Oleh: Yuni Prihadi Utomo
Ali ra. pernah berkeliling pasar di Kufah dengan tongkat kecil seraya mengatakan, “Hai para pedagang, ambillah yang hak maka kamu akan selamat, dan janganlah kamu menolak keuntungan yang sedikit maka kamu akan kehilangan keuntungan yang banyak.” (Imam al-Ghazali dikutip dari Qardhawi, 1997)
Abdur Rahman bin Auf ra. ditanya, “Apa sebab kamu menjadi kaya?” Dia menjawab, “Tiga hal. Aku tidak pernah menolak suatu keuntungan pun, tidaklah dipesan satu hewan pun dariku lalu aku menangguhkan penjualannya, dan aku tidak pernah menjual dengan riba.” (Imam al-Ghazali dikutip dari Qardhawi, 1997)
By the way
Dalam konstelasi kepakaran mapan, saya tentu saja tidak berhak membahas MLM dari sisi syariat, sebab disiplin ilmu saya adalah ilmu ekonomi konvensial. Walau saya pernah membaca satu dua buku Ekonomi Islam, rasanya itu belum cukup untuk menuntut “hak membahas” tersebut. Jadi, pertama, saya tidak akan membahas, misalnya, tentang shafqatayn fii shafqah, bay’atain fii bay’ah ataupun samsarah’ alaa samsarah, yang tampaknya belum dibahas tuntas oleh para sedulur muslim mencebur ke MLM, meski ketiganya merupakan keberatan dan serangan utama dari para sedulur muslim yang anti MLM; kedua, terus terang saya ngeri mengajak peserta kajian ini untuk serius mendiskusikan MLM, saya menawarkan diskusi yang secara ringan-ringan saja, lawong untuk kasus produk yang jelas-jelas memberi peringatan “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin” saja, banyak sedulur muslim – bahkan yang sekaliber Doktor dan profesor – yang keberatan kok mengharamkannya, apalagi untuk MLM, yang konon royal membagi bonus penjualan langsung maupun tidak langsung (bonus jaringan), pastilah para sedulur muslim lebih siap untuk menghalalkan dan bila perlu memberi gelar “MLM syariah”.
Fikih Jual Beli, IMHO
Saya sering gemetaran kalau membaca fikih jual beli. Apa sebab? Karena saya mendapat kesan, jual beli yang paling sesuai dengan syariah adalah jual beli di mana barangnya eksis di muka penjual dan pembeli, sehingga pembeli bisa sepuasnya mencermati barang yang hendak dibeli, dan lalu penjual dan pembeli bisa saling memperkenani harganya. Nah, yang bikin saya gemetaran, pertama, kini banyak jual beli yang tidak seperti itu lagi, dan saya sering tidak bisa menghindari; kedua, pada jual beli ini pun berlaku etika:
“Penjual dan pembeli mempunyai hak untuk menentukan pilihan selama belum saling berpisah, maka jika keduanya berlaku jujur dan menjelaskan yang sebenarnya maka diberkati transaksi mereka. Namun, jika keduanya saling menyembunyikan kebenaran dan berdusta maka mungkin keduanya mendapatkan keuntungan tetapi melenyapkan keberkahan transaksinya.” (HR. Mutafaq ‘Alaih)
“Jauhilah dirimu dari banyak bersumpah dalam berjualan, karena sesungguhnya ia memanipulasi, kemudian menghilangkan keberkahan.” (HR. Muslim, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
padahal, di masa di mana iklan kini menjadi alat utama pembangkit libido membeli konsumen, bukankah etika ini sulit diikuti?
