Sempurna Tanpa Belang
Oleh Fatih Izzul Islam
Bagi laki-laki, wanita ideal merupakan idaman yang selalu dinanti. Sosok istri salehah, berbudi, baik hati, kalem, murah senyum, penyabar, apalagi cantik bermata jeli selalu terselubung dalam doa sepanjang hari. Tak ada yang salah dalam hal itu. Wajar-wajar saja, bahkan tanda kenormalan lelaki.
Namun, yang tidak normal adalah ketika kriteria ideal tersebut dipaksa-paksakan untuk wanita impiannya, atau kalau yang sudah menikah berarti istrinya. Dipaksakan dalam arti tak memandang kodrat dan fisik bawaan si wanita itu sendiri, pun tak mau usaha untuk membimbing dan mendampingi. Jika hasilnya nihil, imbasnya kekecewaan terhadap istri, melelahkan fisik dan hati, serta membuatnya terkatung-katung layaknya tanaman gantung, hanya dipajang di luar dan tak boleh masuk kamar.
Kenyataan seperti ini dikhawatirkan ada kemiripan dengan sikap Bani Israil yang menawar-nawar syariat agar lebih ringan kendati syariat itu sendiri sudah sangat mudah dikerjakan. Mereka tetap mencari-cari sesuatu yang justru menyulitkan padahal pemberian itu sudah cukup menguntungkan.
Kalau saja saat diperintah menyembelih sapi betina mereka mau menerima kriteria sapi pertama, tentu dengan mudah akan mereka dapatkan. Namun mereka terus bertanya; bagaimana sapi betina itu, warnanya apa, seperti apa sifatnya, dan seterusnya. Intinya semua sikap tak terima itu memberatkan mereka sendiri. Padahal sedari awal sudah jelas. Semakin banyak tanya, semakin berat mencarinya.
قَالُواْ ٱدۡعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لَّنَا مَا هِيَ إِنَّ ٱلۡبَقَرَ تَشَٰبَهَ عَلَيۡنَا وَإِنَّآ إِن شَآءَ ٱللَّهُ لَمُهۡتَدُونَ قَالَ إِنَّهُۥ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٞ لَّا ذَلُولٞ تُثِيرُ ٱلۡأَرۡضَ وَلَا تَسۡقِي ٱلۡحَرۡثَ مُسَلَّمَةٞ لَّا شِيَةَ فِيهَاۚ قَالُواْ ٱلۡـَٰٔنَ جِئۡتَ بِٱلۡحَقِّۚ فَذَبَحُوهَا وَمَا كَادُواْ يَفۡعَلُونَ
“Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).
Musa berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya“. Mereka berkata: “Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya”. Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.” (QS. Al-Baqarah: 70-71)
Kisah Tentang Pernikahan
Dalam buku ‘Istriku, Bawelmu Surgaku’, Yusuf Abjik As-Susi mengutip kisah unik yang menggelitik. Dikutip dari salah satu artikel berjudul ‘Musallamatun Lâ Syiyata Fî Hâ’ (Sempurna Tanpa Belang) yang ditulis oleh seorang ulama, mufti, sekaligus penceramah Maroko, Abdul Bari Az-Zamzami.
Suatu hari Syekh Abdul Bari Az-Zamzami pernah didatangi seorang lelaki yang ingin menikah lagi. Ia mencari wanita dengan syarat dan kriteria-kriteria seolah melebihi paras bidadari.
Si lelaki berkata, “Saya ingin menikah lagi. Sebenarnya, saya sudah beristri dan memiliki empat anak laki-laki, umur saya 30 tahun, kerja di sana dan di sini.”
Syekh Abdul Bari Az-Zamzami pun membaca selembar kertas ‘Kriteria Calon Istri’ yang sudah diketik dan dicopy dalam jumlah banyak. Seolah sudah siap dipublikasikan dan ditempel di jalan-jalan raya, pasar, dan tempat-tempat umum.
Selembar kertas itu berisi 27 kriteria wanita yang dipersyaratkan si lelaki; ‘Yatim, keturunan ahlu bait, perawan, berperawakan kecil, cantik, berkulit putih, ramping, berambut pirang, keturunan keluarga saleh, agamis, berpendidikan, teguh pendirian, santun, penyabar, tawadhu’, luwes, pandai bergaul, imut, penyayang, murah senyum, periang, humoris, mudah menerima, rela dimadu, rela mengalah pada madunya, guru, dan pelajar.’
Syekh Zamzami sontak berkata, “Sungguh syarat-syaratmu ini lebih sulit dari syarat-syarat sapi betina yang diminta Bani Israil!”
Namun si lelaki segera menyahut, “Dan sesungguhnya kami In Syâ Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh istri itu).” Meniru ucapan Bani Israil kepada Nabi Musa dahulu.
Menghebohkan bukan?
“Yang lebih mengherankan dalam cerita ini, tak ada indikasi bahwa laki-laki itu dungu atau akalnya kurang sehat, namun sejatinya paradigma sempit tentang wanita seperti ini tidak layak lahir dari pikiran yang sehat.” Begitulah nasihat ringkas penulis buku itu.
Seolah-olah mencari pasangan sama seperti memesan pakaian yang bisa dibuatkan sesuka hati. Sejatinya bukan wanita idaman yang ia cari, melainkan bidadari yang tak akan pernah dijumpai di dunia fana ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk yang jelas dalam memilih kriteria pasangan. Satu yang paling menguntungkan adalah yang paling baik agamanya, bukan yang paling banyak kelebihannya. Pun yang paling baik agamanya belum tentu sempurna dalam seluruh kriteria. Sebab asal muasal kaum hawa tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam.
