Tata Cara Shalat Gerhana
Pada saat terjadi gerhana matahari atau bulan, kaum muslimin dianjurkan (sunah muakkadah) untuk melakukan Shalat Khusuf (shalat gerhana).
Dalam bahasa Arab, kata khasafa (خسف) memiliki padanan kata (muradif) dengan kata kasafa (كسف) yang berarti hilangnya (tenggelam dan tertutup) sinar matahari atau cahaya bulan.
Jadi menyebut shalat gerhana dengan Shalat Khusuf atau Kusuf, keduanya benar.
Dari Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada hari kematian Ibrahim (putra Rasulullah). Orang-orang pun mengatakan bahwa gerhana tersebut terjadi karena kematian Ibrahim.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang.
Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Waktu Shalat Khusuf
Shalat Khusuf dapat dilakukan kapan pun, termasuk pada waktu-waktu terlarang sekali pun karena ia merupakan shalat yang memiliki sebab tertentu.
Shalat Khusuf disunahkan untuk dilakukan sejak awal gerhana hingga gerhana berakhir sebagaimana dijelaskan pada hadits di atas. Oleh karena itulah, disunahkan untuk membaca surat-surat panjang dalam shalat gerhana.
Jika shalat telah selesai dan gerhana belum berakhir, maka hendaknya seorang muslim memperbanyak zikir dan doa kepada Allah hingga gerhana berakhir.
Sebaliknya, jika gerhana telah berakhir di pertengahan shalat, maka hendaknya imam meringankan bacaan dan menyelesaikan shalat dan tidak memotongnya.
Tidak ada qadha’ dalam Shalat Khusuf karena ia terkait dengan adanya suatu peristiwa tertentu dan syariat tersebut gugur dengan berakhirnya gerhana.
Selain itu, hukum Shalat Gerhana adalah sunah muakkadah, bukan wajib. Sehingga jika ada orang (sekelompok orang) yang baru mengetahui adanya gerhana setelah gerhana berakhir, maka ia tidak perlu melakukan qadha’ Shalat Gerhana.
Namun, jika ia terlambat mengetahui adanya gerhana dan gerhana masih ada, maka ia tetap disunahkan untuk mengerjakan Shalat Khusuf. Jika seseorang masbuk Shalat Khusuf, hendaknya ia menyempurnakan kekurangannya sesuai dengan shalat imam.
Tata Cara Shalat Gerhana
Shalat Khusuf disunahkan untuk dikerjakan secara berjamaah, berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata, “Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah terjadi gerhana matahari kemudian para sahabat pergi menuju masjid dan membuat shaf (bermakmum) di belakang beliau.” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (4/6) menambahkan bahwa Shalat Khusuf hendaknya dilakukan di tanah lapang agar mudah mengetahui waktu berakhirnya gerhana, meskipun yang disunahkan adalah dikerjakan di masjid.
Menurut mayoritas ulama, Shalat Khusuf dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’ dan dua kali sujud.
Selain itu, ketika membaca Al-Fatihah dan surah Al-Qur’an hendaknya dengan suara keras (jahr), berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengeraskan (jahr) bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Setelah imam selesai membaca Al-Fatihah dan surah Al-Qur’an kemudian rukuk serta i’tidal pada rakaat pertama, maka imam kembali membaca Al-Fatihah dan surah Al-Qur’an, tidak langsung sujud. Sujud dilakukan setelah melakukan rukuk yang kedua.
Dalam Shalat Khusuf, disunahkan untuk membaca surah Al-Qur’an yang panjang seperti Al-Baqarah, Ali ‘Imran, dan lainnya.
Selain bacaat ayat, disunahkan pula untuk memperlama berdiri, rukuk, dan sujud sebagaimana disebutkan oleh Ibunda Aisyah radhiyallahu anha.
“Gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bangkit dan mengimami manusia lalu memanjangkan berdiri.
Beliau kemudian rukuk dan memperpanjang rukuknya. Lalu berdiri lagi dan memperpanjang berdirinya tapi lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya.
Kemudian beliau rukuk kembali dan memperpanjang rukuk tersebut namun lebih singkat dari rukuk yang sebelumnya.
Setelah itu beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lalu beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah tampak.” (HR. Bukhari)
Hikmah Gerhana
Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menceritakan, ”Pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari.
Nabi kemudian berdiri ketakutan karena khawatir akan terjadi hari Kiamat sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian mengerjakan shalat dengan berdiri, rukuk, dan sujud yang lama.
Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Referensi:
Fath al-Bari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Wahbah az-Zuhaili
Shahih Fiqh as-Sunnah, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim