Oleh : Herman Budi Zamroni
Al-Qur`an adalah kitab Allah yang terakhir yang diturunkan sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia hingga akhir zaman, maka tidak heran bila Allah berjanji menjaganya. Allah berjanji untuk menjaga keutuhan al-Qur’an, sehingga tidak ada yang dapat mengurangi atau menambah atau menyelewengkannya. Allah berfirman,
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّكۡرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰـفِظُوۡنَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Qs. al-Hijr : 9
Demikianlah al-Qur’an senantiasa terjaga dari ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Orang sesat dengan segala tipu dayanya tidak akan kuasa merubah al-Qur’an, juga tidak akan kuasa mengganti maknanya, dan ini adalah wujud pemeliharaan al-Qur’an dari arah depan. Sebagaimana ia tidak akan kuasa untuk menambahkan sesuatu hal pun kepadanya, dan ini adalah wujud dari pemeliharaan al-Qur’an dari arah belakangnya.”[1]
Namun orang-orang dari kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah meyakini yang sebaliknya. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an telah mengalami penambahan dan pengurangan, sebagaimana penuturan para imam mereka : “Dari Abu Ja’far as, ia berkata, “Andaikata tidak terjadi penambahan dan pengurangan pada kitabullah, niscaya hak-hak kami tidak akan tersamarkan atas setiap yang berakal sehat.”[2]
Apakah dua kelompok (Sunni dan Syi’ah) yang perberbedaannya demikian mencolok dapat bersatu? Yang mana salah satu usaha mereka untuk dapat bersatu dengan barisan kaum muslimin adalah pengakuan bahwa Syi’ah adalah madzhab yang kelima. Sebagaimana yang ada dalam empat madzhab Sunni yang lain bahwa perbedaan Syi’ah dengan Ahlus Sunnah hanyalah perbedaan interpretasi, yaitu perbedaannya hanya dalam memahami nash-nash dalil. Tulisan ini akan berusaha membongkar bahwa perbedaan Sunni dan Syi’ah bukan masalah interpretasi dalil, akan tetapi sumber pengambilan dalil sangat berbeda. Sehingga antara Sunni dan Syi’ah tidak akan pernah bersatu.
APA ITU SYI’AH?
Secara bahasa kata syi’ah bermakna pengikut (الأَتْبَاعُ), penolong (الأَنْصَارُ) dan golongan(الفِرْقَةُ) .[3] Kata syi’ah ini beberapa kali disebutkan dalam al-Qur`an dengan makna tersebut. Disebutkan dalam al-Qur`an kata syi’ah yang bermakna kelompok, golongan atau jama’ah, Allah Ta’ala berfirman :
ثُمَّ لَنَنزِعَنَّ مِن كُلِّ شِيعَةٍ أَيُّهُمْ أَشَدُّ عَلَى الرَّحْمَنِ عِتِيّاً
“Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap syi’ah (golongan) siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” Qs. Maryam : 69
وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِّنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَذَا مِن شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ
“Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah , maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi. yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir’aun). Maka orang yang dari syi’ah-nya (golongannya) meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: “Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).” Qs. al-Qashash : 15
