Oleh: Tengku Azhar, Lc.
Muqadimah
Banyak -kalau bukan mayoritas- aktifis Islam kontemporer yang mengaitkan kelemahan dan kemunduran umat Islam saat ini dengan keruntuhan khilafah Utsmaniyah tahun 1924 M. Dan tentu saja, gerakan zionisme internasional, salibis internasional serta sekulerisme Kamal Pasha dianggap sebagai sutradara dan aktor utama yang paling bertanggung jawab di belakang tragedi sejarah tersebut. Oleh karena itu, menurut mereka jalan untuk mengembalikan kejayaan Islam adalah dengan menegakkan kembali khilafah Islamiyah. Tidak heran bila akhirnya isu penegakkan khilafah menjadi tema sentral kajian dan wacana pemikiran di banyak kalangan aktifis Islam.
Wacana pemikiran seperti ini sebenarnya tidak seratus persen salah, meskipun juga juga tidak seratus persen benar. Yang jelas, tegaknya kembali kekhilafahan Islam –terutama dalam kondisi umat Islam seperti saat ini-, tidak akan otomatis membalik nasib umat Islam seratus delapan puluh derajat, dari kemunduran dan keterbelakangan menjadi kejayaan dan kemajuan.
Jauh sebelum daulah ‘Utsmaniyah runtuh pada tahun 1342 H (1924 M), umat Islam telah lama tengelam dalam kubangan lumpur kemunduran. Bahkan saat daulah ‘Utsmaniyah masih tegak dengan kokoh, umat Islam telah mengalamai kemunduran dan keterbelakangan yang parah. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kerusakan dan penyelewengan dari bimbingan syariah Islam, di hampir seluruh aspek kehidupan umat Islam. Di antara aspek yang mengalami penyimpangan (penyelewengan) tersebut adalah aspek pendidikan Islam. Berikut beberapa penyimpangan yang terjadi pada aspek pendidikan Islam sebelum runtuhnya daulah ‘Utsmaniyah:
1. Filsafat dan ilmu kalam mewarnai buku-buku akidah karya para ulama
Hal ini dimulai dengan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani dan Romawi kuno pada masa pemerintahan khalifah al-Ma’mun (wafat 218 H), pada masa daulah ‘Abbasiyah. Khalifah al-ma’mun sendiri yang secara langsung menjadi pembina dan penanggung jawab penerjemahan secara resmi dan besar-besaran buku-buku filsafat ini. Menurut penelitian ustad Abu Hasan Ali al-Nadawi, penerjemahan ini terus berlangsung sampai sekitar abad IV Hijriyah. Pada masa itu, pembelajaran filsafat Yunani kuno sangat digalakkan oleh negara. Herannya, gerakan penerjemahan ini dilakukan oleh para pekerja beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi yang menguasai bahasa Yunani kuno. Awalnya, gerakan ini mendapat tantangan dan penolakan keras para ulama ahlus sunah. Namun perlahan dan pasti, pada abad VIII Hijriyah, filsafat Yunani telah menguasia akal sebagian besar ulama dan umat Islam saat itu.
Meski beberapa ulama besar, seperti imam Ibnu Shalah dan Ibnu Taimiyah telah berjuang keras membantah filsafat Yunani dan membersihkan akidah umat, namun buku-buku filsafat Yunani dan ilmu kalam telah terlanjur begitu dalam merasuki buku-buku akidah umat, yang mayoritas dikarang para ulama Asya’ariyah dan Maturidiyah. Mereka tetap bersemangat mengajarkan buku-buku akidah yang bercampur baur dengan filsafat tersebut. Tidak saja mengajarkannya, mereka juga mengarang buku-buku yang berfungsi memberi syarah, hasyiyah dan ikhtishar. Di antara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah imam al-Dardir al-Maliki (wafat 1201 H), syaikh ulama Malikiyah di al-Azhar, Mesir ; imam al-Shaban (wafat 1206 H), ulama al-Azhar yang sejawat dengan imam al-Dardir ; imam Muhammad bin Muhammad bin Abdu al-Qadir al-Maliki al-Azhari, imam Sa’dudien al-Taftazani, imam al-Habib bin ‘Ali al-Buslimani al-Susi al-Maghribi (wafat 1352 H), syaikh Habibu al-rahman al-Hindi, syaikh Muhammad al-Sanusi, syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Tadili (wafat 1311 H). Demikianlah, pemaparan akidah yang telah bercampur baur dengan filsafat dan ilmu mantiq ini menjadi tradisi pembelajaran aqidah di seantero dunia Islam, termasuk di al-Azhar.
2. Penyelewengan dalam Kurikulum Pendidikan
Syaikh Muhammad Kurdi ‘Ali dalam Khuthathu al-Syam menyebutkan bahwa benih-benih kemunduran dunia pendidikan Islam mulai terihat jelas pada abada IX Hijriyah. Keadaan ini semakin parah pada abad X dan XI Hijriyah. Pada abad XII Hijriyah, sama sekali tidak ada hal yang jadid maupun tajdid (pembaharuan, pencerahan). Ilmu pengetahuan dunia maupun ilmu-ilmu syar’i macet total, berhenti di tempat dan tidak mengalami peningkatan sedikitpun.
