dan lainnya.
Jalur Idzhar
Adapun jalur idzhar, ada empat potensi besar orang bersedekah meraup utung pahala yang melimpah.
Pertama, bagi pemberi sedekah, idzhar berpotensi memurnikan keikhlasan dan kejujuran dalam sedekah serta menghindari dari tipu daya sifat ingin dipuji dan berubahnya kondisi diri.
Kedua, menampakkan syiar ibadah. Bagi penerima sedekah, ini akan menghilangkan kesombongan dan menumbuhkan sifat rendah hati (tawadhu).
Ketiga, melatih diri untuk fokus terhadap Allah bukan pada selain-Nya. Karena bagi kekasih Allah izdhar ataupun ikhfa’ tidaklah akan memalingkan mereka dari-Nya. Justru yang dikhawatirkan, terjadinya kontradiksi keadaan (ikhtilaf al-haal), apa yang ditampakkan tidak sesuai dengan yang tersembunyi dalam diri.
Dikisahkan, seorang guru memberikan masing-masing muridnya satu ekor ayam dan menyuruh menyembelih di tempat yang satu sama lain tidak bisa mengetahui. Semua murid melakukan perintah tersebut, namun ada satu tidak melaksanakan perintah itu dan menyembelih ayamnya di tempat orang lain bisa melihatnya. Lantas ditanyalah oleh sang guru, “Wahai muridku, kenapa kamu tidak mencari tempat persembunyiaan untuk menyembelih ayammu ?”, jawabnya, “Wahai guruku, saya tidak bisa mencari tempat bersembunyi, sebab Allah swt Maha Melihat hamba-Nya dimanapun berada”. Akhirnya sang gurupun senang dengan jawabannya, sebab sang murid mampu fokus kepada Allah swt tanpa berpaling sedikitpun dari-Nya.
Kaitan kisah ini dengan sedekah adalah pemberi sedekah yang benar-benar telah mengenal Allah tidak akan terpengaruh sedikitpun, baik dia bersedekah secara ikhfa’ maupun idzhar fokusnya tetap hanya pada Allah.
Keempat, sedekah secara idzhar adalah salah satu cara menghidupkan sunnah bersyukur. Allah berfirman, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan” (ad-Dhuha: 11). Menampakkan kesyukuran merupakan perintah dari Allah, sebaliknya pasif terhadap nikmat Allah dengan tidak mau bersyukur adalah terlarang. Al-Quran menjelaskan, “(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka” (an-Nisa: 37).
Maka, dari penjelasan Imam al-Ghazali di atas dapat disimpulkan bahwa keikhlasan dalam sedekah bisa ditempuh melalui jalur ikhfa’ maupun idzhar. Masing-masing jalur ada potensi mendatangkan keuntungan pahala melimpah bagi pemberi zakat maupun penerimanya.
Bagi kaum muslimin tak perlu memandang sinis, sibuk menganalisa dan mengomentari mereka yang hendak bersedekah, tidak usah bingung bagaimana agar ikhlas untuk bersedekah. Semua potensi dari dua jalur tersebut, kita sendirilah yang bisa menemukannya, maka cermati diri kita sebelum bersedekah, agar invesatasi yang di tanam menghasilkan laba melimpah dari Allah swt. Wallahu a’lam. [Ust. Muhammad Ridwan, alumni MA an-Nuur, Mudir Ponpes Ulul Azmi, Lampung]
Sumber:
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumudin, (Beirut: Dar al-Ma’rifah), Juz 1, Hlm. 227-228
Muhammad bin Ali al-Jurjani, at-Ta’rifat, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, Cet.1, 1405 H), Hlm. 174
Abdul Karim al-Qusyairi, ar-Risalah al-Qusyairiyah, (Kairo: Dar al-Ma’arif), Juz 2, Hlm. 359
BACA JUGA: Desain Grafis Dengan Software Bajakan, Hukumnya?