Sedangkan secara istilah, Syi’ah adalah setiap kelompok yang mengutamakan Ali bin Abi Thalib dari para khalifah sebelumnya, dan mereka berpendapat bahwa Ahlulbait adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah.[4] Pendapat ini sesuai dengan konteks Syiah sebagai suatu kelompok yang mempunyai ideologi-ideologi bersifat deislamisasi.[5]
Sedang menurut orang Syi’ah sendiri, Syi’ah adalah salah satu kelompok Islam yang mempercayai dan mengikuti dua belas Imam dari kalangan Ahlul Bait al-Musthafa Ali (bin Abi Thalib) beserta keturunannya, mereka menjadikan para Imam tersebut sebagai rujukan dalam segala permasalahan fikih, baik itu perkara ibadah maupun muamalah, dan tidak mengistimewakan seorang pun dari dua belas imam kecuali leluhur mereka yang memiliki risalah yaitu Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.[6]
MASHDAR TASYRI’ MENURUT SYI’AH
Masdar at-Tasyri’ atau disebut juga dengan al-Adillah asy-Syar’iyyah adalah dalil-dalil syar’i yang digunakan untuk menyimpulkan hukum-hukum syar’i. Al-Adillah asy-Syar’iyyah menurut para ulama Ahlus Sunnah terbagi menjadi dua macam, yaitu dalil-dalil yang disepakati oleh jumhur ulama dan dalil-dalil yang diperselisihkan diantara mereka. Dalil-dalil yang disepakati yaitu al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas. Sedangkan dalil-dalil yang diperselisihkan (yang banyak dikenal) ada tujuh, yaitu al-Istihsan, al-Mashlahah al-Mursalah atau al-Istishlah, al-Istishhab, al-Urf, Madzhab Shahabat, Syari’at umat terdahulu, dan Saddu Dzari’ah.[7]
Namun, dalam hal ini Syi’ah memiliki pandangan yang sangat khusus, sehingga membuat Masdar at-Tasyri’-nya berbeda dengan Ahlus Sunnah. Bagi mereka perkataan Imam adalah sebuah ketetapan. Hal ini dikarenakan mereka meyakini bahwa sang Imam masih menerima wahyu. Dan mereka juga tidak menerima hadist diluar golongan Syi’ah. Dengan demikian terwujudlah Mashdar at-Tasyri’ menurut mereka, yaitu al-Qur`an yang penafsirannya mengikuti para Imam Mufassirin dari kalangan mereka, al-Hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang Syi’ah, dan perkataan Imam.[8]
PANDANGAN SYI’AH TERHADAP AL-QUR`AN
Karena mereka meyakini bahwa para imam maksum sebagaimana nabi, maka pastinya mereka akan menerima segala perkataan yang diucapkan oleh Imam mereka. Bahkan ulama mereka mengisyaratkan akan adanya dua al-Qur’an, yang keduanya bisa digunakan sebagai hujah, yaitu al-Qur’an yang diam dan al-Qur’an yang berbicara. Maksud dari al-Qur’an yang diam itu adalah al-Qur’an yang tertulis dalam mushaf dan al-Qur’an yang berbicara itu adalah para imam.
Al-Qummi menyebutkan riwayat bahwa imam Ali mengatakan, “Itulah al-Qur’an, mintalah dia untuk berbicara, niscaya tidak mungkin dia akan bicara. Saya akan kabarkan kepada kalian bahwa didalam al-Qur’an ada ilmu yang telah lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat, dia akan menghakimi urusan diantara kalian, dan menjelaskan perkara-perkara yang kalian perselisihkan. Seandainya kalian bertanya kepadaku tentang hal itu, niscaya akan saya beri tahukan kepada kalian. Karena saya lebih mengetahui daripada kalian.”[9]
Karena itulah, sudah pastinya orang-orang Syi’ah Ja’fariyah akan merujuk pada al-Qur’an yang bisa berbicara, yaitu para Imam, yang mana dia bisa menjelaskan maksud Allah. Bahkan orang-orang sekte Ikhbariyyun dari Syi’ah Ja’fariyah melarang beramal hanya dengan zhahir al-Qur’an. Sedang jumhur Ja’fariyah, mereka adalah kelompok Ushuliyyun, meyakini bahwa zhahir ayat-ayat al-Qur’an itu adalah hujah, walaupun tidak boleh sembarangan mengamalkan zhahir ayat tanpa merujuk perkataan imam.[10]