Ustadz Muhammad Qutb dalam Waqi’una al-Mu’ashir menyebutkan dua bentuk kemunduran dunia pendidikan masa tersebut; Pertama. Membuang materi ilmu pengetahuan umum (al-‘ulum al-kauniyah) seperti kimia, fisika, biologi, matematika, ekonomi, politik dan seterusnya, dari sekolah-sekolah di dunia Islam. Kedua, Ilmu-ilmu syar’i mengalamai masa kebekuan, kejumudan dan statis dengan kuatnya keyakinan telah tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai akibatnya, banyak persoalan masa tersebut yang tidak mendapatkan jawaban dari syariat dikarenakan tidak adanya ijtihad. Solusinya, produk pemikiran Barat diadopsi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam.
Kurikulum pendidikan pada masa itu juga sangat tidak memenuhi tuntutan zaman. Para ulama sibuk membuat mukhtashar, syarh dan hasyiyah. Sebagian besar sekolah dan universitas di dunia Islam mengajarkan aqidah berdasar madzhab Asy’ariyah –Maturidyah, dan warna ilmu kalam-filsafat sangat kental mewarnai pelajaran aqidah. Pelajaran-pelajaran inti lainnya diisi oleh ilmu mantiq, ilmu sejarah (sejarah para ulama thareqat), ilmu hikmah (filsafat Yunani kuno dan para filosof atheis seperti Ibnu Sina dll), tafsir para ulama Asy’ariyah-Maturidiyah-Mu’tazilah dan ilmu tasawuf.
Secara ringkas, syaikh Muhammad Bahjat al-Atsari dalam A’lamu al-‘Iraq menyebutkan bahwa ilmu pada masa itu dipelajari bukan untuk mengatur kehidupan dunia, melainkan untuk mencari berkah.
Kemudian pasca keruntuhan daulah ‘Utsmaniyah (1924 M) hingga hari ini, wajah pendidikan Islam semakin buram. Musuh-musuh Islam dari kalangan kuffar dan munafikin telah merencanakan dengan matang ‘proses penghancuran’nya, baik tradisi serta peradabannya. Lambat laun, kesusuksesan pendidikan Islam itu hanya dilihat pada tumpukan nilai-nilai dan ijazah yang sama sekali tanpa aplikasi dan perbuatan nyata. Penyandang pelbagai gelar keserjanaan agama tanpa memahami hakikat dien dan tabiatnya sama sekali.
Dalam wacana jatuh bangunnya pendidikan dan peradaban Islam hari ini, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais1 menyampaikan sebuah kajian berharga. Beliau menulis
“Selalunya, sebuah peradaban runtuh dari dalam…sesungguhnya perang (serangan dari luar) datang tak lebih dari sebuah badai. Ia hanya mencabut pohon-pohon yang tidak mempunyai akar, atau pohon yang akarnya lapuk, atau berakar kokoh namun batangnya sakit sehingga akhirnya si batang pun tumbang. (memang) Terkadang batangnya tumbang, namun akar-akarnya tetap layak —setelahnya —untuk membangun sebuah batang yang baru dan muncul sekali lagi.”
Menurut beliau, keruntuhan sebuah peradaban — tak terkecuali pendidikan dan peradaban Islam — tak lepas dari tiga proses, yaitu marhalatu fasad al-fikr, marhalatu fasad al-suluk dan marhalatu al-inhiyar.
