Oleh: Tengku Azhar
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa`: 9)
Tafsir Ayat
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata, “Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- meriwayatkan bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang menjelang ajalnya, lalu kedengaran seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang menimbulkan mudharat terhadap ahli warisnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut, hendaknya dia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan terlunta-lunta.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Di dalam sebuah hadits dalam kitab Sahihain disebutkan seperti berikut: “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam rumah Sa’ad Ibnu Abi Waqqas – radhiyallahu ‘anhu- dalam rangka menjenguknya, maka Sa’ad bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang mewarisiku kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Tidak boleh.’ Sa’ad bertanya. ‘Bagaimana kalau dengan separonya?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Jangan.’ Sa’ad bertanya, ‘Bagaimana kalau sepertiganya?’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Sepertiganya sudah cukup banyak.’ Kemudian Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu membiarkan. mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang.”
Di dalam kitab Shahih dari Ibnu Abbas mengatakan, “Seandainya orang-orang menurunkan dari sepertiga ke seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sepcrtiganya sudah cukup banyak’.”
Paraahli fiqih mengatakan, “Jika ahli waris si mayat adalah orang-orang yang berkecukupan, maka si mayat disunahkan berwasiat sebanyak sepertiga dari hartanya secara penuh. Jika ahli warisnya adalah orang-orang yang miskin, maka wasiatnya kurang dari sepertiga.”
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh ayat ini ialah takutlah kalian kepada Allah dalam memegang harta anak-anak yatim.
Saatnya Membangun Generasi Rabbani yang Tangguh
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali ‘Imran: 110)
Semenjak keruntuhan khilafah Islamiyah pada tahun 1924, kemerosotan peradaban dan akhlak islamiyah dikalangan umat semakin menjadi-jadi. Kemaksiatan dan kemungkaran merajalela demikian maraknya, sampai-sampai terjadi talbisul haqqa bil bathil (percampuradukan kebenaran dengan kebathilan) dan bahkan kitmanul haqqo (menyembunyikan kebenaran) pun sudah menjadi hal yang lumrah, baik dikalangan ulama, ’umara maupun ummat. Dampak dari itu semua terpampang didepan mata kita yaitu mengorbitnya generasi yang tidak takut terhadap adzab dan dosa sekalipun akbarul kabaa’ir. Benarlah sabda Rasulullah yang memberikan sinyaleman mengenai kondisi kaum muslimin ketika mendekati akhir zaman laksana hidangan yang dikerumuni orang-orang yang rakus.
Terlepas dari itu semua, usaha-usaha ke arah pembangunan kembali dan peradaban dan akhlak Islamiyah merupakan kewajiban yang tidak terelakkan. Oleh karena itu, hal yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan adalah mencetak sebanyak-banyaknya ’agent of change’(du’at ilallah) yang berfungsi mengemban amanah untuk mengembalikan kejayaan umat sebagaimana di zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.
Selaku ’agent of change’(du’at ilallah), ia harus memiliki syakhsiyyah Rabbaniyyah (kepribadian Rabbani) karena hanya syakhsiyyah Rabbaniyyah sajalah yang mampu mengembalikan kejayaan ummat dan menegakkan ’izzah Islam. Prototypenya dalam tarikh Islam bertebaran bak bintang dilangit mulai dari Anbiyaa’, para shahabat Rasulullah dan tabi’in sampai para ulama salaf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, merupakan satu dari sekian prototype syakhsiyyah Rabbaniyyah. Sejak kecil beliau dididik dan dibesarkan dilinkungan ulama salaf yang memiliki pemahaman ad-Din berada di tataran puncak. Mengomentari hal ini Imam Adz-Dzahabi berkata: ”Dia (Ibnu Taimiyah) merupakan lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al Quran dan As-Sunnah serta perbedaan pendapat dan beliau merupakan lautan dalil naqli……..”
Beliau merupakan profil ulama Rabbani yang teguh berpijak kepada aqidah salafiyah dan paling gigih memerangi para mubtadi’(ahli bid’ah) sekaligus memerangi ajaran-ajaran falsafah. Kehidupannya sangat pekat dalam suasan ruhiyyah yang tinggi, sisi lain beliau juga mujahid yang ahli perang dan memberikan komando kepada kaum Muslimin untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar (tahun 700,702,713 H). Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari kezholiman musuh dengan pedangnya, sebagaimana beliau juga pembela aqidah umat dari rongrongan para ahli bid’ah dengan lidah dan penanya. Semboyan ruhbanun fi al-laili wa fursanun fi an-nahari, benar-benar teraplikasikan dalam kehidupannya.