Tulang rusuk yang bengkok dan memiliki banyak kekurangan. Apalagi jika yang dinilai adalah paras dan fisik, maka tak ada wanita yang sempurna, adanya yang pandai memoles muka. Rasulullah SAW bersabda,
اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ
“Berwasiatlah terhadap wanita dengan kebaikan. Sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Bagian paling bengkok dari tulang rusuk adalah atasnya. Jika kamu ingin meluruskan tulang rusuk tersebut maka kamu akan mematahkannya, namun jika kamu membiarkan maka ia akan tetap bengkok.” (HR. Al-Bukhari)
Artinya wanita akan tetap pada kodratnya. Dengan fitrah yang rapuh dan bengkok, mereka tentu memiliki kekurangan yang harus selalu diingatkan. Apalagi jika ada penjelasan bahwa maksud dari tulang rusuk paling atas yang merupakan bagian terbengkok adalah lisannya. Lisan yang lunak namun terkadang tajam menghujam hati.
Ada juga ulama yang memaknai maksud dari bagian paling atas adalah akalnya. Dan memang, akal menyalur ke hati dan hasilnya akan keluar melalui lisan. Semakin sempurna akalnya, semakin terlihat baik dalam tutur katanya. Begitu pungkas Syekh DR. Khalid bin Utsman As-Sabt.
Maka, setiap lelaki perlu memahami, tidak ada wanita yang sempurna, begitu pula lelaki. Yang dituntut adalah saling melengkapi untuk menutupi kekurangan diri. Potensi adanya gesekan itu sesuatu yang pasti. Justru saat itulah kedua pasangan sama-sama mengevaluasi kekurangan diri lalu disempurnakan dengan saling memahami. Sebagaimana bersihnya beras jika sering terjadi gesekan satu sama lain.
Sabar dan Saling Memahami
Jika menghendaki istri yang serba tuntas mengurusi pekerjaan rumah, jangan salahkan bila ia kurang mampu menghasilkan rupiah. Jika ingin istri pandai menghasilkan uang, jangan protes bila pekerjaan rumah sering berantakan. Jika ingin istri glowing dan cantik, jangan sesalkan bila hal itu menguras banyak uang. Jika ingin istri selalu bergantung pada suami, jangan keberatan untuk selalu dimanjai.
Jika ingin dia tangguh, pahami bahwa terkadang hal itu membuatnya tak mudah menerima masukan. Jika ingin istri yang patuh dan taat pada suami, maka jangan bosan-bosan untuk menasihati, plus berbenah diri. Kaidah ini memang tidak mutlak, namun umumnya seperti itu. Mungkin saja ada wanita yang sanggup menggandakan diri merangkul semua kelebihan tersebut, namun segalanya butuh proses yang tidak instan.
Sangat ironis memang, seorang lelaki yang mengharapkan istrinya taat dan patuh beragama, memahami hak-hak suami, selalu mengalah pada kebijakan suami, menuruti segala kemauannya, rela ditinggal lama demi dakwah suaminya, serta selalu meminta maaf dahulu jika terjadi sengketa, kemudian jika terjadi masalah si suami baper sambil mendatangkan ribuan nasihat dan dalil tentang wajibnya ketaatan istri, tetapi istri yang ia pilih tak memiliki banyak modal tentang pengetahuan agama, pun tidak diajari atau diarahkan bagaimana cara dirinya untuk patuh dan komitmen pada ajaran agama.
Tidak bermaksud membela kaum hawa dalam memenangkan haknya, namun di sinilah suami harus bijak memosisikan diri. Karena itulah Rasulullah SAW memberikan solusi ‘Berwasiatlah terhadap wanita dengan kebaikan.’ Intinya jangan bosan-bosan menasihati, mengarahkan, membimbing, dan memberi. Setelah itu sabar menunggu progres perubahan bertahap yang akan dihasilkan. Karena lelaki itu pemimpin bagi wanita.
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik sikapnya terhadap keluarganya. Aku (Nabi) adalah orang yang paling baik sikapnya terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Semakin besar ekspektasi terhadap istri, semakin besar pula usaha dalam berbenah diri. Begitu halnya upaya untuk mendidik dan mengayomi istri dengan baik, dalam urusan agama maupun dunia. Karena posisi istri memang menuntut demikian. Sebagaimana tulang rusuk yang berposisi di dada, butuh dirawat dan dilindungi.
Sebaliknya, istri harus memiliki kesadaran diri dalam mematuhi suami, sadar bahwa tugas prioritas adalah taat selama tidak menyelisihi syariat. Jangan heran jika suami terkadang urung diri menasihati gegara kelakuan istri yang keterlaluan, mau mendengarkan namun sulit diarahkan. Dengan ketaatan itulah sang istri dapat meraih predikat salehah, biidznillah.
Allah menciptakan hamba-Nya dengan proses yang sempurna dan pasti mendatangkan maslahat. Kita saja yang terkadang sebelah mata memandangnya, sering melihat kekurangan padahal kelebihan yang dimiliki pasangan ribuan kali dirasakan.
“Jika kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 19)
Intinya, untuk mencapai semua itu butuh proses bertahap. Semakin banyak kriteria, semakin berat usaha, pun semakin sulit dicari. Tidak instan dan butuh kesabaran. Pasangan yang sudah hadir dalam hidup ini merupakan anugerah terindah yang perlu disyukuri. Disyukuri dengan dirawat sesuai syariat agar menjadi penyejuk hati. Bukan memaksa-maksakan kriteria sempurna tanpa usaha mendampingi, ujung-ujungnya diri sendiri yang tersakiti. Wallahu a’lam.