Tutup Hidung di Awal, Mengira Wangi di Akhirnya
Oleh Ustadz Hammad Nur Syahid
Bestie, pansos, santuy dan istilah semisalnya telah menjadi kamus sakti kawula muda zaman ini. Siapa tidak ikut akan dicap ketinggalan zaman dan dikucilkan atau bahkan diasingkan.
Sebenarnya hal semacam ini merupakan suatu kewajaran yang tidak sepenuhnya salah. Namun jika demi mengikuti tren lantas seseorang rela mengorbankan syariat dan menerjang garis batasnya, maka inilah yang tentu tidak bisa dibenarkan.
Ironisnya apa yang disebut sebagai tren masa kini acapkali berbenturan dengan nilai–nilai syariat Islam. Sehingga berdampak pada anggapan bahwa beberapa ajaran syariat yang berlawanan dengan tren tersebut sebagai ‘sesuatu yang tidak relevan dan kuno’.
Lemahnya pemahaman generasi muda menjadikan setan semakin mudah untuk menabur benih-benih pandangan sesat lewat bisikannya. Berbagai persepsi yang merusak secara terus menerus dihembuskan hingga mengikis akhlak yang memang sudah rapuh.
Dahulu seorang Muslimah akan merasa risih dengan ‘baju adiknya’ yang kekecilan dan tidak menutup seluruh anggota tubuh. Sebuah fitrah suci seorang manusia yang akan dituntun oleh Islam menjadi sebuah akhlak mulia.
Tetapi mode dan tren berbicara sebaliknya. Akibat pemahaman dan ilmu yang lemah, fitrah suci itu kian hari kian meredup dan bahkan hilang sama sekali.
Teori tentang toilet yang mengatakan “tutup hidung di awal, mengira wangi di akhirnya” seakan benar terjadi. Seseorang yang pada mulanya risih dan enggan, lama kelamaan terbiasa, bahkan menjadi penggemar atau malah pendukung yang fanatik.
Sangat jauh dari kesuksesan generasi muda pendahulu kita yang selalu melandaskan setiap pekerjaan pada apa yang telah digariskan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kesabaran seorang pemuda bernama Yusuf ‘alaihissalam dalam menahan godaan dari wanita adalah hasil buah keimanan kepada Allah serta pemahaman yang jernih.
Padahal pada saat itu kesempatan terbuka lebar dan tak ada penghalang sama sekali. Dirinya pun sudah sangat berhasrat. Tetapi ia memilih menolak dan berkata, “Aku berlindung kepada Allah”.
Selamatnya pemuda shalih putra Azar bernama Ibrahim ‘alaihissalam dari api yang melalapnya pun juga hadiah dari rasa tawakal serta iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dia dengan gagah berani menghancurkan berhala sesembahan kaumnya dan berdebat dengan mereka pasca insiden penghancuran itu. Sehingga kemudian vonis bakar pun dijatuhkan.
Sekecil apa pun yang bisa kita sumbangkan untuk Islam, akan sangat bernilai dan akan dibalas dengan yang setimpal bahkan berlipat ganda. Biasa berakhlak Islami akan menjadi pundi pahala tiada henti.