Selain itu, Syi’ah Ja’fariyah juga meyakini adanya perubahan dalam al-Qur’an. Salah satu kitab yang paling terkenal dari kalangan Syi’ah yang ekstrim adalah kitab Fashlul Khitab fi Itsbati Tahrif Kitab Rabbil Arbab. Penulis kitab ini, Husain bin Muhammad an-Nuri ath-Thabrasi, mengatakan, “Ini adalah kitab yang lembut dan mulia. Saya tulis kitab ini untuk menyatakan kebenaran bahwa telah terjadi perubahan dalam al-Qur`an, dan saya ungkapkan kecurangan-kecurangan orang yang berbuat jahat dan permusuhan.”[11]
Keyakinan ini bukanlah hal baru dalam pandangan Syi’ah Ja’fariyah. Kemudian penulis kitab ini memperkuat pendapatnya dengan mengungkapkan para ulama Syi’ah ekstrim yang sepakat akan terjadinya perubahan pada al-Qur`an, “Pendapat yang mengatakan bahwa telah terjadi perubahan dan pemangkasan dalam al-Qur`an adalah madzhab yang dianut Syaikh yang mulia, Ali bin Ibrahim al-Qummi, guru al-Kulaini. Dia mengatakan ini pada awal tafsirnya. Dan kitabnya penuh dengan khabar-khabar yang terpercaya. Karena sejak awal dia konsisten bahwa dia tidak akan membawakan riwayat dalam kitabnya itu keculi orang-orang yang terpercaya dan dari guru-gurunya saja. Dan ini juga madzhab muridnya, Tsiqat al-Islam al-Kulaini, sebagaimana dinisbatkan padanya oleh jamaah Syi’ah karena dia banyak menukil khabar yang selaras maknanya dalam kitab al-Hujjah, terutama dalam bab an-Nukatu wa an-Naftu min at-Tanzil, juga dalam kitabnya ar-Raudhah dimana dia tidak berusaha menolak ataupun menakwilkannya.”[12]
Kemudian ia banyak menyebutkan riwayat, seperti riwayat al-Kulaini dari Imam ash-Shadiq. Misalnya : “Sesungguhnya al-Qur`an yang dibawa Jibril itu jumlah ayatnya ada tujuh belas ribu ayat.”[13]
Namun sebagian mereka tidak meyakini adanya perubahan al-Qur’an. Muhammad bin Babawaih al-Qummi, yang digelari ash-Shaduq, berkata, “Kami berkeyakinan bahwa al-Qur`an yang Allah turunkan kepada nabi-Nya adalah al-Qur`an yang ada pada saat ini: yaitu yang ada pada manusia dan tidak lebih dari itu. Barangsiapa yang menuduh bahwa kami mengatakan al-Qur`an yang asli lebih dari itu maka ia pendusta.”[14]
KITAB-KITAB TAFSIR SYI’AH ITSNA ASYARIYAH
Orang-orang Syi’ah baru berfikir tentang Ilmu Ushul pada abad keempat Hijriyah, dan mulai menyusun ilmu tersebut pada abad kelima Hijriyah. Sehingga bisa kita katakan bahwa ilmu ushul Syi’ah yang berkembang hingga hari ini hanyalah pengembangan dari tiga kitab utama mereka yang muncul pada abad ke-3 Hijriyah (Tafsir al-Hasan al-Askari, Tafsir al-Qummi, dan Tafsir al-Ayyasyi). Karena semua riwayat mereka dinisbatkan kepada para imam Ahlu Bait.[15]
Karena Syi’ah Ja’fariyah terbagi menjadi dua, ekstrim dan moderat,[16] yang keduanya tidak sama dalam memandang al-Qur`an, maka dalam kajian tafsir mereka perlu adanya studi secara menyeluruh terhadap kitab-kitab mereka. Sehingga kita akan dapat menemukan benang merah dari metode mereka dalam menafsirkan al-Qur’an. Dan pengaruh akidah imamah mereka akan senantiasa nampak dalam setiap uraian-uraian yang mereka sampaikan.
