Oleh: Muhammad Yanuar
Islam adalah agama yang damai dan mencintai perdamaian. Tidak ada satu pun ajaran di dalamnya yang mengajarkan kekerasan dan permusuhan. Bahkan, terhadap seorang non-muslim(kafir) sekalipun. Jika diumpamakan, kaum muslimin itu seperti seekor lebah. Ketika dibiarkan terbang mencari nektar bunga, ia akan menghasilkan madu yang dapat bermanfaat bagi manusia. Namun sebaliknya, ketika diganggu dan diusik keberadaannya, maka sengatan dan amukan yang akan diterima.
Kemuliaan dan harga diri yang dimiliki kaum muslimin menjadi barang yang mahal harganya. Sehingga, harta dan nyawa rela dipertaruhkan dan dijadikan sebagai tumbal ketika kemuliaan atau kehormatan salah satu dari mereka dilecehkan dan dihinakan. Bukankah dulu seorang al-Mu’tashim mengirimkan pasukan perangnya hanya gara-gara seorang perempuan muslimah yang menjerit gara-gara dilecehkan kehormatannya? Ini menjadi bukti bahwa harga diri seorang muslim atau muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dan tidak bisa dianggap remeh. Dalam sebuah hadits disebutkan,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ دَمِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يُسْفَكُ بِغَيْرِحَقٍّ
“Sesungguhnya hancurnya dunia beserta isinya lebih ringan di sisi Allah Ta’ala dari pada tertumpahnya darah seorang muslim tanpa ada alasan yang benar.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’I, Ibnu Majah, dan Al Baihaqi)
Sedemikian berharganya di hadapan Allah, sampai-sampai hancurnya dunia dan seisinya jauh lebih ringan daripada tertumpahnya darah seorang muslim.
Islam juga mengajarkan kepedulian dan solidaritas yang tinggi terhadap saudara seiman. Mereka saling mencintai karena Allah dan membenci karena Allah. Kasih sayang yang tumbuh di antara mereka dibangun di atas dasar rasa cinta seperti kecintaan mereka terhadap diri mereka sendiri. Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa tolak ukur kesempurnaan iman seseorang adalah dengan kecintaan yang diberikan kepada saudaranya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna iman seseorang, jika ia belum mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” (Muttafaq ‘alaihi).
Kepedulian yang luar biasa ini tumbuh karena keimanan mereka kepada Allah dan rasul-Nya. Sehingga, ketika mereka diperintahkan untuk saling mencintai dan menyayangi di antara mereka, maka jawaban orang-orang beriman akan selalu menjawab, “Kami mendengar dan kami taat”.
Di dalam hadis lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ المُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عَضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرَ الجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالحُمَى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan menyayangi ibarat suatu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya terasa sakit, maka seluruh anggota badan yang lain akan menjadi terjaga (tidak bisa tidur) dan demam (merasakan sakit).”
Berkenaan dengan hadis ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Jika salah satu anggota tubuh Anda merasakan sakit, maka rasa sakit tersebut pasti akan dirasa hingga menyebar ke seluruh tubuh. Sehingga, seperti inilah perumpamaan orang beriman ketika salah satu dari mereka tertimpa sebuah musibah atau cobaan. Anda akan merasakan rasa sakit dan kepedihan yang dialami oleh saudara Anda. Karena, Anda termasuk salah satu bagian dari mereka. (Syarh Riyadh ash-Shalhin, juz II/298).
Teladan Salaf dalam bersolidaritas
Telah diabadikan dalam buku-buku sejarah para ulama’ tentang bentuk solidaritas yang kuat yang terjalin antara kaum Muhajirin dan Anshar di kota Madinah. Kaum Anshar yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj dulunya memiliki tinta merah pertikaian yang tidak kunjung selesai hingga Rasulullah datang mempersaudarakan mereka. Setelah itu, kaum muslimin berhijrah ke Madinah dan Rasulullah pun mempersaudarakan mereka di dalam satu ikatan keimanan.
Kisah yang sangat masyhur salah satunya adalah kisah tentang Abdurrahman bin Auf, salah satu sahabat yang mulia . Ketika beliau tiba di kota Madinah, ada salah seorang sahabat Anshar yang menawarkan salah satu dari dua istri yang ia miliki untuk dinikahi oleh Abdurrahman bin Auf, namun beliau menolaknya dan hanya meminta ditunjukkan di mana pasar berada. Kasih sayang dan persaudaraan yang dilakukan oleh para shahabat kaum Muhajirin dan Anshar diabadikan oleh Allah di dalam firman-Nya,
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا يُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِم خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ المُفْلِحُوْن
“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr : 9).