Pribadi-pribadi seperti beliaulah yang kelak mampu mengembalikan kejayaan umat dan menegakkan ’izzah Islam. Sehingga wajar kalau seandainya program-program dakwah baik secara jama’i maupun fardhi diarahkan kepada pembentukan syakhsiyyah Rabbaniyyah. secara mujmal (global mereka baru disebut syakhsiyyah Rabbaniyyah setelah memenuhi tiga khasha’ishuha (kriterianya) yaitu:
- Al-Islamu Qoo’imun fi Nafsih
Islam tegak dalam diri, maksudnya ia harus diimplementasikan oleh para ’agent of change’ dalam kehidupan sehari-harinya, dengan catatan harus benar, baik secara aqidah maupun syari’ah. Benar dalam aqidah, berarti dalam setiap ’agent of change’ harus berpegang teguh kepada aqidah Islamiyah yang hanif (QS Al-An’am: 161) tanpa embel-embel paham-paham falsafah apalagi ajaran-ajaran ahli bid’ah semacam Rafidhah, Inkar Sunnah, Hamadiyah dan lain sebagainya, yang nota bene sesat dan menyesatkan ummat dam bukannya menegakkan ’izzah Islam wal Muslimin.
Benar dalam syar’i, berarti bahwa dalam menjalankan syari’at harus sesuai denagn ketetapan Rasulullah tanpa menyertakan atau menyandingkannya dengan fatwa-fatwa atau ide-ide ahli bid’ah. Allah berfirman QS Al-Baqarah: 208,
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Agar maksud ayat diatas dapat tercapai, dua point dimuka merupakan syarat mutla, jika salah satunya cacat maka batallah ia. Dalam konteks ini, hendaknya ditumbuhkembangkan sikap tawadhu’ terhadap al-haq dan sikap wara’ terhadap selainnya.
Sementara itu masih dalam kerangka Al-Islamu qoo’imun fi nafsih. Hendaknya dibudayakan suasana ruhiyyah yang kental diantara para ’agent of change’, seperti: meningkatkam itensitas ibadah nafilah, mentadabburi ayat-ayat tarhib dan targhib, mengingat kematian dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengannya serta merenungkan kehidupan sesudahnya.
Bukanlah kedekatan (taqarrub) pertolongan Allah berbanding lurus dengan kedekatan kita kepada Allah ’azza wa jalla, dan bukanlah kedekatan itu kita peroleh dalam kepekatan dan ketinggian suasana ruhiyyah kita. Dan kemenangan tidaklah ditentukan oleh kecanggihan senjata dan melimpahnya prajurit, tetapi ruhiyyahnya kering lagi tandus.
- Al-Hirsu ’Alaad Dakwah
Kriteria kedua dari syakhsiyyah Rabbaniyyah adalah bahwa ’agent of change’ harus memiliki kemampuan yang membaja untuk berdakwah, tanpa ini ia akan cepat patah semangat kemudian berjatuhan bak daun kering. Allah berfirman:
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushilat: 33)
Ayat diatas merupakan kalimat pertanyaan retoris yang jawabannya ada dalam pertanyaan tersebut. Dakwah merupakan pekerjaan terbaik dari seluruh perkerjaan yang ada, dan ia sudah menjadi kewajiban setiap muslim sebagaimana amanat Rasulullah disaat haji wada’ yang berbunyi, “Hendaklah kalian yang menyaksikan menyampaikannya kepada yang tidak hadir”.