Bersambung… (bag. 2)
Footnote:
[1] Ibnu Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Mu`assasah ar-Risalah, 2000), vol. 21, hlm. 480
[2] Muhammad bin Murtadha, Tafsir ash-Shafi, vol. 1, hlm. 58
[3] Ibnu Mandzur, Lisanul ‘Arab, (Beirut : Dar Shadir, 1414 H, vol. 8, hlm. 188-189
[4] Mushthafa bin Muhammad, Syubhatur Rafidhah Haulash Shahabah, (Riyadh: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), vol.1, hlm.95
[5] Dr. Ghalib bin Ali ‘Iwaji, Firaq Mu’ashirah, (Riyadh: Maktabah al-Ashriyah, 1993), vol.1, hlm.132-133
[6] Dr. Muhammad At-Tijani as-Samawi, Asy-Syi’ah hum Ahlu as-Sunnah, (Muassasah al-Fajr : London), hlm. 17
[7] Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, Ushulil Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul Fikr, 1986), vol. 1, hlm. 417. Dan Muhammad bin Husain al-Jizani, Ma’alim Ushul al-Fiqh, (Riyadh: Dar Ibnul Jauzi), hlm. 70.
[8] Dr. Ahmad Syalbi, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami wa Tarikh an-Nidzam al-Qadha`iyyah fi al-Islam, (Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1975), hlm. 26
[9]Abil Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi, Tafsir al-Qummi, Bab Muqaddimah, (Qum-Iran : Mu`assasah Dar al-Kitab li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, 1404 H), vol. 1, hlm. 3. Lihat juga, Abu Ja’far al-Kulaini, al-Ushul minal Kafi, vol. 1, hlm. 61.
[10] Syi’ah Ja’fariyah terbagi dalam dua bagian, yaitu Ushuliyyun dan Ikhbariyyun. Kelompok Ushuliyyun banyak bersandar pada Istinbath, ijtihad dan akal. Mereka adalah para pakar fikih dikalangan Ja’fariyah. Sedang Ikhbariyyun hanya bersandar pada matan-matan khabar yang diriwayatkan dari imam mereka. Madzhab ikhbariyyun adalah madzhab yang pernah dianut oleh para ahli fikih Imamiyah hingga masa akhir para imam. Dan kecenderungan ini tidak mengalami goncangan kecuali pada akhir abad keempat dan setelahnya, tatkala beberapa jamaah dari ulama-ulama Imamiyah mulai bergeser dari madzhab Ikhbari, dan mereka lebih banyak bersandar pada akal dan logika serta mengkorelasikan antara pembahasan fikih dengan ushul. Hal ini karena mereka terpengaruh dengan madzhab sunni dalam pengambilan kesimpulan. Kemudian penyimpangan ini mulai menyebar dan beredar dengan luas. Jumlah mereka, kelompok Ikhbariyyun, sangat sedikit. Kebanyakan tinggal di Bahrain, bahkan di Bahrain pun mereka sedikit. Lihat catatan kaki, Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus, Ma’a al-Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’, (Mesir: Maktabah Dar al-Qur’an, 2003), vol. 2, hlm. 453.
[11] Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus, Ma’a al-Itsna ‘…, vol. 2, hlm. 466
[12] Ibid, hlm. 467-468. Selanjutnya ia menyebutkan nama-nama ulama Syi’ah yang sependapat dengannya, yaitu as-Sayyid Muhsin al-Khazimi pengarang kitab al-Wafiyah, Allamah al-Majlisi pengarang kitab Mira’at al-Uqul, Muhammad bin al-Hassan ash-Shaffar pengarang kitab al-Bashair, Muhammad Sayyid al-Jazairi pengarang kitab al-Anwar.
[13] Ibid, hlm. 469. Padahal kita semua tahu bahwa ayat-ayat al-Qur`an tidak lebih dari 6.300 ayat. Itu artinya riwayat al-Kulaini mengatakan bahwa ada 10.000 lebih ayat al-Qur`an yang dibuang.
[14] Ash-Shaduq, al-I’tiqadat: Bab al-I’tiqab fi Mablaghi al-Qur`an, hlm. 84
[15] Lihat Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus, Ma’a al-Itsna ‘Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’, (Mesir: Maktabah Dar al-Qur’an, 2003), vol. 2, hlm. 459.
[16] Syi’ah Ja’fariyah menyikapi perubahan al-Qur’an terbagi menjadi 2 golongan, yaitu Ghulat (ekstrim) yang meyakini adanya perubahan al-Qur’an dan Mu’tadilun (moderat) yang meyakini al-Qur’an tidak ada perubahan.