[1]- Marhalatu fasad al-fikr. Fase ini adalah fase yang menjadi titik awal sebuah kehancuran. Dimulai dengan rusaknya konsep hubungan manusia-Allah Ta’ala; manusia-manusia; manusia-alam sekitar dan menyimpangnya manusia dari kebenaran, kesempurnaan dan kebajikan (al-inhiraf ‘an al-haq, al-kamal, al-khair). Sedikit-demi sedikit, manusia menyimpang dari jalan al-haq, menuruti hawa nafsu dan berjalan di atas ilmu (al-fikr / al-manhaj) yang bengkok. Proses ini merupakan perubahan total yang menyerang aspek pemikiran dan kejiwaan manusia (al-inqilabu al-dzihni wa al-nafsi al-mutadani). Manakala manusia sudah mulai menyimpang dari kebenaran dan ilmu yang benar, sejatinya ia telah memasuki babak keruntuhan pemikiran dan kegelapan akidah (al-inhiyar al-fikri wa al-dhulam al-‘aqdi; QS. 2:6-7). Fase ini juga merupakan fase kebekuan dan kejumudan serta rusaknya konsep way of life (marhalatu inghilaq fikri wa fasad al-manhaj; QS. 7 :96,16:112-113). Ini suatu hal yang sangat bisa dipahami, mengingat ilmu atau fikrah merupakan asas, fondasi dan titik tolak kehidupan di muka bumi ini. Sebuah peradaban akan tegak diatas sebuah dasar manhaj yang lurus, dan sebaliknya mankalaa penyimpangan pemikiran telah menjadi fondasi, keruntuhan peradaban tinggal menunggu saatnya (QS. 20:123-124). Kesesatan pemikiran ini bisa terjadi lewat beberapa pintu, yaitu (a)-mengikuti para pemimpin dan ulama yang menyesatkan (itttiba’ al-thawaghit min al-ashnam al-basyariyah), atau (b)- aliran-aliran pemikiran yang menyimpang (al-madzahib al-munharifah), atau (c)- tokoh-tokoh panutan yang hidup hedonis (QS. 33:67-68; 34:34). Ilmu yang salah akan menghasilkan tindakan yang salah pula. Secara padat, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais meringkasnya denga menyebutkan kaedah emas “salamatu al-fikr hiya al-dhamin li-salamati al-suluk.” Dalam kajian kita atas realita umat Islam di atas, jelas sekali penyimpangan pemikiran dan konsep way of life ini berawal dari penyimpangan akidah dan penyimpangan ilmiah. Dalam hal ini, para ulama, da’i, mubaligh, ustadz, guru, pemerintah dan setiap orang yang menaruh perhatian terhadap kejayaan Islam mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga kelurusan al-fikr, dan mengobati berbagai penyimpangan al-fikr. Bila kewajiban ini tidak ditunaikan secara benar —imam al-Khatib al-Baghdadi (392-462 H) dalam al-Faqih wa al-Mutafaqih menyebutkan “wa hafizha syari’ata al-iman bi al-muta’allimin wa amarahum bi al-ruju’i ilaihim fi al-nawazil2”—, berarti penyimpangan al-suluk (akhlak) pun telah terjadi. Artinya, mereka telah menjadi masinis bagi runtuhnya gerbong peradaban Islam.
[2]- Marhalatu fasad al-suluk. Secara normatif dan empirik telah terbukti bahwa tartibu al-suluk al-sayyi’ ‘ala al-fikr al-sayyi’, sebuah pemikiran yang buruk akan menelurkan tindak tanduk yang bejat (QS. 30:41,8:53,17:16). Fase ini merupakan fase al-dzunub, di mana sarana-sarana hidup kemewahan telah merajalela, kehidupan materialisme menggejala dan al-fikr sudah tundauk kepada materi. Ketika kebejatan moral dan sosial sudah di luar ambang batas, kemungkaran dan kemaksiatann sudah menjadi menu harian masyarakat, maka hukuman Ilahi adalah peringatan yang paling cocok. Allah Ta’ala mengadzab mereka, karena memang sudah sangat layak untuk menerima peringatan terakhir tersebut (QS. 34:34-35). Kesesatan pemikiran telah mendorong mereka untuk menempuh pola hidup yang salah. Kesesatan pemikiran telah membutakan mereka dari melihat kebenaran sunatullah dan sejarah (QS. 6:6,9:69). Inilah yang telah terjadi pada kaum-kaum terdahulu ; kaum nabi Nuh (QS. 11:46), kaum ‘Aad (QS. 11;59), kaum Tsamud (QS. 11:65,67), kaum Luth (QS.78,82-83), dan kaum Madyan (QS. 11:94-95). Ini pula yang telah terjadi pada diri umat Islam pada hari ini. Dari rangkaian sejarah dalam surat Huud di atas, Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais menyimpulkan dari ayat 100-102, bahwa inna al-suluk al-akhlaqi al-munharif huwa thariqu al-inhiyar al-hadhari, wa laisa al-dho’fa al-madiyya awa al-taqanniya. Allah Ta’alaala Maha Pengasih kepada hamba-Nya. Dengan rahmat-Nya, manusia diberi jeda waktu untuk kembali kepada al-haq. Bila setelah jeda dan penangguhan ini manusia tetap dengan fasadu al-fikr dan fasadu al-suluknya, maka fase ketiga telah menantinya (QS. 6:44, 3;178,6:6). Pada saat itulah, tiada bergua lagi penyesalan (QS. 10:101).
[3]- Marhalatu al-inhiyar. Fasadu al-fikr dan fasadu al-suluk telah terkumpul pada diri umat Islam. Maka masyarakat Islam pun mulai menghalami pukulan-pukulan mematikan dari intern umat, maupun dari ekstern umat. Inilah sunatullah, dan sunatullah sennatiasa menjamah setiap hamba, tak peduli ia sebuah umat yang menamakan dirinya umat Islam (QS. 4:123). Dr. Abdu al-Halim ‘Uwais memungkasi penjelasannya dengan sebuah kesimpulan yang sangat telak “ laqad ashbaha al-bina’ al-ijtima’i hasyan yaquumu ‘ala ususin fasidah…fala amala fi ‘ilajihi, bal laa budda in isqathihi.” Kemudian beliau lalu menyitir QS 9:109 dan QS. 13 :25.
Wallahu A’lamu bish Shawab.
dimuat di Majalah Media Dakwah News yang diterbitkan oleh Dewan Dakwak Surakarta