Diinul Islam
Diin secara etimologis memiliki empat arti. Pertama, mempunyai arti hak untuk menguasai, mendominasi, memerintah dan menaklukkan. Kedua, memberi arti mirip dengan arti pertama akan tetapi berbeda penekanannya, yaitu patuh, tunduk, pasrah, dan merendahkan diri. Ketiga, memberi arti syariah atau rambu-rambu jalan yang harus dipatuhi, hukum, adat istiadat dan kebiasaan. Keempat, memberi arti balasan atas perbuatan, pengadilan, dan perhitungan neraca amal. (Maufur, 1997 dalam ‘Imarah, 1998; Maududi, 1981) Ber-al diinul al Islam, dengan demikian, berarti siap mengakui kekuasaan Allah sebagai pemegang otoritas mutlak, siap dan pasrah menerima aturan-aturan hukum dan syariah-Nya, dan akhirnya menerima dan mengakui bahwa hanya Allah-lah sebagai satu-satunya hakim, kelak di hari al diin. (Maufur, 1997 dengan sedikit editing dari penulis).
Dengan mensistematisir materi bahas al-Qur’an dan Sunnah, jelas akan didapati hukum dan syariah-Nya meliputi segala aspek kehidupan, bukan hanya aspek agama saja. Dalam istilah modern, al diinul al Islam adalah way of life – jalan, cara, pola, metode, gaya, langgam, atau sistem hidup. Bukan sekedar way of life, tetapi satu-satunya way of life yang hak dan diperkenani oleh Allah. (QS. 3:19,85) Dengan derajat ini, ber-al diinul al Islam berarti secara sadar memikulkan misi di pundak, untuk mewarnai kehidupan agar selaras dengan hukum dan syariat-Nya (QS. 42:13). Kaum muslimin wajib menjadi trend setter atau pace maker kehidupan, bukan sekedar trend follower atau pace devotee kehidupan.
Praksis Penyariatan: Kabar Baik dan Kabar Buruk
Siapa yang tak sumringah dan bangga mencermati wacana dan praksis penyariatan di Indonesia? Wacana penegakan syariah gegar dibahas di mana-mana. Praksis penyariatan tiba-tiba menyentuh banyak aspek kehidupan. Di mulai dengan perbankan syariat, secara gesa menyusul BPR syariat, pasar saham dan keuangan syariat, Perda syariat, dll. Syariah, dan tak ketinggalan MLM syariah. Karena pasar saham dan keuangan sudah syariah, mulai ada sedulur muslim dari kalangan “ketat” yang menghalalkan jual beli valas dengan motivasi maksimisasi keuntungan, bukan karena keperluan atau kebutuhan. Semua ini, baiklah, kita beri predikat sebagai kabar baik saja.
Kabar buruknya, segala praksis pensyariatan itu tampaknya tidak dilandasi pandangan ontologis, epistemologis, aksiologis, dan ideologis yang khas Islam. Pertimbangannya, tidak lebih dari marketing saja, sekedar merajakan satu segmen konsumen, yakni kaum muslimin. Alih-alih memunculkan suatu alternatif institusi atau transaksi yang first best syariah, hampir semua praksis penyariatan tampak hanya bersifat permukaan atau labelisasi saja. Kabar buruk, sebab praksis yang semacam ini tidak akan bermuara pada lahirnya satu sistem berkehidupan yang islami secara utuh.
MLM: Beberapa IMHO dari Saya
Iseng-iseng, coba tengok daftar 500 perusahaan Amerika versi Fortune. Berapa kira-kira jumlah perusahaan yang memakai jurus pemasaran MLM? Saya yakin, minoritas! Jangan-jangan, malahan tidak ada sama sekali. Mengapa?
IMHO, walau sering dikatakan MLM memiliki nilai lebih berupa minimisasi biaya pemasaran karena hilangnya segala tetek-bengek pemasaran konvensional, namun praksisnya justru tidak begitu. Karena para pelaku pemasaran MLM tidak berstatus “terikat”, perusahaan tidak memiliki kontrol kuat untuk menggerakkan lini pemasarannya. Akibatnya, minimisasi biaya tersebut harus dikompensasi dengan maksimisasi biaya penciptaan movitasi, berupa bonus penjualan langsung dan tak langsung (bonus jaringan), serta biaya-biaya meeting sosialisasi. Benar, pada tahap selanjutnya biaya meeting mungkin ditanggung sendiri oleh member, tetapi potensi kejenuhan pembentukan jaringan karena tidak luas atau statisnya koneksi member dan gagalnya penciptaan motivasi, sangat mungkin menciptakan volume penjualan yang tidak menutup biaya pemasaran MLM. Oleh karena itu, MLM belum atau malah tidak akan pernah menjadi subtitusi yang memadai bagi pemasaran konvensional.