Doktor Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat diatas dengan berkata, “Ayat ini bercerita tentang mereka yang tinggal di Darul Hijrah (Madinah Munawwaroh) yaitu orang-orang Anshar. Keimanan mereka kepada Allah dan rasul-Nya telah terpatri di dalam lubuk hati mereka. Sehingga, menjadikan mereka sangat mencintai saudara seiman dari kalangan Muhajirin dengan memberikan bantuan berupa harta yang mereka miliki. Di samping itu, tidak ada sedikitpun dalam diri mereka rasa iri ataupun dendam terhadap apa yang telah didapatkan kaum Muhajirin dari sebagian harta.” Az-Zuhaili menambahkan, “Kaum Anshar juga lebih mengedepankan kaum Muhajirin dalam segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan dunia mereka. Walaupun sebenarnya mereka juga sangat membutuhkan dan serba kekurangan.” (At-Tafsir al-Munir, juz 14/458).
BACA JUGA: PETUAH ULAMA SALAF KETIKA FUTUR
Solidaritas menjadi faktor terbesar yang menumbuhkan persatuan. Karena dengan persatuan, akan menghasilkan sebuah kekuatan. Sebagaimana sebuah sapu, ratusan batang lidi yang dihimpun membentuk sebuah ikatan kuat akan sulit untuk dipatahkan karena jumlahnya yang banyak. Berbeda ketika hanya terdapat satu batang lidi yang dipegang, maka ia akan sangat mudah patah dan sangat rapuh. Sangat sedikit manfaat yang dapat dihasilkan. Seperti inilah logika persatuan yang akan menghasilkan sebuah kekuatan yang luar biasa.
Prinsip solidaritas dalam islam tidak mengenal kata perbedaan. Maksudnya, solidaritas dalam islam tidak memandang perbedaan dari sisi bahasa, warna kulit, arab atau non arab, perbedaan suku atau perbedaan-perbedaan yang lainnya. Karena, di dalam prinsip seorang mukmin, orang yang terbaik di antara mereka adalah mereka yang paling bertakwa kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana Allah berfirman,
(إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ (سورة الحجرات : 13
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat :13)
Sehingga, orang yang beriman tidak akan pernah “pilih-pilih” dalam memberikan kasih sayang dan kecintaan mereka kepada saudara yang berada di sekelilingnya. Karena mereka yakin bahwa bisa jadi saudaranya itulah yang lebih dicintai Allah dari pada dirinya.
Namun, kondisi kaum muslimin di zaman kita ini begitu memprihatinkan. Terjadi semenjak runtuhnya Kekhilafahan Utsmaniah yang berpusat di Turki. Kaum muslimin terpecah karena hasil dari perjanjian Sykes Picot yang membagi-bagikan wilayah bekas Kekhilafahan Utsmani menjadi beberapa negara. Mengakibatkan kaum muslimin ibarat seekor anak yang kehilangan induknya. Sejak saat itulah, dimulai penindasan-penindasan dan pembantaian terhadap kaum muslimin yang sudah kehilangan induk yang seharusnya mengayomi dan menjaga harta dan darah mereka. Berjuta-juta nyawa kaum muslimin menjadi korbannya.
Padahal, semestinya solidaritas dan kepedulian tidak mengenal sekat pembatas. Dimana ada seorang muslim yang menderita, maka kaum muslimin secara keseluruhan harus memberikan empati dan menunjukan solidaritas kepada saudaranya. Sayangnya, sekian banyak negeri muslim yang ada hanya mengenal loyalitas sebatas garis teritorial negeri mereka masing-masing.
Saat terdengar jeritan di Negeri Syam, Burma, dan negeri-negeri kaum muslimin lainnya, seharusnya wajib bagi seorang muslim di seluruh dunia untuk dapat menghapuskan penderitaan mereka dan membantu mereka sebagai wujud solidaritas dan kepedulian sebagai sesama saudara. Namun, faktanya tidak demikian. Tidak ada satupun dari negeri kaum muslimin yang mengirimkan tentaranya untuk mengangkat penderitaan dari mereka.
Begitulah nasionalisme, menjadikan kaum muslimin tersekat-sekat dalam penjara-penjara wilayah dan kekuasaan yang tak mampu menjamin keamanan dan keselamatan harta dan jiwa kaum muslimin. Kesempatan untuk menolong kaum muslimin yang tertindas dan lemah sangat sulit dilakukan. Jangankan mengirimkan tentara, pengiriman bantuan kemanusiaan pun harus melalui persyaratan-persyaratan yang ketat dan selalu mendapat pengawasan.
Maka cukuplah ayat berikut menjadi alasan kuat bagi kaum muslimin untuk senantiasa membangun solidaritas terhadap sesama mereka. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا المُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Solidaritas merupakan karakter yang dimiliki kaum muslimin di manapun ia berada. Solidaritas yang tidak mengenal batas, warna kulit, bangsa, atau perbedaan-perbedaan yang lainnya. Solidaritas yang dibangun di atas landasan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya. Wallahu a’lam bishawab.
BACA JUGA; MENYIKAPI PENYAKIT ‘AIN