METODE TAFSIR SYI’AH ITSNA ASYARIYAH
Telah diketahui bersama bahwa Ahlul Hawa’ (orang yang memperturutkan hawa nafsunya hingga pada kesesatan) dan aliran sesat selalu berusaha menjadikan al-Qur’an al-Karim sebagai landasan mereka untuk menetapkan akidah mereka yang bathil. Hal itu dalam rangka mewujudkan tujuan mereka yang buruk, yaitu untuk membujuk kaum muslimin awwam, menyesatkan mereka dari kebenaran, dan mengajak mereka kepada kebatilan.
Untuk itulah mereka bersungguh-sungguh dalam penelitian terhadap ayat-ayat, yang menurut khayalan mereka, dapat dijadikan landasan akidah mereka. Maka, mereka menakwilkan ayat-ayat yang selaras dengan akidah mereka yang menyimpang. Mereka meletakkan metode khusus dalam menafsirkan al-Qur’an yang sangat berbeda dari kaum muslimin. Mereka meninggalkan metode yang telah ditetapkan para ulama Islam ahlul haq dari kaum muslimin, yaitu metode salafus shalih.[1]
Ketika mereka meletakkan metode khusus dalam tafsir al-Qur’an, tidak segan-segan mereka melakukan penipuan terhadap kitabullah dan memberikan makna-makna yang menyimpang dari makna yang shahih.
Diantara metode Syi’ah Itsa Asyariyah yang paling menonjol dalam menafsirkan al-Qur’an adalah :
- Menafsirkan al-Qur’an dengan sabda Rasul saw yang diriwayatkan dari jalur mereka saja.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan khabar-khabar yang dinisbatkan kepada para imam mereka.
- Menafsirkan al-Qur’an dengan takwil-takwil untuk mendukung keyakinan maupun fikih mereka yang berbeda dengan ahlus Sunnah.
Ath-Thusi berkata dalam mukaddimah tafsirnya, “Ketahuilah bahwa kesimpulan riwayat dari khabar-khabar kawan-kawan kita adalah sesungguhnya al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan kecuali dengan Atsar Shahih dari Nabi saw dan dari para Imam as, yang mana perkataan mereka merupakan hujah sebagaimana sabda Nabi saw.”[2]
Dan sebab yang paling mendasari dari takwil-takwil bathil ini adalah masalah Imamah yang ada pada mereka. Bagi mereka Imamah adalah rukun yang paling utama diantara rukun-rukun Iman yang lain, dan urusan agama yang paling urgen. Bahkan Imamah yang mereka yakini sederajat dengan tingkatan Nubuwah. Maka bagi mereka, Iman seseorang tidak sempurna sampai beriman dia mengakui para Imam, beriman kepada kepadanya dan memusuhi musuh-musuhnya.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dapat kita simpulkan secara ringkas kesalahan-kesalahan mereka yang tampak dan kesesatan mereka berbahaya bahwa :
- Perbedaan Ahlu Sunnah dengan Syi’ah bukan terletak pada Interpretasi dalil-dalil, melainkan mashdar tasyri’ antara Sunni dan Syi’ah sangat berbeda, bahkan bertentangan. Dan pertentangan antara Sunni dan Syi’ah ini tidak hanya mencakup permasalahan furu’/tanawwu’, bahkan mencakup masalah Ushul.
- Sikap Syi’ah terhadap perubahan al-Qur’an ada dua, yaitu ekstrim dan moderat. Namun keduanya tetap saja melakukan perubahan al-Qur’an untuk membenarkan akidah Imamah mereka. Dan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama Syi’ah kontemporer hanya merupakan representasi dari kitab-kitab sebelumnya.
- Syi’ah moderat memiliki kesamaan dengan jumhur Ulama Sunni dalam hal tafsir, namun Syi’ah berbeda ketika menyinggung masalah akidah Imamah. Untuk membenarkan akidah Imamah, mereka bersandar pada takwil, qira’at palsu dan memalingkan asbabun nuzul.
- Syi’ah dalam menafsikan al-Qur’an meninggalkan metode para ulama salaf ahlul haq, dan menggunakan metode sendiri untuk mencari pembenaran terhadap akidah maupun fikih mereka. Sehingga tafsir mereka menghasilkan makna-makna al-Qur’an yang menyelisihi makna shahih.
- Akidah Imamah yang ada pada mereka memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sikap mereka terhadap al-Qur’an, baik dari lafal maupun makna-maknanya. Bahkan mereka berani melakukan penipuan terhadap kitabullah, untuk mengelabuhi orang-orang awwam.
Dengan demikian semakin jelaslah bahwa Syi’ah dengan Ahlus Sunnah sangat berbeda pemahaman, dan tidak ada jalan antara keduanya untuk bersatu. Wallahu ‘alam bi ash-shawab..
Footnote:
[1] Ibnu Taimiyah berkata : “Ketika kita tidak menemukan tafsir (suatu ayat) dalam al-Qur’an, tidak pula dalam as-sunnah, maka kami me-ruju’-nya kepada perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Merekalah orang yang paling mengetahui tentang tafsir, karena mereka menyaksikan (bagaimana) al-Qur’an turun, dan kondisi-kondisi yang mengkhususkan ayat-ayat tersebut, karena itulah mereka memiliki pemahaman yang purna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, dalam bab Fi Bayani Ahsani Thuruqi at-Tafsir, (Dar al-Wafa`: 2005), vol. 13, hlm. 364
Jika tidak ada juga, maka dengan perkataan para Tabi’in, karena mereka mengambil tafsir dari para sahabat. Maka mereka orang yang paling mengetahui tafsir daripada orang-orang setelahnya.
[2] Muhammad bin al-Hasan ath-Thusi, At-Tibyan, (Dar Ihya’i at-Turats al-A’rabi), vol. 1, hlm. 4