Iseng-iseng, cobalah Anda menghubungi member MLM yang telah berjaringan luas. Lalu, data pendapatan masing-masing member pada setiap hirarki jaringan. Bagaimana kira-kira pola distribusinya, sangat timpang, timpang, merata, atau sangat merata? Hipotesis saya, distribusinya timpang. IMHO, ini perlu dilakukan, untuk menguji klaim, yang menyatakan MLM adalah cara mudah dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan member dus masyarakat.
Iseng-iseng, bacalah buku ekonomi konvensional. Dalam ekonomi mikro, ada pembahasan mengenai harga optimal yang adil bagi produsen yang konsumen. Pembahasan tentang hal ini bermuara konfrontasi bentuk Pasar Persaingan Sempurna (PPS, bukan Pasar Bebas!) dan Pasar Monopoli (PM). Pada PPS, selain terjadi keadilan antara produsen dan konsumen, harga cenderung jauh lebih rendah dari harga di PM, yang di dalamnya juga terjadi ketidakadilan antara produsen dan konsumen, di mana konsumen dirugikan. Kondisi lain, produksi di PPS juga akan jauh lebih banyak dibanding dengan yang diproduksi di PM. Jadi, di PPS harga jauh lebih rendah dan produksi jauh lebih banya dibanding yang ada di. Mana yang lebih bermanfaat bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat? Tentu saja, PPS. Nah, oleh karena itu monopoli dilaknat, bahkan oleh ekonomi konvensional. Apalagi oleh Islam. IMHO, bukankah MLM cenderung bersifat monopoli?
Penutup
Karena saya dibatasi oleh 10.000 karakter, tulisan untuk bahan diskusi ringan-ringan saja ini saya sudahi saja. Saya akan tutup dengan kisah Abdurrahman bin Auf ra.:
Setelah hijrah, Abdurrahman disaudarakan dengan Sa’ad bin Ar Rabi’ yang kaya. Ketika Sa’ad hendak membagi separo harta – bahkan istrinya (wah) – untuk Abdurrahman, dia menolak. Abdurrahman hanya minta ditunjukkan di mana letak pasar kota Madinah. Abdurrahman kemudian ditunjuki letak pasar Bani Qainuqa (Yahudi), dan dia kemudian berdagang di situ. (Al Qhazaliy, tanpa tahun)
Pada suatu hari, Abdurrahman datang kepada Rasul dengan pakaian bagus dan rapi. Ketika ditanya apakah dia telah mempunyai penghasilan, dia menjawab, “Sudah, ya Rasul, dan aku juga telah menikah.” “Berapa mas kawinmu?”, tanya Rasul. “Setail emas!” (Al Qhazaliy, tanpa tahun)
Menakjubkan, Abdurrahman mampu bermain di pasar Yahudi dan sukses besar. IMHO, gaya berdagang dia pastilah menjadi alternatif yang sederhana, praktis, efisien dan disukai konsumen waktu itu. Resepnya, seperti yang telah saya nukil di atas, sederhana saja!
MLM, yang syariah sekalipun, dapatkah menjadi alternatif, yang sepertinya itu. IMHO, tidaklah ya!
Pustaka
Al Ghazaliy, Muhammad. tanpa tahun. Fiqhus Sirah. pent. Abu Laila dan Muhammad Tohir. Bandung: PT. Alma’arif
Imarah, Muhammad. 1998. Perang Terminologi Islam versus Barat. pent. Aunur Rafiq Shaleh. Jakarta: Robbani Press
Maududi, Abul A’la. 1981. Bagaimana Memahami Qur’an. pent. Abdullah Said. Surabaya: Al-Ikhlas
Qardhawi, Yusuf. 1997. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. pent. Didin Hafidhuddin et. al.. Jakarta: Robbani Press
Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Arok Dedes. Yogyakarta: Hasta Mitra