Setelah kesadaran akan wajibnya dakwah serta kemauan yang keras untuk mengembangkannya, maka langkah selanjutnya adalah memahami watak dakwah dan ma’arakah (tribulasi) diseputarnya. Dakwah bukanlah sebuah perjalanan yang mulus tanpa hambatan, melainkan ia dipenuhi onak dan duri yang ditebar baik secaa sengaja maupun secara tidak sengaja oleh mereka yang tidak ridha terhadapnya. Onak dan duri tersebut dapat berbentuk fitnah (gangguan eksternal) yang cenderung destruktif, namun dapat pula berbentuk mihnah (gangguan internal) lebih bersifat kontruktif, akan tetapi kesemuanya ini selain sebagai sunnatullah juga bermaksud untuk meningkatkan kualitas aqidah dan dakwah sang ’agent of change’. Lagi pula bukankah yang namanya ujian itu dimaksudkan untuk menaikkan level dan bukan sebaliknya.
Syakhsiyyah Rabbaniyyah adalah mereka yang berkesadaran dan berkemajuan untuk melakukan dakwah Islamiyah, sedangkan program dakwah yang dilakukannya hendaknya diarahkan pada terbentuknya Syakhsiyyah-syakhsiyyah Rabbaniyyah yang baru. Dengan demikian peluang kearah pembangunan kembali peradaban Islamiyah senmakin menjadi sebuah keniscayaan.
- Al-Isti’dad Lil Mauti fi Sabiili Ad-dakwah
Satu hal yang membuat kondisi umat demikian kronisnya laksana hidangan yang dikerumuni orang-orang yang rakus, tidak lain adalah karena kualitas umat itu sendiri yang laksana buih di lautan. Kualitas yang demikian rendahnya berkembang karena telah mewabahnya penyakit “wahn” yaitu ‘hubbudunya wa karahiyatul maut’(cita dunia dan takut mati), demikian siyalemen Rasulullah empat belas abad yang lalu. Dalam bahasa yang lain ulama salaf menyebutnya dengan “umat telah meletakkan dunia di dalam hatinya, sedang para shahabat meletakkannya dalam genggaman”.
Maka kiteria selanjutnya yang harus dimiliki ’agent of change’ agar ia dapat disebut sebagai syakhsiyyah Rabbaniyyah adalah rela untuk mati karena dakwah.allah berfirman dalam QS Al-Ahzab: 23,
“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang Telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)”
Seorang ‘agent of change’ harus tampil di muka memberikan contoh sebagaimana yang telah dilakukan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pertemuan di Darun Nadwah telah menelurkan keputusan bahwa Muhammad harus dibunuh, dalam melaksanakannya, kaum kuffar Quraisy bersepakat bahwa setiap kabilah yang ada harus mengirim satu orang pemuda yang membunuhnya. Hari yang telah ditentukan tiba dan kediaman rasul pun dikepung dari segenap penjuru olah para kuffar Quraisy, dengan kecermatan perhitungan, Rasulullah memerintahkan Ali untuk tidur ditempat Rasul dan ia pun dengan penuh ketaatan melakukannya. Mala berlalu tanpa ada prahara, tapi ‘ibrah dibalik peristiwa itu sangat banyak.
Sepenggal kisah diatas agaknya dapat menghibur hati para du’at yang ikhlas. Demikian ridhonya Ali menggantikan posisi rasul yang ketika itu hendak dibunuh, yang beliau lakukan tiada lain ialah demi kelangsungan dakwah Islamiyah. Kematian adalah suatu kepastian, ia bukanlah akibat dari suatu hal atau perbuatan tertentu dan ia bukanlah sebuah resiko. Sepanjang tarikh Islam tak terhitung banyaknya para du’at yang mengikhlaskan nyawanya untuk dakwah dan tak terbilang pula banyaknya para du’at yang darahnya menyirami taman syuhada’ dan ia akan semakin tak terbilang banyaknya kelak.
Diantara fitnah yang ditebarkan, inilah fitnah yang besar menimpa para du’at. Akan tetapi betapa tenangnya Sayyid Qutb menghadapi tiang gantungan, begitupun dengan Ibnu Taimiyah,bahkan beliau sempat berujar: ”di penjara bagiku adalah khalwat, terusirku adalah siyaahah dan kematianku adalah syahadah”
Ketiga kriteria itulah yang akan membentuk seseorang menjadi syakhsiyyah Rabbaniyyah,dan ‘agent of change’ harus memilikinya tanpa reserve agar segala usaha yang telah dilakukan untuk pembangunan kembali peradaban Islam tidak menjadi utopia.
Wallahu A’lamu bish Shawab
sumber: Majalah YDSUI edisi September 2011